Minggu, 20 Juli 2014

“ Puasa Memburu Taqwa”
Musthofa Umar

Bismillahirrrahmanirrahim..
Alhamdulillah tidak terasa kita telah memasuki sepuluh (10) terakhir fase bulan Ramdhan kali ini, tentu kita berharap-harap cemas (antara yakin dan tidak) bahwa puasa kita diterima, atau sebaliknya ditolak oleh Allah SWT. Namun kita harus tetap optimis (yakin) bahwa amal ibadah yang kita lakukan, termasuk puasa kali ini diterima Allah SWT. Sebenarnya, apa yang kita lakukan, amaliah-amaliah ibadah kita bisa kita lihat ukurannya diterima apa tidak melalui cara kita menjalankannya sehari-hari, apakah sudah memenuhi syarat, rukun dan tata cara yang digariskan syari’at apa belum, atau kita banyak meninggalkan tata cara, rukun dan syaratnya?! Nah kalau itu yang kita lakukan, seyakin apapun tetap saja tidak bisa kita katakan diterima. Misalnya saja, puasa adalah ‘imsak’ (menahan) diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, yakni masuknya sesuatu dari tujuh (7) lubang anggota badan kita. Baik itu berupa benda ataupun sesuatu yang disengaja untuk dimasukkan. Tujuh (7) anggota badan itu adalah, dua (2) lubang hidung, dua (2) lubang telinga, 1 (satu) mulut dan dua (2) lubang di depan dan belakang kita bagian bawah, yakni dubur dan qubul. Hal ini dilakukan semenjak fajar shiddiq (subuh) sampai terbenamnya matahari (maghrib). Hal ini secara lahiriah bisa terlihat, sehingga dikatakan hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Selain ada hal-hal yang tidak terlihat, yang bisa membuat batal pahala puasanya. Dan puasa harus menjaga hal-hal yang membatalkan puasa dan juga pahalanya.
Syaratnya adalah tidak masuk ke salah satu tujuha (7) lubang yang dilarang, akan tetapi dalam sehari-hari kita lengah, sayarat ini tidak kita penuhi. Belum saatnya berbuka, kita sudah memasukkan ‘sesuatu’ dalam tujuh (7) lubang indera kita, baik di mulut, hidung, telinga, ataupun qubul dan dubhur kita. Maka jelas kita batal dalam puasa, artinya tidak diterima karena melanggar syarat-syaratnya, walaupun kita  yakin seribu porsen (1000 %) akan diterimanya ibadah puasa kita. Begitupun dalam ibadah-ibadah yang lain, selama kita menjalankan syarat-syarat, rukun dan tata caranya dengan benar, maka bolehlah kita mengatakan ibadah kita diterima oleh Allah SWT, namun sebaliknya jika kita melanggar salah satu dari syarat atau rukun yang telah ditentukan, mungkin kita terlalau ke-PD-an (percaya diri), untuk menganggap ibadah kita diterimaNya.
Nah bagaimana dengan puasa?! Bulan puasa, atau bulan Ramadhan seperti yang Allah SWT jelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 183, “wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu untuk berpuasa, sebagaimana yang telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”. Ukuran puasa kita diterima atau tidak oleh Allah SWT tentu satu kata ‘berubah’. Ada sesuatu yang berubah dalam hal-hal yang menyangkut amaliah ibadah kita yang berubah. Tentunya berubah dari yang tidak sama sekali ke ada atau melakukan, atau dari yang sudah dilakukan ke lebih baik dalam melakukannya. Ringkasnya adalah kita semakin takut kepada Allah SWT. Takut untuk melanggar dan lalai dari segala bentuk perintahNya, melakukan segala hal yang diwajibkan, dan meninggalkan segala hal yang telah dilarangNya. Inilah yang dikatakan taqwa (takut kepada Allah SWT), yang menjadi tujuan kita dipuasakan.
Apa sebenarnya yang dikatakan taqwa itu? Yang menjadi tujuan kita dipuasakan oleh Allah SWT seperti akhir surat al-Baqarah ayat 183 yang menjadi dalil naqli puasa itu sendiri --la’allakum tattaquun—(mudah-mudahan kamu bertaqwa) itu? Semua orang tentu menjadi ‘pemburu’ taqwa yang dijanjikan Allah SWT saat ini. Lalu bagaimana cara kita melihat, kita ini taqwa apa belum? Artinya, kalau kita melihat ciri-ciri ini pada seseorang atau diri kita, berarti taqwa sudah kita dapatkan. Akan tetapi sebaliknya, jika ciri-ciri itu tidak ada, bisa jadi predikat taqwa itu belum kita peroleh, dan itu artinya puasa kita masih dipertanyakan keberhasilannya, masih meragukan entah diterima apa tidak? Dan itu bisa jadi saya pribadi, anda dan kita semua pasti mengalami hal yang sama.
Kalimat taqwa,  selain pengertian ringkas, sudah saya jelaskan di atas, ada beberapa hal yang bisa dilihat sebagai ciri-ciri orang yang bertaqwa, tentu menurut al-Qur’an dan Hadith sebagai pedoman kita hidup. Al-Baqarah ayat 2-5 mengatakan, “Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung”.
Melihat dari terjemah makna surat al-Baqarah di atas, maka sangat jelas ciri-ciri orang yang dikatakan taqwa tersebut. Yang paling mendasar memang, harus meyakini akan kebenaran al-Qur’an dan ajaran-ajarannya yang telah di firmankan oleh Allah SWT. Dari al-Qur’anlah, kita akan mengetahui selanjutnya apa yang dilakukan dan harus diperbuat oleh orang-orang taqwa itu sebagai petunjuk dan tidak boleh meragukan sedikitpun. Al-Qur’an memerintahkan orang yang meyakininya agar beriman kepada yang ghaib (tidak terlihat), seperti Allah SWT, Malaikat, pahala, dosa, Syurga dan Neraka. Termasuk meyakini Rasulullah SAW yang sudah ghaib bagi kita. Sehingga keyakinan akan yang ghaib ini, akan mengantarkan kita selalu takut dan hati-hati dalam bertingkah laku, Allah SWT, Malaikat selalu melihat dan mencatat perbuatan kita. Kalau kita taqwa pasti tidak akan berani melakukan munkar karena keyakinan kita, akan dilihat Allah SWT dan dicatat Malaikat Rokib dan ‘Atid tadi. Termasuk selalu mendirikan shalat, karena diperintah dan dilihat Allah SWT.
Ciri yang lain orang bertaqwa itu adalah, selalu menafkahkan sebagian rizkinya. Menafkahkan rizki tidak harus menunggu waktu zakat fitrah satu kali setahun, namun zakat-zakat mal (harta) kita bisa kita keluarkan/nafkahkan kapan saja, bila telah sampai haul dan nishabnya. Puasa telah melatih kita haus dan lapar, kekurangan dan keterbatasan seperti yang sering dirasakan oleh orang-orang kekurangan (fakir, miskin dan anak yatim serta orang-orang yang tidak berkecukupan). Maka zakat kita sangat membantu kekurangan mereka, sehingga mereka bisa merasakan kebahagiaan sama dengan kebahagiaan kita. Dari itu rasa lapar, haus dan kekurangan ini, bisa membuat kita peka terhadap lingkungan sekitar kita, untuk selalu memberi bagian rizki kita. Orang-orang yang bisa berbagi baik dalam bentuk infaq, shadaqah dan zakat inilah orang-orang yang bertaqwa.  Wallohua’lamu bishhowab.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Bima.

“Puasa itu Hablum Min an-nas”


Musthofa Umar

Bismillahirrrahmanirrahim..
Hidup kita ada dua hubungan, yakni hablum min Allah (hubungan kita dengan Allah) dan hablum min an-nas (hubungan kita dengan manusia). Kadang ada yang menyebutnya dengan Hubungan Vertikal dan hubungan Horizontal. Nah kepada Allah tentu hubungan kita bisa terlihat dari enam (6) pondasi hubungan kita, yang selajutnya disebut Rukun Iman. Rukun Iman adalah keyakinan dan kepercayaan kita kepada Allah SWT, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Nabi dan Rosul utusanNya, hari Qiyamat dan Taqdir Baik serta Buruk hanya dari Allah SWT.
Kemantapan hati (yakin) akan enam (6) perkara ini merupakan kemantapan hubungan kita dengan Allah SWT. Selama kita meyakini Allah SWT tentu kita juga akan yakin dengan penciptaan dan ketetapan yang lainnya. Untuk mencapai keyakinan atau keimanan yang mantap, butuh proses panjang. Adapun proses pertama yang harus kita lalui adalah, menjadi Islam terlebih dahulu. Islam adalah agama yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW bin Abdullah dan tidak ada Nabi setelahnya, yang merubah peradaban Jahiliyyah (bodoh) menuju peradaban yang luhur, berbudaya dan beradab yakni membawa pemeluknya menjadi selamat. Karena adal kata Islam adalah salama (keselamatan).
Iman dan Islam sangatlah berbeda, kalau ditanya mana yang terlebih dahulu? Maka jawabannya adalah Islam terlebih dahulu. Islam mungkin mayoritas kita memeluknya, namun Iman belum tentu kita semua adalah termasuk orang-orang beriman. Islam belum tentu beriman, namun sebaliknya Iman sudah tentu Islam. sehingga beberapa syarat untuk melakukan amaliah ibadah sehari-hari syaratnya Iman, dan tidak disyaratkan Islam saja. Contoh amaliah ibadah yang kita lakukan saat ini yakni puasa Ramdhan. Dalam dalil naqli puasa itu, ayat 183 surat al-Baqarah  adalah mensyaratkan Iman. Sebagaimana difirmankan Allah SWT, yaa ayyuhalladzii na-amanu kutiba ‘alaykumushshiyamu kama kutiba ‘alalladzi namingqoblikum la’allakum tattaquun (Hai orang-orang yang beriman telah ditetapkan (wajib) atas kamu berpuasa, sebagaimana yang ditetapkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa).
Jadi amanu (beriman) adalah syarat yang harus diperhatikan bagi orang yang hendak berpuasa. Artinya Islam saja tidak cukup untuk melakukan ibadah yang satu ini. sehingga banyak orang Islam yang tidak berpuasa, walaupun memang agama Islam dalam salah satu rukunnya adalah Puasa. Dikatakan Islam apabila melakukan rukun-rukun yang terdapat dalam Islam itu sendiri, dan rukun salah satunya adalah melakukan perintah puasa dalam bulan Ramdhan. Akan tetapi untuk melakukan puasa sendiri, harus ada tambahan iman (amanu) tadi. Karena di awal surat al-Baqarah pada ayat 2-3 Allah SWT sudah menjelaskan, hanya orang-orang yang berimanlah yang mendapat petunjuk taqwa itu.  Dan tujuan kita dipuasakan Allah SWT adalah untuk menjadi orang-orang yang taqwa, seperti akhir surat al-Baqarah ayat 183 di atas.
Nah bagaimana dengan hablum min an-nas (hubungan dengan manusia)? Puasa, dikatakan adalah lebih kepada hubungan dengan manusia. Ini terlihat dari indikator keberhasilan puasa itu sendiri berpatok pada hubungan kita dengan manusia yang lainnya. Hubungan kita dengan saudara, tetangga, orang tua, guru maupun orang lain diluar agama kita (kafir zimmy dan musyrik). Karena Islam adalah rahmatan lil ‘aalamiin (rahmat bagi sekalian alam). Sedangkan manusia sendiri adalah pemimpin, kita semua adalah lahir dengan ‘beban’ amanah sebagai pemimpin. Dan setiap kepemimpinan kita nanti akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah SWT. Apa yang kita pimpin? Tentu alam dan isinya, Islam yang harus memberi keteduhan (rahmat) bagi alam, adalah manusia yang menjalankannya, terutama umat Islam. bagaimana sikap dia dengan lingkungan, flora, fauna, udara, tanah, air dan manusia sekitarnya.
Manusia Islam (muslim) harus mampu merawat, memelihara, menjaga dan melestarikan isi alam yang luas ini agar bisa dinikmati oleh generasi-generasi selajutnya. Dan kalau ada manusia yang merusak alam, mereka secara langsung telah merusak nilai kepemimpinan mereka sendiri, mereka telah keluar dari kodrat mereka dilahirkan bumi oleh Allah SWT, seperti dialog Allah SWT dengan Malaikat, Syetan dan Iblis yang tertuang dalam al-Baqarah ayat 30-31, saat Allah SWT akan menciptakan manusia pertama yakni Nabi Adam As dan ditempatkan sementara di Syurga, sebelum diturunkan ke Bumi untuk menjadi pemimpinnya.
Puasa dan empat rukun Islam lebih dikatakan adalah rukun yang berhubungan dengan manusia sebagai indikator  keberhasilannya. Syahadat (kesaksian), dikatakan sah apabila disaksikan oleh manusia yang lain, sholat juga bertujuan untuk mencegah kita dari berbuat keji dan munkar. Zakat juga begitu, harus disalurkan pada sesama manusia, puasa yang kita jalani saat ini tidak jauh beda, indikator keberhasilan (pahala) puasa adalah berbuat baik dengan manusia. Dan haji ke baitullah di Mekkah-Madinah pun adalah syaratnya manusia yang lain, artinya tetangga tidak ada yang kelaparan, keluarga tidak ada yang kekurangan sandang dan pangannya baru orang tersebut dikatakan mampu (istito’ah) untuk melakukan ibadah haji.
Jadi puasa dalam pelaksanaannya, adalah imsyak (menahan) dari yang membatalkan puasa itu sendiri dan pahala puasanya. Yang membatalkan puasa, bisa kita lakukan mulai dari terbit fajar samapai terbenamnya matahari, waktu berbuka. Yakni dengan menjaga diri dari tidak makan, minum (atau memasukkan sesuatu ke tujuh (7) lubang), dan berhubungan dengan pasangan (halal) kita di siang hari bulan Ramadhan termasuk muntah dengan sengaja. Namun hal-hal yang membatalkan pahala puasa ini bisa sebulan penuh, siang dan malam. Dan pada perkara inilah tempat beratnya puasa, karena apabil kita tidak mampu menahan diri, maka bisa jadi pahala ibadah kita tidak ada. supaya pahala kita ada, ibadah puasa kita tidak jadi sia-sia, maka perlu diperhatikan hal-hal yang bisa membuat ‘batalnya’ pahala kita, sehingga ‘ganjaran’ Allah dengan Taqwa itu kita dapatkan.
Dan yang membatalkan pahala puasa ini, adalah berkaitan erat dengan manusia yang lain. Misalnya menggunjing, memfitnah, berbohong, berpikiran negatif pada orang, iri, dengki, hasud, adu domba, provokator, menjelekkan orang lain, menghina, membuat sakit hati orang, mencuri, merampok dan apa saja yang kaitannya dengan orang lain maka itu bisa membatalkan pahala puasa kita. Sehingga kesimpulannya, puasa adalah ukurannya diterima atau tidak oleh Allah SWT yakni bisa diterima oleh sesama atau hablum min an-nas (hubungan dengan manusia) kita tambah baik. Tetangga, saudara, orang tua, guru dan teman yang lain bisa menerima kita dengan tidak ada tapinya. Tambah sabar, tidak pernah membuat sakit hatinya, tambah jujur dan selalu empati, simpati pada manusia yang lain. Ini menjadikan manusia tersebut kembali fitrah (kejadian asli) sebagai pemimpin, pengayom, pember teduh (rahmat) pada sekalian alam. Wallohua’lamu bishhowab.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Bima.

“Puasa yang Kontinu”

Musthofa Umar

Bismillahirrrahmanirrahim..
Alhamdulillah kita masih diberikan sehat, kesempatan, islam dan iman  sehingga kita bisa menjalankan ibadah puasa kita dengan baik. Puasa seperti hadits Nabi Muhammad SAW, awwalu rahmah, awsatuhu maghfiroh, waakhiruhu itkumminannar (puasa itu awalnya adalah Rahmat, tengahnya adalah Maghfiroh (pengampunan) dan akhir Ramadhan adalah bebas dari api Neraka). Fase dalam Ramadhan ini tentu bersifat kontinu (terus menerus) tersambung antara satu dan lainnya. Artinya, jika rahmat sudah didapatkan, maka tentu maghfiroh Allah akan dia dapatkan pula, begitupun dengan pembebasan dari api neraka.
Banyak orang yang tarawih atau giat melakukan ibadah-ibadah lain di bulan Ramadhan terjadi puncaknya pada awal-awal puasa. Namun begitu sudah sampai pertengahan, bahkan mau akhir Ramadhan, semakin sedikit orang yang melakukan amaliah ibadah puasa (seperti; tadarrus, tarawih dan witir). Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita belum memahami betul untuk apa mereka di puasakan oleh Allah SWT. Banyak dari kita puasa tanpa mengetahui ilmu puasa itu sendiri secara benar dan komplit. Ada peluang memang dalam setiap kultum, ceramah agama di bulan Ramadhan, namun kita juga sering mengabaikan. Sehingga ilmu puasa itu jarang kita tahu, dari tahun ke tahun puasa kita hanya jalan ditempat.
Fase dalam Ramadhan mengandung dua makna, pertama; bisa berarti filter (saringan), bahwa siapa yang bisa bertahan sampai akhir Ramadhan, dalam mempertahankan amaliah-amaliah ibadahnya, maka dialah ‘pemenang’ atau orang yang Itkum minannar (bebas dari api neraka). Karena tadi di atas, bahwa rangkaian puasa itu adalah rahmat dulu, baru maghfiroh baru itkum minannar. Sepuluh (10) hari pertama, yakni tanggal 1-10 Ramadhan, adalah fase rahmat. Dan pada fase ini, manusia harus mampu mendapatkan rahmat sebagai tiket menuju sepuluh (10) hari ke dua, yakni maghfiroh (pengampunan) mulai tanggal 11-20 Ramadhan. Dan jika mereka yang puasa sudah mendapatkan tiket maghfiroh (pengampunan) pada tanggal 11-20 Ramadhan, maka dia berhak untuk maju ke fase terakhir dan menjadi janji Allah untuk orang-orang yang bertaqwa adalah itkum minannar (bebas dari siksa api neraka) mulai tanggal 21-30 Ramadhan.
Dari fase yang ada, tentu mempunyai tantangan-tantangan yang berbeda. Dan semakin ke atas, atau naik tingkat, tentu tantangannya semakin sulit dan berat. Ibarat kita main game, tentu jika kita naik lavel maka, tantangan yang akan kita hadapi pun tentu semakin sulit. Di sinilah banyak orang yang Game Over kalau tidak bisa menahan dan menaklukkan tantangan-tantangannya. Puasa pun begitu adanya, semakin bertambah hari, tantangan semakin besar, godaan semakin beragam. Sehingga orang terkadang hanya sampai pada rahmat (kasih) Allah SWT saja, namun tidak bisa samapai garis akhir (finish).  Namun kita jarang menyadari akan hal ini, akan adanya pembedaan-pembedaan tingkat dalam Ramahdan, tentu Allah SWT ingin menguji himmah (semangat) ibadah kita, apakah mampu bertahan hingga lavel terakhir atau kita hanya bisa ‘main’ di lavel satu (rahmat) saja?!.

Kedua; fase ini bisa jadi menunjukkan kekuasaan Allah SWT. Bahwa fase pertama yakni rahmat (kasih) Allah SWT memang untuk semua, sebagaimana firmanNya, wama arsalnaka illa rahmatan lil’alamin (dan aku utus risalah (ajaran-mengajarkan) untuk kasih sekalian alam). Dan rahmat (kasih) adalah untuk semua. Bukan hanya orang muslim, mukmin dan yang puasa saja, akan tetapi semua isi bumi dan alam ini. baik di langit, dalam laut, udara, yang tampak atau tidak tampak, hewan, tumbuh-tumbuhan, orang kafir, munafik, fasik, murtad dan musyrik semuanya mendapat rahmat (kasih) Allah SWT. Sehingga ‘terlihat’ banyak pada awal Ramadhan orang-orang yang menyambutnya. Masjid-masjid penuh, musholla bahkan rumah orang tarawih dan tadarrus, namun lain hal jika sudah kesepuluh hari kedua sampai kesepuluh hari ketiga.
Jadi banyaknya orang yang ‘menyambut’ Ramadhan pada awal sepuluh (10) hari pertama, adalah wujud dari rahmatan lil’alamin (rahmat sekalian alam) yang ingin  ditunjukkan Allah SWT kepada kita. Manusia dalam bentuk apapun akan mendapat rahmat (kasih) Allah SWT. Tidak peduli, apakah hari-hari sebelum Ramadhan sholat apa tidak, baca Qur’an apa tidak yang penting puasa ikut meramaiakan masjid, musholla dan tadarrus di rumah. Setelah itu entah kemana, dirasa sepuluh (10) hari pertama sudah dirasa cukup untuk mendapat pengampunan Allah SWT.
Kesimpulannya, orang yang mengejar rahamat (kasih) Allah SWT tentu akan mendapatkannya pada sepuluh (10) hari pertama, namun jika mereka tidak bisa istiqamah (kontinu) dalam menjalankan amaliah-amaliah ibadah Ramadhan samapai sepuluh (10) hari kedua, tentu mereka hanya mendapatkan rahmat (kasih) Allah SWT saja. Padahal mereka sebenarnya, punya modal untuk mengambil tiket kedua yakni maghfiroh (pengampunan), namun banyak dari kita sekedar mencukupkan rahmat (kasih) saja. Tidak siap untuk lanjut ke jenjang yang kedua dan ketiga. Dan barang siapa yang bisa lanjut ke lavel kedua dan ketiga (maghfiroh dan Itkum minannar) maka merekalah yang betul-betul tersaring imannya, dan berhak mendapat ganjaran puasa itu sendiri yakni TAQWA seperti janji Allah SWT pada akhir surat Al-Baqarah ayat 183 yang menjadi dalil Naqli (sandaran perintah) Allah SWT tentang puasa Ramadhan. Yaa ayyuhalladzi naamanu kutiba ‘alaykumushshiyamu kama kutiba ‘alalladzi naamanu minqoblikum la’allkum tattaquun (Hai orang-orang yang beriman, telah ditetapkan (wajib) bagi kalian untuk puasa, seperti telah di tetapkan (wajib) bagi orang-orang sebelum kamu, agar kamu BERTAQWA.
Insyaallah jika kita menyadari akan pentingnya fase dalam Ramadhan, dan hikmah yang kita akan dapatkan dalam Ramadhan, tentu kita tidak mau melewatkan semenitpun amaliah-amaliah ibadah dalam Ramadhan. Ini adalah untuk ‘menumpuk’ amal, karena berlipat ganda hasil yang kita bisa masukkan dalam ‘lumbung’ catatan amal ibadah kita, sebagai bekal untuk meuju Allah SWT saat nanti kita dipanggilnya (mati) dengan khusnul khotimah (baik diujung), matinya muslim, yang jiwanya muthmainnah (tenang). Amin ya robbal ‘alamin.


Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Bima.

Menyambut Ramadhan dengan Sabar dalam Pilpers 2014

Musthofa Umar
 
 
Ramdhan telah menyapa, menyambut dan menemui kita. Mungkin sebelumnya sudah kita persiapkan semua yang dibutuhkan untuk menyambut bulan penuh berkah, rahmat dan maghfiroh ini. Tentu dengan rasa syukur, penuh ikhlas dan kemantapan hati kita cara yang baik sebagai persiapan menghadapinya, agar dalam mejalankan puasa ini lancar tanpa terkendala apapun dan berakhir sempurna. Kesempurnaan iman dan islam yang mengantarkan kita nanti menjadi orang-orang yang bertaqwa, akan tetapi Ramadhan kali ini sangat berbeda dengan ramadhan-ramadhan sebelumnya. Tahun ini, kesabaran kita akan diuji penuh dengan adanya Pilpres (Pemilihan Presiden) 2014. Dimana peluang untuk ‘batal’ puasa itu sangat besar, kampanye hitam (fitnah), membicarakan kejelekan orang (ghibah), berbantah-bantahan (ngotot dengan adu urat), konspirasi hitam (niat jahat), dan lain-lain.
Sehingga bulan Ramadhan kali ini, harus betul-betul extra sabar, baik pra maupun pasca pemilihan, karena sabarlah yang akan mengantarkan kita ke tujuan puasa itu sendiri. Tujuan taqwa dari puasa Ramadhan sudah terbersit dalam dalil diwajibkannya puasa yakni surat Al-Baqarah ayat 183.  Allah memerintahkan kita dengan santun sekali, “hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”. Ayat ini mengandung banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik untuk ibadah yang kita jalankan sebulan penuh ini. Coba kita mulai dari kata-kata “Ya ayyuhalladzinaamanu” (Hai orang-orang yang beriman). Dari redaksi ayat, jelas ayat ini diturunkan setelah hijrah. Arti lain adalah setelah kemantapan iman umat Islam dirasa cukup saat itu. Di Madinah tepatnya ayat ini turun sebagai perintah untuk berpuasa. “Ya Ayyuhalladzi” juga sebagai pembeda letak turun sebuah ayat. Kalau “Ya Ayyuhannas atau Ya Bani Adam” biasa di Mekkah.
Imam Ath Thabrani  maupun Ibnu Katsir sama-sama memaknai ayat ini dengan istilah bahwa, yang berpuasa adalah orang-orang yang benar-benar iman kepada Allah dan Rasul-Nya dari umat manusia di muka bumi. Ayat ini juga menjelaskan ke kita, kaitan puasa dengan keimanan seseorang. Allah SWT memerintahkan hanya orang-orang yang memiliki iman (keyakinan dan kepercayaan) akan adanya Allah SWT dan Rasul-Nya Muhammad SAW. Dari puasa atau ibadah puasa yang dijalankan seseorang, menunjukkan orang tersebut mempunyai kesempurnaan iman. Dan diharapkan akhir puasa nanti, keimanan orang yang berpuasa ini, tambah mantap dan sempurna.
Kata-kata iman sendiri dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 17 dinyatakan, “dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar”. Dan ditegaskan dalam sebuah hadits Rasululullah SAW yang menjadi rukun iman adalah, “ Iman itu engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari Kiamat, mengimani Qadha dan Qadar, yang baik maupun buruk”. Enam poin penting dalam rukun iman ini, haruslah dimiliki orang yang mengaku beriman. Karena antara satu dan lainnya sangat berkaitan, salah satu tidakmasuk anda percaya, iman dan yakin makan kesempurnaan iman anda perlu dipertebal kembali. Dikatakan sempurna bila semua point ini ada dalam keyakinan pribadi kita. Khususnya kepercayaan kita kepada Rasululullah, kepercayaan kepada beliau adalah tentu dengan menjalankan, mengikuti dan mentauladani apa yang pernah diajarkan kepada kita.  Begitulah cara iman kita atau dikatakan beriman kepada Rasululullah.
Dan iman itu tidak hanya sekedar di dalam hati, namun harus dibuktikan atau diaplikasikan dalam segala bentuk tindakan kita sehari-hari. Seperti dikatakan Imam Asy Syafi’i bahwa, “setahu saya, telah menjadi ijma’ para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini”. Jadi tiga hal intisari keimanan seseorang dikatakan sempurna atau benar-benar beriman menurut Imam Asy Syafi’i adalah perkataan, perbuatan dan niat. Kalau di balik Niat menetapkan sesuatu yang dikombinasikan dengan Perkataan dan diaplikasikan dalam perbuatan. Sehingga ini pun harus selalu ada dan lengkap, artinya tidak boleh terpisah satu dan lain hal. Apabila terpisah, maka manusia itu dikatakan munafik. Orang yang antara hati, perkataan dan perbuatannya berlawanan.
Dan banyak kita jumpai, orang yang mengaku beriman, percaya kepada enam point keimanan di atas, namun enggan melakukan shalat, membayar zakat, berpuasa bahkan hajji padahal mereka mampu untuk melaksanakannya. Maka keimanan orang tersebut belumlah dikatakan sempurna. Nah kalau kembali ke perintah puasa ini, orang-orang seperni sebenarnya tidak termasuk dalam seruan ayat ini. Dan artinya tidak boleh melakukan puasa Ramadhan. Karena pada dasarnya untuk apa melakukan puasa, bila shalat, zakat dan hajji (bila mampu) tidak dilakukan.
Selanjutnya kalimat, “kutiba ‘alaykum ash-shiyaam”. (telah diwajibkan atas kamu berpuasa). Kalimat ini menurut Al-Qurthubi adalah kalimat wasiat kepada mereka yang mukallaf pada ayat sebelumnya. Akan tetapi pada awal perkembangan Islam, beberapa pendapat mengatakan bahwa puasa belum menjadi kewajiban, namun sekedar anjuran saja. Hal ini terlihat pada ayat 184 Surat Al-Baqarah, “maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Ayat 184 surat Al-Baqarah ini memang terlihat ada penawaran Allah SWT kepada umat Islam pada saat itu. Kenapa saya bilang saat itu, karena setelah ayat ini turun di susul dengan ayat 185 Surat Al-Baqarah juga, “barangsiapa diantara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, maka wajib baginya puasa”. Nah oleh Ibnu Katsir menyimpulkan penghapusan hukum anjuran (ayat 184) benar adanya bagi orang yang tidak sedang berpergian dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkan puasa padanya. Jadi hadir dalam konteks aqil baligh dan berakal. Anak kecil yang hadir (lahir) dalam bulan Ramadhan tentu tidak wajib berpuasa, akan tetapi wajib dikeluarkan zakat fitrahnya pada malam ‘Idul Fitri nanti. Namun jika sudah masuk rukun-rukun wajibnya puasa, dan berbadan sehat maka wajiblah mereka untuk melakukan ibadah puasa. Tidak ada alasan atau penggantian denda (fidyah) seperti ayat anjuran pada ayat 184 surat Al-Baqarah di atas.
Memang semua perintah ibadah atau larangan terhadap sesuatu hukum dalam Islam, Allah melakukan dengan bertahap. Ada ayat-ayat sebelumnya yang tidak secara tegas dan langsung karena melihat kondisi keimanan umat Islam pada waktu itu, demikian pendapat yang dikemukakan oleh Syekh Ali Hasan Al-Halabi. Demikian juga tentang pelarangan khamar dan minuman keras. Allah SWT tidak secara tegas mengharamkan, namun keharaman Khamer dan mabuk-mabukan tertera dalam ayat ke tiga yang turun pada masa itu. Ayat pertama dan kedua, adalah anjuran meninggalkan dan penjelasan tentang effek kurang baik yang ditimbulkan khamer itu sendiri.  Dan apabila dirasa mantap iman para sahabat saat itu, maka saat itu juga turun ayat penegasa yang menjadi pokok hukum selanjutnya dalam Islam.
Lalu potongan kalimat (ayat) bagian ketiga dari dalil naqli perintah puasa Ramadhan yakni, “kutiba ‘ala alladzina min qoblikum” (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu). Tafsir Imam Al-Alusi menulis, yang dikatakan orang-orang sebelum kamu dalam ayat ini adalah para Nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. Jadi sejak Nabi Adam AS perintah puasa itu sudah ada namun caranya tentu berbeda-beda. Islam dengan caranya saat ini yakni menahan makan, minum, berhubungan badan, berkata-kata kotor, fitnah, menggunjing dan melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah selama matahari terbit hingga terbenam sejak tanggal 1 sampai 30 Ramadhan. Dalam hal larangan tidak jauh beda penerapannya dengan Nabi-nabi terdahulu, yang berbeda adalah jumlah hari puasanya.
Termasuk menurut Al-Hasan As-Suddi As-Sya’bi  adalah umat Nasrani. Karena Islam muncul pada saat Nabi Muhammad SAW ada. Sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, agama hanya mengedepankan ketauhidan saja. Dan perintah-perintah serta larangan yang tidak sekomplit saat ini. Sehingga wajar kalau Rasululullah SAW dan Islam dikatakan agama penyempurna sebagaimana di firmankan Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 3 yang merupakan ayat terakhir diturunkan kepada Rasululullah SAW.Islam adalah agama penyempurna dari ajaran-ajaran yang pernah diturunkan kepada Nabi-Nabi sebelumnya.  Pada potongan ayat ketiga ini, terlihat adanya penekanan hukum, penambah semangan serta melegakan hati manusia. Karena suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan oleh orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.
Mungkin kalau boleh saya istilahkan dengan pengistilahan saat ini, khawatir umat Muhammad SAW (Islam) cemburu sosial. Karena menganggap hanya perintah puasa itu hanya diberlakukan padanya. Padahal tidak demikian adanya. Dari itu Allah SWT memperjelas cerita tentang puasa itu sendiri dengan sesuatu yang sama dan pernah dilakukan pada masa lampau. Lalu kenapa berbeda? Namanya saja agama penyempurna, tentu lain dari yang sekedar dicoba. Ibarat hasil produksi sebuah perusahaan, hasil sampel (contoh) tentu tidak akan sebagus hasil akhir atau barang jadi. Itulah makna semangat yang ingin diberikan oleh Allah SWT kepada kita, umat Nabi Muhammad SAW.
Ada beberapa riwayat memang, yang menyebutkan bahwa umat sebelum Nabi Muhammad SAW adalah hanya disyari’atkan puasa Cuma tiga ghari namun setiap bulannya. Malah kalau kita total lebih banyak umat terdahulu dengan kita saat ini. Matematikanya 12 bulan dalam setahun dikalikan 3 hari jadi sebanyak 36 hari. Nah kita saat ini, hanya 30 hari selama bulan Ramadhan saja. Ini dikatakan dalam riwayat Muadz, Ibnu mas’ud, Ibnu ‘Abbas dan lain-lain. Dikatakan juga puasa tiga hari ini dimulai sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh (tergantikan) oleh puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan seperti yang kita lakukan saat ini.
Dan potongan keempat ayat 183 Surat  Al-Baqarah ini adalah kalimat, “la’allakum tattaqun” (agar kalian bertaqwa). Karena pencapaian kesempurnaan iman seseorang adalah dia meraih predikat taqwa. Hal ini sesui dengan ayat 13 dalam Surat Al-Hujarat, “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kalian”.  Kata-kata “la’alla” dalam akhir ayat 183 surat Al-Baqarah ini mengandung  berbagai penafsiran dari para imam. Ada yang mengatakan kalimat “la’alla” berarti ‘ta’lil’ artinya alasan. Alasan juga bisa diartikan sebab dan tujuan dari melakukan sesuatu. Jadi tujuan puasa adalah menyebabkan orang yang melakukannya menjadi taqwa. Ada juga yang mengartikan kalimat “la’alla” ini sebagai ‘litarajji’ artinya harapan. Orang melakukan puasa dengan sebuah harapan nantinya setelah selesai melakukan puasa dia akan menjadi taqwa.
Selain itu ada juga pendapat Imam At Thabari mengatakan bahwa “la’alla” adalah sebuah wasilah atau jalan menuju hasil yang diharapkan. Hasil yang diharapkan adalah taqwa tadi, maka Imam At Thabari memberi arti mudah-mudahan dengan kita melakukan puasa taqwa itu dapat kita raih. Tentu dengan benar-benar puasa. Menahan diri dari segala bentuk nafsu dunia, makan, minum, menjauhi maksiat yang lain. Baik yang membatalkan puasa ataupun yang membatalkan pahala puasa.
Taqwa sendiri mengandung arti secara bahasa adalah berhati-hati, waspada dan takut. Berhati-hati dalam hal melakukan maksiat kepada Allah SWT. Waspada agar tidak cepat terjerumus kedalam dosa yang dibenci oleh-Nya dan takut akan adzab yang akan diberikan kepada siapa yang melakukan dosa kepada Allah SWT. Demikian halnya yang di artikan oleh Thalq Bin Habib Al-‘Anazi, “taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah, mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah, dan takut terhadap adzab Allah”.
Demikian sekilas tentang kandungan ayat 183 Surat Al-Baqarah yang menjadi dalil atau dasar naqli diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan seperti yang kita lakukan saat ini, bagi seluruh umat muslim di muka bumi. Mudah-mudahan apa yang kita ikhtiarkan terkabulkan oleh Allah SWT dan apa yang menjadi target akhir, yakni taqwa dapat kita raih. Dan nantinya menjadikan kita lebih sempurna, bermakna hidup dalam kehidupan ini. Dunia berharap bahagia, begitupun akhirat harus lebih bahagia karena menjadi tujuan perjalanan panjang alam kehidupan yang kita lalui. Saya selaku Ketua Majlis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor dan Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Bima menyampaikan “Selamat menjalankan ibadah puasa 1435 Hijriyah, mohon maaf lahir batin”. Wallahul Muwaffiq ila aqwamitthoriq  Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
 
Penulis adalah Ketua Majlis Dzikir & Sholawat Rijalul Ansor GP. Ansor dan Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Bima.

Senin, 14 Juli 2014

Santri Pesantren



Oleh : Musthofa Umar


Beberapa edisi yang lalu, penulis pernah membahas tentang Pondok Pesantren dalam sebuah lembaga, Kyai sebagai pemimpin di Pesantren, termasuk sistem pendidikan di Pesantren. Nah saat ini, saya ingin menulis satu unsur yang tak kalah penting dalam keberadaan sebuah Pondok Pesantren yakni adanya Santri. Santri, secara total pada hakekatnya hanya orisinilitas spesifik budaya bangsa kita, sebagai honoris causa dari masyarakat kepada individual dengan kriteria tertentu, sebagaimana sang kyai, berdasarkan aspirasi masyarakat. Keberadaannya   terus  eksis di   tengah-tengah  aneka  ragam  suku, kasta dan pergeseran budaya bangsa kita. Dan honoris causa tersebut sama sekali tidak berlaku di negara lain.
Predikat santri adalah julukan kehormatan, karena gelar santri bukan semata-mata sebagai pelajar atau siswa, tetapi ia memiliki akhlak yang berlainan dengan orang di sekelilingnya. Buktinya, setelah keluar dari pesantren, ia mendapat gelar santri alumni, dan dia memiliki akhlak dan kepribadian sendiri. Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya. Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang.
Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren. Santri juga dalam pengartian seperti yang dibilang Clifford Geertz yang dikutip Za’imuddin, “adalah sebagai komunitas Islam taat itu. Kecintaan mereka begitu kental sehingga bila bersalaman selalu mencium tangan kyai, bahkan untuk masyarakat tertentu di kedua sisi tangan mereka. Rasa hormat yang tinggi ditunjukkan dengan keengganan untuk bicara sebelum mereka bertanya dan tidak berani menghadap bila merasa pakaiannya tidak pantas”.
Secara harfiiah, santri diartikan sebagai ahli dalam kitab suci dan merupakan produk dari pribumisasi Islam setelah penjajahan Barat selesai. “Kata “santri” yang berasal dari bahasa Pali, “shantri”, berarti “ahli kitab suci” di masa sebelum Islam. Pada masa berikutnya, ahli kitab suci Hindu-Budha itu masuk Islam dan mempelajari agama ini dengan segala cabangnya di bawah bimbingan kyai. Kata “kyai” sendiri berarti “orng tua” (syaikh). Pemakaian kata “santri” dan “kyai”, adalah hasil dari pribumisasi Islam”.


Istilah santri menunjuk kelompok penuntut ilmu yang bisa dibedakan dengan kalangan mereka yang disebut murid madrasah atau siswa sekolah umum, walaupun mereka sama-sama dalam lingkup lembaga pendidikan Islam. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari rata-rata usia mereka, proses seleksi masuk kelembaga pendidikan masing-masing, materi dan sistem pengajian yang mereka ikuti, kebiasaan dan pola hidup sehari-hari, dan lingkungan belajar pada umumnya.
Peta santri di bagi beberapa macam, seperti dalam tulisan Dewan Asatidz, dalam Peta Kemajemukan Santri dia membagi dua macam.
Santri Profesi
Sedikit pun, tetap tidak tepat kalau dalam jama’ah santri, disebut adanya santri Abangan, atau Santri Kejawen dan sejenisnya. Karena jelas, baik secara faktor individual, maupun faktor warisan dari leluhurnya, tetap tidak ada peluang untuk berposisi sebagai Santri Kejawen, atau Santri Abangan, yang istilah tersebut terdapat dan sering berlaku digunakan dalam konteks gelar Islam Kejawen karena model faham yang diyakininya, atau Islam Abangan, berdasarkan percampuran aliran Islam warisan dari leluhurnya, dengan tanpa adanya ketaatan beribadah.
Santri, pada asalnya adalah honoris causa bagi orang yang bernaung di sebuah pondok pesantren, sehingga dalam konteks pendidikan, oleh para peneliti sering dikatakan bahwa santri adalah salah satu unsur dari pondok pesantren.
Santri Kultur
Bila ada orang dari komunitas terpelajar mana pun, baik pelajar non-pesantren maupun pelajar pesantren sekali pun, tetapi tidak jelas akhlaknya, atau ber-akhlakussayyiah (berakhlak buruk) alias tidak mampu iffah (jaga diri) dari ikhlasnya honoris causa (santri), maka kultural atau budaya masyarakat pasti mempertanyakan kesantrian orang tersebut.
Realitasnya, dalam kultural atau budaya masyarakat, selama ini telah mengakar sebuah fenomena. Gelar santri juga berhak disandang oleh siapa pun yang memaksimalkan akhlakulkarimah (baca: taat kepada Allah) dalam berbagai aspek kehidupannya. Meski pun mereka tidak pernah menyentuh pendidikan pada pondok pesantren.  Sesuai asal-usul gelar santri, selama ini adalah honoris causa dari masyarakat (sebagaimana gelar sang kiai), yang dianugerahkan kepada para pelajar yang menempuh studi di pondok pesantren (baca: santri profesi). Hal itu, dikarenakan pelajar pesantren identik dengan ruh religius yang tercermin dalam akhlakulkarimahnya. Lain halnya denga Dhofier membagi peta santri itu dalam dua peta juga, yakni santri mukim dan santri kalong.
(a) Santri Mukim, Santri mukim adalah santri yang menetap, tinggal bersama kyai dan secara aktif menuntut ilmu dari kyai. Dapat juga secara langsung sebagai pengurus pesantren yang ikut serta bertanggung jawab atas keberadaan santri lain. Setiap santri yang mukim telah lama menetap dalam pesantren secara tidak langsung bertindak sebagai santri mukim. Ada dua motif seorang santri menetap sebagai santri mukim : pertama, motif menuntut, artinya santri itu datang dengan maksud menuntut ilmu dari kyainya. Dan kedua, motif menjunjung akhlak, artinya seorang santri belajar secara tidak langsung agar santri tersebut setelah keluar dari pesantren mempunyai akhlak terpuji sesuai dengan akhlak kyainya. (b) Santri Kalong, Santri kalong pada dasarnya adalah seorang murid yang berasal dari sekitar desa pesantren yang pola belajarnya tidak dengan jalan menetap / mukim di pesantren, melainkan semata-mata belajar dan langsung pulang ke rumah setelah belajar di pesantren selesai.
Ada dua kelompok santri lagi yang dikutip Imron Arifin dalam bukunya, tentang hasil penelitian Arifin dan Sunyoto bahwa, selain santri mukim dan santri kalong yang sudah Dhofier kemukakan di atas, ada santri alumnus dan santri luar yang di jelaskan sebagai berikut;(c) Santri Alumnus, Santri alumnus adalah para santri yang sudah tidak aktif dalam kegiatan rutin pesantren tapi mereka masih sering datang pada acara-acara insidental dan tertentu yang diadakan pesantren, mereka masih memiliki komitmen hubungan dengan pesantren, terutama terhadap kyai pesantren. (d) Santri Luar, Santri luar, yaitu yang tidak terdaftar secara resmi di pesantren dan tidak mengikuti kegiatan rutin pesantren sebagaimana santri mukim dan santri kalong, tetapi mereka memiliki hubungan batin yang kuat dan dekat dengan kyai, sewaktu-waktu mereka mengikuti pengajian-pengajian agama yang diberikan oleh kyai, dan memberikan sumbangan partisipatif yang tinggi apabila pesantren membutuhkan sesuatu.
Selanjutnya dalam buku Imron Arifin juga terdapat kelompok santri lain selain santri mukim, kalong, alumni dan luar yang beliau kutif dari penelitian Sukamto bahwa ada santri sarung dan santri celana, di jelaskan sebagai berikut; (e) Santri Sarung, Santri sarung yaitu kelompok santri yang hanya menekuni bacaan kitab-kitab kuning. Tipologi fisik dari santri ini adalah kemampuan mereka selalu beratribut pakaian sarung, berbaju taqwa dan berkopiah, serta membawa sebuah kitab untuk diuji maknanya. Mereka datang ke pesantren   hanya  untuk    mendalami    agama saja,  santri  sarung  jarang ditemukan di pesantren-pesantren khalaf tapi banyak di pesantren-pesantren salaf. (f) Santri Celana, Santri celana, yaitu kelompok santri yang menempuh pelajaran-pelajaran sekolah umum di lingkungan pondok pesantren. Sebutan celana diambil dari kebiasaan cara siswa memakai celana ketika sekolah, dan bahkan dikenal sering memakai celana panjang daripada memakai sarung. Mereka datang ke pondok pesantren hanya untuk mendapatkan ijazah sekolah, yang akan dipergunakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.
Lalu bagaimana peran santri di era reformasi saat ini? Arwani Syaerozi  menulis dalam peran santri di era reformasi bahwa ada tiga faktor penyebab kaum santri tetap termarjinalkan dalam ruang publik, yakni; Pertama, minimnya publikasi, peran media dalam menciptakan opini publik sangat dominan, sekecil apapun berita dan peristiwa yang dikemas oleh para kuli tinta dan diekspos melalui media massa (baik cetak maupun elektronik) akan menciptakan opini yang kuat di tengah masyarakat yang mengkonsumsinya. Sayangnya semangat “keikhlasan” yang tertanam dalam pribadi-pribadi kaum santri telah menggusur urgensi unsur propaganda media.
Kedua, Lemah dalam sistematis jaringan, lazimnya lembaga maupun organisasi yang mapan, sistematis networks adalah hal krusial dalam membangun link dengan pihak lain. Sebagai contoh: sekelompok santri yang peduli terhadap lingkungan hidup melalui program ro’an (kerja bakti) mingguan, biasanya hanya mengandalkan potensi internal komunitasnya saja, tanpa mencoba mengembangkan sayap kerja dengan berbagai pihak yang se-bidang, baik instansi pemerintah, swasta, maupun LSM.  Ketiga, agenda temporer dan kondisional, inilah faktor terkahir yang menyebabkan peran kontribusi kaum sarungan tampak kurang optimal, akhirnya masyarakat pun tidak sepenuhnya memahami apa yang ditargetkan oleh agenda kaum sarungan.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama, Alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.