Selasa, 01 Mei 2012

Pendidikan untuk Perempuan


Oleh : Musthofa Umar, S. Ag, M. Pd.I

Momentum HARDIKNAS (Hari Pendidikan Nasional) yang jatuh kemarin 2 Mei 2012 menjadi momentum untuk kita semua, terutama pengambil-pengambil kebijakan mengenai pendidikan utnuk mengevaluasi sejauh mana kemajuan hasil pendidikan kita dari semua jenjang selama ini. Lebih-lebih Kota Bima yang mencanangkan menjadi Kota Berpendidikan. Opini saya kali ini, sejalan lurus dengan opini saya sebelumnya, menyambut Hari Kartini beberapa waktu lalau.  Membahas Hari Kartini, tentu tidak lepas dari membahas bagaimana perjuangan Kartini untuk kaumnya (perempuan) agar disetarakan dengan laki-laki dalam mengenyam pendidikan kala itu. Lalu bagaimana saat ini, sudah adilkah kita kepada perempuan tentang pendidikan mereka, atau sejauh mana ruang untuk perempuan dalam pendidikan?
Kalau dilihat sekilas memang sudah adil, artinya laki-laki dan perempuan sejajar dalam mengejar keilmuan masing-masing dalam jenjang pendidikan yang mereka tempuh. Namun masalah yang muncul akhir-akhir ini, dalam satu kelas jumlah laki-laki jauh sangat rendah dengan jumlah perempuan.  Hal ini mungkin menjadi fakta terbalik pada era 90-an. Pada era ini, menurut data statistik Bappenas tahun 1997 menunjukkan bahwa angka masuk sekolah laki-laki dan perempuan selalu lebih rendah dibandingkan laki-laki. Dan semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin kecil siswa perempuannya. Ini dikarenakan, anggapan bahwa perempuan hanya di KDS (Kasur, Dapur dan Sumur) saja, biarlah laki-laki yang sekolah tinggi karena dia kepala keluarga yang mencari nafkah/kerja untuk istri dan keluarganya.
Anggapan yang lain, bahwa laki-laki yang akan menggantikan posisi tulang punggung keluarga, maka dia harus disekolahkan lebih tinggi. Hal ini terjadi era 1990 an. Namun saat ini, seperti yang pernah saya bincang-bincang dengan sahabat saya, seorang pengawas di Mapenda Kemenang Kota Bima (Drs. Taufiqurrahman, M. Pd.), beliau menunjukkan data di salah satu kelas MIN bahwa anak laki-lakinya jauh kalah banyak dengan anak perempuan. Bahkan dalam satu kelas, ada satu siswa laki-laki yang lainnya siswa perempuan.  Kenapa sebab ini terjadi? Yang jelas bukan alasan karena laki-laki sibuk kerja, dan perempuan sekolah saja, jadi terbalik dengan era 90-an tadi. Akan tetapi ini terjadi karena memang statistik kelahiran laki-laki jauh lebih sedikit dengan kelahiran perempuan.
Masalah yang lain adalah, kenapa pendidikan perempuan harus diperhatikan yakni perempuan termasuk salah satu wasiat Rasulullah sebelum beliau wafat. Bahwa sangat dititpkan kepada kita untuk menjaga perempuan. Perempuan sebagai tiang agama, perempuan sebagai tiang negara. Dan kalau hancur perempuan maka hancurlah agama dan negara. Oleh karena itu, wajar kiranya kita harus lebih melihat dan mengedepankan pendidikan untuk perempuan. Seolah-olah kita menjaga tiang agama dan negara ini agar tetap kokoh berdiri.  Lalu bentuk pendidikan yang pas untuk perempuan bagaimana? Apakah cukup dengan pendidikan di bangku sekolah itu? Yang sama diajarkan dengan laki-laki atau ada materi-materi khusus yang harus mereka kuasai?
Taklimul Muta’allim, sebuah kitab rujukan wajib pondok-pondok salaf, yang mana di dalamnya membahas tata cara belajar mengajar menurut islam menempatkan ilmu hal (tingkah laku) menjadi ilmu yang harus dipelajari terlebih dahulu. Bukan ilmu berhitung atau membaca. Karena pada dasarnya, membaca alam ini dan tingkah laku orang, tidak membaca dengan teks. Hal ini sudah dibuktikan Rasulullah sendiri, bahwa beliau tidak bisa membaca. Kalau ilmu berhitung yang ditonjolkan, tanpa tingkah laku yang baik, maka setelah mereka besar dan pandai berhitung, bisa jadi hitungan angka-angka banyak yang dimanipulasi. Korupsi terjadi karena orang pandai berhitung, namun tidak pandai berakhlak atau menempatkan akhlaknya dalam dunia berhitung yang mereka miliki. Maka wajarlah kiranya Taklim menempatkan ilmu hal paling awal yang harus dipelajari.
Tentang hal ini, nampaknya Menteri Agama beberapa waktu lalu saat beliau mengunjungi beberapa sekolah yang melakukan UN (Ujian Nasional) mengatakan bahwa, pendidikan harus mengutamakan kejujuran. Jujur sangat diperlukan dalam dunia pendidikan, karena sifat jujur akan mengantarkan anak didik menjadi orang-orang yang bisa dipercaya oleh orang lain. Saya jadi ingat kisah seorang Baduwi yang sehari-harinya merampok, memperkosa, berjudi dan mencuri. Akan tetapi si Baduwi ini akan mengahdap Rasulullah dan ingin memeluk Islam. Namun si Baduwi akan memeluk Islam dengan satu syarat, yakni Rasulullah tidak melarang dia untuk berhenti melakukan pekerjaannya selama ini, yakni mencuri, merampok, berjudi dan lain-lain tadi. Tapi oleh Rasulullah mengajukan syarat juga, yakni haurs bersikap jujur. Sabda Rasulullah, kamu boleh melakukan pekerjaanmu yang lalu, asal saya minta kamu jujur. Si Baduwi pun menyanggupi, dan pada singkat cerita si Baduwi dalam setiap mau melakukan perbuatan jeleknya, selalu ingat sabda Rasulullah yakni harus jujur. Jujur pada diri sendiri dan Allah yang Maha Melihat, bahwa hal yang akan dilakukan itu adalah tidak baik. Maka saat itulah si Baduwi berhenti dari pekerjaan jeleknya, dengan satu cara yakni jujur.
Pendidikan jujur, tidak hanya untuk siswa akan tetapi untuk semua orang yang terlibat dalam pendidikan. Terutama guru dan orang tua, karena merekalah yang sangat berperan untuk menjadikan anak-anak didik kita ini menjadi yang diharapkan bangsa, negara dan agama. Kejujuran tidak membutuhkan untuk di buktikan dengan penglihatan ataupun ucapan. Namun sifat jujur tanpa dilihat atau dikatakan oleh siapapun maka akan sangat berbeda hasilnya. Seorang guru, apabila melakukan tindakan-tindakan yang jauh menyimpang dari agama, walaupun tanpa terlihat siswa, akan sangat berdampak pada ucapan dan pengajaran yang dilakukan. Inilah awal ketidak jujuran, maka jangan harap hasil yang di peroleh akan memuaskan. Mengajar butuh sentuhan batin, seorang guru yang bijak, tidak hanya menyampaikan pelajaran melalui teks buku bacaan, namun kontek akhlak seorang guru juga sebuah pelajaran bagi siswa. Di dalam sekolah ataupun di luar sekolah. Karena pada dasarnya ilmu adalah nur (cahaya), dan cahaya tidak bisa terlihat kapan dia masuk kedalam orang-orang (siswa) yang kita hendak mentransfer pengetahuan itu. Maka sikap, akhlak dan tingkah laku serta ibadahnya seorang guru, harus lebih ‘alim dari pada selain guru. Di dalam sekolah memberikan ilmu, di luar sekolah mendo’akan murid-muridnya agar cepat bisa dan menyambungkan (washilah) kepada sang guru-guru dari guru yang bersangkutan.
Saya sangat tidak enak melihat dan mendengar ada pendidikan yang tinggi (Perguruan Tinggi) yang mengkader seorang pendidik namun perilakunya tidak mencerminkan seorang pendidik. Satu kampus saya pernah berkunjung, saya melihat seorang mahasiswa (laki-laki) menggunakan anting, namun sang dosen / pihak kampus tenang-tenang saja tanpa menegur dan sebagainya. Belum lagi masalah pakaian, sangat jauh beda seperti yang terlihat di IAIN Sunan Ampel Surabaya misalnya, yang mana mahasiswa dilarang menggunakan celana Jins ke kampus atau baju kaos oblong dan ketat. Hal ini menjadi sangat tidak mengenakkan mata, bila nantinya mereka-mereka yang akan memegang estafet kepemimpinan untuk generasi selanjutnya. Justru harusnya di lembaga-lebaga model kampus inilah peran akhlak sangat diperlukan. Belum lagi kita berhadapan dengan tekhnologi canggih. Ada siswa yang membawa HP lalu sambil belajar bisa sambil  SMS ataupun melihat film-film yang sebenarnya tidak layak untuk ditotnto siswa kita.
Dilema pendidikan kita antara menyenangkan atasan dan takut malu. Atasan akan merasa senang dengan kelulusan 100 porsen sehingga bagaimana caranya agar lulus 100 porsen,  dan mendapat jempol bagus, atau malu kalau 100 porsen siswanya tidak lulus dan berdampak pada dana bos yang kurang serta murid tahun depan akan hilang karena sekolah tersebut di cap guru-gurunya tidak bisa mengajar dengan baik. Hal ini pula yang menjadi kendala ‘kejujuran’ pendidikan kita masa kini.  Dan masalah ini tentu tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan. Otak boleh sama, kecedasan boleh lebih tinggi perempuan dan laki-laki, namun sikap ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan. Kalau pergaulan laki-laki dan perempuan sama, maka ini yang ditakutkan Rasulullah tentang wanita tadi.
Dalam hal kendala UN beberapa kasus yang ditemukan, tentang larangan siswa perempuan UN apabila menikah. Lalu kenapa orang yang menikahi (laki-laki) jika itu menikah dengan sesama siswanya boleh ujian? Andai saja itu ada yang terjadi, bahwa siswa menikah dengan sekelasnya. Maka larangan ujian mungkin hanya berlaku kepada siswa perempuan saja, apabila laki-lakinya tidak malu untuk masuk ujian karena menikah. Begitupun dengan kehamilan, yang dilarang adalah perempuan hamil, maka laki-laki yang menghamili tidak menjadi soal, mungkin kalau tidak ketahuan. Kasus-kasus yang terjadi seolah-olah menunjukkan bahwa pendidikan kepada kaum perempuan harusnya dibedakan dalam ranah-ranah tertentu.
Pendidikan khusus misalnya masalah-masalah reproduksi perempuan, yang mana dalam hal ini perempuan harus lebih faham tentang bagaimana mereka haid, nifas dan wiladah. Juga bagaimana harusnya seorang perempuan tahu tentang fungsi reproduksi mereka sehingga tidak disalah gunakan. Walapun laki-laki juga harus tahu karena akan menjadi bekal pengajaran mereka terhadap istri-istri mereka. Namun bagaimana kikuk dan kakunya sebuah dialog kewanitaan jika yang mengajarkan laki-laki. Walapaun kitab-kitab fiqih wanita di tulis laki-laki. Dalam masalah-masalah agama, banyak hal-hal yang berbau khusus perempuan, dan tidak bisa dipraktekkan oleh laki-laki. Kalau santriwati atau mereka yang sekolah dipesantren mungkin tidak kita ragukan, tapi bagaimana mereka-mereka yang sekolah ditempat umum? Kapan mereka akan mendalami hal-hal seperti itu?  Kembali kepada hadits di atas, bahwa Rasulullah sangat menginginkan perempuan faham akan hak-hak dan keberadaan mereka sehingga mampu menjaga diri selain dari pantauan orang tua dan suami.
Dengan banyaknya angka kelahiran perempuan, menjadi peluang untuk runtuhnya agama dan negara semakin dekat. Apabila kita tidak mampu membenahi dan memberikan pendidikan terutama agama kepada perempuan yang lebih dari laki-laki. Apa jadinya kalau perempuan-perempuan kita, sudah tidak memiliki nilai tata krama dan sopan santun, maka laki-laki yang selalu menganggap perempuan sebagai objek pelampisan nafsu akan mudah mendapatkan yang mereka inginkan, karena keterbatasan pengetahuan perempuan akan hal-hal agama. Perlu ada solusi lain, selain pelajaran agama yang mereka dapatkan di kelas secara umum, yang mana antara laki-laki dan perempuan juga mendapatkan pelajaran yang sama. Lalu akan kita bebankan kepada siapa hal ini?
Pendidikan memang bukan hanya tanggung jawab guru atau sekolah saja, akan tetapi banyak waktu yang tersisa dari sepulang mereka sekolah adalah bersama keluarga. Jika keluarga tidak mampu mendidik, maka harusnya memperhatikan anak-anak perempuan mereka dengan memasukkan atau mengajak mereka ikut dalam pengajian-pengajian majelis taklim ataupun yang lain. Lingkungan juga sangat berperan dalam menjadikan perempuan apakah akan terus memperkokoh tiang agama dan negara ini, atau secara sedikit demi sedikit menghancurkan tiang ini. Lingkungan harus pedulu, apabila antara laki-laki dan perempuan sudah tidak ada beda/batas akhlak dalam pergaulan, karena ini termasuk bagian dari pada mendidik dan menjaga kekokohan tiang agama dan negara yang di wasiatkan Rasulullah tadi. Mudah-mudahan kita semua bisa menjaga diri, keluarga dan likungan sehingga mampu mewarnai kepada diri-diri yang lain, juga keluarga dan lingkungan yang lain. Wallahu’alamubisshawab.

Penulis adalah Penyuluh Agama di KUA Mpunda Kemenag Kota Bima
Sekretaris Forum Komunikasi Penyuluh Agama Kota Bima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar