Kamis, 15 September 2011

Aborsi dan Kontrol Orang Tua

Oleh : Mustapa Umar
 
Membaca Koran ini kemarin (15/9), membuat kita prihatin dan miris mendengarnya, kenapa bisa terjadi? Atau mungkin sudah sering terjadi, namun si Uci (19) bahkan FA sedang ‘ketiban sial’ saja. Namun apapun itu, hendaknya yang terjadi pada Suci Kurniati hendaknya betul-betul membuat kita waspada dan memperketat kontrol kepada putrid dan putra kita. Aborsi yang terjadi adalah sebuah akibat dari sebab yang jelas sudah kita pahami bersama, karena terjadinya pembuahan sperma dan ovum melalui hubungan sexual yang tidak dikehendaki karena alasan ‘malu’ dan ‘tidak mau bertanggung jawab’.
Kasus aborsi di Indonesia menurut penelitian WHO yang ditulis Antara News berkisar  2,5 juta kasus setiap tahunnya. Dan sebanyak 20-60 % aborsi dilakukan dengan sengaja (induced abortion), oleh bantuan ‘diam-diam’ tenaga kesehatan sebanyak 70 % dan dukun 84 %. Mereka rata-rata klien aborsi berusia antara 20-29 tahun dan lebih dari 50 % terjadi di perkotaan. Ini belum termasuk yang di luar 10 kota besar yang diteliti. Oleh karena itu, ini harusnya menjadi perhatian serius dan mendalam bagi pemerintah dan Dinas Kesehatan untuk memberikan penyuluhan yang benar tentang fungsi reproduksi kepada remaja-remaja kita.
Semua agama, dan organisasi keagamaan di Indonesia melarang aborsi. Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) Nomor 4 tahun 2005 tentang larangan aborsi, ataupun Majelis Trjih Muhammadiyah juga  melarang keras terjadinya  aborsi. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) kita, pasal 283, 299, 346 sampai 349 melarang keras dilakukannya aborsi dengan alas an apapun. Bahkan dalam pasal 299 tertulis, ancaman bagi merka yang memberi harapan kepada seorang perempuan bahwa kandungannya dapat digugurkan, adalah hukuman pidana penjara maksimal empat tahun. Demikian juga dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan No. 23 tahun 1992  melarang tindakan aborsi dengan alas an apapun, kecuali untuk menyelamatkan jiwa ibu dan janin.
Pepatah mengatakan, “ada asap, tentu ada api”. Aborsi yang terjadi di Indonesia khususnya saudari kita Uci tentu ada beberapa sebab. Seorang  Guru Besar Universitas YARSI Jakarta, Prof.Dr H Jurnalis Uddin, P.AK. dalam Bukunya “Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi" menulis bahwa sebab-sebab terjadinya aborsi karena hamil sebab diperkosa, janin dideteksi punya cacat genetik, alasan sosial ekonomi, ganguan kesehatan, KB gagal,  malu dengan tetangga, pacar tidak bertanggung jawab dan takut dikeluarkan sekolah/kampus jika masih pelajar. Namun dari sekian sebab ini, yang paling mendominasi adalah, malu, takut dan tidak bertanggung jawabnya pelaku.
Dari sebab yang dominan ini, mungkin kita bisa tebak kenapa terjadi? Jawaban kita sepakat karena adanya hubungan bebas (free sex) di luar nikah atau aturan-aturan agama yang syah. Tidak ada alasan yang lain kenapa seorang perempuan hamil dan menggugurkan kandungannya. Jika si perempuan tersebut mempunyai suami yang syah tentu tidak akan malu terlihat hamil atau tidak melakukan hubungan badan, maka tidak akan terjadi pembuahan (hamil). Dalam perkara ini, saya tidak menyarankan untuk menggunakan KB (kontrasepsi) karena sama dengan melegalkan sex bebas. Walapaun KB sangat efektif untuk pencegah kehamilan, namun ada juga yang penyebab aborsi itu, karena KB gagal seperti yang disampaikan Jurnalis Uddin tadi.
Lalu bagaimana pandangan Islam tentang aborsi? Seperti yang saya utarakan di atas, bahwa semua agama termasuk Islam melarang adanya aborsi. Memang ada beberapa syarat untuk membolehkan aborsi (pengguguran kandungan) dalam Islam termasuk perdebatan beberapa Imam Madzhab memandang aborsi. Para Imam Madzhab berbeda pandangan, misalnya Hanafi membolehkan penguguran kandungan sebelum kehamilan berusia 120 hari. Hanafi berpendapat karena 120 hari tersebut belum terjadi penciptaan. Sementara Hanbali membolehkan pengguguran kandungan selama janin masih dalam bentuk segumpal darah (alaqah). Sedangkan Syafi’i melarang aborsi dengan alasan kehidupan sudah dimulai sejak konsepsi sebagaimana dikemukakan oleh al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddinnya, kecuali Maliki melarang aborsi. Namun diingat, pembolehan para imam ini, adalah janin yang dihasilkan dengan cara ‘halal’ melalui pernikahan, bukan di luar nikah.
Aborsi (pengguguran kandungan) bermacam-macam jenisnya. Maria uffah Anshor dalam bukunya Fikih Aborsi Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan (2006), menulis lima macam atau jenis aborsi dalam pandangan hukum fikih. Pertama, Aborsi Sepontan (al-Isqath al-dzaty), dikatakan sepontan karena terjadi secara alamiah tanpa adanya pengaruh dari luar atau gugur dengan sendirinya. Biasanya hal ini terjadi karena kelainan kromosom, kelainan hormon, kelainan rahim dan infeksi. Kedua, Aborsi karena Darurat atau Pengobatan (al-Isqath al-dharury/al-‘ilajiy), aborsi jenis ini berdasarkan alasan kaidah fikihnya, “yang lebih ringan diantara dua bahaya bisa dilakukan demi menghindari risiko yang lebih membahayakan” maka ulama’ fikih membolehkan melakukan aborsi untuk menyelamatkan nyawa ibu dan mengorbankan janin. Jika dalam kasus kehamilan itu terjadi adanya indikasi fisik yang mengancam nyawa ibu kalau janinnya dipertahankan.
Ketiga, Aborsi karena Khilaf atau tidak disengaja (khata’). Aborsi jenis ini pernah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab, dimana beliau memanggil seorang perempuan hamil untuk menemui dirinya karena terlibat hutang. Dan mengetahui dirinya dipanggil, perempuan ini terkejut dan menyebabkan janinnya keguguran. Maka dalam hukum fikih, orang yang menyebabkan keguguran hanya wajib membayar tebusan (denda) saja. Atau kasus aborsi seperti ini bisa terjadi, kalau seorang Polisi mengejar penjahat, dan menembakkan pelurunya kea rah penjahat tersebut, namun nyasar ke ibu hamil dan menyebabkan dia keguguran.
Keempat, Aborsi Menyerupai Kesengajaan (syibh ‘amd). Hal ini bisa terjadi kalau misalnya sang suami memukul istrinya yang sedang hamil, lalu dia keguguran. Karena maksud suami adalah ibunya, bukan janinnya. Pada masa Rasulullah SAW kisah ini pernah ada, dua perempuan berduel, dan sama-sama hamil. Lalu perempuan satunya, melempar batu yang menyebabkan korbannya mengalami keguguran. Maka saat itu, di putuskan untuk membayar uang tebusan berupa 50 ekor unta (diyat kmilah), sedangkan untuk kematian ibunya sebesar 5 ekor unta (ghurrah kamilah). Kelima, Aborsi Sengaja dan Terencana (al-‘amd). Aborsi seperti ini yang banyak dilakukan di Indoneisa. Mereka merencanakan dan dengan sengaja melakukan aborsi. Hal ini lah yang oleh KUHP di denda kurungan maksimal 4 tahun. Mereka para pelaku biasanya melakukan dengan cara minum obat, ke dukun, ke tenaga medis secara diam-diam atau cara-cara lain yang tujuannya supaya janinnya gugur.
Solusi yang bisa saya tawarkan adalah pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan, hendaknya melakukan sosialisasi lebih inten kepada para remaja tentang fungsi dan manfaat alat-alat reproduksi yang sebenarnya. Sehingga mereka tidak menggunakannya dengan sembarangan. Demikian halnya dengan Apotik yang menjual alat-alat kontrasepsi, agar lebih diawasi penjualannya. Ibarat warung yang ‘dilarang’ menjual rokok kepada 17 tahun ke bawah, begitupun dengan Apotik harusnya mereka yang membeli alat kontrasepsi adalah yang sudah berkeluarga. Perangkat pemerintah yang lain, yakni Satpol PP agar lebih inten juga merazia tempat-tempat yang dicurigai tempat muda-mudi kita melakukan hubungan-hubungan seperti itu, termasuk tempat-tempat yang melakukan aborsi.
Kepada pihak sekolah agar lebih menanamkan akidah, moral, agama agar para siswa dan mahasiswanya lebih memahami ajaran-ajaran itu. Untuk orang tua yang sering berkomunikasi dengan putra-putri mereka, tanamkanlah aturan-aturan ‘pacaran’ yang islami, yang mencerminkan al-Qur’an Hadits. Dan hendaknya faham siklus mens putrinya, sehingga sering-seringlah bertanya, apakah dia mens apa tidak. Jika bulan atau tanggal biasanya dia mens tidak mens, kenapa bisa telat? Penyakitkah atau memang sudah ada isinya? Maka perikasakan dengan segera. Karena terkadang si anak tidak akan berterus terang kepada orang tuanya. Di samping juga, orang tua adalah kewajibannya sampai ‘menikahkan’ nanti. jadi sebelum putrinya menikah adalah masih tanggung jawabnya. Karena hal ini akan berdampat sangat fatal, kelainan rahim, infeksi samapai kematian. Belum lagi kita akan bicara hukum anak di luar kandungan?? Insya Allah dilain kesempatan saya akan menuliskan itu untuk kita semua, semoga bermanfaat. AMin.
 
Penulis adalah Penyuluh Agama di KUA Kec. Mpunda Kemenag. Kota Bima.
 

Konflik diujung Label Islam

Oleh : Mustapa Umar
 
Pergolakan wacana Islam pada dekade terakhir ini mencuat kemabli. Perselisihan dan ketidak dewasaan umat pada saat ‘Idul Fitri kemarin, bisa jadi ‘riak’ pemicunya. Saya menyaksikan sendiri, saat saya diberikan tugas PHBI Kota Bima untuk memberikan khutbah ‘Idul Fitri di Kelurahan Kolo. Malam itu, bagaimana perdebatan Pak Lurah Kolo yang mengikuti garis ‘intruksi’ wali kota dan sebagian masyarakat yang bertahan dengan ‘keyakinan’ faham mereka. Kejadian ini mengingatkan saya pada beberapa kejadian tempo dulu bahkan masih terasa saat ini. Gagasan-gagasan tentang Islam selalu dikumandangkan oleh berbagai pemikir islam, perang konsep selalu dilakukan.
Konsep Islam yang dimunculkan, tidak sebatas NU dan Muhammadiyah, namun ada label-label Islam yang lain dan sering dimunculkan  dan ‘diperjual belikan’ dalam pasar agama, serta istilah-istilah Islam pun makin menjamur. Katakanlah seperti Islam Fundamentalis, Islam Tradisional, Islam Militan, Islam Radikalisme, Islam Sekuler, Islam Liberal, Islam Rasional, Islam Modern, Islam Pluralis, Islam Borjuis, Islam Kanan, Islam Kiri, Islam Proletar dll. Atau bahkan mungkin seribu satu label Islam lainnya tersebut punya makna. Ciri dan tendensi tersendiri terlepas dari baik dan jeleknya. Namun banyak umat yang menkonsumsi istilah-istilah itu dan kemudian terjebak dan terseret bahkan terkubur oleh label-label tersebut tanpa perisai apapun.
Lalu apa yang terjadi? Yang terjadi kalau masalah ini dibiarkan, maka yang terjadi bukan suatu kedamaian dan ketenangan, tapi justru sebaliknya saling menyalahkan, mengkultuskan, tuduh menuduh, klaim-mengklaim, pembenaran sendiri-sendiri yang akhirnya timbullah perselisihan, perpecahan bahkan pertumbuhan darah. Dari sini umat lain akan mudah mengatakan bahwa biang kerok utama kekacauan adalah Islam. Di sinilah Islam sebenarnya diperkosa, dikotori, dan disirami air comberan fundamentalis tradisionalis, kotoran liberalis, modernis, debu-debu militant, radikal dan noda-noda pluralis, borjuis, proletar dan lain-lain.
Arus label-label Islam itulah yang membawa masyarakat ke jurang konflik. Padahal kalau kita mau jujur, sadar dan berpikir dengan jernih kembali, apa sich artinya istilah-istilah atau label-label tersebut? semuanya tak punya pengaruh dan dampak pada diri kita, pada ekonomi, lingkungan, kehidupan bahkan pada agama. bangsa,  dan negara kita. Apakah maju dan tidakannya umat di ukur oleh label-label itu? Apakah kaya dan miskinnya masayarakat disebabkan istilah-istilah tersebut? Tentu tidak! Sebab itu semua hanyalah wacana belaka, yang jauh dari moral-moral Islam sebenarnya. Label-label tersebut hanyalah ’keranda’ kosong orang-orang yang punya kepentingan untuk mengusung umat ke dalam liang perselisihan dan perpecahan yang endingnya Islam bukan agama perdamaian.
Terkadang kita tak sadar bahwa kita telah terbungkus oleh kata-kata fundamentalis, liberalis, pluralis, tradisionalis, feodalisme dan isme-isme yang lain. Terang saja, banyak diantara umat Islam yang teracuni terkekang oleh istilah-istilah tersebut. hingga kebingungan dan sulit untuk melangkah maju, serta tak punya ruang dan tempat, sebab setiap sikap dan gerak geriknya selalu dicap dan dikaitkan dengan istilah-istilah itu, siapakah pengusung label-label itu? Benarkah istilah-istilah itu muncul dari pemikir-pemikir islam? Jangan-jangan itu perburuan dan taktik orang-orang non Islam untuk membuat umat Islam terjebak dalam konflik kepentingan, konflik berkepanjangan, atau bahkan jangan-jangan itu sebuah proyek orang-orang Barat untuk memberangus Islam dari dalam.
Yang jelas Islam tidaklah demikian adanya, Islam ya Islam, tidak punya embel-embel apa pun. Islam tidak punya istilah-istilah itu, jika Islam selalu diberi label, maka akan terus terjadi perselisihan dan pertengkaran yang selalu akan membawa korban. Tengoklah bagaimana Dr. Farad Faudah / Fuda terbunuh dengan cara mengenaskan setelah berdebat tentang Islam sekuler dan radikal, juga bagaimana Fajrul Rahman yang harus keluar dari negaranya, karena konsep liberalnya tak sejalan dengan konsep militan orang-orang Pakistan. Begitupun dengan Mustafa Kamal dengan konsep sekulernya harus membawa korban, Ali Abdul Raziq, Abed Al-Jabini, Nazer Hamid, Dr. Inah dan lainnya. Bagaimana juga Prof. Dr. Nurcholis Madjid dengan konsep pluralismenya diserang oleh orang-orang tradisional. Juga Ulil Absar Abdallah dengan bendera JIL (Jaringan Islam Liberal)-nya mendapat kritikan tajam, bahkan divonis halal darahnya oleh Habib Riziq dari FPI, serta masih banyak pertentangan-pertentangan dan perselisihan yang ditimbulkan oleh istilah-istilah dan label tersebut.
Juga jauh sebelumnya, sejarah perpecahan sejak Ali bin Abi Thalib yang menimbulkan perbedaan dimulai dengan  peperangan Shiffin antara pengikutnya dengan pengikut Mu’awiyah, yang menewaskan 35.000 orang dari pihak Ali bin Abi Thalib dan dari Mu’awiyah tewas sebanyak 45.000 orang. Kemudian muncul berbagai perpecahan yang lain, yang sangat mengerikan, peristiwa jatuhnya Baghdad, yang diserang oleh bangsa Mongol dengan pasukan Tartarnya  yang dikenal sebagai bangsa yang bengis dan tidak berperikemanusiaan. Ini terjadi karena perbedaan pandangan antara khalifah yang orang Sunni dengan Syi’ah.  
 
Di Aabad 15 M, terjadi pertarungan Kerajaan Turki dengan Kerajaan Iran. Dengan terang-terangan kedua pihak mengatakan bahwa mereka berperang untuk mempertahankan kesucian mazhab mereka masing-masing. Turki dengan Mahdzab Sunnni Hanafi dan Iran dengan Mahdzab Syi’ah. Begitu juga hanlnya yang terjadi antara penganut Mazhab Syafi’i dengan Mazhab Hanafi yang telah menghancurkan Negeri Merv sebagai pusat ibukota wilayah Khurasan. Label-label islam tersebut akan selalu mengusung umat untuk saling mengklaim benar-salah, baik-buruk, Muslim-Kafir, untuk mengklaim bahwa kebenaran hanya milik kaum fundamentalis, kemajuan hanya milik liberal, Tuhan hanya milik Islam tradisional, Islam Radikal, Islam Militan dan lain-lain, yang ujung-uungnya umat akan mengalami konflik.
Berangkat dari sini penulis katakana bahwa apapun bentuk dan namanya istilah-istilah itu, hanyalah merupakan ‘drakula’ dalam Islam. Label-label itu sebagai gerbang konflik, bahkan mungkin sebagai gerbang maut yang mengantarkan umat Islam pada jurang perpecahan dan kehancuran. Dari itu, hendaknya kita sebagai pemimpin (khalifah) agama, pewaris para Nabi terutama untuk memberikan pencerahan pemahaman yang lebih mendalam dan transparan kepada mereka-mereka umat Islam yang di tataran ‘akar rumput’ agar Islam tetap menjadi agama perdamaian, agama rahmatan lil ‘alamain bukan agama ‘biang kerok’ perpecahan. Na’udzubillahiminzaalik.
 
Penulis, Penyuluh Agama di KUA Kec. Mpunda Kemenag. Kota Bima.

Kenapa Kita Berbeda?

Oleh : Mustapa Umar

Masih teringat segar dalam pikiran kita, bagaimana perdebatan para pakar islam dalam menentukan jatuhnya 1 syawal 30 Agustus 2011 kemarin. Siding yang selanjutnya disebut siding isbat berlangsung cukup seru. Sebuah tontonan, sekaligus tuntunan yang mendewasakan ummat islam tentunya. Bagi mereka yang kurang faham, dengan adanya tanyangan itu akan menjadi faham. Di sinilah hikmah yang bisa kita ambil untuk sementara, karena ‘pengalaman’ saya kemarin banyak masyarakat akar rumput justru tidak faham kenapa harus berbeda? Kenapa ada NU dan Muhammadiyah? Dan kenapa ada Rukyah dan Hisab?
Saat kegalauan ‘pemikiran’ orang-orang desa ini, sekilas ada yang secara singkat menjawab, perbedaan yang terjadi adalah perbedaan antara NU (Nahdlatul ‘Ulama) dan Muhammadiyah. Namun saat saya lebih detail bertanya kepada mereka, apa itu Muhammadiyah dan NU mereka juga gak faham, begitu dengan istilah Ru’yah dan Hisab. Alhasil merekapun hanya bisa pasrah atas ‘intruksi’ atasan masing-masing mereka, tanpa ada dasar keyakinan untuk mengikuti sesuatu dengan kemampuan dan pemahaman sendiri. Karena saya melihat, sebagian mereka melakukan amalan-amalan yang berbeda dari organisasi keagamaan yang mereka ikuti. Dan 1 Syawal 1342 H kemarin betul-betul terasa aneh dan sangat terlihat lucu. Ada yang tidak puasa, namun tidak ikut lebaran, ada yang lebaran namun tetap puasa dengan alasan menghormati garis strutur pemerintahan. Ada lagi yang hari raya dua kali, dan banyak lagi masalah-masalah yang timbul malam itu.  Belum lagi kekecewaan anak-anak yang sudah mempersiapkan obor pawai, namun karena informasi takbir jam 22.00 wita mereka sudah tidur.
Belum riak-riak kecil memang, namun sangat tidak membuat nyaman. Seharusnya ‘Idul Fitri untuk memaaf-maafkan malah menjadi berseteru karena tidak yakin dan yakin. Hal ini tentu menjadi PR tersendiri kita semua, terutama mereka-mereka yang ‘pengambil kebijakan’ di tubuh masing-masing organisasi keagamaan yang ada. Tidak bisakah kita mengambil kebjakan itu untuk kemaslahatan bersama? Sehingga ummat di bawah menjadi rukun tentram, dan ‘Idul Fitri terasa sakral dan penuh kedamaian. Tulisan opini saya, mungkin tidak untuk membahas NU ataupun Muhammadiyah, biarlah sekedar merangsang kita untuk mengetahui dan akhirnya mencari mana yang terbaik.
Sedikit mungkin sekedar mengingat ingatan kita. Ru’yah adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali ketika terjadi ijtima’ (bulan baru). Ru’yah dapat dilakukan dengan mata telanjang atau alat bantu optik seperti teleskop. Apabila hilal terlihat, maka sejak petang hati waktu setempat telah memasuki bulan baru hijriah. Sedangkan hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam dimulainya awal bulah hijriyah. Tatkala Allah azza wa jalla mensyariatkan kepada para hamba-Nya untuk melakukan ibadah puasa dan hari raya, maka sudah pasti Allah juga menjelaskan cara menentukan waktunya juga. Melalui lisan Rosul-Nya, Allah menjelaskan hal ini secara gamblang. Rasulullah saw dalam riwayat Bukhari dan Muslim bersabda, “Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya maka berhari rayalah. Dan apabila kalian terhalang maka sempurnakanlah tiga puluh hari”.  Dalil inilah yang menjadi dasar mereka yang melakukan Ru’yah. Sedangkan mereka yang melakukan Hisab, mengambil alasan pada surat Al-Baqarah ayat 185, ““…barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu..”/
Lalu mengenai Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama (NU). Wikipedia menulis, Muhammadiyah adalah organisasi yang didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta pada 18 November 1912 atau bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 H oleh K.H. Ah,ad Dahlan. Sedangkan NU (Nahdlatul ‘Ulama) berdiri di Jombang Jawa Timur pada 16 Rajab 1344 H atau bertepatan dengan 31 Januari 1926 oleh K.H. Hasyim Asy’ari (Kakek K.H. Abdurrahman Wahid (alm) / Gus Dur). Dan sebelum NU berdiri pada saat semangat Kebangkitan Nasional 1908 saat itu muncul pula Nahdlatu; Wathan (NW) atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916, dan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) ptahun 1918 dan Nahdlatut Tujjar, sebagai wahana pendidikan social politik kaum ‘sarungan’ saat itu.
Tapi sebenarnya organisasi keagamaan di Indonesia bahkan dunia tidak hanya NU dan Muhammadiyah saja. Dalam hal ini, Rasululullah saw jauh pada masa beliau, telah memberitahukan kita lewat hadits riwayat Ibnu Majah yang sudah populer, menyebutkan bahwa umat islam terpecah dalam 73 golongan dan 72 golongan di neraka. Sedang yang masuk surga adalah yang mengikuti jam’ah. Hadits lain yang diriwayatkan Tirmidzi, Rasulullah SAW menyebutkan “Yakni orang yang mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku” (ahlussunnah wal jama’ah). Namun saat ini  bahkan kalau kita verifikasi kembali mungkin sudah ratusan. Dan anehnya mereka semua menganggap ajaran merekalah yang benar-benar “ahlussunnah wal jama’ah”.
Sejarah perpecahan yang menimbulkan perbedaan dimulai dimulai dari peperangan antara pengikut Ali bin Abi Thalib dengan pengikut Mu’awiyah, yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Pada peperangan tersebut tentara Ali tewas 35.000 orang dan tentara Mu’awiyah tewas 45.000 orang. Kemudian muncul berbagai perpecahan yang lain, coba kita lihat beberapa perpecahan yang sangat mengerikan, peristiwa jatuhnya Baghdad, yang diserang oleh bangsa Mongol (pasukan Tartar yang dikenal sebagai bangsa yang bengis dan tidak berperikemanusiaan). Ini terjadi karena perbedaan pandangan antara khalifah yang orang Sunni dengan wasir besar (perdana menteri) yang orang Syi’ah. Perkelahian penganut Mazhab Syafi’i dengan Mazhab Hanafi juga telah menghancurkan Negeri Merv sebagai pusat ibukota wilayah Khurasan. Dan di abad ke-15 M, terjadi pertarungan Kerajaan Turki dengan Kerajaan Iran. Dengan terang-terangan kedua pihak mengatakan bahwa mereka berperang untuk mempertahankan kesucian mazhab mereka masing-masing. Turki dengan Mahdzab Sunnni Hanafi dan Iran dengan Mahdzab Syi’ah.
Membahas perbedaan tidak akan cukup satu atau dua halaman kertas ini. perbedaan akan terus berkembang sejalan perkembangan zaman. Tapi dengan munculnya berbagai perbedaan yang ada, akan menambah khazanah pemikiran kita tentang islam. Dan perbedaan-perbedaan inilah yang ikut ‘membumikan’ islam sejak dahulu dan kini. Dalam proses pembumian tersebut menggunakan dasar pemikiran yang berlandaskan pada demokrasi, konteks kekinian serta peng-agungan terhadap perbedaan pendapat, perbedaan penafsiran dan perbedaan pemahaman. Kesimpulan yang diperoleh sang penulis adalah bahwa syariat islam demokratis adalah syariat yang negosiabel, syariat yang membuka ruang untuk tawar menawar. Dengan demikian diarahkan agar ajaran islam tetap relevan dengan perkembangan jaman.
Karena Aallh sendiri tidak menutup ruang bagi hamba-Nya untuk terus berpikir, berkarya dan berinovativ. Kita diciptakan akal pikiran untuk dipergunakan sebaik-baiknya untuk memikirkan ciptaan-Nya. Namun tidak untuk memikirkan dzat-Nya saja. Sehingga sumber rujukan hukum islam terbelah menjadi dua, antara wahyu dan nalar. Wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits) dan Nalar (Ijma’, Qiyas, Istihsan, Istishab, Qaulussahabah, Maslahah al-Musrhalah, ‘Urf, syar’u man qobalana dll). Dalam al-Qur’anpun kandungan-kandungan ayatnya terbagi secara garis besar dua bagian, ada ayat-ayat qur’aniyah dan ayat-ayat kauniyah. Dalam ayat-ayat kauniyah inilah, fungsi akal (nalar) diperlukan agar tetap al-Quran sejalan dengan perkembangan zaman yang ada.
Dr. Abu Yasi, LLM. Wakil Direktur Pascasarjana IAII Situbondo Jawa Timur, alumnus Pakistan ini dalam bukunya Nalar dan Wahyu menulis, dalam terminology ilmu Mantik (ilmu logika) dikatakan manusia adalah hewan yang bisa berkata-kata (alinsaanu hayawanunnaathiq). Dan dalam kaidah Arab, berkata-kata mempunyai konotasi makna tidak sekedar berbicara, namun manusia mempunyai instinct berpikir. Nalar (pikiran) membedakan manusia dengan makhlulk lain. Di samping itu, sebuah sabda Rasulullah saw, “apa yang oleh umat Islam dipandang baik maka di sisi Allah pun hal tersebut dianggap baik”. Dari sinilah perkembangan pemikiran manusia terus mencari penyeimbangan untuk diterapkan oleh umat manusia. Contoh saja tentang jual bili valas, saham, internet, narkoba, dll yang dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ada perincian yang jelas.
Perkembangan pemikiran inilah yang mendasari adanya firqah-firqah dalam tubuh islam.  Namun dari perbedaan-perbedaan yang ada bisa kita urai beberapa hikmah yang bisa kita ambil sebagai pelajaran berharga terutama kita yang hidup di Indonesia dengan faham pluralism atau ‘kebinekaan tunggal ika’ dengan 6  agama yang diakui pemerintah, adalah sangat penting untuk menjaga keutuhan dan kedamaian kita dalam menjalankan ibadah dan keyakinan masing-masing. 
Pertama, Perbedaan itu Rahmat. Dasar ini adalah sebuah hadits yang katanya Rasulullah SAW bersabda :”Perbedaan diantara umat adalah rahmat”. Sementara ada juga yang mengatakan bunyi hadits tersebut adalah :”Perbedaan pendapat diantara umat adalah rahmat”. Sebagian pendapat mengatakan bahwa hadits ini dhoif. Terlepas daripada kesahihan hadits tersebut dari segi riwayat, marilah kita simak firman Allah SWT dalam an-Nahl ayat 64, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”.
Perhatikan ayat diatas, Allah menurunkan Al-Qur’an, salah satu fungsinya adalah untuk menjelaskan perbedaan pendapat diantara umat. Karena itu dengan adanya Al-Qur’an maka perselisihan pendapat dapat dihindari sehingga pada gilirannya  umat tidak terpecah-pecah dalam pertentangan. Bukankah perbedaan pendapatlah yang menyebabkan umat islam terkotak-kotak dalam firqah-firqah.  Maka bagaimana perbedaan pendapat menjadi rahmat bagi seluruh 73 golongan? Untuk apa Rasulullah mewasiatkan bahwa yang mendapat rahmat hanya 1 golongan yaitu yang ikut Al-Quran, Al-Hadits dan hidup berjamaah?
Dalam menghadapi perbedaan pendapat diantara umat islam, Allah SWT berfirman dalam surat an-Nisa ayat 59, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri diantaramu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. Dengan dasar-dasar tersebut sudah semestinya perbedaan pendapat bukan hal yang harus dipelihara apalagi malah menjadi kebanggaan karena bisa beda pendapat.
Kedua, Perbedaan itu Indah. Allah menciptakan alam ini memang sudah dalam keadaan berbeda-beda. Baik manusianya maupun apa-apa yang ada di dalam alam semesta yang kita tempati ini. Penegasan Allah tertera dalam Surat Al-Hujarat ayat 13, Firman-Nya : Artinya, “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”
Da’i sejuta umat, alm. Zainuddin MZ dalam pidatonya tentang  Perbedaan mengatakan, tidak akan ada orang kaya kalau tidak ada orang miskin, tidak ada orang ‘alim kalau tidak ada orang bodoh.  Semua kita saling membutuhkan dan saling ketergantungan. Setanpun Allah yang menciptakan untuk penyeimbang kehidupan, karena Setan tidak akan bisa bergerak bebas tanpa perintah Allah. Kenapa setan Jahat dan Malaikat baik? Karena memang kejadiaannya di ‘segaja’ oleh Allah seperti itu. Kita sedikit membuka alam filsafat kita, bagaimana bisa Setan masuk Syurga untuk menggoda Nabi Adam As dan Hawa pada saat itu, kalau tidak ada ijin dan perintah Allah. Karena Setan toh tempatnya di Neraka.
Beberapa kali saya ikut tarawih dan sholat subuh di Kota Bima, saya melihat perbedaan-perbedaan faham (furu’iyah) ini bisa indah terlihat. Jujur dan singkat mungkin furu’iyah yang diperdebatkan di NU dan Muhammadiyah selama ini yang saya fahami di Jawa Timur tidak terjadi di sini. Perbedaan Qunut dan tidak Qunut dalam shalat Subuh, Tarawih 20 bagi NU dan 8 bagi Muhammadiyah dan hal-hal furu’yah yang lain.  Di sini, mereka bisa akur, duduk berdampingan menempatkan posisi masing-masing dalam satu wadah (masjid) dan tidak perlu mendirikan masjid sendiri-sendiri. Inilah keindahan (pluralism faham) yang harus kita jaga.
Ketiga, Perbedaan itu Adil. Allah tentang keadilan banyak sekali menyinggung dalam Al-Qur’an, satu firman-Nya dalam surat An-Nah ayat 90, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. Kata adil menurut `Ibn ‘Athiyyah: “telah berkata al-Qâdlî `Abû Muhammad: Adil adalah melakukan segala perkara yang difardukan dari segi akidah dan syariat, kehidupan sesama manusia di dalam melaksanakan amanat dan meninggalkan kezaliman, memberikan sesuatu yang hak”.
Allah memerintahkan untuk melaksanakan amanat kepada yang berhak menerimanya. Dalam hal ini adalah semisal memberikan perlindungan hukum terdapat yang memintanya. Dalam menghukum, haruslah dengan keadilan. Adil di sini memiliki banyak arti, bisa berupa memberikan sesuatu yang hak terhadap yang berhak memilikinya. Bisa juga berarti seimbang antara dua orang.Dalam berperadilan, Islam menuntut untuk terjadi keadilan di antara kedua orang yang berperkara. Keadilan ini adalah bermakna kedua mereka sama ada kaya atau miskin, kuat atau lemah haruslah tetap diperlakukan sama tanpa melihat siapa mereka. Ini ditetapkan walaupun terhadap orang yang lemah sekalipun.
Kesimpulan makna dari perbedaan itu adalah keadilan, yakni adil tidak harus sama namun adil adalah berbeda, menempatkan sesautu pada takaran masing-masing. Kalau boleh saya contohkan, jika seorang bapak mempunyai anak dua orang, satu umur 10 tahun dan satu 5 tahun. Maka dalam hal ini, si bapak tidak harus memberikan uang belanja sama-sama Rp. 10.000,- kalau seperti ini si bapak justru tidak adil, karena kebutuhan 10 tahun sama 5 tahun tentu berbeda, maka pemberiannya pun harusnya berbeda sehingga itulah keadilan sebenarnya. Begitupun dalam hal hukum dan perlakuan hukuman kepada mereka yang bersalah demi hukum.  
Mungkin ini yang harus kita ambil makna dari perbedaan yang terjadi ‘Idul Fitri kemarin, kalau toh masih beda pendapat? Mari kita kembalikan bahwa “alhaqqu mir-rabbikum” Kebenaran itu hanya milik Allah. Kita hanya sampai pada batas menyangka sebagai kebenaran dengan menggunakan dalil mengutamakan Al-Quran. Bila dalam Al-Qur’an tidak ada, kita buka Sunnah Rasulullah. Bila tidak ada, maka bermusyawarahlah. Bila dalam musyawarah masih juga belum menemukan kata sepakat, serahkan keputusan kepada imam kita. (Maka dari itu berjama’ahlah).  Dan tidak boleh mengganggap ajaran kitalah yang paling benar, dan ajaran yang lain tidak benar. Dalam ar-Ra’du ayat 40 Allah berfirman, “sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka”. Wallahu’alam bisshawab.
 
Penulis, Penyuluh Agama Islam di KUA Kec. Mpunda Kemenag. Kota Bima.