Rabu, 25 April 2012

Wanita, diantara Karier, Suami dan Anak


Oleh : Musthofa Umar

Momen 21 April atau hari Kartini beberapa waktu lalu masih bisa untuk kaji, sebagai referensi kita dalam menjalankan kehidupan ini. Sisi yang ingin saya tulis dalam hal ini adalah, bagaimana posisi seorang wanita diantara karier  mereka   suami dan  anak-anak   mereka.  Sangat   jauh beda   dengan   zaman R.A Kartini, yang waktu itu hidup sebagai priyayi di zaman tradisional dan tekanan penjajah. Kalau melihat ke belakang sejenak, emansipasi saat itu luar biasa. Seolah-olah hidup pada zaman itu, tidak ubahnya dengan zaman Jahiliyah pada masa Rasululullah belum hadir. Wanita saat itu tidak boleh lahir bahkan, apalagi kerja dan sekolah.
Rasulullah hadir, membawa Islam dan meniadakan tradisi-tradisi seperti itu. Walaupun di Arab Saudi sendiri, untuk pekerjaan yang sedikit lebih dari rumah tangga, wanita sangat dilarang. Sehingga kalau ada wanita jadi pilot saja, hebohnya bukan main. Gambaran ini, tidak jauh beda dengan zaman Kartini kala itu. Dan saat ini Indonesia tidaklah sama dengan zaman kolonial Belanda atau Aarab Saudi. Wanita-wanita Indonesia bisa dengan leluasa berkarier apa saja. Dengan sayarat tentu seizin suami apabila sudah menikah dan sepengetahuan orang tua mereka jika masih sendiri. karier yang diperbolehkanpun tentu masih dalam koridor-koridor agama Islam.
Dalam klasifikasi ayat-ayat Al-Qur’an, sebanyak 62 surat dan 72 ayat kata-kata wanita/perempuan tersebar. Malah Allah secara spesifik menjadikan Surat dalam Al-Qur’an dengan nama An-Nisa’ (Perempuan). Begitu muliyanya perempuan dalam pandangan Islam.  Dan beberapa ayat mencakup kesetaraan amal ibadah, pahala dan syurga kepada laki-laki dan perempuan. Seperti dalam surat Ar-Ra’d ayat 23 dan surat An-Nahl ayat 97. Begitupun dengan ayat-ayat yang lain, karena pada dasarnya apapun pekerjaan kita di dunia, tiada lain untuk ibadah mencari keridhaan Allah. Sehingga tujuan akhir kita adalah sama yakni ketaqwaan kepada-Nya.
Lalau bagaimana seharusnya wanita berkarier diantara tugas-tugas mengemban rumah tangga. Tanggung jawab mereka atas suami dan anak?  Apa sebenarnya wanita karier itu? Wanita karier adalah wanita yang serius mendalami pekerjaannya. Dan wanita karier tidak hanya pada zaman-zaman sekarang. Pada masa Rasulullah Siti Khadijah AS istri beliau adalah disebut wanita karier. Namun kariernya Khadijah beda dengan kita-kita saat ini, beliau menjalankan bisnis dari rumah dan artinya tetap bisa menjaga keseimbangan “ekosistem” keluarga.  Dengan alasan ekonomi terkadang sebagian perempuan mengambil langkah karier di luar rumah, sehingga terkesan mengedepankan ego pribadi yang tidak puas dengan penghasilan laki-laki.
Ekonomi memang merupakan kebutuhan dasar setiap manusia secara universal. Akan tetapi semua tahu bahwa ekonomi bukanlah satu-satunya tujuan kita hidup di dunia ini. Dan pada kenyataannya ekonomi hanyalah sarana untuk menopang sisi-sisi kehidupan yang lain. Berbeda dengan keluarga adalah tiang utama kehidupan. Karena adanya keluarga, orang bisa bekerja apa saja untuk menghidupi keluarga. Namun seperti yang saya sampaikan di atas, menghidupi keluarga tidak cukup dengan uang saja, akan tetapi dengan akhlak dan contoh-contoh yang baik sehari-hari dari kedua orang tua mereka dan lingkungannya. Tidak akan beguna kekayaan, jika kehidupan keluarga kita jauh dari agama.
Keluarga adalah sebuah komunitas, peradaban dan budaya dibangun. Akan tetapi kekompakan kolektif  (bapak dan ibu) tidak dapat terbangun tanpa adanya kekuatan individu pada anggota keluarga dan masyarakat. Disinilah peran pilar utama keluarga, ayah dan ibu mutlak diperlukan. Wanita selalu identik dengan keindahan, kelembutan dan mungkin kelemahan. Sifat-sifat ini terlihat jelas dari bentuk penciptaan fisiknya oleh Allah serta gerak dan suara mereka. Maka tak jarang identitas gen (gender) tersebut sering dijadikan ‘amunisi’ utama distinguis laki-laki dan perempuan.
Wanita karier berpikir, mereka kerja berangkat dari rumah pukul 06.00 dan kemabli ke rumah pukul 16.00. anda bisa bayangkan bagaimana lelah dan capeknya setiba di rumah. Dalam keadaan seperti itu, dan adat ketimuran kita, mereka para wanita masih punya pekerjaan yang menanti, yakni masak dan melayani suami malam harinya. Mau-tidak mau, dengan bahasa setengah menolak, “bahwa itu adalah sebuah resiko” dari seorang wanita. Lalu berhubungan suami istri dalam keadaan salah satu tidak begitu fit tenaga terporsir bagaimana? Yang jelas Allah menjadikan wanita dan pria tentu berbeda dari segi fisik dan tenaga.  Dan tidak jarang awal petaka rumah tangga dari sini. Maka kalau boleh diprosentase, lebih banyak wanita selingkuh dari kalangan karier dengan biasa.
Hal ini terjadi, tanpa mereka sadari karena ‘pelayanan’ yang tidak memuaskan akibat capek kerja seharian, dan keterpaksaan dengan alasan resiko sebagai seorang istri. Menolak salah menerima juga tambah parah. Lalu bagaimana dampak/pengaruh terhadap keluarga?  Tentu dalam melihat pengaruh kita tidak serta merta melihat dari dampak negatif (buruknya), namun juga dampak baik terhadap keluarga tentu saja ada.

Dampak Positif
Ekonomi keluarga terbantu
Posisi kebutuhan ekonomi dalam kehidupan manusia ekonomi merupakan kebutuhan primer yang dapat menunjang kebutuhan yang lainnya. Kesejahteraan manusia dapat tercipta manakala kehidupannya ditunjang dengan perekonomian yang baik pula. Dengan berkarir, seorang wanita tentu saja mendapatkan imbalan yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk menambah dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dalam mengelola keuangan keluarga, hendaknya suami dan istri menjadi mitra sejajar. Seperrti  yang dikatakan Pratiwi Sudamona mengatakan bahwa pria dan wanita adalah “Mitra Sejajar” dalam menunjang perekonomian keluarga. Dalam konteks pembicaraan keluarga yang modern, wanita tidak lagi dianggap sebagai mahluk yang semata-mata tergantung pada penghasilan suaminya, melainkan ikut membantu berperan dalam meningkatkan penghasilan keluarga untuk satu pemenuhan kebutuhan keluarga yang semakin bervariasi.

Sebagai Pengisi waktu
Psikologi  manusia memang gampang berubah, kebosanan akan sesuatu pekerjaan yang rutinitas adalah merupakan penyebab utama. Kebosanan terkadang sebagai peluang untuk melakukan hal-hal yang negatif. Sehingga butuh penyaluran positif yang bisa membuat seoseorang melupakan hal-hal yang buruk terjadi pada diri mereka dengan melakukan aktivitas yang mereka sukai. Pada zaman sekarang ini hampir semua peralatan rumah tangga memakai teknologi yang mutakhir, khususnya di kota-kota besar. Sehingga tugas wanita dalam rumah tangga menjadi lebih mudah dan ringan. Belum lagi mereka yang menggunakan jasa pramuwisma (pembantu rumah tangga), tentu saja tugas mereka di rumah akan menjadi sangat berkurang.  Maka untuk mengisi kekosongan tersebut diupayakanlah suatu kegiatan yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri mereka. Diungkapkan oleh Abdullah Wakil bahwa kemudahan-kemudahan yang didapat wanita dalam melakukan tugas rumah tangga, telah menciptakan peluang bagi mereka untuk leluasa mencari kesibukan diluar rumah, sesuai dengan bidang keahliannya supaya dapat mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah masyarakat sebagai wanita yang aktif berkarya.

Pemanfaatan Sumber Daya Manusia
Kemajuan teknologi di segala bidang kehidupan menuntut sumber daya manusia yang potensial untuk menjalankan teknologi tersebut. Bukan hanya pria bahka wanitapun dituntut untuk bisa dapat mengimbangi perkembangan teknologi yang makin kian pesat. Jenjang pendidikan yang tiada batas bagi wanita telah menjadikan mereka sebagai sumber daya potensial yang diharapkan dapat mampu berpartisipasi dan berperan aktif dalam pembangunan, serta dapat berguna bagi masyarakat, agama, nusa dan bangsanya. Pengamalan dari sebuah pengetahuan yang diperoleh di bangku sekolah ini pula yang menjadikan waanita ingin menyalurkan bakat dan minat mereka dengan menjadi wanita karier. Pemanfaatan ini bisa menjadi peningkatan bagi sumber daya manusianya dan beguna untuk kaumnya dan untuk masyarakat secara luas.

Gaya hidup dan Penampilan
Biasanya seorang wanita yang tidak aktif di luar rumah akan malas untuk berhias diri, karena ia merasa tidak diperhatikan dan kurang bermanfaat. Dengan berkarir, maka wanita merasa dibutuhkan dalam masyarakat sehingga timbullah kepercayaan diri. Wanita karir akan berusaha untuk memercantik diri dan penampilannya agar selalu enak dipandang. Tentu hal ini akan menjadikan kebanggaan tersendiri bagi suaminya, yang melihat istrinya tampil prima di depan para relasinya. Namun perlu ditanamkan bahawa apapun bentuk dandanan seorang wanita, bukanlah untuk dipamerkan pada selain suami mereka. Apabila ini terjadi maka haram hukumnya bagi seorang wanita untuk mempersolek diri. Begitupun dengan gaya hidup karena pergaulan dengan banyak wanita diluar, maka dituntut untuk menjadi lebih terampil dalam memelihara penampilan.

Dampak negatif
Terhadap Anak
Seperti yang saya tulis diatas bahwa, selain dampak positif tentu tidak adil kalau tidak disertai dengan dampak negatifnya. Dan selintas diatas pula, beberapa dampak negatif itu termuat, manakala seorang wanita karier biasanya pulang ke rumah dalam keadaan lelah setelah seharian bekerja di luar rumah, hal ini secara psikologis akan berpengaruh terhadap tingkat kesabaran yang dimilikinya, baik dalam menghadapi pekerjaan rumah tangga sehari-hari, maupun dalam menghadapi anak-anaknya. Jika hal itu terjadi maka sang Ibu akan mudah marah dan berkurang rasa pedulinya terhadap anak. Survey yang dilakukan di negara-negara Barat menunjukkan bahwa banyak anak kecil yang menjadi korban kekerasan orangtua yang seharusnya tidak terjadi apabila mereka memiliki kesabaran yang cukup dalam mendidik anak. Hal lain yang lebih berbahaya adalah terjerumusnya anak-anak kepada hal yang negatif, seperti tindak kriminal yang dilakukan sebagai akibat dari kurangnya kasih sayang yang diberikan orangtua, khususnya Ibu terhadap anak-anaknya.

Terhadap Suami
Di kalangan para suami wanita karier, tidaklah mustahil menjadi suatu kebanggaan bila mereka memiliki istri yang pandai, aktif, kreatif, dan maju serta dibutuhkan masyarakat. Akan tambah masalah lagi kalau laki-laki mempunyai gaji lebih sedikit dari istri. Suami yang mempunyai istri karier amatlah senang karena menunjukkan keserasisan hidup, namun dilain sisi mereka mempunyai problem yang rumit dengan istrinya. Mereka juga akan merasa tersaingi dan tidak terpenuhi hak-haknya sebagai suami. Sebagai contoh, apabila suatu saat seorang suami memiliki masalah di kantor, tentunya ia mengharapkan seseorang yang dapat berbagi masalah dengannya, atau setidaknya ia berharap istrinya akan menyambutnya dengan wajah berseri sehingga berkuranglah beban yang ada.

Hal ini tak akan terwujud apabila sang istri pun mengalami hal yang sama. Jangankan untuk mengatasi masalah suaminya, sedangkan masalahnya sendiripun belum tentu dapat diselesaikannya. Apabila seorang istri tenggelam dalam kariernya, pulang sangat letih, sementara suaminya di kantor tengah menghadapi masalah dan ingin menemukan istri di dalam rumah dalam keadaan segar dan memancarkan senyuman kemesraan, tetapi yang ia dapatkan hanyalah istri yang cemberut karena kelelahan. Ini akan menjadi masalah yang runyam dalam keluarga. Kebanyakan suami yang istrinya berkarier merasa sedih dan sakit hati apabila istrinya yang berkarier tidak ada di tengah-tengah keluarganya pada saat keluarganya membutuhkan kehadiran mereka. Juga ada keresahan pada diri suami, khususnya pasangan-pasangan usia muda karena mereka selalu menunda kehamilan dan menolak untuk memiliki anak dengan alasan takut mengganggu karier yang tengah dirintis olehnya.

Terhadap Rumah Tangga
Kemungkinan negatif lainnya yang perlu mendapat perhatian dari wanita karir yaitu rumah tangga. Kegagalan rumah tangga seringkali dikaitkan dengan kelalaian seorang istri dalam rumah tangga. Hal ini bisa terjadi apabila istri tidak memiliki keterampilan dalam mengurus rumah tangga, atau juga terlalu sibuk dalam berkarier, sehingga segala urusan rumah tangga terbengkalai. Untuk mencapai keberhasilan kariernya, seringkali wanita menomorduakan tugas sebagai ibu dan istri. Dengan demikian pertengkaran bahkan perpecahan dalam rumah tangga tidak bisa dihindarkan lagi.
Banyak wanita yang beralasan, itu bisa diatasi dengan komunikasi yang baik dengan suami. Namun jangan lupa, emosi manusia terkadang tidak selalu dalam keadaan labil. Sehingga apa-apa yang menjadi kesepakatan sebelum istri terjun menjadi wanita karier sering terlupakan. Suami istri yang berkarier selalu mempunyai tujuan untuk masa depan anak. Akankah kita sadari, masa depan anak dalam hal keperibadian tidaklah mereka dapatkan. Karena salah urus sedari kecilnya, bukan rahasia lagi kalau anak-anak orang kaya tidaklah sepintar orang-orang yang hidupnya pas-pasan. Ini akibat dimanjakan dengan uang, bukan dengan skil kreatif yang akan mereka pergunakan saat kita / para orang tua meninggalkan mereka nantinya.

Terhadap Masyarakat
Hal negatif yang ditimbulkan oleh adanya wanita karier tidak hanya berdampak terhadap keluarga dan rumah tangga, tetapi juga terhadap masyarakat sekitarnya. Seperti misalnya, dengan bertambahnya jumlah wanita yang mementingkan kariernya di berbagai sektor lapangan pekerjaan, secara langsung maupun tidak langsung telah mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran di kalangan pria, karena lapangan pekerjaan yagn ada telah diisi oleh wanita. Sebagai contoh, yang sering kita lihat di pabrik-pabrik. Perusahaan lebih memilih pekerja dari kalangan wanita ketimbang pria, karena selain upah yang relatif minim dan murah dari pria, juga karena wanita tidak terlalu banyak menuntut dan mudah diatur.
Kepercayaan diri yang berlebihan dari seorang wanita karier seringkali menyebabkan mereka terlalu memilih-milih dalam urusan perjodohan. Maka seringkali kita lihat seorang wanita karier masih hidup melajang pada usia yang seharusnya dia telah layak untuk berumah tangga bahkan memiliki keturunan. Selain itu banyak pria yang minder atau enggan untuk menjadikan wanita karier sebagai istri mereka karena beberapa faktor; Seperti pendidikan wanita karier dan penghasilannya yang seringkali membuat pria berpikir dua kali untuk menjadikannya sebagai pendamping hidup. Sementara itu dilain sisi pria-pria yang menjadi dambaan para wanita karier ini -kemungkinan karena terlalu tinggi kriterianya- telah lebih dulu berkeluarga dan membina rumah tangga dengan wanita lain.
Hal inilah mungkin yang menyebabkan timbulnya anggapan dalam masyarakat bahwa “Semakin tinggi jenjang pendidikan yang dapat diraih oleh wanita maka semakin sulit pula baginya untuk mendapatkan pendamping hidup.” Stigma negatif ini tampaknya masih banyak dimasyarakat kita. Sehingga tanpa pikir panjang, akhirnya siapapun laki-laki yang mau dan tanpa memandang jenjang pendidikannya. Perubahan-perubahan dunia terus berkembang, seiring itupula dibalik kesulitan tentu ada kemudahan, asalkan kita mau berusaha.

Kesimpulannya bahwa, apa yang diperjuangkan oleh Kartini, adalah akibat rezim kolonial Belanda pada waktu itu, yang mirip dengan jahiliyah. Tidak membolehkan wanita sekolah, menjadi pemimpin dan membedakan, kaum wanita dari kalangan bangsawan dan masyarakat biasa. Dan dalam Islam emansipasi dalam hal pendidikan jauh-jauh Rasululullah sudah menyetarakannya. Bahwa kewajiban menuntut ilmu itu, bukan hanya milik pria akan tetapi juga menjadi hak kaum wanita. Nah dari pengetahuan yang mereka dapatkan di jenjang-jenjang pendidikan yang ditempuh inilah, menjadikan wanita berkarier, mengaplikasikan ilmu-ilmu yang didapatkan. Asalkan diingat dan dipertimbangkan terlebih dahulu dampak positif-negatif yang ditimbulkan.
Disamping itu, tugas penciptaan manusia di muka bumi yakni selain “yakbudun” adalah sebagai pengemban khalifah di muka bumi ini, bukan tugas kaum pria saja. Akan tetapi tugas sekalian manusia, yang di dalamnya terdapat laki-laki dan pria. Dan Allah tidak membedakan kaum pria dan wanita dalam pahala dan surga melainkan siapa yang bertaqwa dari mereka. Maka setiap laki-laki dan perempuan, berlomba-lomba mencapai ketaqwaan melalui berbagai cara, termasuk berkarier. Wallahu’alam.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di KUA Mpunda Kemenag Kota Bima
Sekretaris Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam Kota Bima.

Sabtu, 14 April 2012

Kaya Bermanfaat, Miskin Bermartabat



Oleh : Musthofa Umar

Judul opini saya kali ini, adalah mengambil dari sepenggal kata-kata amanat inspektur upacara pada peringatan ulang tahun ke-10 Kota Bima, 10 April 2012 beberapa waktu yang lalu, yang tak lain adalah Walikota Bima sendiri, yakni Bapak H. Qurais. Kalimat ini memang sederhana, namun menarik untuk kita kaji konteksnya dalam kehidupan kita. Kalimat ini pun akan menjadi pembahasan yang panjang jika kita tinjau dari sudut berbeda. Kalau saya melihat konteks kalimat ini adalah tentang meminimalisir kemiskinan yang ada dengan sadarnya para orang kaya akan amal, shadaqah, infaq, zakat dan pajak mereka. Sehingga bisa menajdi bermanfaat untuk sebagian masyarakat Kota Bima yang berada di bawah garis kemiskinan.
Walikota kita selintas berusaha mengetuk hati mereka yang kaya untuk bisa berbagi kekayaan mereka kepada saudara-saudaranya yang miskin. Karena dengan begitulah program pemerintah untuk menjadikan Indonesia secara umum dan khususnya Kota Bima menjadi daerah bebas miskin akan terwujud. Islam jauh menuntun hal itu, dan ini yang akan kita bahas tentang bagaimana pandangan Islam tentang kaya dan miskin. Bagaimana pula seharusnya sikap seorang kaya kepada seorang miskin dalam hal berintraksi untuk membangun kota ini ke arah yang lebih baik. Secara tidak langsung, andil orang kaya sangat dibutuhkan untuk membangun kota, dengan sadar zakat dan pajak, insyaAllah apapun bentuk pembangunan yang di cita-citakan akan terwujud.
Dampak dari ketidak sadaran orang kaya terhadap orang miskin adalah seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Banyak kerusuhan, penjarahan, perampokan, copet, pencurian, pemerkosaan dan pembunuhan serta model-model kejahatan lainnya, lebih banyak dipicu kemiskinan (ekonomi sulit). Pada akhirnya yang kayalah menjadi target sasaran. Sehingga hitung-hitung untuk menjaga harta mereka, harusnya mereka secara rutin mengeluarkan hak-hak orang miskin. Apalah artinya kita kaya namun keamanannya tidak terjamin setiap hari.  Walaupun kita memperkerjakan sebanyak-banyaknya orang untuk menjaganya toh tetap tidak akan aman. Namun kalau mereka (penduduk sekitar) yang miskin terayomi, tanpa disuruh menjaga pun mereka akan sendirinya membantu kita yang kaya.
Hadits Nabi SAW mengatakan, “khairunnas yanfa’uhum linnas” adalah sebaik-baik manusia yaitu yang bermanfaat bagi sebagian mereka. Manusia menurut hadits ini, menjadi manfaat hidupnya di dunia, jika mereka bisa bermanfaat untuk yang lain.  Tentu kalau kita melihat dari kaca mata kaya dan miskin, maka yang kaya akan menjadi baik dan bermanfaat dengan kekayaannya, jika mereka bisa memberikan manfaat atas kekayaan mereka kepada yang miskin. Orang berilmu (kaya akan pengetahuan), akan bermanfaat kepada saudara-saudara mereka yang miskin ilmu (bodoh). Termasuk orang yang kuasa (pejabat) akan bermanfaat jika mereka bisa berbagi manfaat jabatannya kepada yang di kuasai (bawahan).  Arti manfaat adalah jelas untuk kebenaran dan kebaikan. Bukan manfaat kepada jalan yang tidak benar, misalnya dengan harta mereka, membuka fasilitas perjudian atau perzinahan. Kalau ini yang dilakukan, tetap tidak dikatakan bermanfaat dengan kekayaannya. Harta yang diberikan Allah haruslah digunakan pada jalan yang diridhai Allah, bukan pada jalan-jalan yang dibenci-Nya.
Saya kira semua kita sepakat tidak mau miskin. Akan tetapi sudah menjadi sunnatullah (ketentuan Allah)  bahwa keseimbangan dunia ini, harus ada yang miskin karena ada yang kaya. Orang kaya tidak akan menjadi kaya, bila tidak adanya orang miskin. Begitulah sunnatullah yang ada, kaya-miskin, baik-buruk, hitam-putih, tinggi-rendah, atasan-bawahan, surga-neraka, pahala-dosa..dan lain-lain. Bersyukurlah mereka-mereka yang tercipta memang harus kaya, dan bersabarlah kita yang tercipta menjadi miskin. Kaya bukan sebuah kebetulan, namun kekayaan bisa jadi adalah bentuk ujian Allah kepada kita. Pandaikah kita mensyukurinya atau sebaliknya yakni menjadikan kita kufur nikmat. Begitu pula dengan kemiskinan, bisa jadi adalah cobaan kita, sehingga apabila kita lulus berkah hidup akan kita dapatkan. Tidak di dunia, mungkin Allah membalasnya di Akhirat kelak.
Selain itu, manusia memang tercipta sosial. Manusia sosial adalah manusia yang bisa berintraksi baik sesama manusianya. Manusia akan bisa hidup dengan orang lain. Seberapa kayapun kita tapi kalau kita hidup sendiri juga tidak menjadi enak. Sehingga di balik kekayaan kita, terlibat orang lain yang berintraksi terus menerus dengan kita. Dan Islam hadir untuk menjaga keseimbangan antara kaya dan miskin di dunia ini. Bentuk Islam menjaga keseimbangan itu adalah, dengan diwajibkannya setiap Islam dan beriman agar mengeluarkan sebagian harta mereka, dengan tujuan membersihkan harta-harta mereka dengan jalan berzakat, berinfaq, bershadaqah dan bentuk-bentuk lain yang intinya bisa dinikmati mereka-mereka yang tidak seberuntung kita. Islam tidak anti harta (kekayaan), dan Islam juga sangat khawatir akan kemiskinan.
Beberapa hadits sangat jelas dan shahih tentang kaya dan miskin. Dalam satu hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam At-Turmudzi dan Ibnu Majah yang merupakan do’a Rasulullah yakni, “wahai Allah, berilah aku hidup dan mati dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin kelak di hari kiamat”. Hadits ini mungkin yang diyakini oleh sebagian faham dalam Islam bahwa menjadi miskin itu adalah dijanjikan berkumpul nanti dengan Rasulullah SAW di surga. Dengan hadits ini pula, jangan-jangan mereka menjadi pasrah akan rizki tanpa berusaha dan memiskinkan diri.  Hadits ini, tidak serta merta kita artikan sebuah anjuran agar kita sepakat untuk miskin, akan tetapi lebih kepada kerendahan hati seorang Rasulullah kepada Allah, tidak congkak, pongah dan sombong terhadap harta yang diberikan.
Karena memang, di uji dengan kekayaan lebih sering lupa kepada Allah dari pada kita di uji dengan kemiskinan. Renungkan dan kita lihat relita yang ada, kalau seorang Kaya terkadang lupa dengan Allah (contoh sahabat Saklabah), begitu diberikan kekayaan, dengan berlimpah ternaknya pada waktu itu, sampai lupa shalat karena tidak sempat dengan binatang ternaknya. Tidak jauh beda dengan kita kebayakan, jika diberikan sedikit lebih kita lebih senang berpoya-poya dan lupa kewajiban. Namun jika manusia di uji oleh kemiskinan, rasanya tangis dan airmata dalam sujud serta do’a permohonan kepada Allah selalu kita lantunkan. Shalat duha atau membaca surat waqi’ah tanpa henti. Artinya kemiskinan kita yang merupakan cobaan tadi, lebih mendekatkan diri kita kepada Allah. Dalam hal ini tidak jauh beda dengan Fir’aun. Begitu Allah memberikannya kekayaan, maka mereka menjadi sombong. Dan contoh lain yang tidak kalah menarik  guyonan alm. KH. Zainuddin MZ, dalam beberapa pidatonya, sering mengatakan, “waktu miskin rajin baca ayat kursi, setelah dapat kursi lupa ayat”. Menangis waktu miskin, dan tertawa waktu kaya.
Dan menjadi kaya lebih  banyak tanggung jawabnya dari pada miskin di hadapan Allah SWT. Yang berharta akan ditanya tiga hal, yakni dari mana engkau dapatkan, dengan cara apa dan kemana disalurkan harta yang di dapat. Belum lagi dalam al-Qur’an kaya dikatakan adalah jalan yang sukar, surat al-Balad ayat 11-16 mengatakan, “Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?”.  Dalam lanjutan ayatnya, “tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” yakni, “melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir” dalam penutup penjelasan ayat ini, ayat ke 17, “dan dia termasuk orang-orang yang beriman”.
Jadi posisi kaya dan miskin dalam ayat ini, sangat jelas. Bahwa orang kaya yang sedang menikmati kekayaannya sama seperti mendaki pada jalan yang sukar. Dikatakan mendaki dan sukar, karena beberapa hal harus mereka lakukan dalam pendakian jalan yang sukar itu. Yakni membebaskan perbudakan, menyantuni atau memberi makan anak yatim dan orang miskin yang sangat fakir. Nah sekarang mungkin tinggal dua, yatim dan miskin. Karena perbudakan sudah tidak ada. Merek orang yang kaya dan melakukan dua hal ini adalah beriman sesuai ayat 17 surat al-Balad tadi, dan sebaliknya apabila tidak melakukan dua hal tersebut adalah termasuk orang-orang yang tidak beriman.
Hadits tentang kemiskinan tadi, seolah-olah bertolak belakang dengan hadits-hadits Nabi SAW yang lain. Mari kita lihat, hadits riwayat Imam Muslim dan at-Turmudzi, yang artinya “Wahai Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu petunjuk, ketakwaan, harga diri dan kekayaan”. Hadits lain juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahmad, yang artinya “sesungguhnya Allah senang pada hamba yang bertakwa, kaya dan tidak suka menonjolkan diri”. Hadits lain juga shahih karena diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, artinya “sesungguhnya kamu, meninggalkan ahli-ahli warismu dalam keadaan kaya raya jauh lebih baik ketimbang kamu meninggalkan mereka dalam keadaan berkekurangan dan minta-minta pada manusia (pengemis)”.
Melihat dua model hadits ini, tentu kita akan berpikir apakah menjadi kaya atau menjadi miskin. Karena pilihan-pilihan  ini tentu ada konsekuensi masing-masing. Namun yang jelas, kaya dan miskin seperti yang saya katakan di atas adalah fitnah (cobaan). Ini berdasarkan sebuah hadits Rasululullah SAW juga, dan merupakan do’a beliau, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari artinya, “Wahai Allah aku mohon perlindungan kepadaMu dari fitnahnya kekayaan dan aku mohon perlindungan (pula) dari fitnahnya kemiskinan”.  Setidak-tidaknya, untuk bisa berbagi kepada sesama, maka jelas kita harus menjadi kaya terlebih dahulu. Kalau anda disuruh memilih sudah barang tentu kaya yang anda minta, karena miskin adalah mendekati kepada kekufuran.
Kesimpulan tulisan saya adalah, kaya atau miskin adalah pilihan hidup yang sudah digariskan oleh Allah SWT. Namun sesuatu ketentuan berawal dari permohonan-permohonan hamba. Karena Allah dalam ayatNya mengatakan, “tidak akan merubah nasib suatu kaum, apabila kaum tersebut tidak mau merubah dirinya sendiri” jadi apapun pilihan yang ingin kita jalani, adalah penentunya kita sendiri. ada orang yang lahirnya miskin, namun karena ulet dan tekut dalam berusaha, mereka menjadi kaya. Namun sebaliknya, awalnya kaya tapi karena angkuh, sombong dan takabbur mereka menjadi melarat kembali.  Oleh karena itu, sebaik-baik kita adalah tetap pada kerendahan hati. Apabila Allah memberikan kita kekayaan, maka kita rendah hati dengan tidak sombong, takabbur dan tamak serta angkuh. Agar kita tidak mengikuti jejak Saklabah, Fir’aun, Qorun dan lain-lain. Tetaplah mencontoh kepada Nabi Sualaiman AS yang diberikan kekayaan oleh Allah, namun tetap rendah hati.
Begitu halnya dengan kemiskinan. Agar menjadi miskin yang bermartabat, harusnya sadar diri apakah kekurangan kita, mungkin harus lebih banyak sabar, dan beribadah serta berusaha kepada Allah SWT atas cobaan yang diberika, seperti Nabi Ayyub AS dan Nabi-nabi yang lain. Bukan pasrah, lalu memaki-maki Allah SWT dengan menyebut Allah tidak adil sehingga inilah yang dikatakan dan ditakutkan Nabi SAW, orang fakir mendekati kufur. Tidak pasrah dengan keadaan dan meminta-meminta kepada sesama manusia, padahal kita punya kemampuan untuk bangkit dan berusaha. Buktikan bahwa kita bisa untuk lebih baik dari yang kita alami saat ini. Sehingga kita meninggalkan anak cucu kita dalam keadaan lebih baik.  
Kaya ataupun miskin, sama-sama berpeluang kufur. Yang kaya, jika tidak bisa bersyukur makan dia menjadi kufur nikmat, sebaliknya yang miskin mendekati kekufuran. Jadi peluang untuk menjadi kufur itu sangat dekat bagi kita. Dari itu pergunakan kesempatan yang diberikan Allah sebaik-baiknya. Agar kita terhindar dari kekufuran itu. Yang kaya manfaatkan kekayaannya untuk membantu mereka yang miskin, begitupun yang miskin agar selalu bersabar dan terus berusaha serta yakinlah bahwa Allah Maha Tahu, Allah Maha pemberi rizki, jadi kerja sesuai tuntutan agama dan niatkan ibadah kepada Allah, insyaallah akan menjadi amal kita di dunia menuju akhirat kelak. Amin.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kec. Mpunda Kementerian Agama Kota Bima.



Andai Rumah Tahanan menjadi Pondok Pesantren

 
Oleh : Musthofa Umar
 
Pertanyaan kita, mungkinkah itu terjadi? Sebenarnya di dunia ini apa sich yang tidak mungkin, jika kita mau berusaha untuk itu. Karena Allah SWT menyerahkan sepenuhnya ‘pengaturan’ bumi ini kepada kita. Kita diberikan hati dan akal untuk menjalankan roda kepemimpinan  kita di planet ke tiga ini. Jadi bisa-bisa saja jika kita berandai-andai kalau Rumah Tahanan (Rutan) yang ada dijadikan lembaga pengkajian ilmu-ilmu agama atau sosial lainnya. Apa yang menjadi kendala sebenarnya kalau itu dilakukan? Saya kira tidak ada kendala, kalau itu dilakukan. Dana cukup untuk membayar guru-guru yang mahir dalam bidangnya untuk melakukan proses belajar mengajar di penjara, atau dengan kerjasama merangkul lembaga-lemabaga/instansi yang ada. Tinggal kita susun kurikulumnya, karena tempat sudah ada.
 
Perbedaannya hanya pada istilah dan pengertian saja. Namun saya kira tujuannya adalah sama, adalah menjadikan bangsa ini berakhlak mulia. Memang kalau kita lihat pengertian pondok pesantren sendiri sangat jauh, seperti yang disampaikan Dr. H. Imron Arifin, dalam bukunya Kepemimpinan Kyai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng bahwa “Ditinjau dari aspek sejarah dan pengertian bahasa maupun istilah, jelaslah bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya diberikan dengan cara non klasikal (sistem pesantren) dimana seorang Kyai/Tuan Guru mengajar santri-santrinya berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh para ulama-ulama besar dari abad pertengahan (abad ke 12 sampai abad ke 16) para santri biasanya tinggal di dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut”.
 
Sehingga beliau mengambil kesimpulan bahwa, pondok pesantren bukanlah merupakan sekolah-sekolah umum atau dengan kata lain disebut jalur pendidikan yang diselenggarakan oleh departeman pendidikan dan kebudayaan, tetapi pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran yang memiliki ciri-ciri tertentu yaitu dengan sistem pengajarannya yang non klasikal, yakni Kyai sebagai guru yang mengajara, ada murid yang biasa disebut santri, ada kitab-kitab klasik berbahasa Arab adapun pondok atau asrama yang dijadikan tempat tinggal bagi santri dan yang penting lagi adanya masjid pada pondok pesantren. Namun pendapat ini berbeda dengan pendapat  Dr. Husni Rahim bahwa, “Pesantren di samping sebagai lembaga pendidikan agama Islam, pesantren juga berkembang menjadi  sebuah lembaga sosial yang terlibat dalam proses perubahan sosial politik di Indonesia. Bersama dengan Kyai atau ulama-Pesantren, lembaga pendidikan Islam ini berperan penting dalam proses intensifikasi keislaman masyarakat”.
 
Pendapat ini lebih mewarnai keberadaan-keberadaan sebagian besar pondok pesantren yang ada di Indonesia. Bahkan banyak kita temukan, pondok pesantren yang menggunakan metode-metode modern atau mengikuti trend yang ada saat ini. Baik dalam hal bangunan, metode belajar mengajar sampai pada ekstrakulikuler santri. Dan rumah tahanan sangat berpeluang menjadi sebuah lembaga keagamaan modern dalam menanamkan akhlak kepada  para warga binaan (penghuni) yang ada. Sehingga “maksud” yang tersembunyi dari hukuman yang mereka lewati, yakni “jera” dan tidak kembali ke jalan yang hitam bisa tercapai sempurna.
 
Pondok Pesantren terkadang para santri memberi julukan “penjara suci” saya kira tidak jauh beda dengan tahanan. Karena tiap harinya, para penghuni hidup di lingkungan itu-itu saja, dengan peraturan-peraturan yang dibuat. Bedanya santri belajar dan mengajar dengan proses masuk mendaftar, kalau ini tidak pernah mendaftar tapi masuk begitu saja, lalu setelah di dalam mau belajar apa? Hanya menunggu bebas saja atau lainnya? Oleh karena itu, dalam perenungan saya andai saja, sekian waktu mereka di sana digunakan untuk menimba ilmu yang lebih bermanfaat, untuk di rumah setelah keluarnya nanti, itu saya pikir lebih berguna. Apalagi kewajiban menuntut ilmu itu, tidak terbatas pada usia dan tempat. Di manapun dan kapanpun, jika kita berkesempatan untuk menimbanya, kenapa tidak? Selama unsur-unsurnya terpenuhi. Misalnya tempat, guru dan fasilitas penunjang lainnya.
 
Mungkin hal itu akan menjadi kendala tersendiri untuk tidak bisanya berkala apa yang di dapatkan. Artinya, penghuni rutan acapkali berganti-ganti, yang masuk  di sana beragam. Ada yang hitungan bulan, tahun bahkan seumur hidup di sana. Dari sinilah dituntut dalam penyusunan kurikulumnya, jangan terlalu banyak teori, namun praktek-praktek yang praktis diberikan. Sehingga penyerapan mereka lebih cepat. Prinsipnya adalah, sedikit namun bermanfaat dari pada banyak tapi terlupakan semua. Kasus-kasus yang kadang kerap terjadi di Penjara, akibat kebosanan yang melanda mereka. Kurangnya kegiatan ‘sibuk’ membuat mereka cepat bosan dan berpeluang untuk melakukan hal-hal negatif kembali. Ibarat pakaian kotor, jika tebal kotorannya, maka menyikatnyapun tidak cukup dengan santai atau pembersihnya (ditergen) yang diperlukan harus ekstra, bukan memberikannya kembali “menjamur” dan membahayakan pemakainya.
 
Orang-orang tahan, dipandang ‘jelek’ oleh masyarakat. Dari itu bagaimana upaya kita agar setelah mereka keluar nanti mampu mensiasati hidup dengan baik. Terutama pembinaan-pembinaan keagamaan dalam akhlak  yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Saya menulis hal ini, karena beberapa bulan pernah membina rekan-rekan di Rutan. Kegiatan mereka selain menunggu sidang, menunggu remisi dan menunggu bebas, hanya diisi aktivitas-aktivitas olah raga saja. Pembinaan sangat minim dan kurang terorganisir dengan baik. Terorganisir yang saya maksud adalah kurikulum. Andai terkurikulum dengan baik, insyaAllah akan mengahsilkan ‘lulusan-lulusan’ terbaik. Misalnya hari ini belajar ini, besok belajar itu lusa pelajar lain dan seterusnya. Salurkan bakat-bakat mereka, agar mereka sibuk dan tidak terbersit untuk melakukan kejahatan lagi. Tapi kalau waktu mereka banyak ‘merenung’ takutnya kembali tetap melakukan perbuatan yang dulu. Contoh banyak kasus Narkoba di penjara ditemukan.
 
Ragam usia, kepandean, keterampilan dan daerah ada di Rutan. Ini potensi yang luar biasa kalau dikembangkan dengan baik. Mereka tentu ‘menyesal’ dan ingin kehidupan lebih baik dari yang pernah mereka lakukan hingga menyebabkan mereka masuk kesana saat ini. Ada banyak yang perlu dan bisa kita perbuat, 24 jam mereka hanya melihat dinding-dinding tegar setegar penjaga (sipir) Tahanan, menjadikan stress dan kebosanan yang luar biasa. Nah mungkin dengan adanya aktivitas yang lebih, akan membuat mereka melupakan apa yang terjadi dan kembali ke jalan yang benar.
 
Misalnya mengajari mereka perbengkelan, mubel, ukir, kerajinan-kerajinan yang lain. Bahkan al-Qur’an pun banyak dari mereka yang belum bisa membacanya. Apalagi shalat dan hukum-hukum islam yang lain? Tidak cukup hanya dari ceramah dan khutbah jum’at. Harus ada yang membimbing mereka dengan prakteknya sekaligus. Kita mungkin ingat si Anton Medan, mantan napi yang preman menjadi da’i di masyarakatnya. Kecenderungan melakukan hal yang sama setelah keluar dari Rutan itu ada, jika mereka keluar lalu hanya mendapat cibiran dan cemo’ohan lingkungannya. Tapi kalau mereka keuar dan membawa skill (kemampuan) yang tidak seperti biasanya, mungkin masyarakat akan mulai menyadari hal itu.
 
Langkah yang praktis kalau ada yang mau memulai terutama dari pihak penjara sendiri. karena bagaimanapun keinginan kuat orang-orang di luar penjara, tanpa dukungan dari dalam tidak ada artinya. Mungkin kendala hanya satu, kalau-kalau yang menjadi guru itu tidak amanah. Misalnya dengan upaya macam-macam dia membantu membebaskan tahanan. Tapi saya kira itu bisa diantisipasi seperti mengantisipasi pengunjung yang ada setiap kali bertamu. Kalau dari pihak penjara sudah setuju, tinggal pendataan usia dan kemampuan. Lalu mengajar rembuk semua pihak/instansi yang berkaitan untuk bersama-sama melakukan pembinaan kepada mereka. Karena jelek atau baik toh pada nantinya yang merasakan manfaatnya adalah masyarakat sendiri.
 
Tidak hanya itu, kalau mereka satu orang saja dari sekian orang bisa, maka diharapkan mampu mewarnai yang lainnya.  Dan kalau itu terjadi, ketakutan-ketakutan masyarakat selama ini, kalau-kalau teman-teman kita yang masuk di sana setelah keluarnya akan kambuh lagi tidak terbukti. Manfaat lainnya, hasil mereka belajar atau alih profesi nantinya, sebagai tambahan penghasilan keluarga. Karena di akui selama mereka di tahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggal terkadang mereka kesusahan. Dari itu perlu juga dalam hal ini dukungan pemerintah dan kita semua, agar berjalan dengan lancar dan sesuai harapan kita bersama. Amin,
 
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di KUA Mpunda Kementerian Agama Kota Bima.

Paradigma dan Strategi Pembelajaran Pendidikan Islam

 
Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. PdI.
 
 
 
Kalau kemarin saya menulis tentang perlunya motivasi ekstrinsik dalam belajar, kini saya mencoba mengurai paradigma dan strategi pembelajaran pendidikan islam. Memang tema ini terlihit spesifik ke pendidikan-pendidikan Islam, namun sebenarnya tidak demikian adanya. Karena strategi pendidikan yang dikembangkan Islam berabad-abad lamanya, sejak zaman Rasulullah SAW bisa kita tauladani di pendidikan-pendidikan non berbasis Islam, seperti SD, SMA dan SMK bahkan di kampus-kampus di luar naungan Kementerian Agama.  Krisis multidimensi dan degradasi moral anak bangsa ini, sudah semakin parah dan mengkhawatirkan. Pendidikan berkembang pesat namun masih jauh dari harapan. Terlepas dari Guru yang hanya mementingkan ‘kesejahteraan’ atau murid yang ‘sekedar’ memperoleh ijazah saja. Sebenarnya, tujuan pendidikan itu yang utama adalah menjadikan anak-anak didik kita menjadi “baik”, bukan pintar dan cerdas saja.
 
Demikian halnya dengan pembahasan saya kali ini, kalau boleh dibilang adalah ringkasan makna tersirat dalam kitab taklim al-muta’allim thoriq ta’allum. Dan pada bagian awal kitab ini, membahas ilmu yang paling utama untuk dipelajari, adalah ilmu al-hal (ilmu tingkah laku/akhlak). Akhlak adalah ilmu yang harus mewarnai semua macam ilmu. Misalnya seseorang yang mempunyai ilmu Ekonomi, kalau mereka tidak memasukkan ilmu akhlak dalam kepandaiannya di bidang Ekonomi, maka secara mudah dia akan merubah kebijakan-kebiajakan yang akan merugikan rakyat. Begitupun dalam keilmuan-keilmuan yang lain. Baik dalam mengajar, lebih-lebih belajar dan memperaktekkan keilmuan kita. Makanya wajar kalau Kitab sekecil taklim menempatkan ilmu akhlak pada tataran awal yang harus dikuasai. Dikarenakan, manusia cendrung tidak menggunakan akhlaknya pada semua aspek keilmuan yang mereka miliki, sehingga berdampak kepada kehidupan sehari-sehari.
 
Hal ini sangat menarik untuk diterapkan dalam pendidikan kita di sini. Karena Kota Bima berslogan “kota religius” dan ajan menuju “kota pendidikan”. Di samping itu, Kota Bima adalah kota yang sangat mendukung program pemerintah NTB untuk “Magrib Mengaji”. Jadi seperti yang saya pernah tulis dalam “Mengevaluasi Magrib mengaji” adalah penting untuk membumikan al-Qur’an bukan dari segi bacaannya saja, akan tetapi dari segi pengamalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kota Bima. Nah pendidikan yang ada, tentu umat islam akan mengambil rujukan ke pendidikan-pendidikan yang sudah diterapkan Rasulullah. Bukan dari segi metode/cara akan tetapi maksud dan tujuan serta manfaat dari terlaksananya sebuah pendidikan itu.  Dan kitab-kitab klasik seperti Ihya’nya al-Ghazali misalnya yang banyak berbicara pendidikan adalah berdasarkan al-Qur’an.
 
 Ada dua kitab yang sangat masyhur di kalangan ummat Islam terkait dengan konsep pembelajaran pendidikan agama, yang pertama Kitab al-'Ilm pada mujalladat tsalis kitab Ihya Ulumiddin karya al-Ghazali dan Kitab Ta'lim al-Muta'allim Thoriq Ta'allum karya seseorang yang dinisbatkan pada tanah kelahirannya di Zaranj Kazastan, yang menurut beberapa kajian dipahami sebagai syarah kitab al-'Ilm karya al-Ghazali di atas. Kitab yang kedua lebih masyhur di kalangan pondok pesantren karena dicetak tipis dan pembahasannya lebih sederhana dengan bobot kajian yang lebih ringan, yang karenanya menjadi kajian yang populer di kalangan santri, dibanding dengan kitab yang di-syarahi-nya yaitu kitab Ihya Ulumiddin yang lebih mayhur dengan kajian tasawuf, yang karenanya hanya menjadi kajian para santri dewasa di berbagai-bagai pondok pesantren di Indonesia, di samping lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya di dunia Islam.
 
Yang menonjol dari kedua kitab di atas adalah kajian tentang pembagian ilmu dan metode pembelajarannya. Tentang pembagian ilmu keduanya menegasikan ilmu-ilmu umum, dengan menjadikan ilmu fiqih sebagai afdlal al-'ilm dan apalagi terhadap filsafat, yang memang di saat al-Ghazali menulis kitab Ihya dalam suasana psikologis tidak mempercayainya sebagai pengetahuan yang secara efektif dapat mengantarkannya kepada ma'rifat billah. Sedangkan kitab Ta'lim tegas mengatakan bahwa filsafat sebagai pengetahuan yang haram dipelajari. La yanbaghi fi al-kitab syae'un  min al- Humrah fa-innaha shani' al-Falasifah.
 
Aspek metodis yang menonjol dari kedua kitab di atas adalah metode al-Syafaqah dan metode al-Mahabbah dengan pengertian yang sama, di mana keberkahan ilmu seorang murid bergantung pada kerelaaan hati (ridlo) gurunya yang telah mentranformasikan pengetahuan kepadanya. Pemahaman mana mengimplikasikan jargon sam'an wa tho'atan sekaligus mematikan tradisi bertanya. Secara historis tidak ada yang salah karena kitab Ihya' ditulis pada saat hegemoni Sunni relatif sangat kuat sedangkan filsafat hanya terjaga dan lestari eksistensinya di Spanyol Islam melalui tokoh Ibn Rusyd, yang juga hancur setelah perang salib di samping penolakan sebagian besar ulama Sunni pada masa kekuasaan khalifah Yusuf Mansur.  Kemunculan kitab Ta'lim pada abad XIV pada masa kekuasaan khalifah Murad IV kerajaan Turki Ustmani beriringan dengan menguatnya madzhab Sunni melalui pengaruh besar karya-karya terakhir Hujjat al-Islam al-Ghazali, yang dalam keseluruhannya menolak dan memojokkan filsafat, sekalipun dalam banyak studi disebutkan bahwa hampir 70 % karyanya menjelaskan persoalan-persoalan filsafat.
 
Perubahan paradigma dan stratregi pembelajaran pada masa Islam klasik lebih berjalan secara gradual, yaitu dari tradisi sama' yang sangat sederhana pada masa Nabi dan masa sahabat, untuk kemudian berkembang dengan model dialog pada masa tabi'in dan tabi' tabi'in. Kemunculan madzhab kalam Mu'tazilah menjadi preseden paling rasional tradisi dialog pada masa itu, di luar bahwa perdebatan kalam pada masa itu yang ditandai dengan bermunculannya banyak madzhab kalam dan fiqih serta model-model penyelenggaraan madarasah yang sangat spesifik dengan menjadikan madzhab-madzhab tertentu sebagai rujukan telah mempertegas tradisi dialog di atas. Dan sesuatu yang paling fenomenal justeru fenomena hellenik yang dilestarikan oleh Madrasah Nizamiah yang dikepalai oleh al-Ghazali pada periode kedua setelah Imam al-Juwaini.
 
Persoalan menjadi rumit dan absurd justeru karena karya-karya mutakhir al-Ghazali yang juga secara perlahan melemahkan tradisi dialog di atas, di luar karena faktor politik di mana para penguasa Muslim di seantereo dunia Islam umumnya beraliran sunni, yang umumnya juga merujuk pemikiran-pemikiran al-Ghozali. Dengan demikian perkembangan dan penyebaran pemikiran kalam sunni berjalan seiring dengan hegemoni politik sunni di dunia Islam, sehingga pengaruhnya sungguh relatif sangat kuat hingga sekarang.
 
Dalam kasus Indonesia pengaruh tersebut bisa dilihat dari sedemikian kuatnya pesantren merujuk kitab ta'lim dalam keseluruhan kandungannya tanpa kritik. Sedangkan seperti diketahui bahwa kitab ta'lim dipahami telah melarang filsafat untuk dipelajari karena posisinya yang merupakan syarah dari kitab al-'ilm mujallad tsalis kitab ihya' karya al-Ghazali. Karenanya  dapat dipahami "kritik" yang menyebutkan bahwa al-Ghazali sangat terlibat dengan proses pembangunan tradisi intelektualisme Islam masa awal, sekaligus ikut melemahkannya melalui karya-karya mutakhirnya yang dalam banyak hal melemahkan posisi filsafat sebagai bagian dari logos keilmuan Islam, yang sangat efektif menumbuhkan dan menjaga tradisi bertanya dalam proses pembelajaran secara umum. Ditambah lagi dengan pengaruh kitab ta'lim di dunia Islam selama periode zaman tengah yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang.
 
Universitas al-Azhar mengizinkan Bintu Syathi' sebagai perempuan pertama yang belajar di sana pada tahun 1951. Pondok Pesantren Denanyar Jombang mengizinkan proses belajar mengajar dengan melibatkan perempuan pada tahun 1971. Dan yang paling fenomenal adalah terjaga dan diyakininya jargon "Berkah-Kualat" yang hampir menguasai dan menjadi ruh keseluruhan proses belajar mengajar di pesantren hingga dewasa ini; jargon di atas menuntut "kepatuhan tak bersyarat" murid kepada guru dengan harapan memperoleh berkah yang pada gilirannya "menjauhkan tradisi bertanya dan apalagi tradisi kritik", dua tradisi mana dalam sejarah Islam sungguh telah terbukti mengantarkan kaum Muslimin mencapai kejayaannya dalam berbagai bidang keilmuan.
 
Proses pembelajaran mutakhir menuntut perubahan paradigma dari pengajaran (ta'lim) ke paradigma pembelajaran (ta'allum). Konsep pertama menjadikan guru sebagai sentral dalam keseluruhan proses pembelajaran yang karenanya seorang guru mesti berbekal penguasaan atas mapel yang diampunya sebagai syarat normatif, sebaliknya konsep kedua mensyaratkan guru untuk menguasai aspek-aspek metodologis di luar penguasaan materi yang diampunya; seperti pemahaman yang baik terhadap ilmu psikologi, penguasaan atas teori-teori dan konsep pembelajaran di samping penguasaan atas banyak metode pembelajaran, yang memungkinkannya untuk dapat "trampil berimprovisasi" dalam praktek mengajar dan tugas-tugas kependidikan lainnya.
 
Pemahaman di atas menjadi sesuatu yang mutlak yang karenanya dalam beberapa hal konsep ta'lim tidak lagi harus disikapi secara fanatis, karena tidak semua hal masih relevan. Secara umum yang berkaitan dengan tahdzib masih relevan tetapi tidak dengan yang berhubungan dengan masalah-masalah pembelajaran. Dengan demikian pertanyaan Mbah Hasyim Asy'ari bahwa orang belajar mesti memilih untuk kepentingan menjadi pinter baru bener, atau, belajar untuk menjadi bener baru pinter tidak lagi relevan, karena kedua tujuan di atas mesti dicapai secara bersamaan dalam prosesnya.
 
Aspek lain yang tak kalah pentingnya adalah mentradisikan "mendengar" bagi guru dalam kerangka "melayani" siswa dalam proses belajar mengajar sebagai akibat dari perubahan paradigma pembelajaran di atas. Praksis konsep Quantum Teaching, Quantum Learning, Pembelajaran yang di-Percepat, dan apalagi konsep KBK menuntut pembudayaan "tradisi mendengar" semua stake holder yang terlibat dalam keseluruhan proses belajar mengajar, utamanya guru yang pada  gilirannya akan secara efektif membuka ruang seluas-luasnya kepada murid untuk ber-ekspresi, sehingga kompetensi siswa dapat dikembangkan secara sangat maksimal. Itulah tujuan sesungguhnya dari keseluruhan usaha-usaha perubahan paradigma dan strategi pembelajaran sebagaimana sedang gencar terjadi di dunia pendidikan di Indonesia dewasa ini.
 
Satu hal yang paling penting diketahui bahwa usaha membangun tradisi bertanya dan tradisi mendengar akan dapat dilakukan sekiranya kita mau tulus mempelajari filsafat. Selama ini kita telah belajar filsafat tetapi dengan sikap ewuh-pakewuh. Dan hanya dengan perspektif inilah dapat dipahami bahwa Guru Yang Sopan adalah guru yang sedikit bicara, dan sebaliknya bahwa Murid Yang Sopan adalah murid yang berani bertanya dan banyak bicaranya. Semoga bermanfaat
 
 
 
Penulis Adalah Penyuluh Agama Islam di KUA Kec. Mpunda Kemenag Kota Bima.