Senin, 30 Juli 2012

4 Latihan Perbaikan Diri dalam Puasa

Oleh : Musthafa Umar, S. Ag.

Ramadhan sudah memasuki fase (bagian) ke dua, yakni sepuluh hari kedua mulai tanggal 11 sampai dengan 20 Ramadhan. Bagian ini di sebut fase Maghfiroh (ampunan). Ampunan Allah SWT atas dosa-dosa yang telah kita perbuat dimasa lampau. Hal ini telah tergambarkan dalam hadits, Rasululullah SAW bersabda, “barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menjadi spirit kita semua, untuk melakukan puasa dengan iman. Mudah-mudahan kita semua telah mampu dan mendapat fase Rahmat dengan baik, sehingga kita bisa melanjutkan ke fase selanjutnya, yakni fase Maghfiroh.
 
Maghfiroh atau pengampunan, kita akan dapatkan setelah melalui fase pertama dari tanggal 1 sampai dengan 10 Ramadhan, yakni fase Rahmat. Dan antara fase-fase yang satu dengan lainnya, merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Maksudnya, jika kita berharap Maghfiroh, maka harus melalui Rahmat dulu, namun sebaliknya, jika rahmat tidak kita dapatkan secara langsung maghfiroh juga tidak kita dapatkan. Karena puasa adalah ibadah sebulan penuh, siang dan malam. Jika siang kita menahan untuk tidak batal puasa dan pahala puasa, namun malam kita harus menahan untuk tidak melakukan hal-hal yang membatalkan pahala puasa. 
 
Jika kita batal puasa, mungkin bisa kita ganti di lain hari setelah bulan Ramadhan usai. Namun tentu dengan syarat membatalkan tidak dengan sengaja. Akan tetapi hal-hal yang membatalkan pahala puasa, seperti memfitnah, menggunjing, ghibah, supah palsu, bohong, dusta dan memandang wanita (laki-laki) dengan syahwat adalah bisa  terjadi tidak hanya siang namun juga malam hari. Maka kalau itu kita lakukan, tidak ada pahala atau ganjaran yang kita dapatkan dari puasa kita. Hadits Nabi mengatakan, “berapa banyak orang yang berpuasa, cuma mendapatkan haus dan dahaga saja”.
 
Oleh karena itu, puasa betul-betul menjadi bulan latihan. Dan adapun kesimpulan saya dalam puasa ada empat (4) macam latihan yang kita lakukan. Dan latihan-latihan inilah yang nantinya setelah kita keluar dari bulan Ramadhan, diharapkan semakin mampu dan mahir untuk melakukan apa yang pernah kita latihan dalam puasa ini. Pertama, Latihan menjadi Fakir dan Miskin. Menahan tidak makan dan minum dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari adalah bentuk melatih diri sosial. Artinya melatih diri untuk mengetahui, bagaimana penderitaan kaum fakir miskin yang kadang makan satu hari, tidak dua hari. Nah kita oleh Allah SWT hanya dilatih tidak makan Cuma siang hari saja, akan tetapi mereka para fakir miskin itu, tidak makan siang dan malam. 
 
Dari itu, nantinya setelah puasa berlalu, kepedulian sosial ini hendaknya terlatih betul dan terwujud dalam bentuk pengeluaran zakat, shadaqah dan infaq. Zakat fitrah ataupun zakat mal (harta) jika telah sampai pada nisab dan haulnya wajib untuk dikeluarkan. Karena di dalam harta kita, ada hak-hak fakir misin yang harus diberikan sebagai penyucian harta kita. Harta kita tidak akan pernah suci dan berkah jika belum dikeluarkan zakatnya. Dan nantinya zakat-zakat ini akan diberikan kepada mereka yang membutuhkan, dalam al-Qur’an terdapat delapan (8) golongan penerima. Nah kalau kembali pada latihan kita, tentang bagaimana rasa tidak enaknya lapar dan haus, tentu kita tidak segan-segan untuk mengeluarkan zakat dari harta kita, tanpa ditagih oleh BAZ (Badan Amil Zakat) sebagai amil dalam hal ini.
 
Kedua, Latihan kita dalah Sabar. Kesabaran kita akan benar-benar diuji dalam bulan puasa. Manakala memuncak emosi karena lapar dan dahaga, maka di sanalah kesabaran itu dibuktikan. Apakah kita mampu mengendalikan emosi kita apa tidak, kita harus cepat-cepat kembali ingat bahwa kita sedang berpuasa sehingga emosi kita reda dengan sendirinya. Kesabaran juga tanpak pada saat kita akan berbuka puasa, sebelum kumandang adzan tanda waktu maghrib tiba yang menjadi tanda boleh berbuka, maka kita belum boleh memakan atau minum hidangan yang tersedia di hadapan kita, walaupun sebenarnya itu sudah menjadi hak milik kita. Andaipun kita memakan dan meminum hidangan di depan kita saat itu, tidak ada orang yang akan melarang kita. Namun di sinilah kesabaran itu dibuktikan. Di samping memupuk rasa iman (percaya) akan adanya Allah SWT yang selalu memantau kita, dan melarang kita untuk berbuka sebelum waktunya. Sabar juga dengan tuntutan ibadah yang harus dikerjakan dalam berpuasa, misalkan tarawih baik yanag delapan ataupun dua puluh rakaat, sama-sama butuh kesabaran untuk mengerjakannya, karena setiap malam dan butuh sedikit tenaga extra. Demikian halnya dengan makan sahur, saat kita mungkin masih ngantuk, namun karena sebuah kesunnahan, haruslah kita bangun untuk makan sahur, niat puasa sambil menunggu waktu subuh tiba.
 
Dalam kehidupan, berbuka bisa diaplikasikan pada kepemilikan atas sesuatu. Jika memang bukan hak kita, maka tentu kita tidak boleh untuk menyentuh apalagi mengambilnya, sebelum benar-benar menjadi milik kita (berbuka). Hubungan percintaan antara cowok dan cewek misalnya, hendaknya kita bisa sabar untuk tidak menyentuh pasangan kita sebelum benar-benar boleh (berbuka) pada saat akad nikah di depan penghulu. Yang di kantor tentu tidak akan berani korupsi, mengambil yang bukan haknya untuk kepentingan diri sendiri. karena iman (kepercayaan) kita kepada Allah SWT yang Maha melihat, Maha mendengar dan Maha mengetahui apa yang kita perbuat, walau manusia tidak ada yang tahu.
 
Ketiga, Latihan Kedisiplinan. Dalam puasa waktu sangat kita perhatikan, apalagi saat-saat berbuka dan imsak. Karena Rasulullah menyunahkan kita untuk menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur. Sehingga jam akan selalu kita ingat, kapan waktunya berbuka dan imsak.  Dan nanti setelah puasa, harus terbukti hasilnya, bahwa kedisiplinan dalam segala hal harus nyata. Termasuk waktu ibadah, kerja dan sebagainya usahakan disiplin waktu, sebagai dampak hasil dari kita berpuasa saat ini. Saya kira tidak ada jeleknya seorang dalam disiplin. Tidak akan menjadi miskin ataupun kurus orang yang disiplin. Justru apabila kita tidak disiplin, malah menimbulkan dosa bagi orang lain, karena dengan kita tidak bisa tepat waktu menjadi bahan pembicaraan.
 
Dalam hal waktu, orang barat mengatakan, “waktu adalah uang”, orang Arab bilang, “waktu laksana pedang”. Namun bagi saya, waktu adalah untung rugi. Jika kita memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, maka kita akan beruntung, namun sebaliknya jika kita tidak memanfaatkannya maka rugilah kita dan yang timbul malah penyesalan. Karena sesuatu kadang terjadi hanya sesaat dan tidak bisa terulang kembali. Allah SWT malahan sampai bersumpah dengan waktu, dalam surat al-‘Ashr, “demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-beanr dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. 
 
Keempat, Latihan kebersamaan. Dalam budaya Indonesia, mungkin kita sudah paham adanya istilah Gotong Royong, ataupun pribahasa, “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Ada nilai kebersamaan di sana yang termuat. Nah puasa nilai itu kian tumbuh untuk kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Saat berbuka misalnya, di seantero dunia ummat islam secara bersama-sama melakukan hal yang sama yakni berbuka. Dalam satu keluarga, mungkin selain bulan Ramadhan kita jarang kumpul makan dan minum bersama keluarga. Kita banyak menghabiskan waktu makan kita di kantor atau rumah makan. Namun dalam puasa, kebersamaan saat berbuka bersama keluarga adalah kebahagiaan tersendiri. 
 
Demikian halnya makan sahur dan shalat tarawih. Memang kita bisa melakukan shalat tarawih sendiri, namun kurang enak terasa jika tidak bersama-sama masyarakat di masjid. Jama’ah shalat tarawih atau shalat-shalat di bulan Ramadhan terasa lebih banyak dibandingkan dengan jama’ah di luar bulan Ramadhan. Apalagi nanti saat shalat ‘Idul Fitri, kebersabaan itu semakin terasa, dimana keluarga yang jauh di rantau terkadang menyempatkan diri untuk mudik lebaran ke kampung halaman bersama keluarga. Tiada lain yang mereka cari, adalah nilai kebersamaan yang menimbulkan kebahagiaan. Dan di luar bulan Ramadhan nanti, diharapkan nilai kebersamaan ini harus ditumbuh kembangkan semakin kuat.
 
Misalkan jika kita melihat tetangga yang kurang mampu, maka rasa peduli sesama harus muncul, sehingga kita tidak segan untuk membantu mereka. Kebersamaan dalam membangun negeri tercinta ini juga penting, tidak menghabiskan energi untuk saling menyalahkan satu dan yang lainnya. Sungguh begitu muliyanya bulan Ramdhan, bulan yang penuh berkah dan penuh pelajaran yang berarti untuk kehidupan kita selanjutnya. Semoga puasa kita lancar sampai ‘Idul Fitri menjelang dan berharap bertemu dengan bulan puasa yang akan datang. Amin ya Robbal ‘Alamin.
 
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di Kemenag Kota Bima dan Sekretaris Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam Kota Bima

Mengukur Kadar Iman dengan Puasa

Oleh : Mustapa Umar, S.Ag.

Surat Al-Baqarah ayat 183 yang menjadi dalil puasa, yang sering kit abaca dan dengarkan dalam setiap ceramah-ceramah agama, tulisan-tulisa ramdahan adalah. Allah berfirman, “wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kamu untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa”. Dan selajutnya diikuti oleh ayat-ayat yang lain, yang semuanya berkaitan dengan perintah puasa ini. Dari posisi turunnya kita sudah faham kalau ayat ini termasuk bagian dari ayat-ayat Madaniyah atau ayat-ayat yang diturunkan di Madinah.  Ayat ini menggunakan awal, “yaa ayyuhalladzi na aamanu”  (wahai orang-orang yang beriman). Dan beda dengan ayat-ayat Makiyah yang dimulai dari “yaa ayyuhannas” (wahai manusia). 
 
Ibadah apapun yang kita kerjakan, hendaknya lebih kualitasnya dari pada kuantitasnya. Boleh saja kita hanya shalat lima waktu, zakat, dan puasa namun apapbila diterima semua oleh Allah SWT maka hasilnya sama dengan mereka ummat-ummat terdahulu yang notabenenya berumur panjang-panjang dan bisa melakukan ibadah kepada Allah SWT panjang pula. Dan inilah keistimewaan ummat Nabi Muhammad SAW dengan ummat-ummat yang lain. Kuantitas umur dan ibadah tidak mempengaruhi kualitas nilai ibadah yang kita kerjakan. Dan tulisan saya ini, mencoba melihat beberapa kandungan maksud dari kata-kata “aamanu” (beriman) yang implikasinya adalah sifat takqwa menjadi meningkat kepada Allah SWT. Adapun beberapa makna yang bisa kita ambil dari ayat ini adalah ;
 
Pertama, ayat ini menggunakan “aamanu” hanya cirri-ciri ayat-ayat Madinah saja, karena diturunkan di kota Madinah. Kota yang didiami oleh Rasulullah dengan cara hijarah bersama para sahabat saat itu. Dan di Madinah keimanan ummat islam pada waktu itu berbeda dengan Makkah. Artinya, masyarakat Madinah saat itu sudah sebagian besar beriman, sehingga perintah puasa turun di Madinah di saat umat islam sudah beriman. Kedua, kalimat “aamanu” dalam ayat ini adalah merupakan prasyarat (syarat awal) bagi mereka yang hendak melakukan puasa. Kalau mereka tidak beriman maka jelas, mereka tidak bisa mengerjakan puasa dalam bulan Ramadhan ini. Karena dengan imanlah yang akan menuntun kita bagaimana cara mengerjakan puasa yang benar dan puasa yang diterima oleh Allah SWT.
 
Ketiga, bisa juga, “aamanu” dalam dalil puasa ini berarti seleksi atas keimanan masing-masing ummat islam di dunia ini. Ibarat sebuah perlombaan, digaris start banyak kita yang mengikuti, namun sampai garis finis hanya beberapa orang saja yang bisa menyelesaikannya dengan baik. Boleh dikata hasil adalah manfaat dalam melakukan puasa yakni Taqwa. Namun sebenarnya Iman dan Taqwa adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Orang berimanlah yang akan mendapatkan Taqwa itu dan hanya orang-orang yang berimanlah yang mampu menyelesaikan puasanya dengan baik.
 
Dengan kita menjalankan puasa, berarti kita beriman dan akan mendapatkan taqwa? Ini pun jawabannya belum tentu, kenapa? Karena kita harus melihat posisi iman dan taqwa itu sebenarnya dimana? Di mana posisi iman dan taqwa  yang menjadi tujuan kita menjalankan puasa ini sebenarnya? Dalam sebuah riwayat hadits, pernah diceritakan para sahabat mempertanyakan kepada Rasululullah tentang Iman dan Taqwa. Karena para sahabat heran, kenapa dalam setiap khotbah, tausiyah dan pidato-pidato Nabi, mesti diawali dengan kata-kata tingkatkan iman dan taqwa selalu. 
 
Para sahabat saat itu bertanya, “ya Rosulullah, hamba perhatikan setiap khotbah Rosul selalu mengingatkan kami untuk selalu beriman dan bertaqwa,  apakah kami belum dikatakan beriman dan bertaqwa? Padahal kami sudah imani dan yakini Allah SWT adalah Tuhan dan Rosulullah adalah junjungan kami?. Dan Rosulullah menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepala seraya menunjuk dada beliau, “saya tidak tahu, karena iman dan taqwa itu, hanya d isni (haa hunaa), telunjuk rasulullah lurus ke dada sebelah kiri, yakni posisi hati.  
 
Berawal dari hal inilah, maka puasa benar-benar ibadah yang rahasia. Karena ibadah ini hanya berurusan dengan hati masing-masing kita. Sebuah pribahasa sering kita dengarkan, “sedalam-dalamnya lautan dapat kita ukur, namun sedalam-dalamnya hati siapa yang tahu”. Hati adalah segumpal darah yang menentukan bentuk tingkah laku manusia. Dari hati akan dikomunikasikan dengan akal, lalu dijalankan dengan indra-indra yang lain, bisa mata, hidung, telinga, mulut, tangan dan kaki. Maka Rosulullah SAW sangat berpesan untuk bisa menjaga hati. 
 
Dalam kitab sulamuttaufiq dikatakan setiap manusia melakukan dosa kepada Allah SWT, maka akan diberikan satu titik hitam dihatinya. Maka jika sering melakukan dosa, semakin banyak titik-titik hitam di dalam hatinya, dan jika hati sudah dipenuhi dengan titik-titik hitam, maka menjadi hitamlah hati manusia yang semula berwarna merah kecklatan. Dan kalau sudah hati menjadi hitam, sejak itupula manusia menjadi keras, sulit diarahkan karena hatinya sudah tidak bisa menerima kebaikan yang ada.  Apapun nasehat yang diberikan tentang nasehat agama dan kebaikan, mereka seolah-olah acuh tak acuh saja. Dan merasa bangga dengan dosa-dosa yang mereka perbuat di dunia ini. Na’udzubillahimindzaalik semoga kita terhindar.
 
Taqwa yang kita harapkan, sebenarnya rinkas saja yakni menjalankan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya. Hatilah yang akan memilah mana yang harus diberikan porsi kepada nafsu dan mana yang diberikan porsi kepada akal fikiran. Jika nafsu lebih besar porsinya dan dia mengalahkan akal, maka jelas manusia bisa menjadi binatang, dan bahkan lebih dari itu kata Allah SWT. Tapi jika akal yang lebih besar mendapatkan porsi maka selamatlah manusia itu. Kerena akallah menjadi pembeda antara manusia dan binatang.
 
Setelah puasa, kita bisa ukur sendiri apakah kita menjadi lebih takut melakukan dosa, dan gemar melakukan kebaikan apa tidak? Jika gemar melakukan dosa, maka insyaallah imbas puasa tidak ada. Sebaliknya, kebaikan-kebaikan yang kita lakukan di dalam puasa ini, kita tingkatkan setelah puasa malah semakin bertambah, insyaallah taqwa itu kita dapatkan. Oleh karena itu, mari ibadah puasa yang kita lakukan saat ini, hendaknya mampu membersihkan titik-titik hitam itu, dan Allah SWT memberikan kita pengampunan serta menjadikan kita orang-orang yang bertaqwa. Amin ya Robbal ‘aalamin.
 
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di KUA Kec. Mpunda Kemenag Kota Bima Sekretaris Forum Penyuluh Agama Islam Kota Bima.

Ahlan wasahlan Ya Syahrul Shiyam

Oleh : Musthafa Umar, S. Ag.

Ramdhan telah menyapa, menyambut dan menemui kita. Mungkin sebelumnya sudah kita persiapkan semua yang dibutuhkan untuk menyambut bulan penuh berkah, rahmat dan maghfiroh ini. Tentu dengan rasa syukur, penuh ikhlas dan kemantapan hati kita cara yang baik sebagai persiapan menghadapinya, agar dalam mejalankan puasa ini lancar tanpa terkendala apapun dan berakhir sempurna. Kesempurnaan iman dan islam yang mengantarkan kita nanti menjadi orang-orang yang bertaqwa.
 
Tujuan taqwa dari puasa Ramadhan sudah terbersit dalam dalil diwajibkannya puasa yakni surat Al-Baqarah ayat 183.  Allah memerintahkan kita dengan santun sekali, “hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”. Ayat ini mengandung banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik untuk ibadah yang kita jalankan sebulan penuh ini. Coba kita mulai dari kata-kata “Ya ayyuhalladzinaamanu” (Hai orang-orang yang beriman). Dari redaksi ayat, jelas ayat ini diturunkan setelah hijrah. Arti lain adalah setelah kemantapan iman umat Islam dirasa cukup saat itu. Di Madinah tepatnya ayat ini turun sebagai perintah untuk berpuasa. “Ya Ayyuhalladzi” juga sebagai pembeda letak turun sebuah ayat. Kalau “Ya Ayyuhannas atau Ya Bani Adam” biasa di Mekkah.
 
Imam Ath Thabrani  maupun Ibnu Katsir sama-sama memaknai ayat ini dengan istilah bahwa, yang berpuasa adalah orang-orang yang benar-benar iman kepada Allah dan Rasul-Nya dari umat manusia di muka bumi. Ayat ini juga menjelaskan ke kita, kaitan puasa dengan keimanan seseorang. Allah SWT memerintahkan hanya orang-orang yang memiliki iman (keyakinan dan kepercayaan) akan adanya Allah SWT dan Rasul-Nya Muhammad SAW. Dari puasa atau ibadah puasa yang dijalankan seseorang, menunjukkan orang tersebut mempunyai kesempurnaan iman. Dan diharapkan akhir puasa nanti, keimanan orang yang berpuasa ini, tambah mantap dan sempurna.
 
Kata-kata iman sendiri dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 17 dinyatakan, “dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar”. Dan ditegaskan dalam sebuah hadits Rasululullah SAW yang menjadi rukun iman adalah, “ Iman itu engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari Kiamat, mengimani Qadha dan Qadar, yang baik maupun buruk”. Enam poin penting dalam rukun iman ini, haruslah dimiliki orang yang mengaku beriman. Karena antara satu dan lainnya sangat berkaitan, salah satu tidakmasuk anda percaya, iman dan yakin makan kesempurnaan iman anda perlu dipertebal kembali. Dikatakan sempurna bila semua point ini ada dalam keyakinan pribadi kita. Khususnya kepercayaan kita kepada Rasululullah, kepercayaan kepada beliau adalah tentu dengan menjalankan, mengikuti dan mentauladani apa yang pernah diajarkan kepada kita.  Begitulah cara iman kita atau dikatakan beriman kepada Rasululullah. 
 
Dan iman itu tidak hanya sekedar di dalam hati, namun harus dibuktikan atau diaplikasikan dalam segala bentuk tindakan kita sehari-hari. Seperti dikatakan Imam Asy Syafi’i bahwa, “setahu saya, telah menjadi ijma’ para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini”. Jadi tiga hal intisari keimanan seseorang dikatakan sempurna atau benar-benar beriman menurut Imam Asy Syafi’i adalah perkataan, perbuatan dan niat. Kalau di balik Niat menetapkan sesuatu yang dikombinasikan dengan Perkataan dan diaplikasikan dalam perbuatan. Sehingga ini pun harus selalu ada dan lengkap, artinya tidak boleh terpisah satu dan lain hal. Apabila terpisah, maka manusia itu dikatakan munafik. Orang yang antara hati, perkataan dan perbuatannya berlawanan.
 
Dan banyak kita jumpai, orang yang mengaku beriman, percaya kepada enam point keimanan di atas, namun enggan melakukan shalat, membayar zakat, berpuasa bahkan hajji padahal mereka mampu untuk melaksanakannya. Maka keimanan orang tersebut belumlah dikatakan sempurna. Nah kalau kembali ke perintah puasa ini, orang-orang seperni sebenarnya tidak termasuk dalam seruan ayat ini. Dan artinya tidak boleh melakukan puasa Ramadhan. Karena pada dasarnya untuk apa melakukan puasa, bila shalat, zakat dan hajji (bila mampu) tidak dilakukan.
 
Selanjutnya kalimat, “kutiba ‘alaykum ash-shiyaam”. (telah diwajibkan atas kamu berpuasa). Kalimat ini menurut Al-Qurthubi adalah kalimat wasiat kepada mereka yang mukallaf pada ayat sebelumnya. Akan tetapi pada awal perkembangan Islam, beberapa pendapat mengatakan bahwa puasa belum menjadi kewajiban, namun sekedar anjuran saja. Hal ini terlihat pada ayat 184 Surat Al-Baqarah, “maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
 
Ayat 184 surat Al-Baqarah ini memang terlihat ada penawaran Allah SWT kepada umat Islam pada saat itu. Kenapa saya bilang saat itu, karena setelah ayat ini turun di susul dengan ayat 185 Surat Al-Baqarah juga, “barangsiapa diantara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, maka wajib baginya puasa”. Nah oleh Ibnu Katsir menyimpulkan penghapusan hukum anjuran (ayat 184) benar adanya bagi orang yang tidak sedang berpergian dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkan puasa padanya. Jadi hadir dalam konteks aqil baligh dan berakal. Anak kecil yang hadir (lahir) dalam bulan Ramadhan tentu tidak wajib berpuasa, akan tetapi wajib dikeluarkan zakat fitrahnya pada malam ‘Idul Fitri nanti. Namun jika sudah masuk rukun-rukun wajibnya puasa, dan berbadan sehat maka wajiblah mereka untuk melakukan ibadah puasa. Tidak ada alasan atau penggantian denda (fidyah) seperti ayat anjuran pada ayat 184 surat Al-Baqarah di atas.
 
Memang semua perintah ibadah atau larangan terhadap sesuatu hukum dalam Islam, Allah melakukan dengan bertahap. Ada ayat-ayat sebelumnya yang tidak secara tegas dan langsung karena melihat kondisi keimanan umat Islam pada waktu itu, demikian pendapat yang dikemukakan oleh Syekh Ali Hasan Al-Halabi. Demikian juga tentang pelarangan khamar dan minuman keras. Allah SWT tidak secara tegas mengharamkan, namun keharaman Khamer dan mabuk-mabukan tertera dalam ayat ke tiga yang turun pada masa itu. Ayat pertama dan kedua, adalah anjuran meninggalkan dan penjelasan tentang effek kurang baik yang ditimbulkan khamer itu sendiri.  Dan apabila dirasa mantap iman para sahabat saat itu, maka saat itu juga turun ayat penegasa yang menjadi pokok hukum selanjutnya dalam Islam.
 
Lalu potongan kalimat (ayat) bagian ketiga dari dalil naqli perintah puasa Ramadhan yakni, “kutiba ‘ala alladzina min qoblikum” (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu). Tafsir Imam Al-Alusi menulis, yang dikatakan orang-orang sebelum kamu dalam ayat ini adalah para Nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. Jadi sejak Nabi Adam AS perintah puasa itu sudah ada namun caranya tentu berbeda-beda. Islam dengan caranya saat ini yakni menahan makan, minum, berhubungan badan, berkata-kata kotor, fitnah, menggunjing dan melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah selama matahari terbit hingga terbenam sejak tanggal 1 sampai 30 Ramadhan. Dalam hal larangan tidak jauh beda penerapannya dengan Nabi-nabi terdahulu, yang berbeda adalah jumlah hari puasanya.
 
Termasuk menurut Al-Hasan As-Suddi As-Sya’bi  adalah umat Nasrani. Karena Islam muncul pada saat Nabi Muhammad SAW ada. Sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, agama hanya mengedepankan ketauhidan saja. Dan perintah-perintah serta larangan yang tidak sekomplit saat ini. Sehingga wajar kalau Rasululullah SAW dan Islam dikatakan agama penyempurna sebagaimana di firmankan Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 3 yang merupakan ayat terakhir diturunkan kepada Rasululullah SAW.Islam adalah agama penyempurna dari ajaran-ajaran yang pernah diturunkan kepada Nabi-Nabi sebelumnya.  Pada potongan ayat ketiga ini, terlihat adanya penekanan hukum, penambah semangan serta melegakan hati manusia. Karena suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan oleh orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.
 
Mungkin kalau boleh saya istilahkan dengan pengistilahan saat ini, khawatir umat Muhammad SAW (Islam) cemburu sosial. Karena menganggap hanya perintah puasa itu hanya diberlakukan padanya. Padahal tidak demikian adanya. Dari itu Allah SWT memperjelas cerita tentang puasa itu sendiri dengan sesuatu yang sama dan pernah dilakukan pada masa lampau. Lalu kenapa berbeda? Namanya saja agama penyempurna, tentu lain dari yang sekedar dicoba. Ibarat hasil produksi sebuah perusahaan, hasil sampel (contoh) tentu tidak akan sebagus hasil akhir atau barang jadi. Itulah makna semangat yang ingin diberikan oleh Allah SWT kepada kita, umat Nabi Muhammad SAW.
 
Ada beberapa riwayat memang, yang menyebutkan bahwa umat sebelum Nabi Muhammad SAW adalah hanya disyari’atkan puasa Cuma tiga ghari namun setiap bulannya. Malah kalau kita total lebih banyak umat terdahulu dengan kita saat ini. Matematikanya 12 bulan dalam setahun dikalikan 3 hari jadi sebanyak 36 hari. Nah kita saat ini, hanya 30 hari selama bulan Ramadhan saja. Ini dikatakan dalam riwayat Muadz, Ibnu mas’ud, Ibnu ‘Abbas dan lain-lain. Dikatakan juga puasa tiga hari ini dimulai sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh (tergantikan) oleh puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan seperti yang kita lakukan saat ini.
 
Dan potongan keempat ayat 183 Surat  Al-Baqarah ini adalah kalimat, “la’allakum tattaqun” (agar kalian bertaqwa). Karena pencapaian kesempurnaan iman seseorang adalah dia meraih predikat taqwa. Hal ini sesui dengan ayat 13 dalam Surat Al-Hujarat, “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kalian”.  Kata-kata “la’alla” dalam akhir ayat 183 surat Al-Baqarah ini mengandung  berbagai penafsiran dari para imam. Ada yang mengatakan kalimat “la’alla” berarti ‘ta’lil’ artinya alasan. Alasan juga bisa diartikan sebab dan tujuan dari melakukan sesuatu. Jadi tujuan puasa adalah menyebabkan orang yang melakukannya menjadi taqwa. Ada juga yang mengartikan kalimat “la’alla” ini sebagai ‘litarajji’ artinya harapan. Orang melakukan puasa dengan sebuah harapan nantinya setelah selesai melakukan puasa dia akan menjadi taqwa.
 
Selain itu ada juga pendapat Imam At Thabari mengatakan bahwa “la’alla” adalah sebuah wasilah atau jalan menuju hasil yang diharapkan. Hasil yang diharapkan adalah taqwa tadi, maka Imam At Thabari memberi arti mudah-mudahan dengan kita melakukan puasa taqwa itu dapat kita raih. Tentu dengan benar-benar puasa. Menahan diri dari segala bentuk nafsu dunia, makan, minum, menjauhi maksiat yang lain. Baik yang membatalkan puasa ataupun yang membatalkan pahala puasa.
 
Taqwa sendiri mengandung arti secara bahasa adalah berhati-hati, waspada dan takut. Berhati-hati dalam hal melakukan maksiat kepada Allah SWT. Waspada agar tidak cepat terjerumus kedalam dosa yang dibenci oleh-Nya dan takut akan adzab yang akan diberikan kepada siapa yang melakukan dosa kepada Allah SWT. Demikian halnya yang di artikan oleh Thalq Bin Habib Al-‘Anazi, “taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah, mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah, dan takut terhadap adzab Allah”.
 
Demikian sekilas tentang kandungan ayat 183 Surat Al-Baqarah yang menjadi dalil atau dasar naqli diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan seperti yang kita lakukan saat ini, bagi seluruh umat muslim di muka bumi. Mudah-mudahan apa yang kita ikhtiarkan terkabulkan oleh Allah SWT dan apa yang menjadi target akhir, yakni taqwa dapat kita raih. Dan nantinya menjadikan kita lebih sempurna, bermakna hidup dalam kehidupan ini. Dunia berharap bahagia, begitupun akhirat harus lebih bahagia karena menjadi tujuan perjalanan panjang alam kehidupan yang kita lalui. Selamat menjalankan ibadah puasa 1433 Hijriyah, mohon maaf lahir batin bila selama ini tulisan-tulisan saya menyinggung hati pembaca sekalian. Wassalam.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di Kemenag Kota Bima dan Sekretaris Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam Kota Bima.

Minggu, 15 Juli 2012

Hak Rohani Kaum Buruh


Oleh : Musthafa Umar

Kemarin kita menyaksikan ribuan buruh menadati Bundaran Hotel Indonesia, dan Kantor Kementerian Transmigrasi menuntut  outsourcing (pemindahan atau pengalihan kerja) agar dihapus, UU No. 13 Tahun 2003 dihapus dan kenaikan upah minimum. Rezim Soeharto memang telah lama lengser, yang mana kita mengetahui kebesan kaum buruh terasa tidak ada sama sekali, beberapa kisah nasib buruh yang memperjuangkan nasib / haknya pada waktu itu, hilang tanpa jejak atau dibiarkan begitu saja. Kasus melegenda nasib buruh Marsinah misalnya, sampai sekarang kita tidak tahu kelanjutannya. Dan tentu banyak Marsinah-Marsinah lain yang bernasib sama. Akan tetapi walaupun Orde Baru sudah tidak ada, posisi nilai tawar buruh terhadap majikan dan pemerintah masih belum selayaknya. Sehingga setiap hari Buruh Dunia (1 Mei) tetap saja ada demo tuntutan-tuntutan kesejahteraan dan lainnya bagi mereka. Tetap saja, banyak buruh kita yang menjadi korban kebiadaban majikan, terutama di luar negeri.

Indonesia memang sudah lama merdeka, bebas dari jajahan kolonialisme. Akan tetapi sampai saat ini, tanpa kita sadari Indinesia sebenarnya masih dijajah rezim Kapitalisme dan Neoliberalisme adalah rezim yang menjajah bangsa ini. Liberalisme berintikan pada persaingan bebas. Dalam kenyataan sehari-hari setiap orang tidaklah sama, setiap negara tidak sama kuat. Maka penerapan Liberalisme berarti memusnahkan kelompok-kelompok yang lemah, menciptakan kesenjangan sosial yang lebar. Krisis demi krisis adalah konsekuensi logis dari sistem ekonomi Liberal. Ketika rakyat miskin harus menderita beban kenaikan harga-harga, maka kaum pemilik modal mendapatkan keuntungan yang semakin berlipat. 

Liberalisme sangat mementingkan bebasnya pasar dari intervensi negara. Persaingan bebas berarti  setiap pihak harus menjadi pelaku pasar, bukan mengatur pasar. Maka kedudukan negara sebagai regulator ditentang habis-habisan oleh kaum Liberal. Negara dianggap penghalang bagi pasar, benalu yang harus dikikis, parasit birokrasi yang membuat pertumbuhan ekonomi berjalan lambat. Pemberian tunjangan sosial kepada rakyat miskin dianggap menciptakan ketergantungan yang besar terhadap negara dan mematikan kreativitas warga negara. Keberadaan perusahaan-perusahaan milik negara dituding sebagai penghambat terhadap pasar bebas sehingga harus dijual pada swastanisasi internasional.

Hal inilah yang kerap menimbulkan malapetaka bagi buruh di tanah air. Padahal kiprah buruh di Indonesia sudah tidak diragukan lagi dalam ikut serta membangun kemajuan bangsa indonesia. Apalagi mereka yang bekerja di luar negeri sana, devisa yang mereka sumbangkan untuk pembangunan Indonesia sangatlah besar. Walau menurut mereka dan para pengamat buruh di Indonesia tidaklah sebanding dengan pelayanan yang mereka dapatkan dari pemerintah. Kepentingan-kepentingan buruh tidaklah sejalan dengan kepentingan pemilik modal atau majikan. Dan sejenak kita perhatikan tuntutan-tuntutan kaum buruh  selama ini, kalau kita lihat dan kebanyakan yang ujung-ujungnya menuntut naiknya upah minimum dan kesejahteraan, hal itu memang wajar , akan tetapi sebatas kebutuhan jasmani semata.  

Dan pembahasan saya disini lebih kepada kebutuhan rohani kaum buruh,  sesuai bidang saya dalam kerja sebagai Penyuluh Agama Islam di Kementerian Agama Kota Bima. Ini sebagai bentuk keseimbangan pengelihatan kita terhadap “hak dan privasi” buruh.  Kapankah buruh diperhatikan kebutuhan rohaninya? Karena seperti yang saya tulis di atas, hidup ini tentu harus seimbang antara kehidupan jasmani dan rohaninya. Dan tentu yang harus memperhatikan kebutuhan rohani mereka adalah  para bos, majikan dan pemilik modal serta pemerintah dalam hal ini paling pas menurut saya MUI (Majelis Ulama Indonesia). 

Mari hal ini coba kita telaah sejenak, karena hal ini jarang kita melihat para buruh berdemo, untuk menuntut kebutuhan rohani mereka terpenuhi. Memang ada beberapa personal, dan merupakan kasuistik saja yang menuntut hal itu. Bagai makan buah simalakama, menuntut dipecat membiarkan dapat kerja.  Kondisi ini sangat menghawatirkan dan miris kita melihat, dimana rata-rata kaum buruh sebagian besar adalah kaum muslim dan para pemilik perusahan / modal adalah kaum nasrani. Kalau perusahaan besar, hal itu akan sangat jelas nampak, namun pada tataran perusahaan-perusahaan kecil, seolah-olah itu tidak menjadi masalah. Inilah tugas MUI saya kira untuk memberikan kejelasan aturan agama atau semacam fatwa kepada pemilik perusahaan. 

Kenapa saya menunjuk MUI yang harus bertanggung jawab? Saya qiyaskan kepada MUI yang mengeluarkan fatwa haram atau halal terhadap makanan dan minuman yang dikeluarkan terhadap hasil produk dari sebuah perusahaan. Dan tata cara serta tempat sama juga harus di fatwakan MUI apakah layak atau tidak bagi ummat islam yang menjadi karyawan mereka. Mengerucut ke Kota Bima yang notabenenya adalah wilayah religius, harus MUI seperti yang diperbuat MUI Situbondo Jawa Timur 2010 lalu merazia perusahaan-perusahaan, toko-toko atau apa saja yang memperkerjakan ummat islam untuk menyediakan tempat  dan sarana ibadah mereka. Terutama yang memberlakukan jam sampai melalui waktu shalat (dzhuhur, ashar, magrib).

Pemilik modal / perusahaan, toko dan lain-lain, tidak bisa kita salahkan. Karena pada dasarnya mereka kaum nasrani yang tidak mengerti itu. Dan bisnis oriented (yang penting barang dagangan laku) apapun bisa dilakukan dalam marketing plannya. Misalkan saja, pakaian harus minim, tidak boleh berjilbab dan sebagainya. Ini bentuk yang saya katakan di atas adalah hak rohani, hak privasi seorang buruh atau tenaga kerja.  Mereka jelas tidak punya daya dan kekuatan untuk melakukan itu sendiri, karena mereka sangat butuh penghidupan layak dari hasil kerja mereka. Oleh karena itu perlindungan hak privasi khususnya rohani mereka  (kaum buruh dan pekerja) harus ada yang memikirkan dan membantu mereka.

Kita mungkin sangat miris mendengar beberapa TKW-TKI kita di luar negeri sana, yang notabenenya adalah muslim dipekerjakan tidak islami bahkan tidak manusiawi. Namun pemerintahpun tidak bisa berbuat apa-apa. Dan anehnya TKI-TKW kita diam saja dan meng-“amini” apa yang dilakukan bos mereka demi mereka mendapat pekerjaan dan upah untuk menyambung hidup mereke serta keluarganya di rumah. Misalnya banyak TKW dan TKI kita yang bekerja tidak boleh shalat, merawat anjing, memasak daging babi yang bagi mereka adalah haram. Sangat disayangkan Indonesia yang dikenal sebagian besar ummat islamnya, tidak bisa menunjukkan identitas itu di luar negeri. Malah menjadi perolok-olokan mereka karena menganggap rendah seorang tenaga kerja. 

Masalah yang terjadi di luar negeri tersebut, tidak menutup kemungkinan juga terjadi disekeliling kita (kota Bima) yang kita cintai ini. Karena mental-mental majikan dan karyawan tidak lah jauh dari yang ada. Seperti yang saya tulis diatas, majikan terkadang tidak mentaati regulasi yang dibuat pemerintah (dalam hal ini Dinas Tenaga kerja), dan sebaliknya pemerintah jarang mengontrol aturan yang ada setelah dikeluarkan dan diberlakukan. Malah ada aturan untuk buruh, adalah pesanan para bos besar, para majikan dengan iming-iming uang sehingga pembuat aturan mau bekerjasama dengan para pemilik uang ini. 

Lalu setelah mengetahui ini semua, apa yang harus kita lakukan sebagai saudara dari mereka?! Karena jelas mereka butuh pekerjaan, mereka butuh kehidupan yang sejahtera.  Namun tidak ada masalah yang tidak bisa diusahakan selesai. Termasuk masalah yang ini, seperti usul saya di atas agar bagaimana MUI sebagai lembaga yang menaungi ummat islam dalam hal demikian agar bertindak demi keseimbangan kebutuhan antara jasmani dan rohani para buruh muslim ini. Sesekali cobalah turun di lapangan dan memantau cara memperkerjakan mereka di sana, berikan mereka perlindungan agar mereka tidak ketakutan sendiri menghadapi semua ini. 

Kalau dulu sering kita dengar, masyarakat kita para pencari kerja mengatakan, “kerja apa saja yang penting halal” kata-kata itu sering dikonotasikan dengan pekerjaan tidak halal seperti mencuri, merampok, melacur dan berjudi. Namun kalau dipertanyakan, mereka kerja mengurus sesuatu yang haram (masak babi atau mengurus anjing majikan dan sampai tidak bisa melakukan shalat) itu sebenarnya juga pekerjaan yang tidak halal atau haram bagi mereka. Memperjelas status pekerjaan mana yang halal dan haram tentu adalah tugas kita semua, terutama lembaga-lembaga keagamaan yang bergerak bidang dakwah. Mereka melakukan itu mungkin dengan tiga pertimbangan, yang pertama karena mereka tidak mengetahui hal itu halal atau haram. Atau yang kedua, mereka melakukan itu bisa jadi karena mereka tidak ada yang memberitahu tentang hal itu. Dan yang ketiga adalah karena keadaan ekonomi mereka, sehingga apapun dianggap sah dan halal menurut kacamata manusia mereka lakukan, padahal menurut pertimbangan agama hal itu haram dilakukan.

Buruh-buruh ini adalah manusia yang harus mendapat perhatian dan binaan serius, mungkin waktu mereka tidak ada karena tersita dengan kerjaan-kerjaan sehari-hari. Sehingga belajar agama atau menunggu kepedulian pemilik modal / majikan untuk mengajarkan agama bagi mereka tidak mungkin, akibat majikan yang non muslim. Dan oleh karena itu, regulasi lah yang bisa membantu mereka untuk mendapatkan hak ibdah, hak privasi menjalankan agamanya dengan benar dari para regulator yang ada. Sangat jarang kita temukan, majikan yang pro buruh, rata-rata mereka hanya bisnis semata (bisnis oriented) yang penting mendapat keuntungan. 

Mudah-mudahan tulisan saya ini, menggugah para pemegang kebijakan dalam hal buruh ditanah air, atau setidaknya di Kota Bima ini. Majikan harus faham dimana mereka berdiri, atau mendirikan usaha. Kalau memang pekerja mereka muslim seratus porsen, maka saran ibadah dan hak ibadah (misalnya menggunakan jilbab dan tidak mau pakaian minim) harus diberikan. Para buruh (karyawan) harus mempunyai wadah aspirasi dan dibela hak-haknya sehingga tidak ketakutan sendiri dalam menghadapi masalahnya. Serta para karyawan harus berani melaporkan dan menuntut hak-hak mereka kepada majikan. Kepada pemerintah, terutama Dinas Tenaga Kerja, lebih memperhatikan para karyawan dan membuat regulasi yang memihak kepada mereka, sehingga para majikan tidak gampang memecar atau mem-PHK karyawan yang menuntut hak ibadah mereka. MUI sekali lagi setidaknya mengontro tempat –tempat ummat islam bekerja, apakah menurut pandangan agama halal atau haram, sehingga Kota Bima religius tercipta baik. Amin ya robbal ‘alamin.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kemenag Kota Bima dan Sekretaris Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam Kota Bima.