Kamis, 28 Februari 2013

Etika Politik Islami





Oleh : Musthofa Umar, S. Ag.


Gonjang ganjing perpolitikan nasional, tentu kita semua paham. Dan sebentar lagi, NTB secara umum dan Kota Bima secara khusus juga akan menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan ini. NTB akan memilih  Gubernur dan Wakil Gubernur. Demikian halnya dengan Kota Bima akan memilih Walikota dan Wakil Walikota untuk periode 2013-2018. Seiring dengan  hal ini, menjadi inspirasi dakwah saya sebagai Penyuluh Agama Islam, bagaimana harusnya umat Islam melihat politik. Sehingga manfaatnya dirasakan, untuk kemaslahatan bersama.

Politik kadang orang bilang kejam, tidak mengenal kawan dan saudara. Yang ada dalam politik adalah kepentingan dan tujuan yang tercapai. Akan tetapi tentu Islam tidak membenarkan segala cara untuk mencapai kepentingan dan tujuan itu, bila cara itu haram atau merupakan larangan Allah SWT. Nah sebenarnya Islam sendiri seperti apa sich melihat politik itu? Hal ini menjadi penting karena Islam adalah pemilih terbesar, apalagi untuk NTB dan Kota Bima. Islam sebagai bagian dari politik, tentu harus mempunyai peranan penting dan memosisikan diri pada posisi yang tepat.

Islam adalah agama yang syamil wamutakamil (menyeluruh, integral dan terpadu). Ia adalah agama yang sempurna dan diridhai Allah, sebagaimana dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 19, “sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi kitab, kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian diantara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh Allah sangat cepat perhitungan-Nya”. Demikian halnya pada Surat Al-Maidah ayat 3 dikatakan, “….Pada hari ini, telah aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. Tetapi, barangsiapa terpaksa, karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. Karena ia agama yang integral, maka tak ada satu aspekpun dalam kehidupan ini yang tidak terangkum dalam ajaran Islam, termasuk politik.

Lihat saja NU (Nahdlatul Ulama) pada dasawarsa 1980an dan 1990an terjadi perubahan mengejutkan di dalam lingkungan ormas terbesar di Indonesia ini. perubahan yang paling sering disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah, proses “kembali ke khittah 1926”. NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi ‘jam’iyah diniyah’, bukan lagi sebagai wadah politik. Dengan kata lain, sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai politik mana pun termasuk Golkar dan PDI pada masa itu. Karena kiai lebih condong ke PPP (Partai Persatuan Pembangunan), yang lebih bisa mewadahi kemauan para kiai pada saat itu. Dengan adanya komitmen ini, NU tidak lagi dicurigai oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya, pertemuan, seminar dan lain-lain tidak lagi dilarang, malah sering difasilitasi peremerintah.

Kejatuhan Orde Baru (Sueharto) tahun 1998, menjadikan kran demokrasi terbuka lebar. Gelora reformasi digaungkan oleh elit-elit bangsa ini. Demikian halnya dengan sistem kepartaian di Indonesia. dari tiga parti menjadi multi partai, demikian halnya dengan mudahnya ormas-ormas Islam mendirikan partai. Misalnya NU dengan PKB, Muhammadiyah dengan PAN dan PKS, PPP, PBB, PKNU dan  Partai Masyumi dan lain-lain. Dari partai-partai yang berlabel Islam ini, tidak jarang pengurusnya adalah kiai atau mereka-mereka dari kalangan pesantren, yang selama ini dikenal hanya bergelut dengan kitab kuning dan sarung saja. Walaupun selanjutnya menyatakan diri terbuka dan memberikan kesempatan non Islam masuk dan ikut sebagai pengurusnya.
Tentu dari ulasan di atas, kemampuan kiai dalam bidang agama Islam tidak kita ragukan. Dan kalau mereka terjun dalam dunia politik, tentu umat sebagai pengikut fatwa dan ceramah-ceramah para kiai, ingin meniru dan ikut apa kata kiainya. Nah jika kiai sudah memulai, kenapa tidak dengan umat? Dan itulah sebagian fungsi kiai, pemimpin umat. Agar umat tidak salah memilih dan umat mempunyai pegangan kuat, maka sandaran mereka adalah ulama (kiai/tuan guru). Dan hal inilah yang terjadi dalam perpolitikan sejak Orde Baru runtuh. Dari tiga partai menjadi multi partai, dan sejak itu pula di sebagian wilayah Indonesia, ada kiai yang menjadi Bupati, Gubernur bahkan Presiden (Gus Dur). Termasuk NTB yang saat ini dipimpin oleh seorang Tuan Guru.

Proses politik yang nampak di Indonesia akhir-akhir ini, cukup menyisakan PR (pekerjaan rumah) bagi kita, bagi cendikiawan dan pemimpin kita. Bagaimana tidak, para pelaku politik yang biasanya dilakukan profesional, kali ini sudah banyak wajah-wajah baru yang ikut nimbrung dalam pentas politik praktis. Tidak kurang tokoh dari berbagai agama, ikut andil yang kemudian secara otomatis mereka juga mengantongi isu-isu dari agama mereka masing-masing. Hingga yang nampak adalah upaya mencari dukungan dari massa dan umat tersebut tidak pernah lepas dari eksplorasi mereka terhadap statemen agama dan ayat-ayat yang dapat menjustifikasi dari kepentingan-kepentingan politik. “Perang” dalih agama tidak bisa dielakkan antara tokoh agamawan dan pemimpin umat. Dalam kondisi demikian, agama hanya dijadikan sebagai bancakan politik, bukan sebagai paradigma dan target dari perjuangan. Inilah yang terkadang membuat citra jelek agama dan politik.

Seorang Ulama Mesir terkemuka dan pendiri Ikhwanul Muslimin, Imam Syahid Hasan al-Bana mendifinisikan politik sebagai kegiatan penyelenggaraan persoalan-persoalan internal maupun eksternal. Yang dimaksud dengan kegiatan internal adalah mengurus soal pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya serta merinci hak-hak dan kewajibannya. Kemudian melakukan pengawasan terhadap penguasa. Mematuhinya jika mereka dalam kebenaran dan mengkritik serta meluruskannya jika mereka berbuat kesalahan. Sedangkan yang dimaksud dengan kegiatan eksternal politik adalah memelihara kemerdekaan, kedaulatan dan kebebasan sebagai bangsa dan umat serta menghindarkannya dari penindasan dan intervensi bangsa lain. Sebaliknya pemerintah yang berkuasa di suatu negeri muslim, harus dapat menghantarkan bangsanya sebagai bangsa yang terhormat dan tidak hidup tergantung dari belas kasihan negara-negara lain.

Melihat definisi Hasan al-Bana tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa politik adalah sarana ibadah dan sekaligus juga mengandung muatan-muatan dakwah berupa amar ma’ruf wa nahyu anil munkar. Jika selama ini ada keengganan untuk membicarakan dan terjun dalam politik terutama bagi muslimah, hal tersebut disebabkan karena paradigma tentang politik yang populer adalah paradigma Barat. Seperti misalnya pendapat Machiavelly mengatakan, politik adalah tujuan mengalalkan segala cara. Sehingga dari pernyataan Machiavelly ini, timbul teori yakni sah-sah saja orang merebut atau mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.

Nah tentu hal ini kita tidak inginkan, apalagi kalau sebagian tokoh-tokoh partai kita adalah orang Islam. Tentu dalam Islam banyak pelajaran yang diambil, bagaimana harusnya ber-akhlakul karimah dalam politik. Akhlak yang diajarkan Rasulullah SAW bukan hanya dalam urusan ibadah mahdhah saja, melainkan ibadah-ibadah ghairu mahdhah, termasuk politik. Artinya, Islam kaffah dalam segala sendi kehidupan harus dipraktekkan, harus ditegakkan dan diberikan contoh yang baik bagi umat. Mereka adalah pemimpin, dan rakyat adalah orang yang dipimpin. Dalam hal ini pula, sudah ada hadits Nabi yang mengatakan, “kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawabannya kelak atas kepemimpinannya”. Jadi kepemimpinan dalam politikpun juga sama, sebagai pemimpinan umat.
Politik harusnya menjadi sarana berkhidmat pada umat atau rakyat dengan tujuan mendapatkan ridha Allah SWT. Sehingga kebersihan dan kelurusan niat dan cara-caranya pun menjadi sebuah keharusan dalam berpolitik. Dalam konsep Islam pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya (orang yang dipimpinnya). Ada ungkapan, “sayyidul qaumi khadimuhum” (pemimpin suatu bangsa adalah pelayan bagi bangsanya). Pemimpin dalam pandangan Islam juga bertugas membebaskan rakyatnya dari segala rasa lapar dan takut. Ia juga wajib menjadikan kekuasaan sebagai amanah dan alat untuk menegakkan kebenaran dan memerangi kemungkaran.

Politik adalah taktik atau cara, yakni cara untuk meraih sesuatu. Termasuk Rasulullah SAW bertaktik (politik) dalam hal berperang dengan orang-orang kafir pada zaman dahulu. Termasuk Rasulullah SAW sering mencontohkan diplomasi baik dengan raja-raja yang kafir dan diminta masuk Islam oleh beliau. Dan ingat Rasulullah SAW mempunyai empat sifat wajib yang harus diketahui dan diikuti oleh kita umatnya. Ada Shiddiq (Jujur), Amanah (Dipercaya), Thabligh (menyampaikan) dan Fathanah (cerdas). Kalau ulama adalah pewaris Nabi dalam hal ilmu agama dan tingkah laku Nabi secara keseluruhan, pemimpin juga pewaris Nabi dalam hal kepemimpinannya. Amanah (Dipercaya) adalah sifat yang diwariskan setiap pemimpin. Kalimat amanah kalau dalam kaidah ilmu nahwu-sharraf bisa berarti kepercayaan, atau orang yang dipercaya. Pemimpin yang terpilih, adalah orang yang ‘dipercaya’ dengan ‘kepercayaan’ masyarakat melalui pemilihan secara jujur dan adil.

Maka dari itu, pemimpin yang lahir dari proses pemilihan umum pada partai politik, harus mengikuti salah satu sifat Rasulullah SAW tersebut. Dengan demikian, jika mereka para pemimpin tersebut tidak dapat dipercata dan menyalahi kepercayaan ‘khianat’ rakyat, maka sudah melenceng dari warisan Rasulullah SAW tersebut. Dari sinilah umat harus merenungi lebih dalam lagi, sebelum menentukan pilihannya untuk menjadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpinnya di masa depan.  Latar belakang, serta program kerja mereka harus dipaparkan pada rakyat. Dan rakyat tidak ‘menjual’ kepentingan sesaat dengan uang semata (politik uang). Jika ini yang terjadi, menjadikan awal yang buruk. Dan apabila awalnya sudah buruk, maka selanjutnya perjalanan dan akhirnyapun akan buruk pula.

Dalam sebuah hadits Imam Muslim diungkapkan, “barang siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaknyalah mencegahnya dengan tangannya, apabila tidak sanggung maka dengan lisannya, dan jika tidak sanggup hendaklah dengan hatinya. Dan itu termasuk selemah-lemahnya iman”. Kata-kata tangan dalam hadits ini, tentu bukan dengan tindakan, tapi dengan kekuasaan. Jadi orang yang berkuasa lebih mempunyai porsi untuk mencegah kemungkaran dari pada kita yang tidak berkuasa. Misalnya dengan menandatangani perda anti miras, judi dan lain-lain. Sehingga bisa dilakukan dan dilaksanakan dalam sebuah wilayah. Jangan terbalik, kekuasaan dijadikan untuk melegalkan hal-hal yang mungkar. Dan sahabat Utsman bin Affan pernah berkata, “al-Qur’an lebih memerlukan kekuasaan dari pada kekuasaan membutuhkan al-Qur’an. Dan karena politik merupakan bagian dari ke-universal-an Islam. Maka, setiap muslim meyakini bahwa Islam memiliki sistem politik yang bersumber dari Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dikembangkan oleh para sahabat dan salafusshaleh sesuai dinamika perkembangan hidup manusia setiap masa. Mudah-mudahan kita sebagai rakyat dan bawahan, mampu memilih pemimpin yang baik untuk kemajuan bangsa, negara dan agama. Amin.



Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di Kementerian Agama Kota Bima.


Senin, 25 Februari 2013

Rokok Persfektif Islam[1]








Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pd.I[2]



Sejarah

Syaikh Ihsan Jampes (1901 M), seorang ulama’ besar asal Banjarmelati-Kediri Jawa Timur masih keturunan Sunan Gunung Jati dari silsilah Bapaknya dan Sunan Ampel dari silsilah Ibunya. Beliau mengutip pendapat pengarang Kitab Tuhfah al-Ikhwan, dalam buku yang ditulis beliu, Kitab Kopi dan Rokok (untuk para pecandu rokok dan penikmat kopi berat), yakni pada bagian menjelaskan bagian kesehatan badan, dijelaskan bahwa tembakau (at-Tabghu) pada mulanya adalah tanaman lokal di suatu daerah yang bernama Tobago  suatu negeri di wilayah Meksiko, Amerika Utara. Pada masa pendudukan Amerika, berbondong-bondonglah orang-orang dari Eropa untuk singgah dan menetap di ‘dunia baru’ tersebut.  Mereka bergaul dengan penduduk asli Amerika sehingga tahulah mereka tradisi dan adat istiadat penduduk asli, termasuk dalam hal merokok. Ketertarikan mereka terhadap tradisi merokok membuat mereka membawa bibit tanaman tembakau ini ke negeri-negeri Eropa, khususnya ketika ada di antara mereka yang pulang ke kampung halaman.
Pemindahan bibit ini terjadi pada 1517 M atau 935 H. Hanya saja, tanaman tembakau ini tidak tersebar luas di seluruh daratan Eropa. Pada 1560 M atau 977 H, Yohana Pailot dari Vunisia mengunjungi Raja Alburqanal di Panama, Amerika. Tentu saja kunjungan itu bukan sekedar kunjugan biasa, akan tetapi dia membawa tambahan bibit tembakau untuk Vunisia sehingga beberapa saat kemudian tembakau tersebar di negeri itu. Dari Vunisia, tanaman tembakau dibawa dan disebarkan ke negri-negeri Eropa yang lain oleh seorang Rahib Vunisia yang bernama Vuses Lorenz. Sejak saat itu, tanaman tembakau menjadi masyhur di seluruh Eropa hingga sampailah ke Asia dan Indonesia. [3]
Inilah sejarah singkat tanaman tembakau yang selanjutnya menjadi rokok. Tembakau (Indonesia) kalau dilihat dari sejarah ini, lebih mirip ke asal nama tembakau dari Vunisia, yakni Tobago (tembago=tembako=tembakau). Sedangkan Rokok sendiri bahsa arabnya adalah ad-dhukhon (kabut).  Dan kata-kata Kabut berasal dari bahasa al-Qur’an, surat ad-Dukhan, tertulis pada ayat ke 10.
 

Artinya, :  “Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata[1371],

[1371]  yang dimaksud kabut yang nyata ialah bencana kelaparan yang menimpa kaum Quraisy Karena mereka menentang nabi Muhammad s.a.w.


Kedudukan Qiyas

Islam adalah agama universal (rahmatan lil ‘alamin) begitupun dengan al-Qur’an bersifat (mujmal) dan membutuhkan kehadiran Hadits sebagai penjabaran maksud dari al-Qur’an, sehingga bisa diterima oleh umat secara sempurna. Ada penelitian di salah satu universitas di Damaskus 750 ayat dari sekitar 6.000 lebih ayat dalam al-Qur’an menegur orang mukmin untuk menggunakan akal fikirannya. Ada ayat-ayat Qur’aniyah (Eksistensi Fisik) dan Kauniyyah (Metafisik). Sebanyak 10 % ayat itu Qath’i (baku tidak bisa disentuh nalar) dan 90 % Zhanni (masih bisa disentuh nalar).[4]
Seperti awal turunnya al-Qur’an berbentuk suhuf (lembaran), tanpa harkat dan bahasa arab. Kemudian pada zaman Sayyidina Utsman bin Affan (Khalifah ke 4 setelah Rasulullah) mengumpulkan al-Qur’an dan memberikan harkat, setelah terjadi perbedaan dialeg cara membaca al-Qur’an pada saat itu, yang berimbas pada makna dan arti al-Qur’an itu sendiri.  Dan dalam sejarah Islam ini dikatakan mushaf Utsmani.
Sehingga pertanyaannya, apakah al-Qur’an bid’ah?. Jawabannya adalah ia, karena pengumpulan dan pengharkatan al-Qur’an pada zaman Rasulullah tidak ada. Akan tetapi ini adalah bagian dari bid’ah hasanah. Dan Islam agama mudah, agama yang tidak mempersulit penganutnya. Begitupun dalam pengambilan hukum-hukum yang dieprgunakan dalam mu’amalah sehari-hari, termasuk masalah rokok.
Ayat al-Qur’an membahas masalah rokok secara teks memang tidak ada, namun secara konteks tentu ada, sepeti keharaman Narkoba yang didasarkan pada surat al-Maidah ayat 90 :

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah : 90).

Ayat ini kemudian di jabarkan / diperjelas kembali dengan Hadits dari Abdullah bin Umar ra.

    كل مسكرخمروكل مسكرحرام

Artinya, : “Setiap zat yang memabukkan itu khamer dan setiap zat yang memabukkan itu haram.
Dalam masalah ini, berlaku hukum Qiyas. Bahwa Narkoba dan sejenisnya, yang bisa membuat orang mabuk (lupa ingatan) adalah dihukumi sama dengan Khamer dan maka menjadi haram pula.
Nah, Qiyas adalah perbandingan atau perumpamaan yang berdampak sama. Dan Qiyas ini merupakan salah satu dari macam-macam pengambilan sumber hukum dalam Islam setelah al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ (kesepakatan para ulama’). Termasuk Istihsan (penganggapan baik), Istishhab (pemberlakuan hukum masa lampau), al-mashlahah al-mursalah (kemaslahatan yang tidak terdapat nas-nya dalam agama), ‘urf (adat kebiasaan) dan Syar’u man Qablana (Syariat nabi sebelum kita. [5]

Pandangan Ulama’

Selanjutnya bagaimana pandangan ulama’ tentang Rokok? Dalam hal ini ada dua pendapat yang sama-sama menggunakan dalil naqli maupun aqli untuk memperkuat argumen masing-masing :
1.       Golongan Ulama’ yang Mengharamkan
Ada beberapa ulama’ yang mengharamkan langsung rokok. Yakni diantaranya : Syaikh asy-Syihab al-Qalyubi. Beliau menjelaskan hukum rokok ini pada Bab Najis dalam hasyiyah-nya atas kitab karangan al-Jalal al-Mahali yang mengomentari kitab al-Minhaj-nya Imam Nawawi. Pendapat beliau, “tembakaunya suci, namun rokoknya haram. Karena salah satu efek rokok adalah membuka saluran tubuh, sehingga mempermudah masuknya penyakit ke dalam tubuh”.
Ulama’ lain yang mengharamkan rokok adalah, Syaikh Ibrahim al-Laqqani al-Maliki, beliau berpendapat sama dengan ulama’ pertama, bahwa rokok adalah nakjis sehingga harus dihindari dan berbahaya serta merusak pikiran.
Ulama’ ketiga yang mengharamkan rokok adalah, al-Allamah al-Faqih ath-Tharabisyi, bahkan beliau menulis buku yang berjudul, Tabshirah al-Ikhwan fi Bayan adh-Dharar at-Tabgh al-Masyhur bi ad-Dukhan termasuk berpendapat sama dengan ath-Tharabisyi adalah al-Muhaqqiq al-Bujairimi beliau menulis dalam hasyiyah-nya kitab al-Iqna’ fi Syarh Matn Abi Syuja’, pendapatnya “mengkonsumsi sesuatu  yang dapat membahayakan badan atau pikiran hukumnya adalah haram”.
Dan tokoh yang lebih keras berpendapat adalah Syaikh Hasan asy-Syaranbila seorang ulama’ dari Madzhab  Hanafi, mengatakan rokok dan orang menjual rokok adalah haram. Ini di dasarkan pada, setiap sesuatu yang nakjis dan haram untuk dimakan, maka menjual dan membelinyapun haram. Hal ini seperti pada khamer (minuman keras). Termasuk salah satu Ulama’ sufi, Sayyid al-Husain Ibn Abi Bakr termasuk yang mufakat dengan pendapat ini adalah Syaikh Abdullah ibn Ahmad Basudan, pendapat beliau, “barang siapa yang tidak mau bertaubat dari merokok dalam waktu empat puluh hari sebelum matinya, dikhawatirkan dia akan mati dalam keadaan su’ul khatimah (mati jelek).
Dan terakhir adalah Syaikh Abdullah ibn Alwi al-Haddad seorang sejarawan sekitar tahun 1012 tahun setelah hijrah Nabi dalam syairnya beliau mengatakan, “menghirup lebih jelek di banding menghisap, karena nafas tentu terbawa ke otak dan saat itu juga berpengaruh pada indera, demikianlah tingkah setan terkutuk lagi tercela dan demikian, pembahasan haramnya rokok telah sempurna”.

 2.       Golongan Ulama’ yang Menghalalkan
Seperti yang saya sampaikan di atas, tiap masalah tentu ada yang pro dan ada yang kontra. Nah setelah kita membahas ulama’ yang mengharamkan rokok, kini kita seimbangkan dengan ulama’ yang menghalalkan rokok. Diantara ulama’ yang menghalalkan rokok adalah, al-Imam Abd al-Ghani an-Nabilisi dari pengikut Madzhab Hanafi beliau menulis sebuah risalah yang dinamai, ash-Shulh bain al-Ikhwan fi Hukm Ibhah Syarb ad-Dukhan dan pendapat beliau juga di ‘amini’ oleh ualam’ lain, seperti al-‘Alamah asy-Syabramalis, Syaikh as-Sulthan al-Halab, dan al-Barmawi. Pendapat mereka yakni, “menghisap rokok halal. Kerharamannya bukan karena rokok itu sendiri haram (haram li dzatih), namun karena ada unsur dan faktor luar yang mempengaruhi ataupun merubah hukum halal ini”. malahan al-Fadhil Mas’ud ibn Hasan al-Qanawi asy-Syafi’i dalam kitab Syarh Lamiyah mengatakan, “rokok juga mempunyai manfaat yakni menghilangkan serak atau parau, sehingga rokok menjadi halal”. Dan  ar-Rusyd yang tertuanga dalam Hasyiyah ‘ala Nihayah mengatakan, “karena tidak adanya dalil yang dijadikan dasar untuk mengharamkan menghisap dan  mengkonsumsi rokok, maka hukumnya adalah mubah (boleh).
Lain halnya dengan Syaikh Muhammad Sa’id Babashil, beliau seorang ualama’ fiqih, mufti Syafi’iyah. Termasuk dalam golongan ini Syaikh Muhammad ibn Musa an-Nasawi dan al-Jamal ar-Ramli dalam Tuhfah-nya Ibn Hajar mengatakan, “rokok tidak samapai haram, melainkan hukumnya adalah makruh”.

Kesimpulan

Dari beberapa pendapat ulama’ tentang rokok maka bisa di simpulkan bahwa, hukum rokok atau rokok dalam pandangan Islam mempunyai beberapa hukum :
1.       Haram, jika memudharatkan si perokok (bila menyebabkan sakit atau memiskinkan diri).
2.       Mubah, jika menjadi obat / penyembuh.
3.       Makruh, jika menyebabkan kelalaian.
Kelalaian dalam arti, sampai meninggalkan ibadah yang lain (misalnya bersedekah, zakat dan menafkahi istri termasuk shalat lima waktu akibar membeli atau merokok).

Artinya, “Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya Haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah Telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah ?" (QS. Surat Yunus : 59).

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah Telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”. (QS. Al-Maidah : 87-88).

Sebuah Hadits riwayat Ahmad mengatakan :

لاَ ضِرَارَ أخرجه الإمام أحمد في المسند ومالك في الموطأ وابن ماجةلاَ ضَرَرَ وَ

“ Tidak (boleh melakukan/menggunakan sesuatu yang) berbahaya atau membahayakan” (Riwayat Ahmad dalam Musnadnya, Malik dan Atturmuzi)

Artinya, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah : 168)

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”. (QS. Al-Baqarah : 172).

Artinya, “(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-A’raf : 157)

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (An-Nisa’ : 29-30).

[287]  larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.

Artinya, “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu Karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada   keterangan Ini (Al-Quran)”. (QS. Al-Kahfi : 6).













[1] Disampaikan pada seminar Dinas Kesehatan Kota Bima 25-28 Pebruari 2013.
[2] Penyuluh Agama Islam di Kementerian Agama Kota Bima.
[3] Syaikh Ihsan Jampes, Irsyad al-Ikhwan fi Bayan al-Hukm al-Qahwah wa ad-Dukhan, (Terjemah : Kitab Kopi dan Rokok), Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2009, hal. 14-15.
[4] DR. Abu Yasid, LL.M., Nalar & Wahyu, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2007, hal. 60.
[5] Ibid, hal, 56.