Rabu, 28 November 2012

Jika Perceraian adalah Solusi Terakhir


Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M.Pdi.

Membaca pemberitaan koran ini (27/11) kemarin,  percerain di Pengadilan Agama (PA) Bima, tembus angka 1.144 (seribu seratus empat puluh empat) kasus. Dan dari sekian kasus ini, sebanyak 318 adalah cerai talak atau cerai yang dilakukan atas kehendak suami. Dan yang menarik adalah sebanyak 826 kasus cerai gugat atau perceraian yang dilakukan atas kehendak istri. Berbanding jauh sekali, antara cerai talak dengan cerai gugat. Kenapa hal ini bis terjadi?! dari itu, saya mencoba menggambarkan keprihatinan saya dengan menulis artikel ini. Mudah-mudahan bisa memberikan sedikit pengetahuan dan menjadi pencegahan dini kepada putra-putri kita, untuk tidak cepat-cepat cerai.
Perceraian memang tidak dilarang oleh Allah SWT, dengan adanya beberapa dalil di Al-Qur’an tentang talak (cerai), maka menunjukkan hal perbuatan itu menjadi boleh untuk dilakukan. Misalnya pada surat Al-Baqarah ayat 229 tentang talak raj’i (talak yang membolehkan suami untuk rujuk kembali). Firman Allah SWT, “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk kembali dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik”. Dalam ayat lain, masih di surat Al-Baqarah ayat 230. Allah berfirman tentang talak Ba’in (talak yang tidak boleh rujuk kembali, akan tetapi harus nikah seperti pertama kali, setelah si perempuan nikah dengan orang lain). Dalam surat Al-Baqarah ini dikatakan, “kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya, sampai dia kawin dengan suami yang lain”.
Nah istilah cerai gugat dalam beberapa fiqh munakahat jarang ditemukan, karena pada dasarnya perceraian adalah hak suami. Pihak istri tidak ada hak untuk mentalak, akan tetapi mereka diberikan beberapa peluang untuk melakukan itu. Bedanya adalah, jika talak dari laki-laki, dan masih talak raj’i maka mereka bisa rujuk kembali, akan tetapu untuk merempuan satu kali menjadi terakhirkali dan jika ingin kembali, dengan cara menikah seperti semula, yang didahulu dengan cara muhallil (menikah dengan laki-laki lain) terlebih dahulu.
Kenapa hak talak diberikan kepada laki-laki? Dalam hal ini, para ulama’ sepakat melihat karena suami dipandang telah mampu  memelihara kelangsungan hidup bersama. Suami diberi beban membayar mahar (maskawin) dan memikul nafkah istri serta anak-anaknya. Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah istri selama ia menjalankan masa iddahnya (masa menunggu). Hal ini adalah agar suami tidak menjatuhkan talak sesuka hati.
Abdurrahman Shazaly, MA. Menulis bahwa pada umumnya hak talak itu pada suami, dengan pertimbangan akal dan bakat pembawaannya, lebih tabah menghadapi apa yang kurang menyenangkan ketimbang istri. Biasanya suami tidak cepat-cepat menjatuhkan talak, karena sesuatu yang menimbulkan amarah emosinya, atau karena keburukan pada istri yang memberatkan tanggung jawab suami. Hal ini berbeda dengan istri, biasanya wanita lebih menonjol sikap emosionalnya, kurang menonjol sikap rohanoahnya, cepat marah, kurang tahan menderita, mudah susah dan gelisah, dan jika bercerai bekas istri tidak menanggung beban materi terhadap bekas suaminya, tidak wajib membayar mahar. Dari inilah istri tidak mempunyai hak talak atas suaminya. Andaikata istri diberikan hak talak, kemungkinan istri akan lebih mudah menjatuhkan talak, karena suatu sebab yang kecil.
AL-Jurjawi menambahkan, wanita itu lebih cepat goncang pendapatnya dalam menghadapi uji coba dan keculitan hidup. Wanita juga kurang teguh dalam menghadapi hal-hal yang ia tidak senangi, wanita lebih mudah gembira dan cepat susah. Pendapat para ulama’ di atas memang bukan tanpa alasan. Saat ini saja, seperti pembahasan artikel saya ini, dari 1.144 kasus yang ada, lebih bayak hampir 70 porsen adalah cerai gugat atau perceraian yang diajukan oleh pihak istri. Memang istilah cerai gugat dalam fiqh munakaht tidak populer, akan tetapi beberapa peluang istri untuk lepas dari suami itu ada, jika dipandang perlu karena sudah tidak tahan menderita misalnya,  itu boleh dilakukan dengan mengajukannya ke Pengadilan Agama sebagai hakim yang adil. beberapa hal itu adalah;
Khulu’  ini disebut oleh para fuqaha, adalah perceraian yang disertai dengan sejumlah harta sebagai ’iwadh (pengganti) yang diberikan istri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’, mubara’ah ataupun talak.  Hukum Islam memberi jalan kepada istri yang mengendaki perceraian dengan mengajukan khulu’, sebagaimana hukum Islam memberikan hak talak kepada suami. Ini berdasarkan ayat 229 dari surat Al-Baqarah, “..jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya..”.
Zihar adalah hak atau peluang bagi istri untuk lepas dari suami. Zihar dalam bahasa arab artinya punggung. Perkara zihar adalah jika suami menyamakan punggung istrinya dengan punggung ibu kandungnya sendiri. dan kata-kata, “punggungmu sama dengan punggung ibuku” jika terlontar maka ada beberapa konsekuensi hukum yang menyertainya, yakni istri boleh mengadukan halnya kepada hakim, dalam hal ini Pengadilan Agama jika dia tidak merasa aman berada di dekat suami, menunggu suami mencabut ziharnya dan membayar kaffarah zihar. Konsekuensi kedua, jika suami tidak mencabut ziharnya sampai 120 hari sejak diucapkan, maka Hakim berhak menceraiakn keduanya, karena melanggar hukum-hukum Allah, yakni surat Al-Ahzab ayat 4.
Dalam ayat ini dengan tegas Allah menyatakan, “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya. Dan tidak menjadikan istri-istri yang kamu zihar itu sebagai ibumu…”. Dalil inilah yang membolehkan zihar. Dan zihar statusnya dengan talak ba’in atau tidak bisa rujuk kembali. Jika suatu saat suami menyesali perbuatannya, maka dia harus membayar kaffarah (denda) yakni, memerdekakan seorang budak, atau berpuasa berturut-turut selama 2 bulan tanpa diselingi, dan jika tidak mampu, boleh memilih opsi yang ketiga yakni, memberi makan 60 orang miskin. 
Lalu peluang istri untuk lepas dari suami yang ketiga adalah Ila’. Ila’ adalah sumpah suami, kepada istri untuk tidak mendekatinya atas nama Allah. Jika suami berkata, “Demi Allah, saya tidak akan menggauli istriku, atau Demi Allah, saya tidak akan mendekati istriku selamanya, atau Demi Allah saya tidak akan mencampuri istriku selama lima blan” maka jatuhlah hukum ila’ kepada suami. Allah memberi batas selama 4 bulan, ini sesuai dengan firmanNya dalam surat Al-Baqarah ayat 226-227. Dalam ayat ini, Allah memberikan batas maksimal 4 bulan kepada suami untuk mecabut ila’nya dengan beberapa syarat. Diantaranya, memberi makan orang miskin sebanyak 10 orang, atau memberi pakaian orang miskin 10 orang, atau memerdekakan seorang budak atau bisa juga berpuasa berturut-turut sebanyak 3 hari. Hal ini berdasarkan surat Al-Ma’idah ayat 89.
Nah jika dalam masa penantian 4 bulan, suami tidak mencabut ila’ nya atau sumpahnya, maka istri berhak mengajukan masalahnya ke hakim, atau Pengadilan Agama untuk meminta pemisahan hubungan (cerai) atas suaminya. Dan yang keempat peluang istri untuk lepas dari suami adalah li’an. Li’an adalah perbuatan menuduh istri berzina. Ini didasarkan pada ayat 6-7 surat An-Nur. Allah berfirman, “orang-orang yang menuduh istrinya berzina padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain dari mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Dan sumpah yang kelima, bahwa laknat Allah akan ditimpakan kepadanya jika ia termasuk orang-orang yang berdusta”.
Khusus masalah li’an, jika itu terjadi maka tidak bisa kembali untuk selama-lamanya. Artinya tidak bisa menikah kembali dengan bekas istrinya walaupun melalui proses muhallil. Dan perkara li’an ini untuk saat-saat ini sangat rawan dimasyarakat kita. Dengan populernya istilah selingkuh, maka menjadi peluang sangat lebar bagi suami untuk menuduh istrinya berzina. Karena selingkuh identik dengan hubungan suami-istri. Dan tahun kemarin menurut data Pengadilan Agama Bima, selingkuh termasuk penyebab perceraian terbanyak.
Selain empat peluang istri dalam melepaskan ikatan pernikahannya, ada empat peluang yang sama-sama antara suami dan istri, yakni perceraian yang disebabkan akbiat Syiqaq (krisis pertengkaran yang terus menerus memuncak antara suami dan istri, dan hanya hakim yang bisa menyelesaiakannya). Sebab kedua adalah karena pembatalan (ini bisa terjadi jika dalam pernikahan yang sudah dilakukan, ditemukan beberapa rukun yang tidak sesuai, misalnya masih adanya ikatan pernikahan dengan orang lain, salah satu dari mempelai. Maka hakim dalam hal ini Pengadilan Agama, harus membatalkan pernikahan tersebut).
Sebab yang ketiga bolehnya melepaskan ikatan pernikahan antara suami dan istri adalah akibat Fasakh. Istilah ini diartikan adalah pemutusan paksa atas pernikahan seseorang oleh hakim (Pengadilan Agama), jika ditemukan tiga hal, yaitu bila memudharatkan satu pihak, atau ditemukannya penyakit yang sangat merugikan pihak lain, atau karena penderitaan kepada istri akibat tidak adanya nafkah lahir dan batin terus-menerus. Penderitaan lahir batin bisa diartikan dalam konpilasi hukum Islam adalah, jika suami KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), Impoten, Mandul atau Struk, Gila dan sebagainya. Dan sebab yang keempat adalah akibat meninggal dunia. Apabila salah satu pihak (suami-istri) meninggal, maka putuslah hubungan suami istri dengan sendirinya. Dan harus menunggu selama empat bulan sepuluh hari sebagai masa berkabung atau masa ihdad.
Beberapa faktor yang menyebabkan jatuhnya cerai talak atau gugat di Pengadilan Agama, perlu dijadikan pelajaran bagi kita semua, dalam memutuskan untuk menikah. Yang paling dominan adalah faktor ekonomi. Pemberian nafkah adalah wajib bagi suami, dan istri wajib memelihara nafkah yang dihasilkan suami, dan juga wajib memelihara diri ketika suami keluar mencari nafkah. Sulitnya lahan pekerjaan, atau kurang kreatifkah kita menemukan peluang kerja, ini menjadi ancaman percerain selanjutnya. Jika memang gugat cerai yang mendominasi, berarti ada ketidak puasan istri, atas belanja yang diberikan suami kepadanya. Dari itu tanamkan sifat sederhana dalam hidup, menerima apa adanya dan sabar serta terus berusaha. Karena jika suami atau istri tidak kerja, menjadi masalah selanjutnya, yakni dengan tidak senangnya mertua.
Dan faktor perceraian di Pengadilan Agama Bima adalah faktor tidak akurnya menantu dan mertua. Harusnya para orang tua, memahami bahwa pernikahan adalah peralihan tanggung jawab dari orang tua kepada suami.  Faktor mertua juga bisa akibat belum matangnya usia pernikahan, atau kembali kemasalah pertama karena faktor ekonomi, sehingga anak harus bergantung pada orang tuanya, dan bisa juga faktor cinta yang buta. Menantu sebenarnya kurang direstui, tapi anak memaksakan diri, padahal dia harus serumah dengan orang tuanya, atau tidak bisa mandiri.
Dan faktor selanjutnya adalah faktor KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), juga faktor selingkuh mewarnai kasus-kasus perceraian di Pengadilan Agama Bima. Dan menurut pihak Pengadilan, perceraian yang tembus angka 1.144 ini adalah sebuah peningkatan. Artinya kalah banyak dengan tahun-tahun sebelumnya. Dari itu tugas kita bersama, untuk menimalisir perceraian yang terjadi. kembalikan fungsi BP4 yang ada di KUA-KUA, P3N harusnya membawa pasangan yang kedapatan chek-chok untuk dinasehati kembali seperti yang dilakukan saat awal menikah, sebelum ke Pengadilan.
Senyampang saya memberikan nasehat nikah di KUA, banyak memang pasangan yang bermasalah. Saya mengatakan itu masalah, karena beberapa dari mereka terkadang tidak bisa baca Al-Qur’an. Padahal Al-Qur’an adalah penyejuk jiwa, kitab suci ummat Islam, penuntun hidup, dan pelajaran-pelajaran yang lain. Apa jadinya kalau orang Islam sendiri, tidak memahami kitabnya. Bagaimana shalat, puasa, zakat dan aktifitas rumah tangganya kalau Al-Qur’an tidak mereka pahami. Bagaimana melayani suami dan sitri, melayani mertua, melayani tetangga dan bergaul. Kalau ini tidak dipahami, maka wajar pertengkaran dalam rumah tangga terjadi dan berujung pada cerai.
Faktor lain, terkesan memaksakan pernikahan. Artinya beberapa pasangan pengatin, terpaksa harus dinikah akibat sudah hamil duluan. Sehingga mengakibatkan beberapa pihak dalam keluarga tidak suka, nah dari sinilah timbul konflik dalam rumah tangga. Mungkin maksud hati ingin tidak bertanggung jawab, akan tetapi dari pihak yang dirugikan akan membawa perkaranya ke arah yang lebih besar, maka pernikahanlah solusi paling akhir.
Selain itu, ada juga beberapa pasangan yang menikah belum mempunyai pekerjaan. Terkadang pihak istri mempunyai pekerjaan, suami tidak. Nah hal ini terkadang akan menimbulkan preseden buruk dalam rumah tangga, karena suami selalu merasa tidak enak hati sama  istri, walaupun mungkin pihak istri sudah merelakan hartanya untuk itu. Masalah lain akan timbul juga dari mertua, yang menganggap menantu hanya enak-enak saja dirumah, istri yang kerja. Tekanan batin terus-menerus akan menimbulkan pertengkaran dalam rumah tangga.
Dan beberapa masalah ketidak matangan usia, cinta membutakan mereka untuk menikah. Padahal seluk beluk rumah tangga belum mereka ketahui. Dari itu, saya mengajak kita semua untuk memperhatikan beberapa faktor penyebab percerian ini, agar menjadi waspada kita bersama. Pikirkan kembali matang-matang, konsultasikan dengan seluruh keluarga jika kita ingin menikah atau ingin bercerai. Terkadang jika kita menikah kita libatkan keluarga, penghulu, P3N dan orang-orang dekat kita. Tapi saat kita ingin berpisah/bercerai, hanya diputuskan berdua saja. Dari itu kalau memang percerian adalah solusi terakhir kenapa tidak untuk dilakukan, senyampang itu yang terbaik yang diambil. Akan tetapi keputusan akhir itu harus diambil setelah kita melakukan diskusi panjang dengan keluarga kedua belah pihak.
Akan tetapi, jika kita merasa keluarga tidak bisa adil, maka carilah orang yang adil. P3N tempat anda daftar nikah dahulu, bisa dimintai bantuan untuk mengantar anda ke Penghulu atau kepala KUA untuk dinasehati kembali sebelum nasehat (mediasi) dilakukan di Pengadilan Agama. Berusahalah bersikap “api dan air” dari salah satu kita. Jika suami emosinya tinggi, istri haruslah lemah lembut. Namun sebaliknya, jika istri yang emosinya tidak stabil, suami harus mengalah. Dari itulah sebelum kita melangkah kearah pelaminan (menikah), proses saling kenal-mengenal itu harus dilakukan secara detail dan jujur. Artinya, detail kebaikan dan keburukan masing-masing pasangan. Dan jujur dalam artian, menceritakan apa yang menjadi kebiasaan masing-masing pihak selama ini, agar menjadi antisipasi nanti saat memutuskan untuk menikah.
Yang perlu diperhatikan lagi dalam sebuah kasus percerian adalah, dampak yang akan ditimbulkan setelahnya. Terkadang status duda dan janda, akan memberikan peluang negatif kepada kita, lebih-lebih janda, karena orang yang pernah merasakan dengan yang belum pernah akan berbeda, jika tiba-tiba menjadi terhenti. Belum lagi masalah biaya yang dikeluarkan, baik saat menikah dulu ataupun perceraian. Dan yang paling penting adalah psikologi anak, jika bercerai mempunyai anak. Anak yang mengetahui orang tuangnya bercerai dan tidak mampu dikendalikan emosi pikirannya, dengan memberikan pengertian, pemahaman akan menjdi fatal. Jangankan orang tua sampai cerai, orang tua tidak cerai namun jarang dirumah apalagi berantem terus, akan membuat anak tidak betah dirumah.
Anak dengan angka kriminal tinggi, rata-rata akibat ketidak puasan mereka dirumah. Kurangnya perhatian, kasih sayang dan pendidikan keluarga mengakibatkan anak-anak melakukan tindak kriminal yang fatal. Bahkan kasus-kasus PSK (Perempuan Seks Komersial) di bawah umur, rata-rata akibat rumah tangga orang tuanya berantakan. Kesenangan yang harusnya mereka peroleh lebih banyak dirumah, tidak mereka dapatkan, akhirnya mencari kesenangan itu di luar rumah, baik dengan Narkoba, minum-minuman keras ataupun berjudi, mencuri dan merampok. Anak-anak ini butuh pendekatan secara kekeluargaan, kasih sayang yang diberikan haruslah imbang antara ibu dan bapak. Pendidikan tidak cukup mengandalkan yang didapat dari sekolah/madrasah saja, akan tetapi pendidikan yang utama dan berjangka panjang adalah pendidikan keluarga.
Dari itu kehati-hatian dan pencegahan lebih baik, namun jika segala usaha sudah kita lakukan dan toh terjadi juga apa boleh buat. Mungkin Allah memberikan jalan yang terbaik melalui hal-hal yang kita tidak suka dan tidak mengerti. Jadikan perceraian sebagai renungan diri, apakah yang kurang pada diri kita masing-masing. Bukan masalahnya do’a “sakinah, mawaddah, warahmah” pengunjung dulu saat resepsi atau saat akad tidak mustajab (diterima Allah), tapi bisa jadi kita tidak mengerti akan maksud do’a itu, sehingga kita sia-siakan begitu saja.  Wallahua’lam….
 
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di Kemeneterian Agama Kota Bima dan Anggota PHBI Kita Bima.

Konflik Internal, Kelemahan Komunikasi Pemimpin


 
Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pdi.
 
Beberapa hari kemarin, kita dikejutkan oleh kejadian yang sangat membuat keprihatinan kita semua. Bagaimana tidak, konflik antar satu komunitas, satu suku, satu agama terjadi di kota Bima yang slogannya adalah kota “BERTEMAN”.  Konflik yang terjadi antara Kampung Sumbawa dan Tanjung, terjadi dibulan Muharram, yang seharusnya dijadikan bulan muhasabah dan introspeksi diri, mempererat persaudaraan seperti yang dilakukan Rasulullah SAW, saat Hijrah 1434 tahun yang lalu, dengan membawa kaum Muhajirin dari Kota Mekkah dan dipersatukan dengan kaum Anshor di Madinah. Sebeulm saya mengajak pembaca untuk menuju judul opini saya, alangkah baiknya kita mengetahui beberapa pandangan orang tentang hakekat dan konflik itu sendiri.
Hakekat konflik adalah orang-orang dan kelompok dalam lingkungannya mengembangkan keahlian dan pandangannya yang berbeda tentang pekerjajan/tugasnya dan pekerjaan/tugas kelompok lain. Ketika interaksi diantara mereka terjadi maka konflik menjadi potensial untuk muncul. Konflik dapat menimbulkan konsekuensi positif dan negatif. Dapat mendorong inovasi, kreativitas,dan adaptasi. Sekalipun beberapa konflik yang terjadi bermanfaat bagi kemajuan, akan tetapi konflik yang sering terjadi muncul kepermukaan adalah konflik yang bersifat disfungsional. Konflik yang seperti ini dapat menurunkan kohesivitas, menimbulkan ketidakpuasan, meningkatkan ketegangan.
Ada beberapa pandangan tentang konflik, yang pertama adalah disebut Pandangan Tradisional, yakni menganggap bahwa semua konflik adalah berbahaya dan oleh karenanya harus dihindari, konflik dilihat dari hasil yang disfungsional sebagai akibat dari buruknya komunikasi, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan diantara individu, dan kegagalan pemimpin untuk memberikan respon atas kebutuhan dan aspirasi anggota. Lalu yang kedua adalah disebut Pandangan Aliran Hubungan Manusiawi, yakni menganggap bahwa konflik adalah sesuatu yang lumrah dan terjadi secara alami dalam setiap komunitas, kelompok ataupun organisasi. Pandangan ini menyadari bahwa konflik tidak dapat dihindari, dan menganggap bahwa ada kalanya konflik bermamfaat bagi kemajuan.
Dan ketiga adalah disebut, Pandangan Interaksionis, yakni jika pandangan hubungan manusiawi menerima keberadaan konflik, maka pendekatan interaksionis mendorong konflik pada keadaan yang harmonis. Tidak adanya perbedaan pendapat yang menyebabkan organisasi menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi. Sumbangan utama dari pandangan yang interaksionis adalah mendorong pemimpin untuk selalu mempertahankan tingkat konflik yang optimal agar mampu menimbulkan semangat  dan kreativitas.
Nah itulah beberapa pendapat tentang terjadinya konflik. Kita kembali ke konflik yang terjadi di Kota Bima, harusnya ini tidak akan terjadi apalagi hanya persoalan sepele. Kenapa bisa begitu? Coba kita lihat struktur penataan Kota Bima, selain slogan BERTEMAN entah dengan konotasi yang lain, tapi yang jelas saya mengartikan BERTEMAN adalah antara masyarakat/suku yang lain tidak bisa terpisahkan seperti sebuah PERTEMANAN/PERSAHABATAN. Persahabatan atau Pertemanan bagai sebuah saudara, yang mana persaudaraan yang diajarkan Rasulullah SAW ibarat satu tubuh, satu yang sakit maka seluruhnya menjadi sakit.  Kota Bima juga indah dengan penataan alun-alun kota (lapangan) ditengah, sebelah Timur Kediaman Raja, dan sebelah Barat Masjid Sultan Salahuddin yang mengisyaratkan kita bahwa, antara satu dan lainnya harus bergandengan. Lapangan adalah gambaran masyarakat (Rakyat), kediaman Raja menggambarkan Pemimpin/Tokoh Masyarakat (Umara’) dan Masjid adalah gambaran Tokoh Agama (Ulama’).
Di samping itu, kita juga masih ingat pembinaan Toga/Toma yang dilakukan Kementerian Agama Kota Bima 29 September 2012 lalu, yang dipusatkan di Lesehan Putri kota Bima. Di mana dalam pertemuan ini dibahas, bagaimana mencegah terjadinya konflik  antara satu agama dan agama lain, satu suku dengan suku lain, dan termasuk konflik internal antara satu agama, satu pemahaman, satu individu dengan individu lainnya.  Dalam sebuah masyarakat tentu ada TOMA (Tokoh Masyarakat) dan TOGA (Tokoh Agama). Jika melihat pandangan Tradisional tentang konflik diatas, adalah akibat kurang komunikasinya pemimpin maka konflik internal bisa terjadi. Masyarakat adalah dipimpin toga dan  toma setempat, merekalah sebagai rujukan masyarakat dalam menyelesaikan permasalahannya. Cobalah kita eratkan kembali hubungan pemimpin, hubungan ulama’ dengan masayarakat. Jangan hanya saat kampanye saja, seorang calon pemimpin blusukan (masuk gang ke gang) mencari masyarakat/rakyat. Lalu setelah itu tidak merakyat kembali.
Ketiga Instrument ini (rakyat, umara’ dan ulama’) harusnya bersinergi. Bukan timpang salah satu. Rakyat hanya dekat dengan ulama’ tapi jauh dengan umara’ (pemimpin). Atau sebaliknya, rakyat dekat dengan pemimpin, namun ulama’ (toga) nya acuh tak acuh. Nah kalau ini terjadi maka wajar konflik cepat terjadi di masyarakat. Mudah-mudahan ke depan, antara pemimpin, ulama’ dan rakyat bisa mengintensipkan komunikasi bergandengan tangan seiring sejalan, bagai Kediaman Raja, Lapangan Merdeka dan Masjid Sultan Salahuddin, sehingga konflik seperti ini tidak akan terjadi kembali. Wallohua’lamubisshawab….

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Bima dan Anggota PHBI Kota Bima.

Kontes Waria di Awal Muharram



Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M.Pdi.

Rabu, 14 Nopember  2012 kemarin, pada malamnya umat Islam di seluruh dunia memperingati pergantian Tahun Hijriyah. Perhitungan 1 Muharram, terhitung sejak matahari tenggelam, tidak seperti hari atau tahun Masehi, pergantiannya pada pukul 00.00. Hijriyah sendiri, didasarkan pada peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah. Pergantian tahun 1433 ke 1434 berjalan sederhana, di Kota Bima sendiri hanya diisi dengan pawai dan tabligh akbar oleh PHBI Kota Bima di Paruga Nae. Itulah budaya Islam sesungguhnya, damai dan sederhana. Lain halnya dengan pergantian tahun Masehi, 1 Januari sering dimeriahkan dengan hura-hura dan terkesan negatif.
Berbicara Hijriyah sendiri, memang tidak akan lepas berbicara pribadi Muhammad Rasulullah SAW. Dan berbicara Muhammad adalah berbicara tentang islam yang dibawakan beliau untuk kita umatnya. Sosok Muhammad Rosululullah, tak hanya sukses dalam bidang spiritual, tetapi pada setiap peran yang dia emban dalam berbagai bidang kehidupan. Kepribadian Muhammad, sangatlah luas, beliau seorang pahlawan, ekonom/pembisnis, negarawan, orator/diplomat handal, reformer, yatim piatu yang mandiri, pelindung budak dan kaum marginal saat itu yakni perempuan. Bukan hanya itu, Muhammad adalah Hakim yang adil, dan tentara serta pendidik yang baik.
Keperibadian Muhammad SAW ini,  Allah SWT menegaskan hal demikian dalam firman-Nya surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Wujud dari uswah hasanah selain terdapat di dalam Al-Qur’an, juga melalui sunahnya. Sunah atau hadis adalah keseluruhan dari kehidupan Nabi Muhammad saw., baik perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun himmah atau cita-citanya yang belum terwujud.
Kredibilitas Muhammad sebagai ‘orang yang harus dimuliakan’ tidak hanya diakui umatnya sendiri, akan tetapi umat agama lain. Namun sangat disayangkan, pencitraan Muhammad SAW sempat membuat panas umat Islam di seluruh dunia, beberapa waktu lalu yang dilakukan oleh Sutradara Anonim Sam Bacile, yang membuat film Innocence Of Muslims. Inisama dengan apa yang dilakukan oleh Greet Wilder, politisi asal Belanda ini tahun 2008 membuat Film bertajuk FITNA.  Semua ini bentuk serangat umat lain, yang sangat membeci Rasulullah SAW secara pribadi dan Islam ajaran yang beliau bawa secara umum. Akan tetapi, terpaan-terpaan yang menimpa Islam, tidak membuatnya surut atau kehilangan umat. Justru Islam semakin solid untuk bersatu melawan praktek-praktek Zionis menghina Islam dan Rasulullah SAW.
Secara historis, peristiwa keberangkatan nabi besar Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya dari kota Makkah menuju kota Yathrib, yang kemudian disebut al-Madinah al-Munawwarah mengandung beberapa makna untuk kita ambil; Pertama, perisitwa hijrah Rasululah dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan tonggak sejarah yang monumental dan memiliki makna yang sangat berarti bagi setiap muslim, karena hijrah merupakan tonggak kebangkitan Islam yang semula diliputi suasana dan situasi yang tidak kondusif di Makkah menuju suasana yang prospektif di Madinah.
Hal tersebut bisa dilakukan umatnya saat ini, terkadang seseorang melakukan Urbanisasi (perpindahan penduduk dari desa ke Kota), atau bahkan Transmigrasi (perpindahan penduduk dari pulau satu yang padat penduduknya, ke pulau yang jarang penduduknya). Semua ini dilakukan orang dengan tujuan mencari sesuatu yang beda dari sebelumnya, atau tempat tinggal sebelumnya. Tentu berpidahnya lokasi seseorang, tidak hanya pindah tempat tinggal saja, melainkan pindah pola pikir, pindah pekerjaan, pindah cara-cara lama ke arah cara-cara baru yang lebih baik. Dan Islam di tanah air Indonesia kita ini pun, penyebarannya tidak lepas dari proses hijrahnya beberapa waliyullah, habaib, dan para ulama’ dari Arab menyebar ke semenanjung Asia termasuk Indonesia dengan berbagai cara, baik berdagang, pernikahan ataypun akulturasi budaya.
Kedua, Hijrah mengandung semangat perjuangan tanpa putus asa dan rasa opimisme yang tinggi, yaitu semangat berhijrah dari hal-hal yang buruk kepada yang baik, dan hijrah daru hal-hal yang baik ke yang lebih baik. Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya telah melawan rasa sedih dan takut dengan berhijrah, meski harus meninggalkan tanah kelahiran, sanak saudara dan harta benda. Ketiga, Hijrah mengandung semangat persaudaraan, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. pada saat beliau mempersaudarakan antara kaum muhajirin dengan kaum anshar, bahkan beliau telah membina hubungan baik dengan beberapa kelompok yahudi yang hidup di Madinah dan sekitarnya.
Hijrah atau berpindah, seperti yang saya tulis di atas, adalah semangat ingin berubah ke arah yang lebih baik. Dan terkadang perubahan itu, tidak semulus yang kita bayangkan dan rencanakan. Tidak jarang, seseorang akan mengalamai berbagai cobaan, dan kesulitan atas apa yang diusahakannya. Apalagi sesuatu itu hal yang baru baginya, belum lagi tempat tinggal yang baru. Dari itu diperlukan rasa optimisme yang kuat, jika ingin tercapai tujuan. Dari rasa optimisme inilah nantinya akan menjadi semangat kita, untuk mewujudkan kinginan itu. Berubah, tentu seperti yang disabdakan Rasululllah SAW adalah berubah dari kemarin jelek menjadi lebih baik pada saat ini, bukan sebaliknya.
Nah pertanyaanya, apakah sampai tahun 1434 Hijriyah sudahkah kita melakukan ajaran-ajaran yang Muhammad Rasulullah bawa dengan sempurna? Atau kalau tidak kapan kita akan melakukan perubahan (hijriyah) itu?  Pemaknaan hijrah tentu bukan selalu harus identik dengan meninggalkan kampung halaman seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan kaum Muhajirin waktu itu, tetapi pemaknaan hijrah lebih kepada nilai-nilai dan semangat berhijrah itu sendiri, karena hijrah dalam arti seperti ini tidak akan pernah berhenti Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ada seorang yang mendatangi Rasulullah dan berkata: wahai Rasulullah, saya baru saja mengunjungi kaum yang berpendapat bahwa hijrah telah telah berakhir, Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya hijrah itu tidak ada hentinya, sehingga terhentinya taubat, dan taubat itu tidak ada hentinya sehingga matahari terbit dari sebelah barat”.
Momentum Muharram harusnya dijadikan untuk introspeksi dan muhasabah diri. Karena tuntutan Islam adalah setiap pergantian tahun, haruslah berusaha lebih baik dari tahun kemarin. Hal ini berangkat dari hadits Rasulullah, bahwa orang yang beruntung adalah yang memaknai hari atau pergantian tahun, lebih baik perkerjaannya dari tahun kemarin. Dan sebaliknya, orang yang melakukan pekerjaan yang lebih jelek dengan tahun sebelumnya, adalah termasuk orang yang merugi. Dan untuk mengetahui, apakah pekerjaan kita kemarin buruk atau tidak, tentu dengan cara introspeksi dan muhasabah diri. Dari hasil introspeksi dan muhasabah diri inilah yang akan menjadi barometer kita untuk kearah lebih baik.
Harapan ini tentu bertolak belakang, dengan judul opini saya kali ini. Muharaam seharusnya menjadikan umat kelebih baik, ternoda dengan pemeritaan beberapa media tanggal (17/11) kemarin, bahwa ada kontes waria di Jatiwangi. Dan beberapa kalanganpun angkat bicara, tentang kontes yang tak lazim di Kota Bima ini. Untuk meluruskan opini kita tentang waria, alangkah lebih baiknya kalau kita sedikit mengetahui siapa dan bagaimana waria itu? Lalu bagaimana sebenarnya Islam memandang waria?!
Waria adalah singkatan atau sebutan dari wanita pria. Istilah ini kadang juga disebut wadam, banci, bencong, banthu, wandhu atau tepatnya pria yang dianalogkan dengan prilaku yang gemah gemulai, lembut dan kewanita-wanitaan. Perilaku waria terkadang dibuat-buat (akting), dan ada juga yang memang bawaan lahir (gen). dalam kompilasi hukum Islam, memang istilah Banci ada juga, akan tetapi banci dalam islam adalah seseorang yang lahir dengan dua kelamin sekaligus. Sehingga penentuan hukumnya tergantung pada kelamin apa yang mendominasi atau tumbuh besar.
Waria yang saat ini kita lihat, jarang ada yang berkelamin dua sekaligus, akan tetapi terbentuk akibat lingkungan tempat dia tinggal dan bergaul. Dan waria masuk dari kategori gangguan psikologi dan penyakit sosial. Sehingga dibeberapa wilayah, sering kita jumpai penjaringan waria atau razia terhadap waria.  Dikategorikan gangguan psikologi, karena prilaku yang ditimbulkannya. Waria sering berdandan untuk menarik minat pasangan sejenisnya. Mencintai dan berhubungan dengan sejenis, dalam istilah gangguan sexual/psikologi disebut homo. Jenis homo dikategorikan kedalam dua bentuk, husus laki-laki disebut gay dan perempuan disebut lesbi. Dari sinilah Islam melarang bentuk atau praktek waria.
Praktek homo sudah dikenal dalam sejarah Islam sejak zaman Nabi Luth, dan untuk waria sendiri, pada zaman Rasulullah SAW praktek seperti ini sudah ada, sehingga menyebabkan Rasulullah mengeluarkan hadits, “Laknat atas laki-laki yang menyerupai perempuan dan sebaliknya”.  Dan waria adalah laki-laki yang menyerupai perempuan. Berprilaku waria, sebenarnya membuat diri terbatas. Baik pada keluarga, maupun lingkungannya. Hal ini dinyatakan oleh Oetomo (2000) dalam penelitiannya menyebutkan, berprilaku waria memiliki banyak resiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah penolakan keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak diterima secara sosial. Dianggap lelucon, hingga kekerasan baik verbal maupun non verbal dihadapi waria. Penolakan terhadap waria juga dilakukan oleh masayarakat strata sosial atas.
Nah ini menunjukkan betapa waria menjadi masalah berkepanjangan di masyarakat. Dampak lain adalah status ibadah mereka, apakah mengikuti cara ibadah laki-laki atau perempuan, padahal mereka laki-laki. Dari itu Agama sagat melarang, dari segi kesehatan juga jelas menjadi tidak sehat dengan kehidupan sembunyi-sembunyi, keluar malam dan terkesan ngatif ke arah penyakit masyarakat. Jika terindikasi penyakit masyarakat maka ini kewajiban Satpol PP untuk mentertibkannya. Jika Penyakit Psikologi akibat Depresi, Stress dan gangguan-gangguan kejiwaan lain, pihak pemerintah dan rumah sakit berkewajiban untuk memberantas ini denganc ara dihadirkan psikolog-psikolog yang bisa membawa mereka sadar ke jalan yang benar kembali. Dan tugas kita semua, untuk mencegah dari yang munkar. Tentu Kota Bima tidak ingin menjadi atau mengulang sejarah Nabi Luth dan kaumnya yang di balik tanah kelahirannya atau tempat tinggalnya, dari atas menjadi bawah dan yang bawah menjadi atas. Na’udzubillahimindzaalik…
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di Kemenag Kota Bima dan Anggota PHBI Kota Bima

Momentum Hijriyah, Hijrah Menuju Perubahan


Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pdi.
 
Muhammad bin Abdullah, memutuskan hijrah ke kota Madinah, mencari peruntungan dakwah Islam meninggalkan Mekah, kota kelahirannya. Belum genap tiga belas tahun, waktu yang relatif singkat untuk mencipta peradaban baru, dari kota kecil nan tandus itu, beliau sukses menyampaikan pesan Tuhan ke sekian banyak manusia, merubah paganisme masyarakat jahiliyah menuju penyembahan kepada Tuhan yang satu, menembus batas teritorial kota Madinah, menaklukkan Mekah, hingga menjalar ke seluruh jazirah Arab kemudian melintasi benua. Jutaan manusia berbondong-bondong mengikuti ajakannya memasuki agama Islam. Hingga sekarang, tak sejengkal wilayahpun di bumi luput dari pancaran cahaya Islam.
Peristiwa inilah yang kita umat Islam, dijadikan tonggak sejarah setiap 1 Muharram adalah perubahan awal tahun. 15 Nopember 2012 kemarin, dalam penanggalan Islam kita Hijrah (pindah) dari tahun 1433 ke tahun 1434 Hijriyah. Satu tahun usia kita bertambah, namun apakah perubahan yang kita lakukan seiring berubahnya tahun baru kita? Dari itu, saya mencoba mempetakan makna hijrah Rasulullah untuk kita umatnya saat ini.
Ada 3 pesan perubahan dalam menyambut Tahun Baru Hijriah ini, yaitu: (1), Hindari kebiasaan-kebiasaan lama / hal-hal yang tidak bermanfaat pada tahun yang lalu untuk tidak diulangi lagi di tahun  baru ini. (2) Lakukan amalan-amalan kecil secara istiqamah, dimulai sejak tahun baru ini yang nilai pahalanya luar biasa dimata Allah SWT, seperti membiasakan shalat dhuha 2 raka’at, suka sedekah kepada fakir miskin, menyantuni anak-anak yatim, dll. (3) Usahakan dengan niat yang ikhlas karena Allah agar tahun baru ini jauh lebih baik dari tahun kemarin dan membawa banyak manfaat bagi keluarga maupun masyarakat muslim lainnya.
Bagi kita umat Islam di Indonesia, sudah tidak relevan lagi berhijrah berbondong-bondong seperti jijrahnya Rasul, mengingat kita sudah bertempat tinggal di negeri yang aman, di negeri yang dijamin kebebasannya untuk beragama, namun kita wajib untuk hijrah dalam makna “hijratun nafsiah” dan “hijratul amaliyah” yaitu perpindahan secara spiritual dan intelektual, perpindahan dari kekufuran kepada keimanan, dengan meningkatkan semangat dan kesungguhan dalam beribadah, perpindahan dari kebodohan kepada peningkatan ilmu, dengan mendatangi majelis-majelis ta’lim, perpindahan dari kemiskinan kepada kecukupan secara ekonomi, dengan kerja keras dan tawakal.
Untuk itu, mari kita jadikan makna hijrah dengan semangat menyambut masa yang akan datang dengan penuh harapan, kita yakin bahwa sehabis gelap akan terbit terang, setelah kesusahan akan datang kemudahan dan kita yakin bahwa pagi pasti akan datang walaupun malam terasa begitu lama dan panjang. Karena roda kehidupan selalu berputar dan tidak mungkin berhenti. Imam Syafi’i pernah ebrkata:”Memang sebeanrnya zaman itu sugguh menakjubkan,s ekali waktu engkau akan mengalami keterpurukan, tetapi pada saat yang lain engkau memperoleh kejayaan”. Dengan pergantian waktu setahun, menunjukkan bahwa umur kita bertambah satu tahun, tetapi kesempatan hidup kita di dunia telah ebrkurang pula satu tahun, yang berarti semakin jauh kita dari kelahiran dan semakin dekat kita kepada kematian. Hasan al-Basri mengumpamakan manusia bagaikan kumpulan hari-hari, setiap hari yang pergi, kita seperti kehilangan bagian dari diri kita. Apa yang telah pergi tidak akan pernah kembali.
Mari kita jadikan peralihan tahun sebagai momen untuk melihat kembali catatan yang mewarnai perjalanan hidup masa lalu, dengan melakukan renungan atas apa yang telah kita perbuat. Kita gunakan kesempatan ini untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup di dunia dan akhirat kelak, dengan bercermin kepada nilai-nilai dan semangat hijrah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, karena sesungguhnya Allah menjadi pergantian siang dan malam untuk dijadukan pelajaran dan mengungkapkan rasa syukur, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Furqan ayat 62, artinya “Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur. “Selamat Tahun Baru Hijriah 1434 H” Semoga hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah orang yang beruntung, Siapa yang hari ini keadaannya sama dengan kemarin maka dia rugi, Siapa yang keadaan hari ini lebih buruk dari kemarin, maka dia celaka” (Al Hadist). " Amin-Wallahu a’lam.
 
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kemenag. Kota Bima dan Anggota PHBI Kota Bima.

Nasionalisme Generasi Muda (Renungan 10 Nopember 1945)



Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pdi.

Melirik sejarah Bangsa ini, tidak lepas dari peran kaum muda waktu itu. Tidak terhitung lagi, berapa darah para syuhada’ telah tertumpah untuk membangun negeri ini. Tiga ratus lima puluh tahun atau tiga setengah abad, negeri yang selanjutnya bernama Indonesia ini, diporak-porandakan penjajah, baik Belanda, Inggris dan Amerika serta sekutu-sekutunya. Termasuk Jepang pada awal tahun 1942 sampai tahun 1945. 17 Agustus 1945 Proklamator kita, Ir. Soekarno dan Hatta, memproklamirkan Indonesia Merdeka. Akan tetapi, 1945 bukanlah akhir penderitaan rakyat Indonesia, melawan penjajah.
Lihat saja, setelah perjuangan panjang para pejuang kita, sampai Agustus 1945. Kembali pada tanggal 20 Oktober 1945 di Ambarawa terjadi pertempuran lagi. Sehingga peristiwa waktu itu dikenal dengan istilah Palangan Ambarawa. Begitu juga setahun setelah kemerdekaan di proklamirkan, kembali kedaulatan Bangsa ini, coba untuk dirong-rong kembali. Di Bandung, pada tanggal 23 Maret 1946, terjadi pertempuran antara rakyat Indonesia dan Belanda, yang selanjutnya terkenal dengan istilah Bandung Lautan Api. Dari Bandung, peristiwa yang sama terjadi kembali pada Nopember tanggal 20 1946 di  Tabanan Bali. Para pejuang muda kita, di bawah komando Kolonel I Gusti Ngurah Rai, yang dikenal dengan Pertempuran Puputan Margarana, berjuang mempertahankan kedaulatan Bangsa yang sudah dinyatakan medeka ini.
Dan tentu ingatan sejarah kita masih segar, setahun sebelumnya dari peristiwa di Bali, 10 Nopember 1945 pertempuran yang sama terjadi di Surabaya. Bung Tomo menyemangati kaum muda “arek-arek suroboyo” menyerbu markas Belanda, dan naik di atas Hotel Yamato yang saat ini dikenal dengan nama Hotel Majapahit di Jalan Tunjungan nomor 56 Surabaya saat ini. Dan peristiwa ini menjadi penetapan Hari Pahlawan Nasional. Walaupun Bung Tomo sendiri berikut Soekarno dan Hatta baru-baru ini mendapat gelar Pahlawan Nasional, setelah 67 tahun Bangsa ini beliau proklamirkan merdeka. Di atas Hotel yang terkenal juga pada waktu itu bernama Oranje Hotel (Hotel Oranye), Bung Tomo merobek kain bendera warna biru, sehingga merah-putih berkibar gagah perkasa. Walaupun sebenarnya, pada tanggal 31 Agustus 1945 Maklumat Pemerintah pada waktu itu, menetapkan tanggal 1 September 1945 Bendera Nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia.
Perjuangan rakyat Indonesia belum tuntas sampai di sana. Tahun 1949 di Yogyakarta juga terjadi perebutan kekuasaan, yang dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret. Termasuk tahun 1965 peristiwa G.30 SPKI. Begitu panjang derita bangsa ini, baik sebelum 1945 ataupun sesudahnya. Dan perjuangan demi perjuangan para pahlawan kita ini, kalau kita lihat lebih banyak melibatkan generasi muda. Dari peristiwa Soempah Pemuda 28 Oktober 1928, para pemudalah yang banyak menyumbangkan kemerdekaan pada bangsa ini. Termasuk di Dana Mbojo sendiri, dalam tulisan Tajib tahun 1995 dan tahun 1999, beliau menceritakan perjuangan Laskar Bima melawan belanda dan juga melawan Jepang pada tahun 1942 hingga 1945. Dan pertanyaan kita selanjutnya, apakah generasi muda saat ini sudah mewarisi nilai-nilai kepahlawanan para pahlawan kita?! Atau cukup dengan tawuran, miras, narkoba, dan video mesum?!
Al-qur’an sangat menganjurkan kita untuk selalu bersyukur atas segala bentuk nikmat yang diberikan-Nya. Dalam Firman Allah SWT surat Ibrahim ayat 7 dikatakan, “sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku kan menambah nikmat kepadamu, tapi jika kamu mengingkati nikmat-Ku maka pasti adzab-Ku sangat berat”. Berangkat dari ayat ini, bentuk syukur apakah yang pernah kita perbuat, dalam berbangsa dan bernegara yang dahulu mereka pertahankan dengan pengorbanan yang luar biasa, sehingga kita bisa menikmati dengan segar udara kemerdekaan di Negeri ini. Coba kita renungkan sejenak, warisan yang mereka tinggalkan ini.sudah kita rawat dengan baik, atau kita mau hancurkan kembali pelan-pelan?! Dan sejauhmanakan kiranya penghayatan akan arti dan makna dari kepahlawanan bagi generasi muda sekarang ini?! Suatu pertanyaan untuk dijawab dengan tidak begitu mudah,  belum lagi dengan semrautnya keadaan dewasa ini utamanya menyangkut terhadap apa yang dikatakan orang bahwa krisis terhadap nilai-nilai kepahlawanan itu sendiri terasa bagi kita bersama. Dan kita tidak jarang menangkap kegelisahan generasi muda, mereka dalam keadaan bingung dan bertanya-tanya, nilai-nilai apa yang sebenarnya kini sedang berlaku, mengingat tingkah laku dari para pemimpin, yang dikatakan sering berbeda antara ucapan dan perbuatan, memberi janji tanpa ditaati dan terjadi hal-hal yang cenderung mengabaikan aturan permainan
Kesemuanya itu berbaur dalam alam kemerdekaan kita sekarang ini dan lebih dari itu sangat terasa pada apa yang kita sebut dengan “kejujuran” sering sebagai salah satu ciri khas kepahlawanan telah merupakan barang komoditi moral yang lagi ambruk, kejujuran adalah klise yang tak pernah kadaluwarsa. Tapi kejujuran itu semakin kian menipis dan terasa langka adanya justru saat ini kita sangat memerlukan sebagai landasan moral dari suatu tanggung jawab pembangunan karakter bangsa. Begitu kadang-kadang keras orang-orang mengadakan perbandingan, dengan mengatakan, “yang jujur terkubur, yang sabar terkapar dan terlantar”, apakah telah sedemikian semerautnya keadaan masyarakat kita dewasa ini, oleh desakan kemajuan teknologi yang menuntut manusia untuk berpacu dalam segala keadaan dan waktu?!.
Ada empat karakteristik orang dikatakan pahlawan. Pertama, Berani. Artinya, sifat berani dalam hal menegakkan kebenaran. Berani tidak identik dengan nekat, akan tetapi berani masih bisa berpikir jernih untuk melakukan tindakan. Dia akan berpikir dampak yang akan timbul jika melakukan sebuah perbuatan. Tentu untuk urusan kebenaran dia akan di depan untuk memperjuangkannya. Selanjutnya, kedua ialah Pantang Menyerah. Pantang menyerah, adalah kata untuk melukiskan orang yang berbuat tanpa ada putus asa. Dia akan sanggup menghadapi segala rintangan, dan jika gagal terus akan mencoba kembali sampai kebenaran itu tegak. ketiga dari kerakteristik seorang dikatakan pahlawan adalah, Rela Berkorban. Pahlawan akan merelakan kepentingan dirinnya sendiri, pikiran, tenaga, harta bahkan nyawa untuk kepentingan orang lain yang memang sangat harus ditolong. Dan keempat adalah Mendahulukan Kepentingan Orang Lain. Orang lain atau kepentingan orang banyak, haruslah didahulukan baru kepentingan diri sendiri atau kelompok. Nilai kepahlawan itu sendiri sebenarnya tidak terbatas pada suatu masa atau suatu bidang kehidupan tertentu saja. Potensi dan intuisi kepahlawan itu sendiri akan selalu ada dan hidup di dalam diri orang yang memiliki bakat untuk itu, dan ini akan selalu ada disegala zaman dan disegala bidang kehidupan.
Pada keadaan masyarakat kita sekarang, sifat dari kepahlawanan itu sendiri terasa sangat sukar untuk ditemukan. Bahwa hal yang demikian, dapat dikatakan langka dan nilai-nilai kepahlawanan itu sendiri kian kabur serta sulit untuk dilihat realita yang jelas. Ia hanya dapat dirasakan sebagai suatu bentuk impian, yang kian sirna dari kehidupan dalam masyarakat kita dan terdesak oleh sifat keras kehidupan yang ada dewasa ini . Pencermian yang suram, dari nilai kepahlawan itu sendiri, tidak lepas dari moral etika yang mencuat dari generasi suatu bangsa. Nilai kepahlawanan yang bersifat heroisme, patriotisme dan nasionalisme sebagai pencerminan watak generasi sebelumnya. Bagaimanapun generasi muda akan mewarisi nilai-nilai dari kepahlawanan itu sendiri, jika semua itu hanya lewat anjuran-anjuran yang bersifat verbal dari mereka yang menginginkannya, sedangkan tindakan dari sang penganjur sendiri sangat bertentangan dari apa yang mereka katakana. Kiranya pahlawan dalam arti keteladanan adalah sangat diperlukan pada masa sekarang ini, bukan hanya dengan omongan saja. Mereka-mereka yang lebih berhikmat dibidangnya masing-masing untuk memerangi kemiskinan, menjunjung tinggi hak azasi manusia yang kesemuanya itu lebih berarti daripada apa yang hanya berupa anjuran-anjuran belaka.
Sesuai dengan era pembangunan dinegeri kita yang sedang berjalan dewasa ini , kiranya pula satu keteladanan lebih berharga dari kepahlawanan itu sendiri, dengan kata lain bahwa “teladan” lebih sesuai dari pada pahlawan, karena pada saat sekarang negara lebih memerlukan mereka yang mau bekerja keras untuk membangun negaranya dan keteladanan yang demikian patut untuk mendapat penghargaan. Memang kita sering melihat dan mendengar dan membaca di Media massa berbagai bentuk pemberian penghargaan yang tentunya juga bersifat keteladanan itu sendiri yang sering dilaksanakan di istana Presiden, tapi gaung dari keteladan itu sendiri tidak begitu ditanggap oleh generasi muda untuk diteladani. Kiranya ada sesuatu yang kurang pas dihati para generasi muda kita yang masih cenderung konsumtif dan hura-hura.
Rasulullah SAW sendiri menyatakan dirinya diutus untuk memperbaiki akhlak, bukan memperbaiki kata-kata. Sebuah Hadits beliau, “aku diutus ke muka bumi ini, untuk memperbaiki akhlak”. Jadi harusnya kita tidak membuang energi, untuk ceramah dimana-mana, akan tetapi sulit untuk kita terapkan. Menasehati orang baik, namun kita sendiri tidak baik. Saya sering contohkan jika anak-anak kita mau berakhlak baik, maka orang tua di dalam rumah (lingkungan) yang menjadi pigur dari seorang anak itu, haruslah selalu menunjukkan etika (akhlak), budi pekerti yang baik. Menyuruh anak shalat atau mengaji, akan tetapi selaku orang tua tidak membarengkan dengan shalat juga, menjadi aneh. Pahlawan kita, tidak hanya memerintahkan serang penjajah, akan tetapi ikut terjun di depan, memimpin pengikutnya.
Kiranya makna hakiki dari arti nilai suatu kepahlawanan sekarang ini, dapat dikatakan telah mengalami erosi. Pendek kata, nilai kepahlawanan sewaktu masa revolusi dulu, kini telah mengalami perkembangan arti. Ia tidak lagi sebagaimana bentuk asli, sewaktu nilai-nilai kepahlawanan yang bersifat heroik tersebut, diperlukan pada zamannya. Ia telah bergeser pada arah keteladanan, yang memungkinkan hal-hal yang demikian, dapat ditampilkan sebagaimana mestinya. Dan guna buat kita sadari bersama, penerimaan dari masyarakat nanti, dan semua ini kita serahkan kepada waktu dan keadaan serta sejarahlah yang akan mencatatnya.  Karena hanya itu yang bisa kita perbuat saat ini, untuk berjuang mengangkat senjata, kiranya sudah bukan zamannya lagi. Perang bukanlah solusi terbaik menyelesaikan masalah Bangsa. Masih ada diplomasi-diplomasi dan usaha lain. Karena peperangan justru akan membuat masalah baru, kemiskinan, keterpurukan ekonomi, penurunan kualitas pendidikan dan keadaan trauma akibat tidak aman situasi.
Mengikuti jejak pahlawan bukan berarti seperti apa yang mereka lakukan tempo dulu. Nilai-nilai yang bisa kita terjemahkan dari semangat mereka merebut kemerdekaan inilah yang bisa kita lakukan saat ini. Agar Indonesia yang mereka rebut sulu, selalu berjaya seperti yang diharapkan. Walaupun mereka tidak menikmati langsung hasil perjuangannya, akan tetapi untuk kita, anak cucunya, generasi-generasi selanjutnya. Begitupun nantinya kita akan memberikan estafet memelihara bangsa ini pada generasi selanjutnya.
Kiranya, lagu “Mengheningkan Cipta” membantu kita memahami jasa para pahlawan. Mereka berjuang bagi nusa dang bangsa. Mereka mereka mengorbankan jiwa dan raga demi bangsa. Jasa mereka itu sangat berharga. Mereka seperti cahaya pelita dalam kegelapan. Berkat perjuangan mereka negara kita merdeka. Mereka tahu bahwa penjajahan itu tidak benar. Maka mereka berjuang menentang penjajahan. Mereka juga tidak menyerah ketika menderita. Tentu kamu pernah mendengar cerita bagaimana Panglima Besar Jenderal Sudirman berjuang. Waktu itu beliau sakit keras. Namun, dengan semangat tinggi beliau tetap memimpin pasukan bergerilya melawan Belanda. Kita bisa mengatakan seorang pahlawan memiliki sifat - sifat berani, pantang menyerah, rela berkorban, dan mendahulukan kepentingan orang lain. Semoga kita semua mampu berbuat untuk itu, Amin.
 
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Bima dan Anggota PHBI Kota Bima.

Mewujudkan Kota Bima sebagai Kota Pendidikan



Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pdi.

Dari beberapa hari, saya membaca sebuah seruan, “mari menjadikan Kota Bima kota pendidikan” mudah-mudahan tulisan saya ini, bisa lebih mempersiapkan kota tercinta ini sebagai kota yang benar-benar bila perlu menjadi rujukan Indonesia bagian timur. Tentu ini bukan pekerjaan mudah, dan harus kompak seluruh elemen masyarakat dan pemerintah termasuk guru dan wali murid. Kejadian baru-baru ini mutasi guru yang menurut beberapa pengamat, kurang “manusiawi” adalah bentuk ketidak siapan sebagian kita untuk mewujudkan Kota Bima ini menjadi Kota Pendidikan. Benahi dulu itu, karena 8 aspek pendidikan itu harus terpenuhi, terutama adanya tenaga pendidik yang sesuai dengan “kenyamanan” mereka dalam menyampaiakan materi ajar.
Tentu masih kita ingat kejadian menjelelang Hari Pendidikan Mei 2011, SMAN 2 Kota Bima yang mengadakan perpisahan sekolah? Nah itu juga sebuah PR (Pekerjaan Rumah) insan-insan pendidikan di Kota ini untuk mencapai tujuan bersama itu.  Termasuk yang terbaru beberapa hari kemarin, Video Mesum di duga salah seorang siswi SMK dan Mahasiswa di Kota Bima, kenapa bisa terjadi?! Coba kita telaah bersama Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional kita dalam Pasal 4 tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan butir ke 6 jelas dikatakan bahwa, pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
Memang sekolah adalah pelaksana pndidikan namun tugas mendidik bukan hanya Pak Guru atau Ibu Guru di sekolah saja, tapi semua komponen masyarakat. Rata-rata proses belajar mengajar di sekolah berlangsung 6-7 jam saja sehari, dan kita hidup 24 jam sehari. Untuk istirahat mungkin 7-8 jam saja, sisanya 9 jam anak didik kita bersama siapa? Tentu kita sepakat, mereka bersama keluarga, teman dan masyarakat lingkungannya. Kalau kita bandingkan, proses belajar mengajar 7 jam dengan seabrek Mata Pelajaran yang mereka harus serap saat itu sangat tidak mungkin untuk sempurna. Belum lagi masalah psikologi mereka, di rumah ada masalah dengan keluarga, teman bahkan pacar. Di sekolah terkadang timbul masalah dengan Guru, teman sekolah, dan Mata Pelajaran yang mereka tidak sukai.
Dari sini para orang tua plus masyarakat lingkungan siswa harus mengambil peran penting, dalam menjadikan anak didik berprilaku sesuai dengan tuntutan pendidikan bahkan tuntutan masyarakat. Seorang Psikolog asal Bali, Dewe Putu Arta mengatakan, “menjadikan anak pintar / baik tidak cukup 1-2 guru, akan tetapi orang sekampung”. Pelajaran yang mereka terima terkadang terlupakan setelah mereka pulang karena asyiknya main bersama teman-temannya di rumah. Dan sebaik apapun pendidikan yang diberikan di sekolah, tapi kalau sampai di rumah atau lingkungan masyarakatnya, mereka anak didik kita melihat langsung sesuatu yang beda, maka secara tidak langsung mereka belajar dengan sendirinya.
Dan sekarang kita pertanyakan diri kita masing-masing, sudahkah kita memberikan lingkungan yang mendidik bagi mereka? Ini baru dari lingkungan, belum dari keluarga, dan media termasuk Internet dan televisi. Pernahkah kita menemani putra-putri kita saat menonton TV atau sekedar bertanya siapa teman-teman bergaul mereka? Atau sejauh mana penyerapan mereka terhadap pelajaran yang dijarakan di sekolah? Mungkin ada, tapi jelas tidak semuanya.
Saya sepakat dengan kebijakan pemerintah tentang Ujian Nasional akhir-akhir ini. Pemerintah tidak mengukur kelulusan hanya dari Ujian Nasional. 60 % dari hasil Ujian Nasional dan 40 % dari Mata Pelajaran / Ujian Lokal. Bisa jadi 40% adalah Hidden Curicullum yang diterapkan masing-masing lembaga pendidikan. Hidden Curicullum atau kurikulum tersembunyi pertama di ungkap oleh John Dewey mengeksplorasi kurikulum tersembunyi dalam penelitiannya di awal abad 20, khususnya dalam buku klasiknya Democracy and Education. Dewey melihat pola dan kecenderungan yang berkembang di sekolah yang menyandarkan diri pada perspektif pro-demokratis.
Kembali masalah Kurikulum Tersembunyi di ungkap  oleh Philip W. Jackson dalam bukunya Life In Classrooms tahun 1968. Ia mengemukakan argumen pentingnya pemahaman pendidikan sebagai proses sosialisasi. Segera setalah tulisan Jackson itu terbit, Benson Snyder mempublikasikan buku The Hidden Curriculum, yang mengajukan pertanyaan tentang mengapa siswa - bahkan atau terutama yang berbakat - menjauhi pendidikan. Snyder menyokong pendapat bahwa kebanyakan konflik kampus dan kecemasan siswa disebabkan oleh sejumlah norma akademik dan sosial yang tidak dinyatakan, yang menghalangi kemampuan siswa untuk berkembang secara mandiri atau berpikir secara kreatif.
Adapun fungsi Kurikulum Tersembunyi Menurut Elizabeth Vallance, bahwa  mencakup "penanaman nilai, sosialisasi politis, pelatihan dalam kepatuhan, pengekalan struktur kelas tradisional-fungsi yang mempunyai karakteristik secara umum seperti kontrol sosial." Kurikulum tersembunyi dapat juga diasosiasikan dengan penguatan ketidaksetaraan sosial, seperti terbukti dalam perkembangan hubungan yang berbeda terhadap modal yang berdasar pada jenis kerja dan aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan yang diterapkan pada siswa jadi berbeda-beda berdasarkan kelas sosialnya.
Manusia hidup social, artinya manusia  tidak biasa hidup sendirian tanpa orang lain. Dan nilai-nilai social itulah yang kita wariskan secara tidak langsung pada putra putrid kita. Mereka belajar dari sana, cara bergaul, berpakaian, dan memahami orang lain. Tingklah laku dan prilaku orang tua, pendidik, dan putra-putri kita adalah hasil dari kurikulum tersembunyi ini. Hal itu memang tidak diajarkan secara formal, secara oral namun dengan uswah atau contoh yang baik. Bukan kah Nabi kita Muhammad SAW juga menitik beratkan harga manusia pada budi pekerti / akhlaknya? Oleh karena itu, sebagai pendidi, entah itu di Sekolah, Rumah atau Lingkungan Masyarakat. Apakah itu Pak / Ibu Guru, Orang Tua atau Teman, hendaknya tunjukkan sesautu yang benar-benar pantas jadi Guru (di gugu dan di Tiru) oleh anak-anak didik kita. Jadi jika kasus di SMAN 2 Kota Bima adalah sebuah kegagalan, itu berarti kegagalan kita semua. Wassalam.

Bagian Penyuluh Agama Islam di  Kantor Kementerian Agama  Kota Bima. Dan anggota PHBI Kota Bima.

Catatan dari Workshop Pembinaan Toga/Toma Kemenag se-Kota Bima “Mau Rukun, Kembali ke Pancasila”



Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pdi.

Toga atau lebih dikenal dengan Tokoh Agama adalah terbentuk karena kharisma dan keilmuannya yang khusus dalam bidang agama Islam. Sedangkan Toma atau Tokoh masyarakat terbentuk melalui sistem prosedural (Pilpres, Pilwali, Pilbub, RT, RW, Kepala Desa) dan lain-lain. Namun Tokoh Agama sudah jelas menjadi Tokoh Masyarakat. Akan tetapi Tokoh Masyarakat belum tentu menjadi tokoh agama.  Tema yang diangkat dalam pertemuan di Lesehan Putri ini, yakni mencegah konflik antar, inter, dan antara umat beragama. Dalam workshop sehari ini juga dibahas bagaimana mencegah timbulnya penyakit sosial yang ada di sekitar kita, mulai lemahnya iman umat Islam sehingga malas untuk melakukan ibadah, minuman keras, judi dan anak remaja yang nakal.
Seminar tanggal 29 September 2012 kemarin, terasa hangat sekali dalam ingatan kita, akan tetapi kini kita dikejutkan kembali konflik antara dua desa di wilayah Bima (Roka dan Roi) seperti diberitakan koran ini (selasa 02/10) kemarin.  Bahkan konflik dua desa bertetangga ini juga memakan korban satu orang tewas. Dalam hal ini, perlu juga Kabupaten Bima atau Tokoh agama, masyarakat dan adat di dua desa ini rembuk dalam mencegah konflik antara umat beragama, antara masyarakat satu adat seperti ini. Masyarakat kita begitu mudah disulut hal-hal yang mengakibatkan anarkis, dan mengakibatkan konflik berkepanjangan. Dan semoga ini menjadi konflik terakhir di Dana Mbojo ini, lebih-lebih untuk kota Bima jangan pernah terjadi setelah pertemuan toga/toma kemarin.
Mengawlali pemaparan Nara Sumber, Drs. H. Syahrir, M.Si. selaku kepala kementerian Agama Kota Bima, memberikan garis bawah pidato Presiden Susilo Bambang Yudoyono beberapa waktu lalu, mengenai Empat pilar Indonesia. Empat pilar yang dimaksud, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI dan Bhineka Tugal Ika adalah nilai mati yang tidak bisa ditawar dalam ragam masyarakat yang terdiri dari berbagai agama, ras, suku dan bangsa ini. Nah peran Toga dan Toma sangat dibutuhkan dalam hal mencegah sedini mungkin konflik yang timbul karena pergesekan ras, suku, agama dan bangsa yang ada. Contoh paling gress misalnya, tawuran antar kelompok pelajar yang di Jakarta dan mengakibatkan satu korban tewas. Sebelumnya inter umat beragama (Islam) terjadi di Sampang Madura Jawa Timur, antara Sunni dan Syi’ah. Juga antar umat beragama seperti yang terjadi di Maluku, antara Islam dan Kristen.
Terlebih bulan Oktober ini, harus kita merenungi kembali peristiwa tahun 1965 silam. Bagaimana pancasila dirong-rong kewibawaannya oleh segelintir orang yang menamakan dirinya Komunis Indonesia. seperti yang saya pernah tulis dalam opini sebelumnya, G30/SPKI adalah gerakan anti Tuhan, dan sangat bertentangan dengan pilar kebangsaan kita yaitu Pancasila yang mengenal Tuhan dalam sila pertamnaya, “ketuhanan Yang Maha Esa”. Sehingga tanggal 1 Oktober kita peringati dengan hari Kesaktian Pancasila. Landasan inilah yang harus kita patuhi dan kita amalkan, bukan sekedar menghafal Pancasila dari TK-Perguruan Tinggi, namun bagaimana cara pengamalannya yang tepat dalam kita berbangsa dan bernegara. Enam agama yang ada di Indoensia, rata-rata mengenal adanya Tuhan dan Tuhan yang dimaksud adalah bersifat Esa (tunggal).
Perenungan kita dalam ber-pancasila hendaknya bisa membuat kita bisa memahami agama dan cara ibadah umat yang lain. Walaupun mereka adalah umat minoritas di Indonesia, tapi senyampang tidak menganggu ketentraman umat yang lain, silahkan mereka menjalankan ibadahnya sesuai agamanya masing-masing. Islam tidak perlu merasa paling benar sendiri, Islam justru harus lebih baik, menunjukkan agama ini adalah agama rahmatan lil ‘alamin (agam rahmat untuk sekalian alam). Rasulullah pun mengajrkan kita hidup berdapingan rukun bersama orang-orang yang nasrani, majusi, yahudi pada masa beliau. Beliau hanya memerangi orang-orang yang menentang dan memusuhi Islam. Al-Qur’anpun demikian, agamamu agamamu, agamaku ya agamaku. Surat al-Kafirun itu jelas pedoman islam dalam hidup berdampingan dengan umat lain agar tidak timbul konflik-konflik antar agama.
Akan tetapi konflik antar umat beragama selama ini jarang terjadi, justru yang banyak terjadi konflik atas nama kepentingan ekonomi dan dendam pribadi bahkan asmara. Nah peran Toga dan Toma juga harus bisa menjembatani ekonomi umat agar umat ini sejahtera. Kembali ke landasan negara kita pancasila, sila ke lima yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. pertanyaannya konflik berlandaskan ekonomi selama ini akankah karena masyarakat kita belum merasa diperlakukan adil?! Entah dari adil ekonominya ataupun adil dalam penegakan hukum?! Yang jelas tokoh-tokoh inilah yang harus mengupayakan sedemikian rupa agar masyarakat kita merasa aman, tertib dan sehat dalam menjalani hidup dan kehidupan mereka masing-masing.
Beberapa peserta juga ikut berpartisipasi memberikan tanggapan bahkan curhat yang mreka rasakan selama ini, misalnya mulai dari pendidikan haruslah pendidikan agama dan budi pekerti itu lebih banyak porsinya dengan mata pelajaran yang lain, sehingga sedini mungkin anak-anak bangsa ini terhindar dari konflik seperti yang sudah ada. Satu menilai kurang tegasnya aparat dan pemerintah dalam mengambil sikap, sehingga terkesan dibiarkan berlarut-larut dan kalau sudah hal itu terjadi, maka sulit untuk diselesaikannya. Dan demikian juga dengan peserta yang lain, menilai konflik yang terjadi selama ini, karena masyarakat tidak taat aturan, termasuk Pancasila sendiri, apabila aturan dasar ini sudah tidak ditaati atau dilupakan, maka terjadilah konflik. Dan Umi Mariya memulai tanggapannya dengan istilah ibdak binafsik (mulailah dari diri sendiri), para tokoh harusnya memberikan comtoh konkrit dalam hal ini.
Perlu diwaspadai juga konflik-konflik antara umat islam yang sealiran diakibatkan pilihan berbeda dalam pemilihan partai, calon bupati, gubernur dan presiden seperti yang terjadi di Situbondo, antara NU dan NU sendiri dalam pemilihan Gubernur beberapa tahun yang lalu. Dan tidak menutup kemungkinan di Kota Bima ini, menjelang Pemilihan Wali Kota, pergesekan-pergesekan kepentingan akibat ekonomi itu akan muncul. Politik ada yang mengatakan kejam, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan dan keinginan. Coba kita melirik Pilkada DKI berapa banyak Islamnya dan berapa banyak orang Betawi, namun tokoh Islam dan Betawi kampanye kemana-mana untuk mencoblos yang Islam dan yang Betawi tidak digubris, itu menandakan Politik bisa membuat tokoh agama dan masyarakat tidak diindahkan masyarakat. Lalu ada orang yang mengatakan, beda urusan politik dan agama bahkan adat?! Memang beda akan tetapi imbasnya nanti pada tataran kebijakan-kebijakan yang menyangkut umat beragama sendiri.
Kembali ke peran dan munculnya tokoh agama, adalah tidak diminta untuk ditokohkan akan tetapi muncul sendiri melalui pandangan masyarakat. Seorang Tuan Guru, Ustad atau Kyai tidak pernah diminta untuk dipanggil gelar-gelar sosial tersebut, melainkan kesadaran masyarakatlah yang menganggap seorang tokoh pantas menyandang gelar demikian. Dan sangat jarang kita temukan seseorang yang meminta dirinya untuk dipanggil Tuan Guru, atau Kyai bahkan ustad. Malahan ada beberapa tokoh agama yang tidak mau dipanggil gelar-gelar demikian, karena mreasa ilmunya masih jauh dari yang akan diembannya. Amanah dari masyarakat untuk seorang tokoh agama sangatlah berat dari pada tokoh masyarakat. Karena tokoh agama akan selama-lamanya ditokohkan, diminta fatwanya dalam urusan-urusan gama, namun untuk tokoh masyarakat, sekedar masa mereka menjabat saja. Akan tetapi memang ada tokoh masyarakat yang selalu di dengarkan warganya walaupun dia sudah tidak menjabat, in idiakibatkan karena wibawa dan baiknya sewaktu memimpin.
Berangkat dari hal ini, harusnya masyarakat yang menokohkan seseorang, bila di nasehati akan cepat nurut atau mengikuti apa saran dari tokoh yang ada. Ibarat shalat Jama’ah sepeti yang dicontohkan TGH. Drs. Taufiquddin Hamy (ketua MUI Kota Bima), jika seorang Imam meminta shaf diluruskan maka jama’ah secara sadar dan langsung meluruskan shafnya masing-masing. Jika i’tibar ini kita aplikasikan dalam kehidupan nyata (dunia), maka harusnya jama’ah yakni masyarakat akan patuh dan ta’at pada iamam-imam mereka (tokoh). Namun kenyataannya tidak demikian.
Dalam masyarakat konflik selalu muncul, penyakit sosial selalu muncul dan pergeseran-pergesaran nilai akhlak itu selalu ada. Lalu timbul pertanyaan, apakah ada yang salah dari cara kita berdakwah, menasehati mereka? Atau sangat fatal, bila pars tokoh sudah tidak diindahkan alias tidak didengarkan lagi? Dalam hal ini, Drs. M. taufiqurrahman, M, Pd. Menilai mungkinkah kita hanya melakukan amar makruf saja (menyuruh ke kebaikan), namun nahyu anil munkar (mencegah ke kejelekan) jarang kita lakukan? Agama memberikan alternatif dalam Hadits riwayat Muslim misalnya, “barang siapa yang melihat kemunkaran, hendaklah dia cegah dengan tangannya (kekuasaan), apabila tidak mampu, maka dengan lisannya, apablila tidak mampu maka dengan hatinya (diam) akan tetapi yang demikian itu termasuk lemahnya iman”
Pertemuan yang berlangsung satu hari ini, memang tidak akan menyelesaikan masalah Bangsa khususnya Kota Bima dalam sekejap, sehingga KH. Drs. Ramli Ahmad, M AP. mengusulkan agar Toga dan Toma kompak untuk selalu mengadakan pertemuan rutin yang nantinya menjadi barometer keberhasilan dakwah selama ini. Diakui memang beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat menyebar dalam lembaga-lebaga dakwah, seperti PHBI, DMI, IPHI, MUI, FKPAI, FKSPP, BAZNAS, NU, Muhammadiyah, LDI, Prsis dan sebagainya. Menyebarnya para toga dan toma ini mungkin yang terlihat hanya sendiri-sendiri. Nah jika para toga dan toma ini mempunyai forum tersendiri untuk menyatukan sikap dan mengatur strategi, insyaallah menurut Ustad H. Adnin, M.Pdi dari Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam Kota Bima, selaku ketua beliau berharap  konflik dan timbulnya penyakit-penyakit sosial di masyarakat akan segera teratasi dan tercegah sedini mungkin. Lain halnya dengan sambutan Wali Kota, ke depan pembinaan/pertemuan Toga dan Toma harus melibatkan toga dan toma agama lain yang ada di Kota Bima. Dengan begitu, toleransi beragama dan membangun kerukunan harus dilakukan semua pihak yang ada. Amin..
 
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di Kementerian Agama Kota Bima dan Anggota PHBI Kota Bima.

Antisipasi Islam atas Komunisme (refleksi G30S PKI)


Oleh : Musthafa Umar, S. Ag., M. Pdi.
 
 
30 September sebentar lagi, satu peristiwa yang pernah tertoreh di negeri ini, kelam dan sekaligus biadab pernah terjadi. Entah benar atau tidak film sejarah tersebut, setiap tanggal 30 septeber biasanya TVRI menayangkan itu, film ini menjadi tontonan wajib pada era pemerintahan Soeharto. Namun, setelah Soeharto lengser perdebatan sejarahpun terjadi soal kebenaran film  G30 SPKI itu. Dan, terlepas dari perdebatan sejarah, memang pernah berdiri sejak Tahun 1920 sebuah Partai yang menamakan Partai Komunis Indonesia.   Tahun 1965 pada milad  (ultah) ke-45nya Partai ini, mengadakan perebutan kekuasaan dab menggulingkan Dewan Jenderal, A. Yani dan kawan-kawan, selanjutnya kita kenal sampai saat ini dengan istilah Pahlawan Revolusi.
 
Monument Lubang Buaya, seolah menjadi saksi bisu pernah ada ‘kebiadaban’ dalam pergulatan sebuah Partai dalam mengejar kekuasaan. Dan kata-kata Komunis kalau saya mengutip tulisannya Auliyasari Utami bahwa jelas anti Tuhan atau tidak mengenal adanya Tuhan. Sedangkan Islam dan Indonesia khususnya mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga dari istilah nama saja, Partai ini sebenarnya terlarang di Indonesia. Karena bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila kita.
 
Lalu bagaimana sebenarnya agama kita memandang Komunisme? Kalau kita akan membahas agama (Islam) dan Komunisme, sebenarnya kita akan membahas dua tokoh Ibnu Khaldun dan Karl Marx yang memang bersebrangan. Ini persis dikatakan Auliya,  bahwa letak perbedaan Islam dan Komunis adalah terletak pada konsepsi Ketuhanan dan mekanisme operasinya. Proses sejarah mengemukakan bahwa seolah-olah pengaruh Ibnu Khaldun terhadap Karl Marx dengan teori Marxismenya. Sekilas kita pernah mendengar adanya faham Machiavelli yakni faham menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan.
 
Komunisme itu sangat bertentangan oleh fitrah manusia, dan secara hakiki manusia tidak akan menerima ideologi yang totaliter dan sentralis (bathil) itu. Bahaya laten Komunis di zaman kekinian (kontemporer) dirasakan lebih berbahaya, kerena jika dahulu bahayanya dalam bentuk Partai, jika saat ini adalah dengan cara “pola pikir”. Untuk dapat melihat bahaya laten Komunisme, ada beberapa aspek yang diperlukan, diantaranya; pertama, aspek politik formal. Memang sejak kejadian 1965 itu, Partai Komunis Indonesia telah bubar, akan tetapi tidak menutup kemungkinan Partai yang ada muncul dengan mengusung cara-cara dan program PKI pada waktu itu. Karena boleh dikata, Partai Komunis saat itu sangat cepat diterima dan mengalahkan partai-partai yang ada.
 
 
 
Kedua, aspek sosial. Pada aspek sosial ini kita akui PKI punya strategi sosial yang sangat jitu. Terlepas dari landasan filsafatnya yang bersifat atheistis strategi sosialnya juga meliputi keadaan sosial, anti eksploitasi dan sebagainya. Hal ini bagaimanapun juga tetap attractive bagi orang-orang kecil dan bagi orang yang merasa tidak mendapatkan keadilan sosial. Oleh sebab itu, Komunis dalam pengertian partai politik formal tidak merupakan bahaya laten lagi, tetapi kecendrungan berpikir dan berperilaku komunis selama masyarakat belum mampu menterjemahkan keadilan sosia; pada suatu konsep yang matang. Kelemahan inilah yang menyebabkan mudahnya strategi sosial Komunis berubah menjadi ideologi Komunis yang mengendap dalam pola pikir perilaku masyarakat Indonesia.
 
Mengenai pandangan Islam juga jelas pada hakekat keyakinan (iman) bahwa Islam mengenal Tuhan dan Hari Akhirat. Sedangkan Komunis hanya mengenal urusan dunia saja, masalah Akhirat menurut Komunis tidak dipermasalahkan mau berbuat apa, yang jelas keadilan di dunia tegak bagi masyarakat semuanya. Dan masalah Akhirat adalah pribadi manusia dan Sang Penciptanya sendiri. ini sesuai dengan Surat Al-Kahfi ayat 29 mengatakan, “Dan katakanlah; kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin ingkar (kafir) biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang lalim itu Neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.
 
Dalam surat Yunus ayat 99 dan 100 juga Allah mempertegas FirmanNya, “jika Tuhan menghendaki, niscaya beriman seluruh orang di muka bumi ini. Adakah engkau memaksa manusia supaya mereka beriman? Tiadalah seorang beriman, melainkan dengan izin Allah. Dan Allah menimpakan kemurkaan pada orang yang tidak mempergunakan akalnya”. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan di dalam surat Al-Baqarah ayat 256, “tidak ada paksaan dalam agama”. Berangkat dari dalil-dalil naqli ini, maka haramlah hukumnya bagi paham Komunisme.
Coba kita lihat bagaimana cara Aidit (pimpinan tertinggi) PKI waktu itu memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah Angkatan Bersenjata. Buku Sejarah menulis,  di mana ia berbicara tentang perasaan, kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara Tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para Komunis. Rezim Soekarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintah NASAKOM.
 
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian “angkatan kelima” di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang dipersenjatai. Bukannya perjuangan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malahan berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jenderal-jenderal militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan, dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa, “NASAKOMisasi” angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan “angkatan kelima”. Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh Indonesia. di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatur militer dan negara sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
 
Dibalik segala perbedaan, ada beberapa infiltrasi melalui istilah yang digunakan Komunisme, hingga dirasakan adanya kesamaan antara Islam dan Komunisme. Memang istilah tentu tidak sama. Misalnya Komunisme menyebut diperanginya “kapitalisme”, Islam memakai istilah “mengutuk orang-orang yang menumpuk harta”. Komunis juga memakai istilah, “sosialisme” yang hendak ditegakkan, Islam mengatakan, “menjadi kaum tertindas menjadi pemimpin di bumi mewarisi bumi” Komunisme menyatakan tujuannya yang terakhir adalah terbentuknya “masyarakat Komunis”, “masyarakat tanpa kelas”, sedangkan Islam memakai, “masyarakat Tauhid”. Komunisme juga memakai istilah, “perjuangan kelas”, sedangkan Islam lebih menggunakan istilah, “usaha kaum”.
 
Dengan mengemukakan beberapa sedikit kemiripan istilah, maka beberapa ulama’  membolehkan Komunisme dalam bernegara, hanya jika Komunisme sekilas lebih ekstrim dan keras karena itu merupakan pengaruh dari Barat. Mohammad Sobary melalui tulisannya, “merombak Primordialisme dalam Agama” mengatikan surat Ar-Ra’du ayat 11 itu sebagai berikut; “di dalam Islam aturan sudah jelas bahwa untuk urusan dunia, Tuhan sudah melimpahkan sepenuhnya pada kita. Kita diberi Tuhan hak mengatur sepenuhnya kehidupan kita. Kita memiliki otonomi penuh. Dan ini tidak boleh dikembalikan kepada Tuhan lagi”.
 
Adapun terjemah bebas surat Ar-Ra’du ayat 11 itu adalah, “bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
 
Kesimpulan tulisan ini adalah, Komunisme adalah hal yang tidak lazim atau haram berdasarkan ayat yang telah saya tulis serta melirik berbagai tindakan infiltrasi dan bahaya laten yang mengintai dan pernah ditimbulkan Komunisme di Indonesia. mengenai Islam adalah paham Komunis dan Ketuhanan dirasakan kurang tepat. Karena islam bersumber dari Allah yang di bawa oleh Muhammad Rasulullah (al-qur’an dan al-hadits), sedangkan Komunisme hanyalah bersumber dari akal semata dan dunia. Konsep dasar untuk menghadapi paham dan gerakan Komunis muncul lagi, dalam segala bentuk manifestasinya adalah dengan mengcounter Komunis sebagai paham, sedangkan ideologi dengan Islam hanya sebagai diniyah yang totalitas dan universal. Secara politis tidak memberikan hak hidupnya di Negara kita, secara fisik perlu ditingkatkan terus pengawasan dan pembinaan kepada orang-orang yang berindikasi Komunis, termasuk anak-anak bangsa ini. Sebagai umat Islam, hendaknya kita harus bangkit dengan menggali data-data ilmiah berdasarkan inspirasi kepada al-qur’an.
 
Dalam menghadapi pengaruh Komunis dalam hal bernegara, maka diperlukan penyajian aspirasi al-qur’an dengan segala seginya, sesuai dengan pernyataan Allah dalam surat An-Nahl ayat 89, “Dan ingatlah ketika hari Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas diri mereka sendiri dan Kami datangkan Kamu (Muhammad) untuk menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan padamu al-Kitab (al-qur’an) untuk menjelaskan sesuatu dan petunjuk bagi orang-orang yang berserah diri”. Selain itu hendaknya sebagai umat yang mengaku muslim kita mengamalkan ajarannya secara kaffah (menyeluruh) agar tidak dinilai bahwa Islam agama yang sempit dan eksklusif. Amin.
 
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di Kementerian Agama Kota Bima dan Anggota PHBI Kota Bima.

Iklan Rokok masuk Sekolah



Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pdi.

Beberapa hari yang lalu, pemandangan ‘tak sedap’ mengusik pengelihatanku. Ada spanduk terpasang di dalam area sebuah sekolah Menengah Tingkat Atas di Kota ini.  Entah event apa yang pernah di gelar di sana. Ataukah memang aturan periklanan sudah tidak digubris lagi. Akan tetapi yang jelas, mereka berumur di bawah 18 tahun. Kenapa harus 18 tahun?! Ini didasarkan pana UU Penyiaran Iklan sebuah rokok, yang harus tayang pada jam setengah 10 malam sampai jam 5 pagi. Dan pada jam itu, film atau acara TV sudah bukan untuk remaja, akan tetapi sudah dewasa.
Tulisan ini, bukan berarti mengajak saya atau anda semua untuk ‘anti rokok’ tidak. Atau alih-alih mengharamkan rokok bukan itu. Akan tetapi melihat secara global masalah yang melanda anak-anak remaja kita. Dan memang 1,5 tahun yang lalu saya masih bergelut dengan dunia broadcasting yang di dalamnya, bergelut dalam bidang periklanan. Di radio maupun TV, aturan iklan rokok, minuman beralkohol dan alat-alat kontrasepsi harus diatas jam setengah 10 malam sampai 5 pagi, ini berdasarkan PP. No.19/2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan pasal 16 ayat 3, “iklan pada media elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dilakukan pada pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat.
Iklan rokok adalah kegiatan untuk memperkenalkan, memasyarakatkan dan/atau mempromosikan rokok dengan atau tanpa imbalan kepada masyarakat dengan tujuan memperngaruhi konsumen agar menggunakan rokok yang ditawarkan. Secara umum kegiatan iklan itu bertujuan agar bagaimana barang yang dipromosikan bisa laku di pasaran. Dalam PP. No.19/2003 itu jelas diatur juga are-area yang harus bebas dari iklan rokok, termasuk salah satunya adalah sekolah. Sekolah harus mampu melindungi penduduk usia produktif dan remaja dari dorongan lingkungan dan pengaruh iklan untuk inisiasi penggunaan dan ketergantungan terhadap rokok.
Sruvei patologi sosial remaja, berawal dari rokok. Selanjutnya alkohol, pergaulan bebas dan narkoba. dari itu harusnya lembaga-lembaga seperti sekolah menolak untuk ditempati iklan rokok ataupun kegiatan yang di dalamnya sponsor tunggal rokok. Sangat bertolak belakang memang, ibarat jalan-jalan sehat, iklannya rokok. Ini sama dengan perdebatan orang tentang bola adalah bagian dari cara berolahraga agar sehat namun selalu disponsori rokok, walaupun perokok tidak boleh ikut bermain bola karena larinya tidak akan menjadi kuat, nafas cepat terengah-engah dan cepat lelah alias perokok tidak baik untuk pemain bola.
Namun itulah kenyataan yang ada, yang terjadi disekitar kita. Dari itu, pendidikanlah harapan kita untuk menciptakan suasana ke depan yang lebih baik untuk generasi-generasi kita. Pihak sekolah harus tegas terhadap produsen-prodesen rokok agar tidak memasang iklannya di radius 100 meter dari sekolah. Seperti yang dilakukan pemerintah Provinsi Bali. Peraturan Daerah mengenai hal itu, haruslah dikeluarkan agar ada rujukan dasar sekolah untuk menahan pengiklan-pengiklan rokok memasang materi iklannya di sana. Bukan malah masuk area sekolah, menjadi sponsor tunggal sebuah kegiatan sekolah seperti yang tampak di SMA salah satu pavorit Kota Bima waktu lalu. Pihak sekolah harusnya paham UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, UU No.32/2002 tentang Penyiaran, UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan termasuk PP No.19/2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
Nah mudah-mudahan dalam kasus ini, kita semua bisa mengambil hikmahnya. Agar anak-anak usia produktif dan remaja kita terhindar dari kecanduan merokok. Termasuk memang peran penjual rokok untuk tidak memberikan anak berseragam sekolah atau anak di bawah 18 tahun membeli rokok. Terkadang lingkungan keluarga secara tidak langsung mengajarkan rokok pada anak-anak mereka, dengan cara merokok di depan mereka, dan menyuruh mereka untuk membelikan rokok. Berangkat dari tahu, penasaran lalu mencoba. toh yang susah orang tua sendiri, karena mereka belum bisa mencari penghasilan sudah banyak mengeluarkan dana untuk ‘candu’ rokok mereka. Wassalam.
 
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di Kementerian Agama Kota Bima dan Sekretairs Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam Kota Bima.