Jumat, 16 Desember 2011

Kaffarat Sumpah dan Sumpah Jabatan


Oleh : Musthafa Umar

Akhir-akhir ini terdengar kabar banyak instansi akan melakukan penggeseran personil, ada yang diturunkan atau dipromosikan.  Dan setiap pejabat baru selalu kita lihat ada sumpah saat pelantikan. Dengan lancar mereka selalu memulai sumpahnya dengan kalimah sumpah, wallahi, tallahi dan billahi. Allah diingat dan diminta menyaksikan sebuah estafet kepemimpinan. Manusia adalah terlahir sebagai seorang hamba dan seorang pemimpin. Memimpin berbagai urusan untuk kemaslahatan bumi yang diberikan Allah SWT. Selain itu, nantinya kepemimpinan kita akan dimintai pertanggung jawaban  di yaumil qiyamah. Kepemimpinan apapun bentuknya dari sebuah jabatan, adalah tanggung jawab tidak hanya kepada atasan, bawahan, bangsa namun agama dan Allah SWT
Berangkat dari sini, saya mencoba mengaktualisasikan dalam sebuah tulisan, tentu dengan versi seorang penyuluh sesuai tupoksi saya. Apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang pernah mendapat ‘jabatan’ disertai dengan sumpah. Mudah-mudahan nantinya ini akan menjadi renungan kita bersama dan bermanfaat dalam menjalankan aktivitas kita sehari-hari. Kaffarat bisa diartikan menutupi sesuatu, karena diambil dari bahasa kafara. Atau juga bisa diartikan sebuah denda yang wajib ditunaikan karena sebab suatu perbuatan dosa. Dan Allah memberikan peluang untuk menutup dosa itu dengan membayar kaffarat.
Sebelum kita terlalu jauh membahas ini, alangkah baiknya untuk kita ketahui macam-macam kaffarat sumpah dalam hukum islam. Kaffarat sumpah, para ulama membedakan sumpah tersebut dalam sumpah lagw (sia-sia) seperti ucapan seseorang yang dilontarkan tanpa tujuan untuk bersumpah. Sumpah seperti ini tidak dianggap sebagai sumpah yang harus dikenai denda kafarat. Ada pula sumpah qumus yakni sumpah dusta dan mengandung unsur pengkhianatan. Sumpah seperti ini tidak dikenakan kafarat menurut jumhur ulama karena hukumannya lebih besar dan berat dari kafarat. Sumpah mun'aqidah yaitu sumpah yang dilakukan seseorang bahwa ia akan melakukan sesuatu di masa yang akan datang atau tidak melakukan sesuatu, namun sumpah itu dilanggarnya.
Nah dari gambaran pembagian kafarat sumpah ini, kita telah menemukan focus bahasan saat ini, yakni kafarat sumpah mun’aqidah, contohnya sumpah jabatan para pejabat kita. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 89, “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja… (al-ayah).  Jelas bahwa setiap perbuatan akan mendapat hukuman, termasuk melanggar sumpah yang kita ucapkan. Bentuk pelanggaran sumpah yang sering dilakukan seorang pejabat adalah yang paling nyata, tidak akan korupsi yang mengakibatkan kerugian Negara. Entah bentuknya, korupsi waktu, mementingkan diri sendiri, memperkaya diri sendiri dan kolusi yang berkelanjutan. Hal demikian adalah bagian dari kata-kata sumpah yang tidak pernah diucapkan. Namun kenapa dilanggar? Lalu apa dampaknya?
Kafarat apabila telah ditunaikan, maka pengaruh dari dosa-dosa yang kita perbuat tidak kita rasakan baik di dunia maupun di akhirat. Kafarat merupakan salah satu hukuman yang dipaparkan secara terperinsi dalam syariat Islam.
Ada bermacam-macam kafarat dalam Islam yang bentuknya berbeda sesuai dengan perbedaan pelanggaran (dosa) yang dilakukan. Perbuatan-perbuatan dosa yang dikenakan kaafarat tersebut antarta lain melanggar sumpah, melakukan jimak (hubungan suami istri) di siang hari pada bulan Ramadhan, men-zihar istri (seorang suami menyatakan bahwa punggung istrinya sama dengan punggung ibunya), dan mempergauli istri ketika sedang melaksanakan ihram di Makkah.
Lanjutan dari surat al-Maidah ayat 89 yakni tentang kaffarat sumpah itu sendiri, “Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”.
Berangkat dari ayat ini,  ulama Mazhab Maliki berpendapat bentuk-bentuk hukuman tersebut merupakan tiga alternatif yang boleh dipilih tanpa terikat dengan tertib yang ada dalam ayat. Boleh saja yang dua didahulukan kalau kemaslahatan menghendaki demikian. Dari berbagai ayat dan hadis tentang kaffarat tersebut terlihat bahwa tujuan kaffarat adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, di samping juga memerdekakan budak, dalam arti bukan untuk menanggung resiko fisik sebagaimana yang terdapat dalam hukuman-hukuman hudud atau kisas. Lain halnya dengan jumhur ulama, sepakat bahwa kafarat zihar ini dengan urutan seperti yang ada dalam ayat itu, tanpa ada kebolehan memilih atau mengganti-ganti urutan tersebut.
Ada pengecualian dari untuk saat ini, karena tidak adanya perbudakan, maka tinggal ada pilihan dua. Akan tetapi sesorang yang melanggar sumpahnya masih diberikan pilihan jika dia tidak mampu, yakni puasa berturut-turut selama tiga hari. Bukan hanya itu, kwajiban disini sifatnya mutlak (tak mempunyai batas waktu). Maksudnya tidak harus dilaksanakan seketika setelah melanggar sumpah. Jadi, misal, tidak bisa melaksanakan dlm seminggu setelah melanggar sumpah, maka boleh dikerjakan setelah itu. Sampai ia sempat. Jika terabaikan, sesuai firman Allah di atas, bahwa mereka termasuk orang-orang yang tidak pandai bersyukur kepada Allah, maka bukan penambahan rizki dari hasil kerjaannya yang di dapat, malah adzabKU kata Allah sangat pedih bagi mereka yang kufur (tidak pandai bersyukur) terhadap nikmat-nikmat yang Allah berikan.
Pelanggaran sumpah menurut hadits riwayat Bukhari Muslim adalah bisa menghilangkan kebarokahan dari apa yang kita dapatkan. Jika itu sebuah jabatan, maka jabatan yang kita emban tidak barokah, sehingga keputusan-keputusan yang di hasilkan atau kerjaan yang direncanakan, kurang mendapat pertolongan Allah dan manfaatnya sedikit untuk sesama. Demikian halnya dengan uang/gaji/upah/imbalan yang diperoleh dari sumpah yang dilakukan lalu di langgar dan tidak pernah dibayar kaffaratnya, adalah keberkahannya hilang. Sama qiyasnya dengan uang yang dihasilkan melalui jalan haram. Entah judi, atau menipu orang dan riba.
Ingat, saat kita bersumpah Allah SWT menjadi saksi dari apa yang kita ucapkan. Akankah kesaksian Allah kita ragukan? Sehingga kita dengan leluasa melanggar sumpah-sumpah yang kita ucapkan, dengan berbuat tidak sesuai peruntukannya? Kalau ini terjadi maka adzab Allah selalu mengintai kita setiap saat. Demi Allah! Awal kata sumpah yang kita sering ucapkan, adalah secara langsung mengimani bahwa Allah Maha tahu, Maha melihat dan Maha mendengar apa yang akan kita lakukan selanjutnya dalam mengemban tugas yang diberikan. Apalah artinya pengawasan atasan, bila dibandingkan dengan pengawasan Allah SWT. Namun terkadang berbanding terbalik, kita lebih takut pengawasan atasan ketimbang pengawasan Allah SWT.
Inilah ujian keimanan kita masing-masing. Sedari kecil kita diajari iman kepada Allah sebagai rukun pertama dalam rukun iman. Dalam setiap ceramah dan khutbah, selalu khatib atau da’i mengingatkan kita agar selalu meningkatkan iman dan taqwa kita. Agar selalu merasa terawasi oleh Allah dari setiap gerak gerik kita. Di manapun dan kapanpun, Allah selalu beserta kita. Kalau hal ini sudah kita pahami, insyaAllah tidak ada para pejabat kita yang korupsi, kolusi dan nepotisme lagi. Tapi kalau ada perlu diingatkan kembali sumpah jabatan yang mereka baca di depan tamu undangan, di depan pejabat yang melntiknya dan di hadapan Allah SWT yang disebutnya pertama kali.
Maka jangan heran dengan kondisi bangsa dan pimpinan kita, jika mereka melakukan acap kali kesalahan. Pembangunan yang dilakukan kadang tidak berumur panjang, korupsi uang Negara, karena selalu merasa kekuarangan. Tidak pernah cukup dengan apa yang diterima. Sebenranya ini semua, bentuk dari ketidak berkahan kerja dan hasil kerja akibat pelanggaran sumpah yang dilakukan. Mudah-mudahan kita sebagai aparat Negara atau apapun yang berujung pada sumpah, hendaknya benar-benar melakukannya dengan benar. Sebab banyak orang yang sering tanpa sadar melakukan pelanggaran sumpah namun tidak pernah membayar kaffaratnya. Semoga Allah menjauhkan kita dari hal-hal yang demikian. Amin…

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di KUA Kec.Mpunda Kemenag Kota Bima.

Selasa, 22 November 2011

Semangat Hijrah dalam Menyambut Tahun Baru Hijriyah



Oleh : Musthafa Umar, S. Ag.

Tanggal 27 Nopember besok Jam 18.00, kita akan memasuki bulan Muharram 1433 Hijriyah. Itu artinya kita akan memasuki tahun baru Hijriah, tahun baru dalam penanggalan Islam. Tentu tidak semeriah dan seperti kita menyambut tahun baru Masehi Januari nanti. Namun itulah ajaran pokok islam, yakni kedamaian bukan hura-hura dan pesta-pesta yang cendrung kearah negatif.  Lalu kita sebagai umat islam, tentu harus tahu sedikit tidak apa makna dalam setiap tahunnya kita memperingati tahun baru? Nah tulisan saya kali ini, mudah-mudah menjadikan kita faham dan tahu harus bagaimana bersikap dalam menyambut tahun baru.
Hijrah dari bahasa Arab artinya ‘berpindah-perpindahan’. Dan nama Hijriyah diambil dari peristiwa Hijrahnya Rasulullah Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Empat belas abad silam, tepatnya pada malam tanggal 27 Shafar dan sampai di Yastrib (Madinah) pada tanggal 12 Rabiul awal atau tahun 622 Masehi,  Adapun pemahaman bulan Muharram sebagai bulan Hijrah Nabi, karena bulan Muharram adalah bulan yang pertama dalam kalender Qamariyah yang oleh Umar bin Khattab, yang ketika itu beliau sebagai khalifah kedua sesudah Abu Bakar, dijadikan titik awal mula kalender bagi umat Islam dengan diberi nama Tahun Hijriah.
Muhammad bin Abdullah, memutuskan hijrah ke kota Madinah, mencari peruntungan dakwah Islam meninggalkan Mekah, kota kelahirannya. Belum genap tiga belas tahun, waktu yang relatif singkat untuk mencipta peradaban baru, dari kota kecil nan tandus itu, beliau sukses menyampaikan pesan Tuhan ke sekian banyak manusia, merubah paganisme masyarakat jahiliyah menuju penyembahan kepada Tuhan yang satu, menembus batas teritorial kota Madinah, menaklukkan Mekah, hingga menjalar ke seluruh jazirah Arab kemudian melintasi benua. Jutaan manusia berbondong-bondong mengikuti ajakannya memasuki agama Islam. Hingga sekarang, tak sejengkal wilayahpun di bumi luput dari pancaran cahaya Islam.
Secara historis, peristiwa keberangkatan nabi besar Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya dari kota Makkah menuju kota Yathrib, yang kemudian disebut al-Madinah al-Munawwarah mengandung beberapa makna untuk kita ambil; Pertama, perisitwa hijrah Rasululah dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan tonggak sejarah yang monumental dan memiliki makna yang sangat berarti bagi setiap muslim, karena hijrah merupakan tonggak kebangkitan Islam yang semula diliputi suasana dan situasi yang tidak kondusif di Makkah menuju suasana yang prospektif di Madinah.
Kedua, Hijrah mengandung semangat perjuangan tanpa putus asa dan rasa opimisme yang tinggi, yaitu semangat berhijrah dari hal-hal yang buruk kepada yang baik, dan hijrah daru hal-hal yang baik ke yang lebih baik. Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya telah melawan rasa sedih dan takut dengan berhijrah, meski harus meninggalkan tanah kelahiran, sanak saudara dan harta benda. Ketiga, Hijrah mengandung semangat persaudaraan, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. pada saat beliau mempersaudarakan antara kaum muhajirin dengan kaum anshar, bahkan beliau telah membina hubungan baik dengan beberapa kelompok yahudi yang hidup di Madinah dan sekitarnya.
Berbicara Hijriyah memang tidak akan lepas berbicara Muhammad Rasulullah. Dan berbicara Muhammad adalah berbicara tentang islam yang dibawakan beliau untuk kita umatnya. Sosok Muhammad Rosululullah, tak hanya sukses dalam bidang spiritual, tetapi pada setiap peran yang dia emban dalam berbagai bidang kehidupan. Kalau boleh saya mengutip tulisan seorang Profesor Filsafat India, Ramakrishna Rao, dalam bukunya, Muhammad: The Prophet of Islam, menyebutnya sebagai ”model (teladan) yang sempurna bagi kehidupan manusia”.
Lebih lanjut dia menegaskan bahwa ”The personality of Muhammad, it is most difficult to get into the whole truth of it. Only a glimpse of it I can catch. What a dramatic succession of picturesque scenes! There is Muhammad the Prophet. There is Muhammad, the Warrior; Muhammad, the Businessman; Muhammad, the Statesman; Muhammad, the Orator; Muhammad, the Reformer; Muhammad, the Refuge of Orphans; Muhammad, the Protector of Slaves; Muhammad, the Emancipator of Women; Muhammad, the Judge; Muhammad, the Saint. All in these magnificent  roles, in all these departments of human activities, he is like a hero.” ("Kepribadian Muhammad, hal ini sangat sulit untuk masuk ke dalam seluruh kebenaran itu. Hanya sekilas, aku bisa menangkap. Apa suksesi dramatis adegan indah! Ada Muhammad Nabi. Ada Muhammad, Warrior, Muhammad, Pebisnis itu; Muhammad, Negarawan itu; Muhammad, Orator itu; Muhammad, Reformer, Muhammad, Refuge dari Yatim Piatu, Muhammad, Pelindung Budak, Muhammad, Emansipator Perempuan; Muhammad, Hakim, Muhammad, Santo. Semua dalam peran ini megah, di semua departemen dari aktivitas manusia, dia seperti pahlawa”).
Tidak berlebihan Rao menulis demikian, karena jauh sebelumnya, Allah SWT menegaskan hal demikian dalam firman-Nya surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Wujud dari uswah hasanah selain terdapat di dalam Al-Qur’an, juga melalui sunahnya. Sunah atau hadis adalah keseluruhan dari kehidupan Nabi Muhammad saw., baik perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun himmah atau cita-citanya yang belum terwujud.
Kredibilitas Muhammad sebagai ‘orang yang harus dimuliakan’ tidak hanya diakui umatnya sendiri, akan tetapi umat agama lain. Namun sangat disayangkan, Muhammad SAW. dicitrakan dengan sebaliknya oleh Barat atas nama kebebasan berekspresi. Adalah Jyllands-Posten, ‘pelopor’ pemuatan visualisasi kartun yang dinisbatkan dan selamanya tak akan ternisbatkan oleh sebab kemuliaannya kepada Nabi Muhammad saw., diikuti banyak media-media Barat, bahkan Indonesia hingga sekarang. Kita mungkin masih ingat, film singkat bertajuk “FITNA” yang tersebar luas di liveLeak.com. Oleh para orientalis picik subjektif itu, Nabi Muhammad dituduh sebagai pembawa ajaran kekerasan dan mengajarkan terorisme.
Nah pertanyaanya, apakah sampai tahun 1432 Hijriyah sudahkah kita melakukan ajaran-ajaran yang Muhammad Rasulullah bawa dengan sempurna? Atau kalau tidak kapan kita akan melakukan perubahan (hijriyah) itu?  Pemaknaan hijrah tentu bukan selalu harus identik dengan meninggalkan kampung halaman seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan kaum Muhajirin waktu itu, tetapi pemaknaan hijrah lebih kepada nilai-nilai dan semangat berhijrah itu sendiri, karena hijrah dalam arti seperti ini tidak akan pernah berhenti Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ada seorang yang mendatangi Rasulullah dan berkata: wahai Rasulullah, saya baru saja mengunjungi kaum yang berpendapat bahwa hijrah telah telah berakhir, Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya hijrah itu tidak ada hentinya, sehingga terhentinya taubat, dan taubat itu tidak ada hentinya sehingga matahari terbit dari sebelah barat”.
Ada 3 pesan perubahan dalam menyambut Tahun Baru Hijriah ini, yaitu: (1), Hindari kebiasaan-kebiasaan lama / hal-hal yang tidak bermanfaat pada tahun yang lalu untuk tidak diulangi lagi di tahun  baru ini. (2) Lakukan amalan-amalan kecil secara istiqamah, dimulai sejak tahun baru ini yang nilai pahalanya luar biasa dimata Allah SWT, seperti membiasakan shalat dhuha 2 raka’at, suka sedekah kepada fakir miskin, menyantuni anak-anak yatim, dll. (3) Usahakan dengan niat yang ikhlas karena Allah agar tahun baru ini jauh lebih baik dari tahun kemarin dan membawa banyak manfaat bagi keluarga maupun masyarakat muslim lainnya.
Bagi kita umat Islam di Indonesia, sudah tidak relevan lagi berhijrah berbondong-bondong seperti jijrahnya Rasul, mengingat kita sudah bertempat tinggal di negeri yang aman, di negeri yang dijamin kebebasannya untuk beragama, namun kita wajib untuk hijrah dalam makna “hijratun nafsiah” dan “hijratul amaliyah” yaitu perpindahan secara spiritual dan intelektual, perpindahan dari kekufuran kepada keimanan, dengan meningkatkan semangat dan kesungguhan dalam beribadah, perpindahan dari kebodohan kepada peningkatan ilmu, dengan mendatangi majelis-majelis ta’lim, perpindahan dari kemiskinan kepada kecukupan secara ekonomi, dengan kerja keras dan tawakal.
Untuk itu, mari kita jadikan makna hijrah dengan semangat menyambut masa yang akan datang dengan penuh harapan, kita yakin bahwa sehabis gelap akan terbit terang, setelah kesusahan akan datang kemudahan dan kita yakin bahwa pagi pasti akan datang walaupun malam terasa begitu lama dan panjang. Karena roda kehidupan selalu berputar dan tidak mungkin berhenti. Imam Syafi’i pernah ebrkata:”Memang sebeanrnya zaman itu sugguh menakjubkan,s ekali waktu engkau akan mengalami keterpurukan, tetapi pada saat yang lain engkau memperoleh kejayaan”. Dengan pergantian waktu setahun, menunjukkan bahwa umur kita bertambah satu tahun, tetapi kesempatan hidup kita di dunia telah ebrkurang pula satu tahun, yang berarti semakin jauh kita dari kelahiran dan semakin dekat kita kepada kematian. Hasan al-Basri mengumpamakan manusia bagaikan kumpulan hari-hari, setiap hari yang pergi, kita seperti kehilangan bagian dari diri kita. Apa yang telah pergi tidak akan pernah kembali.
Mari kita jadikan peralihan tahun sebagai momen untuk melihat kembali catatan yang mewarnai perjalanan hidup masa lalu, dengan melakukan renungan atas apa yang telah kita perbuat. Kita gunakan kesempatan ini untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup di dunia dan akhirat kelak, dengan bercermin kepada nilai-nilai dan semangat hijrah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, karena sesungguhnya Allah menjadi pergantian siang dan malam untuk dijadukan pelajaran dan mengungkapkan rasa syukur, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Furqan ayat 62, artinya “Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur. “Selamat Tahun Baru Hijriah 1433 H” Semoga hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah orang yang beruntung, Siapa yang hari ini keadaannya sama dengan kemarin maka dia rugi, Siapa yang keadaan hari ini lebih buruk dari kemarin, maka dia celaka” (Al Hadist). " Amin-Wallahu a’lam.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di KUA Kec. Mpunda Kemenag. Kota Bima

Kelompok Kerja Penyuluh Agama (POKJALUH) Kota Bima



TENTANG PENYULUH AGAMA

A. Pengertian Penyuluh Agama Islam dan Peranannya.
Penyuluh Agama Islam adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab,wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan bimbingan atau penyuluhan agama Islam dan pembangunan melalui bahasa agama.
Istilah Penyuluh Agama mulai disosialisasikan sejak tahun 1985 yaitu dengan adanya Keputusan Menteri Agama Nomor 791 Tahun 1985 tentang Honorarium bagi Penyuluh Agama. Istilah Penyuluh Agama dipergunakan untuk menggantikan istilah Guru Agama Honorer (GAH) yang dipakai sebelumnya di lingkungan kedinasan Departemen Agama.
Sejak semula Penyuluh Agama merupakan ujung tombak Departemen Agama dalam melaksanakan penerangan agama Islam di tengah pesatnya dinamika perkembangan masyarakat Indonesia. Perannya sangat strategis dalam rangka membangun mental, moral, dan nilai ketaqwaaan umat serta turut mendorong peningkatan kualitas kehidupan umat dalam berbagai bidang baik di bidang keagamaan maupun pembangunan.
Dewasa ini, Penyuluh Agama Islam mempunyai peran penting dalam pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan dirinya masing-masing sebagai insan pegawai pemerintah. Dengan kata lain, keberhasilan dalam bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat menunjukkan keberhasilan dalam manajemen diri sendiri. Penyuluh Agama Islam sebagai leading sektor bimbingan masyarakat Islam, memiliki tugas/kewajiban yang cukup berat, luas dan permasalahan yang dihadapi semakin kompleks. Penyuluh Agama Islam tidak mungkin sendiri dalam melaksanakan amanah yang cukup berat ini, ia harus mampu bertindak selaku motivator, fasilitator, dan sekaligus katalisator dakwah Islam. Manajemen dakwah harus dapat dikembangkan dan diaktualisasikan sesuai dengan perkembangan masyarakat yang sedang mengalami perubahan sebagai dampak dari globalisasi dan perkembangan teknologi yang semakin canggih, yang mengakibatkan pergeseran atau krisis multidimensi. Disinilah peranan Penyuluh Agama Islam dalam menjalankan kiprahnya di bidang  bimbingan masyarakat Islam harus memiliki tujuan  agar suasana keberagamaan, dapat merefleksikan dan mengaktualisasikan pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

A.  Landasan Keberadaan Penyuluh Agama Islam
1.    Landasan Filosofis
Sebagai landasan filosofis dari keberadaan Penyuluh Agama adalah:
a)      Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 104:
Artinya: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”
b)      Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 110:
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriuman kepada Allah ......... “
c)      Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik .........”
d)     Hadits Rasulullah SAW: “ Barang siapa yang melihat kemunkaran, maka rubahlah dengan tangan, apabila tidak kuasa dengan tangan, maka rubahlah dengan lisan, dan apabila tidak bisa dengan lisan maka dengan hati, walaupun itulah selemah-lemahnya iman”.
2.    Landasan Hukum
Sebagai landasan hukum keberadaan Penyuluh Agama adalah:
a)    Keputusan Menteri Nomor 791 Tahun 1985 tentang Honorariumj bagi Penyuluh Agama
b)   Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Mnegara Nomor 574 Tahun 1999 dan Nomor 178 Tahun 1999 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya.
c)    Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 54/KEP/MK.WASPAN/9/1999 tentang Jabatan Fungsiopnal Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya.
 C. Jenjang Jabatan dan Jenjang Pangkat Penyuluh Agama.
1. Jenjang Jabatan Penyuluh Agama
a. Penyuluh Agama Terampil, terdiri atas:
1) Penyuluh Agama Pelaksana;
2) Penyuluh Agama Pelaksana Lanjutan;
3) Penyuluh Agama Penyelia.
b. Penyuluh Agama Ahli, terdiri atas:
1) Penyuluh Agama Pertama;
2) Penyuluh Agama Muda;
3) Penyuluh Agama Madya.
2. Jenjang Pangkat Penyuluh Agama, yaitu:
a. Penyuluh Agama Terampil terdiri atas:
1) Penyuluh Agama Pelaksana, dengan jenjang pangkat:
a) Pengatur Muda Tingkat I, golongan ruang II/b
b) Pengatur, golongan ruang II/c
c) Pengatur Tingkat I, golongan ruang II/d
2) Penyuluh Agama Pelaksana Lanjutan, dengan jenjang pangkat:
a) Penata Muda, golongan ruang III/a
b) Penata Muda Tingkat I, golongan ruang III/b
3) Penyuluh Agama Penyelia, terdiri atas:
a) Penata, golongan III/c
b) Penata Tingkat I, golongan mruang III/d
b. Penyuluh Agama Ahli, terdiri dari:
1) Penyuluh Agama Pertama, dengan jenjang pangkat:
a) Penata Muda, golongan ruang III/a
b) Penata Muda Tingkat I, golongan ruang III/b
2) Penyuluh Agama Muda, dengan jenjang pangkat:
a) Penata, golongan ruang III/c
b) Penata Tingkat I, golongan ruang III/d
3) Penyuluh Agama Madya, dengan jenjang pangkat:
a) Pembina, golongan ruang IV/a
b) Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b
c) Pembina Utama Muda, golongan uang IV/c.

D. Tugas Pokok, dan Fungsi Penyuluh Agama Islam
1. Tugas pokok Penyuluh Agama Islam
Tugas pokok Penyuluh Agama Islam adalah melakukan dan mengembangkan kegiatan bimbingan atau penyuluhan agama dan pembangunan melalui bahasa agama.
2. Fungsi Penyuluh Agama Islam
a) Fungsi Informatif dan Edukatif
Penyuluh Agama Islam memposisikan dirinya aebagai da’i yang berkewajiban mendakwahkan Islam, menyampaikan penerangan agama dan mendidik masyarakat dengan sebaik-baiknya sesuai denga tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
b) Fungsi Konsultatif
Penyuluh Agama Islam menyediakan dirinya untuk turut memikirkan dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, baik persoalan-persoalan pribadi, keluarga atau persoalaqn mqasyarakat secara umum.
c) Fungsi Advokatif
Penyuluh Agama Islam memiliki mtanggung jawab moral dan sosial untuk melakukan kegiatan pembelaan terhadap umat/masyarakat binaannya terhadap berbagai ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan yang merugikan akidah, mengganggu ibadah dan merusak akhlak.
 E. Sasaran Penyuluh Agama Islam
Sasaran Penyuluh Agama Islam adalah kelompok-kelompok masyarakat Islam yang terdiri dari berbagai latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan ciri pengembangan kontemporer yang ditemukan di dalamnya. Termasuk didalam kelompok sasaran itu adalah masyarakat yang belum menganut salah satu agama yang diakui di Indonesia.
Kelompok sasaran dimaksud adalah:
1.      Kelompok sasaran masyarakat umum, terdiri dari kelpompok binaan:
a)      Masyarakat pedesaan
b)      Masyarakat transmigrasi
c)      Masyarakat perkotaan, terdiri dari kelompok binaan:
1)      Kelompokm perumahan
2)      Real estate
3)      Asrama
4)      Daerah pemikiman baru
5)      Masyarakat pasar
6)      Masyarakat daerah rawan
7)      Karyawan instansi pemerintah/swasta
8)      Masyarakat industri
9)      Masyarakat sekitar kawasan industri
2.      Kelompok sasaran masyarakat khusus, terdiri dari:
a)      Cendekiaan, terdiri dari kelompok binaan:
1)      Pegawai/karyawan instansi pemerintah
2)      Kelompok profesi
3)      Kampus/masyarakat akademis
4)      Masyarakat peneliti dan para ahli
b)      Generasi muda, terdiri dari kelompok binaan:
1)      Remaja Mesjid
2)      Karang Taruna
3)      Pramuka
c)      LPM, terdiri dari kelompok binaan:
1)      Majelis Taklim
2)      Pondok Pesantren
3)      TKA/TPA
d)     Binaan khusus, terdiri dari kelompok binaan:
1)      Panti Rehabilitasi/Pondok Sosial
2)      Rumah Sakit
3)      Masyarakat Gelandangan dan pengemis (gepeng)
4)      Komplek wanita tunasusila
5)      Lembaga Pemasyarakatan
e)      Daerah Terpencil, terdiri dari kelompok binaan:
1)      Masyarakat daerah terpencil
2)      Masyarakat suku terasing.
 D.  Materi Penyuluhan
Materi penyuluhan Agama islam pada dasarnya meliputi aagama dan materi pembangunan, meliputi:
1.      Materi Agama
Pokok-pokok materi agama meliputi ajaran pokok agama Islam, yaitu:
a.      Akidah
Pokok-pokok akidah Islam secara sistematis dirumuskan dalam rukun iman yang enam perkara, yaitu:
1)       Iman kepada Allah,
2)      Iman kepada Malaikat-Nya,
3)      Iman kepada Kitab-kitab-Nya,
4)      Iman kepada Rasul-rsul-Nya,
5)      Iman kepada Hari Akhirat,
6)      Iman kepada Qadha dan Qadhar.
b.      Syari’ah.
Dalam garis besarnya syari’ah terdiri dari aspek:
1)      Ibadah
Ibadah dalam arti khusus (ibadah khasanah), ialah:
a)      Thaharah
b)      Shalat,
c)      Zakat,
d)     Puasa, dan
e)      Haji.
Ibadah dalam arti umum (ibadah ‘am-mah), ialah: tiap amal perbuatan yang disukai dan diridhai Allah SWT yang dilakukan oleh seorang muslim dengan niat karena Allah semata-mata.
 2)      Muamalah meliputi:
a ) Hukum Perdata (Al-qanunu’I khas) terdiri dari:
-        hukum niaga;
-        hukum nikah;
-        hukum waris;
-        dan lain-lain.
b) Hukum Publik (Al-qanunul’I ‘am) terdiri dari:
-   hukum jinayah (pidana)
-   hukum negara;
-   hukum perang dan damai;
-   dan lain-lain.
c. Akhlak
     Dalam garis besarnya akhlak Islam dibagi dalam dua bidang, yakni:
1)   Akhlak terhadap Khalik (yaqng menciptakan yaitu Allah SWT), intisarinya ialah sikap kesadaran keagamaan sebagai berikut:
a)        Memuji Allah sebagai tanda bersyukur atas nikmat-Nya yang tiada terhingga;
b)        Meresapkan ke dalam jiwa kecintaan dan kasih sayang llah kepada hamba-Nya;
c)        Mengakui kekuasaan-Nya yang mutlak dan tunggal yang menentukan posisi manusia di dunia dan di akhirat;
d)       Mengabdi hanya kepada Allah;
e)        Memohon pertolongan hanya kepada Allah;
f)         Memohon hidayah supaya ditunjukkan ke jalan yang lurus dan dihindarkan dari jalan yang sesat.
2)   Akhlak terhadap makhluk (yang diciptakan)
a)        Akhlak terhadap manusia, yang meliputi:
-    Akhlak terhadap diri sendiri;
-    Akhlak terhadap keluarga;
-    Akhlak terhadap masyarakat.
b)        Akhlak terhadap makhluk lain bukan manusia, meliputi:
-             Akhlak terhadap tumbuh-tumbuhn (flora);
-             Akhlak terhadap hewan (fauna).
 2.      Materi Pembangunan
Bahan dan informasi untuk materi pembangunan adalah hal-hal yang memiliki keterkaitan langsung dengan masalah:
a.       Pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa sekarang dan masa depan;
b.      Pembinaan jiwa persatuan, watak dan jatidiri banga (nation) and character building);
c.       Meningkatkan peranan partisipasi masyarakat dalam pembangunan menuju hari esok yang lebih baik.
Secara tematis, materti pembangunan dalam garis besarnya meliputi:
1)      Pembinaan wawasan kebangsaan;
2)      Kesadaran hukum;
3)      Kerukunan antar umat beragama;
4)      Reformasi kehidupan nasional;
5)      Partisipasi masyarakat dalam pembangunan negara.