Minggu, 02 September 2012

Generasi Porno

Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pdi.
 
Judul opini saya kali ini kayaknya menggelikan sekali. Namun sebenarnya untuk keprihatinan kita semua atas kejadian yang menimpa anak-anak didik kita, beberapa hari lalu (Bimeks 30-08) menulis adanya siswa yang kedapatan dalam HP (hand phone) nya terdapat file-file film dewasa (porno) dirazia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Kejadian yang memperihatinkan kita semua, terutama lembaga pendidikan ini, apabila tidak diberantas dan diantisipasi sedemikian rupa, maka sama dengan kita akan menciptakan generasi-generasi porno kedepannya.
Jangan sampai anak-anak didik kita kecanduan film porno yang nantinya akan berakibat fatal untuk masa depannya. Sudah sering kita lihat dalam berita media, banyak anak-anak yang terlibat perkosaan rekannya, bahkan orang tua memperkosa anak di bawah umur akibat kecanduan film dewasa ini. Bahkan pemerintah sendiri, kran ke arah tesebut sudah mengupayakan utuk ditutup melalui dikeluarkannya UU (Undang-undang) Pornoaksi dan Pornografi. Demikian halnya melalui Kementrian Komunikasi dan Penyiaran mengeluarkan pemblokiran situs-situs yang mengandung unsur porno. Agar tidak diakses secara bebas oleh mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
Lalu harusnya dari mana kita akan mulai membina mereka? Yang jelas tidak cukup dari sekolah saja, atau bahkan orang tua saja. Akan tetapi lingkungan masyarakat harus terlibat agar generasi yang kita bentuk sesuai dengan tujuan bangsa dan agama. Coba kita mulai dari fungsi sebuah Rumah Tangga, karena dari beberapa faktor pembentukan sebuah karakter baik bagi seorang anak, yang berperan banyak adalah Rumah Tangganya masing-masing. Artinya dalam rumah tangga, jelas ada Bapak dan Ibu mereka (orang tua).  Seorang pakar Psikologi Sosial Ogburn menulis bahwa fungsi keluarga itu ada tujuh. Adapaun fungsi yang tujuh ini adalah, affectional, ekonomic, educational, protective, recreational, family status dan religius.
Pembagian Ogburn ini, jauh lebih lengkap dari pendapat Prof. Dr. J. Verkuyl pakar Psikologi Sosial lain, bahwa fungsi Rumah Tangga atau Keluarga hanya tiga saja, yakni; mengurus keperluan materi anak, menciptakan suatu “home” bagi anak dan tugas pendidikan saja. Yang ditulis Ogburn sangat berkaitan antara satu dan lainnya. Karena beliau memfungsikan keluarga dan lingkungan. Akan tetapi oleh Drs. H. Abu Ahmadi dalam bukunya Psikologi Sosial  menyempitkan pendapat Ogburn menjadi tiga saja, yakni; menstabilisasi situasi keluarga termasuk ekonomi keluarga, mendidik anak dan pemeliharaan pisik dan psikis keluarga, termasuk dalam hal ini adalah mengenai kehidupan religiusnya.
Nah faktor-faktor keluarga terhadap perkembangan anak bisa di lihat dari empat faktor. Pertama, faktor Perimbangan Perhatian. Artinya dalam memperhatikan anak, harusnya ada perimbangan tugas masing-masing antara Bapak dan Ibu. Bukan berarti Bapak sebagai pencari nafkah, lalu tugas memperhatikan anak hanya tugas seorang Ibu saja. Atau sebaliknya, jika Ibu yang kerja maka tugas memperhatikan anak adalah Bapak. Apabila keseimbangan ini tidak seimbang maka terjadilah perkembangan anak tidak wajar alias keluarga tidak stabil. Dari itu harusnya antara Bapak dan Ibu harus berimbang pembagian tugas memperhatikan anak, tidak boleh satu yang memonopoli. atau banyak kita temukan, misalnya si anak keliru, satu yang marah satu membela, ini juga tidak bisa membentuk keluarga menjadi stabil.
Tetapi keluarga yang stabil bukan satu-satunya kebutuhan anak. Masih ada kebutuhan lain yang dituntut oleh anak misalnya pendidikan. Kalau demikian nanti akan terjadi bahwa orang tua mampu menyediakan kebutuhan materi anak-anaknya secara memuaskan, akan tetapi kebutuhan pendidikan tidak pernah terpenuhi. Anak tidak pernah dipersiapkan menjadi manusia dewasa seperti tujuan yang hendak dicapai oleh sebuah proses pendidikan. Anak berkembang “liar” tanpa adanya pola yang hendak dituju. Mereka tumbuh tanpa tuntunan norma yang pasti. Kalau tidak ada kepastian pada diri anak, bagaimanakah ia harus berbuat atau bersikap karena memang tidak pernah diberitahu dan dibimbing oleh orang tuanya.
Situasi seperti ini disebut miss educated. Kadang-kadang hal demikian bisa terjadi pada sebuah keluarga, apabila orang tua mereka betul-betul tidak tau cara mendidik anak-anak mereka. Atau bisa saja terjadi karena faktor terlalu sibuk memenuhi kebutuhan ekonomi saja (kerja). Stabil seperti di atas juga termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan. Bukan saja perhatian yang harus stabil antara Bapak dan Ibu, akan tetapi stabil pemenuhan kebutuhan anak, antara ekonomi, perhatian dan pendidikannya. Dalam beberpa literatur Hadits, bahwa nanti akan ada istilah orang pailit (bangkrut) di Akhirat gara-gara amalnya banyak diambil. Yakni orang tua yang rajin shalat, bersedekah, haji, puasa akan tetapi anaknya tidak pernah dididik agama dan karena itu dia melakukan banyak dosa dan pelanggaran atas perintah Allah SWT, maka Allah akan memberikan pahalanya kepada anak-anaknya.
Lain halnya, jika orang tua sudah menyarankan, mendidik anaknya dengan agama dan pendidikan (baik), namun anaknya yang memang tetap seperti itu, maka tidak masuk ke dalam orang yang pailit di Akhirat. Tetap akan menjadi nafsi-nafsi (sendiri-sendiri) tidak ada tanggung jawab atas dosa yang dilakukan anak. Dalam Islamm juga dibuat panduan kewajiban seorang ayah kepada anaknya empat perkara. Yakni memberikan nama yang baik (islami) di utamakan, memberikan nafkah, memberikan pendidikan dan menikahkan jika sampai waktunya. Apabila sudah dilakukan keempatnya, maka putuslah kewajiban seorang ayah kepada anaknya. Akan tetapi kewajiban anak kepada orang tuanya, tetap harus taat sampai kapanpun.
Kedua, faktor keluarga terhadap anak adalah kebutuhan keluarga. Keluarga yang utuh adalah keluarga yang dilengkapi dengan anggota-anggota keluarga yang lain. Misalnya Bapak, Ibu dan anak-anak. Dan kebalikannya adalah ada keluarga yang tidak utuh. Entah Bapak yang tidak ada, atau Ibu bahkan anak. Ini bisa terjadi dengan sebab kematian salah satu mereka, atau perceraian sampai mandul. Akan sangat mempengaruhi perkembangan sebuah keluarga. Keluarga yang utuh tidak sekedar utuh dalam arti berkumpulnya Bapak, Ibu dan anak saja. Akan tetapi keutuhan di sini adalah keutuhan pisik dan psikis anggota keluarga tersebut. Keluarga yang utuh memiliki suatu kebulatan orang tua terhadap anaknya. Keluarga yang utuh memiliki perhatian yang penuh atas tugas-tugasnya sebagai orang tua.
Sebaliknya keluarga yang pecah atau broken home perhatian terhadap anaknya akan menjadi kurang. Antara Bapak dan Ibu tidak memiliki kesatuan perhatian atas putra-putranya. Broken Home memiliki pengaruh yang negatif. Situasi keluarga yang pecah (tidak utuh) tidak menguntungkan bagi perkembangan anak. Anak akan mengalami yang namanya maladjusment. Hal ini bersumber dari hubungan yang pecah tadi. Anak akan menjadi frustasi, stres, depresi dan sangat-sangat tidak memuaskan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak nakal (delinquent) berasal dari keluarga yang tidak utuh. Di dalam keluarga anak memerlukan perimbangan perhatian, kasih sayang dari orang tuanya. Dalam keluarga yang pecah, seorang anak tidak akan mendapat kepuasan perhatian seperti perhatian seorang anak dari keluarga yang utuh.
Ketiga, faktor perkembangan dalam keluarga adalah Status Sosial. Status sosial orang tua ternyata ikut berpengaruh dalam perkembangan seorang anak. Tingkah laku dan kebiasaan seorang anak berangkat dari status sosial orang tua mereka. Bandingkan anak seorang pegawai negeri, TNI, Petani dan Pedagang serta anak seorang buruh. Di samping status kasta mereka, misalnya antara anak priyayi dan sudra akan menjadi beda. Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang berlainan dengan keluarga lain, sehingga perkembangan anakpun juga berlainan. Di dalam hal ini status sosial pekerjaan orang tua memegang peranan yang penting juga. Kebiasaan-kebiasaan orang tua yang Petani, TNI, Pegawai, Dokter dan Buruh akan diikuti oleh anak-anak mereka dan akan menjadi pembawaan kebiasaan seorang anak dalam bergaul dengan lingkungannya.
Dan masalah status sosial ini masih kita jumpai di tengah-tengah masayarakat kita. Orang tua yang tidak membolehkan anaknya bergaul dengan anak orang yang tidak sama statusnya dengan dia. Padahal Islam sendiri menghapus istilah status-status sosial demikian itu, yang dilihat hanya ketaqwaannya kepada Allah SWT. Dan status sosial adalah hanya bersifat keduniawian belaka, dalam pendidikan tidak mengenal istilah status sosial. Bahkan anak petani terkadang lebih berhasil (cerdas) dari pada anak pejabat. Dari itu hendaklah orang tua memberikan contoh yang baik dalam hal kesetaraan manusia di hadapan Allah SWT tidak dengan status sosial mereka. Memberikan contoh baik itu merupakan usaha pendidikan manusia dewasa untuk membawa manusia (anak-anak) mereka ke arah kedewasaan.
Dan faktor terakhir, keempat dalam faktor yang mempengaruhi perkembangan keluarga, menurut Abu Ahmadi adalah besar kecilnya keluarga. Keluarga kecil, terdiri dari Bapak, Ibu dan seorang atau dua orang anak saja. Sedangkan keluarga besar lebih dari tiga orang anak. Menurut analisa sosial Abu Ahmadi dalam bukunya Psikologi Sosial, anak dari keluarga besar akan mampun cepat bergaul dengan orang lain dari pada anak dari keluarga kecil. Pertimbangannya adalah, anak dari kelurga besar akan seimbang pemikirannya karena kebiasaan dalam keluarganya, antara menghormati kakaknya dan mengalah pada adiknya. Orang tua juga akan sangat mudah membagi kebagahiaan, keadilan dan perhatian pada anak yang banyak. Akan tetapi orang tua yang mempunyai anak tugalnya misalnya akan berusaha tidak membuat dia kecewa, yang nanti ujungnya menjadikan anak tersebut manja. Keluarga besar jika terjadi “kecewa” masih ada perlindungan pada kakak atau adik mereka untuk berbagi “kesedihan”.
Keempat faktor inilah yang akan menjadi penentu perkembangan anak selanjutnya. Anak akan menjadi baik dan stabil jika keempat faktor ini diperhatikan orang tua masing-masing. Kasus yang menimpa pelajar kita, pelajaran berharga untuk orang tua agar lebih memperhatikan anak-anak mereka. HP perlu di perhatikan fungsi dan tujuan (peruntukan) jika diberikan kepada anak. Kalau untuk usia pendidikan cukuplah sekedar bisa sms dan telpon, tidak harus canggih sampai ada fitur-fitur yang memungkinkan untuk disalah gunakan. Dan hubungan HP dengan jam-jam pelajaran saya kira tidak pas, kalau alasan untuk mencari materi pelajaran, kan sudah ada buku ajar. Atau kalau memang harus internet, tetap dalam pengawasan orang tua.
Di sekolah sendiri saya kira sangat gampang untuk itu, kalau zaman dahulu murid sebelum masuk kelas, kita diabsen berbaris depan pintu masuk kelas sambil razia kuku dan rambut sampai memasukkan baju apa tidak, kenapa itu tidak dilakukan saat ini? Razia HP, tas (untuk kondom dan narkoba) bagi anak-anak didiknya. Dan kualitas pendidikan dulu, tidak kalah dengan saat ini. Toh  guru-guru sekarang adalah produk sistem pengajaran guru-guru yang dulu. Ketegasan guru dalam menegakkan aturan bersama komite yang mewakili para wali murid adalah upaya untuk mengantisipasi generasi-generasi porno masa depan. Mudah-mudahan ini bisa dilakukan oleh para pendidik negeri ini. Wassalam.
 
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di Kementerian Agama Kota Bima dan Sekretaris Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam Kota Bima.