Selasa, 23 Agustus 2011

“Bersedihlah dengan Perginya Puasa”


Oleh : Musthapa Umar

Akhir-akhir puasa, rata-rata ummat Islam pada berburu pakaian baru, makanan yang lezat-lezat. Pernah dalam kesempatan kuliah subuh saya di masjid Baitul Hamid Raba, mempertanyakan kepada jama’ah, apa rasanya sebentar lagi kita lebaran, Idul Fitri atau sebentar lagi kita akan meninggalkan Ramadhan ini. Ada ragam jawaban, antara yang senang dan yang bersedih.  Dan menurut saya jawaban kita harusnya adalah “sedih” karena beberapa alasan :
1.       Di dalam kita puasa, pada awal-awalnya biasanya para penceramah mengeluarkan satu Hadits, yang kira-kira artinya begini, “barang siapa yang bergembira atas datangnya bulan Ramadhan, maka akan diharamkan jasadnya disentuh api neraka”. Hadits ini sebagai alasan saya, mungkinkah banyak diantara kita, yang katanya “beriman” ini sedih bila datangnya puasa? Mereka bersedih karena tidak bias makan dan minum disiang hari, tidak bisa merokok, tidak bisa berhubungan badan lagi sama istri mereka. Seolah-olah Puasa bagi mereka adalah beban yang teramat berat, sebuah “pemaksaan” hak asasi dan sebuah halangan semata.
2.       Namun ada orang yang mengartikan “kegembiraan” dalam hadit ini beda juga. Mereka sebelum tibanya bulan puasa, sudah mempersiapkan “petasan” yang besar, atau kenalpot yang besar untuk track-track an di jalan, atau sekedar “ramai” di awal tarawih dengan teriak sekencang-kecangnya, “allahumma shalli alaih” atau teriak, “amiin”. Kegembiraan begini juga salah kaprah karena bisa mengganggu ketentraman dan kehusu’an jama’ah lain yang beribadah di bulan puasa.
3.       Dua alasan saya ini, bertolak belakang namun begitulah kenyataan yang sering kita jumpai di tengah-tengah masayarakat kita. Tapi kita tidak boleh heran, karena seperti yang kita ketahui dalam dalil (dasar) hokum puasa, surat Al-Baqarah ayat 183 adalah diawali dengan kata-kata “aamanu” yakni Iman. Jikalau manusia itu meng-imani adanya Allah, berarti dia akan meng-imani apapun perintah-perintah Allah. Termasuk yang kita laksanakan ini, adalah perintah-Nya juga, bukan berasal dari Nabi Muhammad saja, melainkan langsung dari Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada kita ummatnya.
4.       Makna Idul Fitri sendiri yakni kembali. Kembali kepada kesucian, kembali Fitrah. Para ustad, sering mengartikan kembali fitrah adalah seperti “bayi” yang baru dilahirkan. Tanpa dosa dan noda bersih seperti kain putih / kertas putih lagi. Namun ingat, puasa adalah ibadah yang dobel, antara kepentingan manusia dengan Allah (hablumminallah) dan kepentingan manusia dengan sesamanya (hablumminannas). Ini harus sejalan seiring tidak bisa terpisahkan. Hubungan dengan Allah tanpa berhubungan baik dengan sesama, apa artinya kita puasa? Bukankah di dalam puasa, banyak hal-hal yang membatalkan pahala pusa, yang berkaitan dengan manusia itu sendiri? Misalnya, menggunjing, memfinah, mengadu domba, iri, hasud, dengki. Karena pada dasarnya, puasa adalah melunakkan hati. Puasa adalah  perang terhadap hawa nafsu. Dan yang saya sebutkan tadi adalah semua berasal dari penyakit-penyakit hati. Oleh karena itu, puasa dikatakan berhasil apabila mampu mengendalikan hawa nafsunya (hati) nya dan mampu pula berhubungan baik dengan sesamanya.
Puasa bayak bersinggungan dengan sesama. Taruk saja contoh, apabila kita masih terpaut hutang piutang dengan sesame kita, maka pahala puasa kita bergantung antara bumi dan langit. Begitu juga halnya jika kita tidak membayar zakat fitrah sampai khotib naik membaca khutbah di hari Idul Fitri. Dan juga dalam puasa ada kewajiban menunaikan zakat fitrah kepada 8 golongan itu, artinya juga adalah berhubungan dengan manusia. Maka wajar puasa adalah ibadah yang ber-horizontal dengan manusia dan ber-vertikal dengan Allah. Maaf saudara adalah menjadi barometer Allah untuk mengampuni. Jangan berharap dosa akan terampuni, jika kita belum meminta maaf kepada sesama. Dasar ini juga menjadi patokan kita kenapa Idul Fitri diisi dengan silaturrahmi, bermaaf-maafan dan bersalam-salaman dengan sesame kita.

5.       Kalau kita tarik kesimpulannya, maka “bayi” apabila dilahirkan adalah membuat sekitarnya menjadi tertawa, namun bayi yang keluar selalu menangis. Nah jika kita mengibaratkan Idul Fitri adalah kembali seperti “bayi” maka harusnya kita bersedih dengan berakhirnya pusa, dan selalu berharap, bermohon kepada Allah supaya dipertemukan dengannya kembali di tahun-tahun yang akan datang. Kalau sudah begitu, insyaAllah benar lah apa yang dimaksud dengan Hadits pada point satu itu, masuk puasa harusnya kita bergembira dan perginya puasa, kita harus bersedih. Bukan sebaliknya, masuk puasa kita sedih dan berakhirnya puasa kita gembira ria.
Nah mudah-mudah seleksi iman kita adalah mereka-mereka yang bersedih dengan perginya bulan puasa. Dan banyak hadits yang berbicara tentang itu, tentang bagaimana pepohonan dan makhluk lain  manusia dan jin, menangis saat puasa pergi. Kenapa kalau pohon saja menangis, kita manusia harus tertawa? Dan andai kata manusia tahu nikmat dan berkahnya Ramadhan, kata Rosul, maunya setahun itu adalah bulan puasa. Tapi sayang manusia harus mencarinya sendiri kenapa? Bulan puasa penuh rahasia. Ibadahnya rahasia, berkahnya rahasia, laylatul qadarnya rahasia dan taqwanyapun rahasia. Wallahu’alam bissawab!

Penulis, adalah Penyuluh Agama di KUA KEc. Mpunda Kemenag Kota Bima


Minggu, 21 Agustus 2011

Komunikasi Efektif, Jiwa Sehat dan Prestasi Belajar OK!


Oleh : Mustapa Umar

Apa memang ada hubungannya, antara komunikasi yang efektif dengan jiwa yang sehat dan prestasi belajar ok?! Coba kita lihat, pengertian komunikasi yang efektif  itu sendiri. H. Muhayat dan Ahmad Hisan Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Denpasar, mengutip tulisan  Endang Lestari dan Maliki dalam buku Komunikasi Yang Efektif, Modul Diklat Prajabatan Golongan III yang diterbitkan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) Republik Indonesia Jakarta, mengatakan bahwa; Komunikasi efektif adalah penerimaan pesan oleh komunikan receiver sesuai dengan pesan yang dikirim oleh sender atau komunikator. Kemudian receiver atau komunikan memberikan respon positif sesuai dengan yang diharapkan. Jadi komunikasi efektif bisa terjadi apabila terdapat aliran informasi dua arah antara komunikator dan komunikan dan informasi tersebut sama-sama direspon sesuai dengan harapan kedua pelaku komunikasi tersebut. Dan dalam komunikasi efektif itu pula, ada beberapa aspek yang harus terpenuhi diantaranya;
1.      Kejelasan (clarity)
2.      Ketepatan (accuracy)
3.      Konteks (contex)
4.      Alur (flow)
5.      Budaya (culture)
Ada dalil lain, tentang seseorang harus berkomunikasi atau berkata-kata. Dr. Abu Yasid dari Situbondo menulis dalam bukunya Nalar dan Wahyu Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syari’at, bahwa dalam terminology ilmu mantik (ilmu logika) dikatakan bahwa, alinsaanu hayawaanunnaathiq (manusia adalah hewan yang bisa berkata-kata), kata annaathiq (berbicara) dalam bahasa Arab mempunyai konotasi makna tidak sekedar berbicara, melainkan dibarengi dengan instinct berpikir. Dengan demikian manusia adalah “hewan” yang bisa berbicara dan berpikir. Nalarnya berpikir sehingga menjadi ciri khas manusia yang dapat membedakan dirinya dengan makhluk lain.
Belum lagi kalau kita melihat Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi azas kita dalam bernegara, BAB X tentang Warga Negara dan Penduduk pada Pasal 28, berbunyi; Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Begitupun dengan BAB XA hasil amandemen (perubahan) ke dua, tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28F, berbunyi; Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi  untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memeiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Komunikasi merupakan hak yang urgen dalam kehidupan manusia, dengan adanya komunikasi yang baik maka akan mengakibatkan jiwa yang tenang dan tentram baik didalam diri pribadi maupun orang lain. Komunikasi juga merupakan suatu alat yang berguna dalam menjalin persaudaraan serta kekerabatan yang harmonis. Maimunah dalam bukunya membentuk pribadi muslim menulis, bahwasanya jiwa yang tenang merupakan sikap pencerminan dari pribadi seseorang yang diwujudkan dalam tingkah laku dalam perbuatannya sehari-hari. Sikap jiwa yang tenang di dalam mengahadapi oleh manusia menunjukkan tingkat kematangan jiwa dan kemantapan pribadi.  Jadi tidak ada alasannya bagi kita untuk tidak berbicara/berkomunikasi. Namun seperti judul tulisan saya ini, komunikasi yang menyehatkan dan membikin prestasi belajar itu meningkat adalah komunikasi yang efektif.
Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang mengkibatkan timbal balik yang baik pula (Respon Positif) komunikasi yang seperti inilah yang sangat di idam-idamkan oleh semua orang. Komunikasi respon positif, di sebut juga oleh Endang Lestari dan Maliki adalah sebagai bentuk Komunikasi Respektif. Komunikasi Resfektif, yakni komunikasi yang saling menghargai antara para pelaku komunikasi, dengan prinsip-prinsip;
1.      Positive thinking (berperasangka positif)
2.      Solution-oriented (berorientasi pada solusi)
3.      Being Honest (spontanitas dan kejujuran)
4.      Emphaty (perasaan)
5.      Feeling (melebur pada perasaan orang lain)
6.      Communicate (ikut berkomunikasi)
Lain halnya dengan pendapat MUI (Majelis Ulama’ Indonesia). Bahwasanya kalau manusia yang ingin komunikasi yang baik tentunya harus mempunyai jiwa yang sehat. Hal ini merupakan keputusan MUI (Majelis Ulama’ Indonesia) dalam musyawarah nasional ulama’ tahun 1983 merumuskan jiwa yang sehat adalah sebagai ketahanan jasmaniah, ruhaniah dan sosial, yang harus dimiliki oleh manusia, sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan (tuntunan-Nya) dan memelihara serta mengembangkannnya.
Tentunya agama dalam hal memlihara kesehatan, sejalan dengan pola ajaran Islam, secara menyeluruh. Yakni mencegah terjadinya sesuatu yang berakibat buruk atau mengambil langkah-langkah prefentif. Seperti di ungkapkan dalam kaidah “bahwa mencegah itu lebih baik dibanding mengobati”. Sudah jelas bahwa komunikasi memang kunci utama dalam suatu kesuksesan hidup. Dalam tulisan ini saya mencoba membahas lenih jauh tentang komunikasi yang efektif sehingga tidak terjadinya diskomunication sesama insan (Makhluk) Tuhan Yanga Maha Esa.
Dari tulisan saya ini nantinya, kita ingin mengetahu sejauh mana fungsi komunikasi yang efektif terhadap kesehatan masing-masing kita. Demikian dengan dampak yang ditimbulkan jika kita tidak berkomunikasi secara efektif antar sesama Mahluk Tuhan Yang Maha Esa. Begitupun dengan tata cara berkomunikasi yang baik dan benar, agar lebih sehat jasmani dan rohani kita. Sehingga selalu siap menghadapi persoalan demi persoalan yang menimpa diri kita di dunia ini.
Masalah yang terjadi, manusia kadang merasa enggan untuk mengakui bahwa dirinya di dalam berkomunikasi merasa menang sepihak dan tidak mau memikirkan lawan bicaranya sehingga akan mengakibatkan komunikasi yang kurang efektif atau yang sering dikenal dengan discomucation (Not Fetback) antar kedua belah pihak. Komunikasi yang kurang baik akan mengakibatkan perasaan, jiwa manusia merasa terluka dan trauma.
Komunikasi yang baik setidaknya bisa dirsakan oleh orang lain (Lawan Bicara). Endang Lestari dan Maliki kembali menulis, dalam bukunya Komunikasi Yang Efektif, ada beberapa starategi dalam membangun komunikasi yang efektif itu diantaranya;
1.         Ketahui mitra bicara
2.         Ketahui tujuan
3.         Perhatikan konteks
4.         Pelajari Kultur
5.         Pahami Bahasa
Sedangkan hal-hal yang bisa menyebabkan komunikasi tidak efektif dan mengganggu proses komunikasi itu sendiri, Achmad Mubarok dalam bukunya, Konseling Agama Teori dan Kasus lebih melihat kepada hal-hal yang berbentuk ketraumaan akibat diskomukasi yang fatal. Keteraumaan tersebut  diantaranya adalah:
1.         Rasa rendah diri yang keterlaluan,
2.         Merasa tersingkir (Aliensi) dari teman-teman sehingga kurang semangat dalam pergaulan.
3.         Takut kepada orang yang belum dikenal sehingga seseorang terlalu berwas-was.
4.         Kesulitan untuk mendekati lawan jenis.
5.         Iri, dengki dan dendam kepada orang lain yang memiliki kelebiahn dalam komunikasi.
Itulah tadi beberapa hal yang mengakibatkan kekefatalan dari komunikasi yang kurang efektif. Manusia beranggapan bahwa komunikasi adalah suatu momok yang perlu di telateni dan penuh diperhatikan. Komunikasi yang kurang efektif biasanya terjadi pada sebuah keluarga yang mana ayah dan ibu sering terjadi perkelahian gara-gara daro komunikasi yang kurang berkenan disalah satu pihak baik dipihak perempuan ataupun laki-laki atau bahkan sering terjadi kepada anak-anak yang mana dari pembagaian tugas rumah yang kurang adil dapat mengakibatkan percek-cokan yang kurang sedap diantara keduanya untuk itu komunikasi dapat diraih dengan beberapa cara serta pengkaplikasiannya.
Dari banyaknya kasus tentang kurangnya keharmonisan rumah tangga misalnya dapat mengakibatkan kefatalan yang serius dalam berlangsungnya suatu rumah tangga. Dalam hadist Rosul bahwasanya kerukunan persaudaraan adalah sangat perlu sesuai dengan bunyi redaksi hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dikatakan “Dari Abu Hurairah Ra. Ia berkata ; Nabi Muhammad SAW bersabda : “Barang siapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dilambatkan ajalnya (panjang umurnya), hendaknya ia menyambungkan tali persaudaraannya”. Daris sebuah hadist ini mengisyaratkan kita bahwasanya manusia dianjurkan untuk menjalin persaudaraan yang baik tetapi itu semua tergantung denag komunikasinya.
Lalu kaitannya antara komunikasi dengan prestasi anak bagaimana? Komunikasi yang baik juga sangat penting di dalam membangun  membangun karakter anak, atau meningkatkan prestasi anak. Ada enam langkah yang prinsip dan harus dilakukan dalam berkomunikasi dengan anak, baik anak didik kita ataupun putra-putri kita sendiri adalah;

1.        Langkah pertama; Dampak kenangan masa lalu.
Setidaknya kenangan masa lalu dijadikan suatu ajang intropeksi diri bagi diri pribadi manusia. Apapun yang dilakukan oleh orang tua baik itu ucapan dan perbuatannya yang mengandung makna yang penting bagi anak-anaknya bila Anda menjadi orang tua, beberapa kemungkinan berikut Anda bisa terapkan;
  1. a      Secara sadar Anda memperlukan anak-anak Anda dengan cara yang berbeda dan berhasil.
  2. b      Anda tahu bahkan Anda meneruskan pola yang negatif meskipun memahami bahkan Anda merasa tidak puas dengan perilaku anak-anak Anda, Anda tidak tahu apa yang harus Anda lakukan.
  3. c       Anda terperangkap dalam pergulatan untuk mendorong anak Anda menjadi pribadi yanmg mandiri, tetapi dilain pihak Anda merasa tidak nyaman melakukan hal ini.

2.     Langkah kedua; Selesaikan masalah Anda.
Didalam keluarga sangat banyak sekali problem yang dihadapi oleh sebab itu usahakan problem yang dihadapinya diselesaikan dengan rasa tentram dan damai agar keluarga,anak-anak tidak terusik dengan problem keluarga. Ciptakan keluarga yang Tut Wuri Handayani dimana orang tua yang bisa dijadikan figur bagi anak-anaknya, menghargai dan mengerti kebutuhan anak supaya merasa nyaman dan aman.
3.     Langkah ketiga; Temukan hal-hal yang positif .
Temukan hal-hal yang positif sangatlah mendukung untuk terwujudnya keluarga yang damai dan nyaman. Usahakanlah anak-anak kita bisa mewarisi tradisi keluarga dan usahakan juga anak kita memiliki dan dimiliki oleh keterkaitan serta tanggung jawab yang baik. Pandai-pandailah member sentuhan kepada mereka, walaupun sekedar kata-kata “terimaksih” dan “permohonan maaf” kepada mereka jika kita merasa keliru.
4.     Langkah keempat; Hapus semua kenangan buruk.
Biarkanlah kenangan yang buruk berlalu begitu saja serta mengilhami dan Anda berusaha melupakan serta mengilhami dan Anda berusaha melupakan serta menerima bahwa Anda tidak mampu merubah masa lalu tetapi, Anda dapat bertanggung jawab atas perubahan yang terjadi saat ini, usahakan kita menengok masa lalu bukan untuk menuduh atau mengalahkan siapapun, tetapi kita menengok ke masa lalu dengan keinginan besar untuk bisa berkembang.
5.     Langkah kelima; kaji kembali kedekatan Anda sebagai orang tua.
Di dalam keluarga tentunya Anda terjadi kejenuhan yang sangat luar biasa dan serius, maka dari itu usahakanlah Anda sebagai orang tua dapat menerapkan pendekatan yang seimbang. Anda menerapkan proses yang memadai saat anak-anak sangat membutukan, tetapi biarkanlah anak-anak menikmati kebebasan sehingga mereka tahu bahwa sebagai individu, mereka sangat berarti bagi Anda.


6.     Langkah keenam; Bicaralah dengan anak-anak tentang masa lalu Anda.
Pergunakan percakapan seta humoris yang baik dan berguna bagi anak-anakmu karena mereka (anak) ingin mengetahui yang lebih jauh siapa Anda (orang tua), usahakan orang tua menceritakan masa lalu kepada anak-anaknya pada usia prasekolah, karena pada masa ini mereka baru saja mengembangkan gambaran dirinya. Pada anak usia sekolah, karena pada masa ini anak ingin tahu hubungan orang-orang yang ada dalam foto dengan dirinya. Dan berbicara pada anak usia remaja, karena pada masa remaja ingin penjelasan terperinci mengapa kakek mereka amat pemarah atau mengapa nenek kadang-kadang terlalu banyak mengunyah sirih dan sebagainya.
Selain di atas juga ada beberapa tips yang perlu diketahui diantaranya;
-          Gunakanlah waktu sebaik mungkin.
-          Berpaut sapalah dengan teman dan saudara dengan baik.
-          Mengerjakan sunah-sunah Rosul yang baik dan istiqomah serta reratur.
Dari keterangan di atas itu semua bisa membawa manusia kedalam komunikasi yang efektif dan efisien. Misalnya melakukan sunah-sunah Rosul shalat tahajud ternyata shalat tahajud dapat menyembuhkan beberapa penyakit dalam tubuh manusia. Hal ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Tirmidzi “bahwasanya” Shalat tahajud dapat menghapus dosa, mendatangkan ketenangan, dan menghindarkan dari penyakit”.(HR. Tirmidzi). Gambaran shalat tahajjud adalah proses komunikasi sepertiga malam antara hamba dan khaliknya. Begitupun dalam Hadits Rosulullah SAW yang lain, sebuah riwayat Muslim mengatakan, “Allah telah mewahyukan kepadaku, “Hendaklah kamu saling menghormati satu sama lain, jangan ada seseorang menganiaya yang lain, dan jangan ada seseorang yang sombong terhadap yang lain”.(HR. Muslim).
Bahwasanya kehidupan manusia itu adalah suatu cobaan dan penyeleksian alam bagi Tuhan, dimana manusia mampu dan menjalankan roda kehidupan yang penuh tantangan dan hiruk pikuk yang membingungkan dan merepotkan maka merekalah yang kelak akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta akan menikmati pemberian dari Tuhannya. Maka dari itu sebagai insan yang hakiki tentunya kita harus  mampu menciptakan lingkungan yang harmonis dan dinamis. Supaya dalam menjalani cobaan dari Tuhan kita dapat menerimanya dengan rasa ihlas dan tawadu’. Mungkin hanya sedikit tulisan yang dapat saya tuangkan di lembaran kertas putih ini, kritik dan sarannya yang sekiranya dapat memotivasi dan membangun selalu saya harapkan. Dan semoga bermanfaat untuk kita semua.

Refleksi Nuzulul al-Qur’an “Ayo Mengaji dan Mengkaji al-Qur’an”


Oleh : Mustapa Umar

Beberapa waktu yang lalu, gerakan Magrib Mengaji sudah digelorakan. Bahkan gerakan yang dimulai dari Gubenur NTB ini, tidak hanya dilanjutkan oleh Wali Kota dan Bupati se-NTB, namun juga Menteri Agama, Drs. H. Suryadarma Ali dibeberapa kesempatan seperti MTQ Tingkat Nasional beberapa waktu yang lalu menghimbau agar masyarakat/rakyat Indonesia menggerakkan kembali semangat-semangat dulu tentang belajar al-Qur’an setiap ba’da (setelah) shalat magrib.
Kunjungan silaturrahmi Kementerian Agama Kantor Wilayah NTB kamis (11/8) beberapa waktu lalu di Pondok Pesantren Hamdzan Wadhi NW Penato’I Kota Bima, dalam kuliah subuh beliau, Drs. L. Suhaimy Ismy juga memuji kafilah-kafilah Kota Bima dan Kabupaten Bima yang dalam setiap mushabaqah selalu menjadi pemenang dan belum ada kabupaten di NTB yang bisa menandingi kafilah dari Bima, baik kota maupun kabupaten. Ini merupakan prestasi yang harus dipertahankan dan terus ditingkatkan oleh pemerintah masing-masing, terlebih masyarakat dan para guru ngaji yang ada.
Prestasi ini, harus menjadi spirit kita untuk ikut membantu program pemerintah agar Magrib Mengaji (MM) terus berjalan dan berkembang, sehingga beberapa orang yang pesimis hanya menganggap teori belaka. Apa yang diraih kota maupun kabupaten, termasuk dengan adanya Mushabaqah Tilawatil al-Qur’an (MTQ) setiap tahunnya, mulai dari Kelurahan, Desa sampai Kecamatan dan Kota-Kabupaten adalah bentuk Bima lebih bernuansa religius, bernuansa al-Qur’an. Oleh karena itu, jangan sampai ulah segelintir orang, oknum masyarakat yang bertingkah “tidak Qur’ani” meredupkan cahaya itu.
Sinar al-Qur’an di NTB ini, biarkan bersinar dari timur (Bima), kita tunjukkan sama mereka tidak hanya keberhasilan di kafilah MTQ-MTQ saja, namun kehidupan sehari-hari masyarakat Bima adalah kehidupan yang berlandaskan kepada al-Qur’an. Karena al-Qur’an adalah pondasi dasar yang harus difahami oleh ummat islam dalam menjalankan ritual-ritual ibadah yang diperintahkan Allah SWT yang dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, tabi’in, ta’uttabi’in, para imam mazhab, ulama’, sampai kepada kita saat ini.
Hal ini, saya katakana karena pengamatan yang saya lakukan di Lombok sendiri, daerah saya tidak ada MTQ tingkat Desa atau Kelurahan, bahkan tingkat Kecamatan. Sungguh luar biasa, semenjak April 2011 saya menginjakkan kaki di Dana Mbojo ini, begitu suasana religiius tampak sekali. Harapan saya, selaku Penyuluh Agama Islam yang berkecimpung dalam urusan masyarakat dan termasuk kepanjangan tangan pemerintah juga Kementerian Agama untuk memasyarakatkan Gerakan Magrib Mengaji di masyarakat kota Bima.
Dan bulan ini, adalah bulan ulang tahunnya al-Qur’an (Nudzulul al-Qur’an) yang kita peringati setiap tanggal 17 Ramadhan dan dari itu pula,  bulan Ramadhan disebut juga adalah bulan al-Qur’an. Yang mana al-Qur’an berfungsi dan bertujuan sebagai petunjuk atas apa yang lurus dan tidak lurus dalam kehidupan kita ini turun. Sebagai penerang dan penjelas, mana yang hitam dan putih, mana yang hak dan yang bathil. Sebagai pembeda mana yang boleh dan tidak boleh untuk dikerjakan kita. Sebagai tuntunan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Menjadi suri tauladhan dan peringatan dengan banyaknya sejarah-sejarah para Nabi, Rasul, Sahabat, Kerajaan-kerajaan dan juga kisah-kisah orang-orang atau ummat yang terdahulu yang inkar kepada Allah SWT.
Di samping itu juga, al-Quran sebagai obat assyifa’ bagi mereka yang selalu membacanya. Dan untuk bulan Ramadhan ini, al-Qur’an bisa menambah pahala ibadah yang kita lakukan. Yang sebelum puasa, satu huruf al-Qur’an bisa bernilai 10 dan di dalam puasa ini Allah SWT berjanji pahalanya dua kali lipat dengan sebelumnya. Subahanallah.. bukan hanya itu saja, al-Qur’an bisa mengantarkan yang membacanya dirindukan syurga.
Bacalah al-Qur’an dengan benar, sesuai ilmu tajwidnya, (panjang-pendek) sesuai dengan ilmu fashohahnya (keluarnya huruf) dan jika perlu qiro’ah (seni, irama) dan hafidznya (hafalan).  Karena membaca al-Qur’an dengan sempurna adalah shalat yang sempurna. Shalat yang kita kerjakan bertujuan untuk mencegah perbuatan Keji dan Munkar. Pertanyaannya? Kalau orang yang masih melakukan perbuatan Keji dan Munkar, otomatis shalatnya mungkin belum sempurna atau diterima oleh Allah SWT. Karena mana mungkin jika shlatnya benar maka tujuannya salah. Nah bisa jadi ada beberapa cara atau bacaan-bacaan kita yang belum Qur’ani.  Sebab shalat yang benar adalah membaca al-Qur’an yang benar pula.
Firman Allah SWT dalam al-Qur’an dan menjadi surat pertama yang diturunkan-Nya adalah surat al-Alaq yang mengandung peritah “membaca”. Membaca, adalah bisa berbentuk mengaji dan mengkaji. Mengaji, hanya pada tataran teks (huruf, makhraj, lagu, terjemah, hafalan dan tajwidnya serta adab memperlakukan al-Qur’an). Dan yang kedua adalah mengkaji. Yang ini pada tataran konteks (merenungi, memahami, menafsiri, dan menjalankan makna-makna yang terkandung di dalam al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari). 
Dan selama ini, kita banyak memahami al-Qur’an pada tataran mengaji saja. Mulai dari mengenal huruf-hurufnya, cara mengeluarkan dari mulut kita, cara membacanya bahkan bagaimana kita melagukan al-Qur’an dengan indah dan merdu. Proses inipun tidak akan bisa kita lakukan tanpa mendatangi seorang guru ngaji yang akan mengajarkan dan menuntun kita dalam memahami bacaan al-Qur’an.
Lalu bagaimana dengan mengkaji?. Mengkaji al-Qur’an seperti yang saya tulis di atas adalah mentafsiri, memahami, merenugi kandungan demi kandungan ayat yang terkandung untuk dilakukan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kita salah memahami, atau hanya sebatas teks saja, atau memahami sepotong-sepotong (tidak sempurna), ini lah yang menyebabkan timbulnya beberapa aliran-aliran yang menyesatkan.
Aliran-aliran yang muncul yang radikal, yang liberal, yang kiri dan sebagainya berangkat dari pemahaman al-Qur’an tidak sempurna dan tidak dari sumbernya. Satu ayat yang mereka fahami, maka itulah dalil selama-lamanya. Mereka tidak melakukan perbandinga-perbandingan dengan ayat-ayat yang lain. Tidak melihat asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya) ayat yang dipergunakan, dan konteks kehidupan zamannya. Belum lagi, harus disandingkan dengan al-Hadits Rasulullah SAW. Karena Hadits adalah aplikasi dari ayat-ayat al-Qur’an yang universal tersebut. jangan dibalik?! Hadits nomer satu dan al-Qur’an mengikutinya, artinya ada sebagian kaum hanya menjadikan Hadits dalil-dalil (alasan) dalam melakukan suatu perbuatan, tanpa melihat ayat al-Qur’an. Belum lagi kalau kita berbicara Ijma’ (kesepakatan para ulama’) dan Qiyas (perbandingan).
Oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau kita mengikuti apa yang menjadi perintah dan program pemerintah kita dalam menggerakkan masyarakat untuk Maghrib Mengaji. Toh pada perinsipnya kita mengikuti pemerintah kita, berarti menjalankan al-Qur’an dengan benar dalam tataran mengaji dan mengkaji. Karena di dlam al-Qur’an sendiri, perintah ta’at (patuh) kepada pemerintah adalah posisi setelah kepatuhan kita kepada Nabi dan kepatuhan kita kepada Nabi juga setelah kepatuhan kita kepada Allah SWT. Sebuah potongan ayat mengatakan, “athii ‘ullah, wa athi’urrosul wa athi’ulilamriminkum”. Ini yang saya sebut mematuhi pemerintah adalah menjalankan al-Qur’an dengan benar. Dan sebaliknya jika kita tidak mematuhi pemerintah yang menganjurkan kita kearah kebaikan, sama dengan menentang Nabi dan Allah SWT alias tidak menjalankan al-Qur’an dengan benar.
Perintahkan anak-anak kita untuk menuju musholla-musholla atau rumah-rumah ustadnya untuk belajar mengaji. bila manghrib tiba, matikan TV dan antar mereka ke gurunya. Ini bentuk didikan figure yang mereka butuhkan. Bukan hanya disuruh mengaji, namun orang tuanya duduk manis di depan TV atau sebaliknya tidak pernah mengaji al-Qur’an dirumahnya. Jika kita tidak bisa mengaji sebagai orang tua, jangan malu untuk belajar mengaji. kesempatan kita masih panjang untuk belajar, karena selama manusia masih diberikan hidup, selama itu pula dia berkewajiban untuk menuntut ilmu-ilmu Agama yang mereka tidak pahami. Wallahu’alam.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di KUA Kec. Mpunda Kemenag Kota Bima.

Fenomen Lagu UDIN Sedunia dan Nazaruddin


Oleh : Mustapa Umar

Apa hubungangannya? Oleh karena itu, saya mencoba menulis artikel ini agar bisa “berhubungan”. Munculnya lagu Udin Seduni, oleh seorang “artis” dadakan You Tube Udin asal Lombok Timur ini,  seperti “memicu” munculnya nama-nama Muhammad Nazarudin, Hakim Syarifudin, Syafaruddin dan Udin-udin yang lain. Persis kasus “Goyang Ngebor” Inul, eh tidak berselang lama kasus Lumpur Lapindo, akibat “dibor” merebak dan sampai sekarang tidak begitu jelas. Entah bersalah apa tidak, atau terbukti apa tidak, UDIN seharusnya memasukkan satu nama lagi. “udin yang suka korupsi, namanya KORUDDIN karena sulit penyebutannya, biasanya dilebutkan menjadi QORUDIN. Sejarah Qorun pada zaman Fir’aun dan Nabi Musa di Mesir, adalah orang yang suka menimbun harta benda, sehingga Allah SWT menenggelamkannya di Sungai Niil, akibat keserakahannya terhadap harta itu. Dan kalau ada yang menemukan harta terpendam, orang bilang harta Karun, artinya Hartanya Qorun.
Tapi apalah artinya Judul, itu memang saya sengaja. Mana mungkin, anda bisa mengetahui apa yang saya tulis hanya dari judul, kalau tidak membaca seutuhnya tulisan saya ini. Dalam dunia Jurnalistik, judul memang ibarat wajah, jadi melihat wajah ga’ menarik, lalu perkenalannya tidak berlanjut? Malah itu diskriminasi orang namanya. Kalau KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Alm., Presiden kita ke empat ini dalam Buku Kumpulan Humor Gus Dur, berbicara tentang cara orang menilai. Pertama, yang suka menilai dari luarnya. Dulu Gus Dur pernah mengelap piring yang akan dipergunakan untuk menyajikan hidangan kepada tamu kyainya dengan CD (Celana Dalam). Akan tetapi CD ini baru dibelinya, kebetulan juga Gus Dur memang kepingin dengan hidangan itu. Nah agar hidangan itu tidak dimakan tamu kyainya, Gus Dur pura-pura membuka korden jendela ruang tamu, sehingga tembus ke dapur dan tamu kyai ini melihat Gus Dur mengelap piring itu dengan CD.
Bisa ditebak, jajan yang dihidangkan tidak disentuh sedikitpun dengan tamu kyainya. Akhirnya Gus Dur mendapatkan semuanya. Kedua, ada namanya Teori “BH”. Dulu teori ini juga pernah di keluarkan Gus Iful (Saifullah Yusuf), Wakil Gubenur Jawa Timur ini waktu penyerahan ijin semua Radio di Hotel Cendana Surabaya pertengahan 2010 yang lalu. Beliau mengatakan, tidak usah melihat merknya, warnanya, ukurannya, jenis kainnya tapi tujuan orang kan dalamnya. Nah makanya jangan lihat judulnya, tapi terus baca saja lanjutan tulisan artikel saya ini. Dan sengaja dibikin santai tapi seirus. Serius ditulis dan serius untuk dilaksanakan.
Tulisan saya ini, akan membahasa tentang bagaimana kita memberantas KORUPSI yang kayaknya semakin “menjijikkan” saja. Sudah berbagai cara tapi masih belum mendekati, malah hasil survey Transparancy International Indonesia (TII) menunjukkan Indonesia merupakan Negara paling korup No. 6 dari 133 negara Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia saat ini 2,3 yang ternyata lebih rendah dari  Negara-negara tetangga seperti Vietnam, Philipina, Malaysia, Bangladesh dan Myanmar. Sungguh sangat memalikan dan memilukan kita semua. Lain dari itu, Prof. Soemitro (Alm), sebagaimana dikutip oleh media cetak beberapa tahun lalu, bahwa kebocoran keuangan Negara mencapai 30%. Disamping memang penyebab sementara karena manajemen yang kurang baik dan control yang kurang effektif dan effesien, mempengaruhi merebaknya tindak pidana korupsi ini.
Apa sich korupsi? Akmaludin, salah satu tutor saya (Widyaiswara) di Balai Diklat Keagamaan Denpasar waktu itu, mengutip tulisan Tim Penerbit dari buku, Percepatan Pemberantasan Korupsi bahwa Fockema Andreae dalam Webster Student Dictionary 1960, mendefinisikan Korupsi dari bahasa Latin, corruption atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal dari kata corrumpere, yaitu suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa latin inilah diserap kedalam banyak bahasa dinegara-negara Eropa, seperti Inggris, Corruption, Corrupt, Prancis yaitu Corruption dan Belanda Corruptie (koruptie). Dari bahasa Belanda inilah kita menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Korupsi”.
Sedangkan Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwodarminto mengartikan Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Secara harfiah korupsi mempunyai arti kebusukan, keburukan, kebejatan, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata ucapan yang menghina dan memfitnah. Lain halnya dengan Erika Revida dari Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, menulis dalam Tesisnya, mengutip pernyataan Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatanformal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Kembali Erika Revida mengutif tulisan Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
Kalau Prof. Muljanto menulis,  dalam Buku Modul Percepatan Pemberantasan Korupsi bahwa perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana adal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidanannya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsure-unsur :
a.       Perbuatan manusia
b.      Memenuhi rumusan dengan undang-undang (syarat formil)
c.       Bersifat melawan hukum (syarat materiil)
Sedangkan Evi Hartanti menilai, dalam bukunya Tindak Pidana Korupsi bahwa syarat formil harus ada karena asas legalitas pasal 1 ayat 1 KUHP. Dia menilai  Indonesia sudah pada taraf Kejahatan Korupsi Politik, dia mengatakan korupsi politik dilakukan oleh orang atau institusi yang memiliki kekuatan politik, atau konglomerat yang melakukan hubungan transaksional kolutif dengan pemegang kekuasaan. Selain korupsi politik, kultur juga mempengaruhi berkembangnya korupsi di Negara Indonesia, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh B. Sudarsono dalam bukunya Korupsi di Indonesia, yang secara panjang lebar mengurai sejarah kultur Indonesia mulai jaman Multatuli, waktu itu penyalahgunaan jabatan merupakan suatu system.
UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU no. 31 tahun 1999 tentang pemberantasa tindak pidana korupsi pada butir a dan b; Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat secara luas sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dan menyusul UU no. 30 tahun 2002 tentang KPK juga tentang PP no 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran serta masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Hal ini menjadi dasar kita semua untuk memberantas penyakit yang mewabah ini.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup usur-unsur sebagai berikut:
1.      Perbuatan melawan hukum;
2.      Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
3.      Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
4.      Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
5.      Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
6.      Penggelapan dalam jabatan;
7.      Pemerasan dalam jabatan;
8.      Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
9.      Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Ada beberapa Sebab-sebab terjadinya praktek korupsi. Singh (1974) menemukan dalam penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di India misalnya, adalah kelemahan; moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2 %), hambatan struktur sosial (7,08 %). Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
1.         Peninggalan pemerintahan kolonial.
2.         Kemiskinan dan ketidaksamaan.
3.         Gaji yang rendah.
4.         Persepsi yang populer.
5.         Pengaturan yang bertele-tele.
6.         Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Di sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi yaitu :
a.          Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b.         Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
c.          Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap.
d.         Adanya berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi. Misalnya;
Ø     Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat dihindarkan.
Ø     Menurut kebudayaannya, orang Nigeria Tidak dapat menolak suapan dan korupsi, kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
Ø     Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Dari pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
a.           Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya.
b.          Warisan pemerintahan kolonial.
c.           Sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
d.         Adnya pengawasan yang kurang efektif dari atasan masing-masing.
e.          Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
f.           Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah.
g.          Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
h.         Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
i.            Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
j.            Lemahnya ketertiban hukum.
k.          Lemahnya profesi hukum.
l.            Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
m.       Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
n.         Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".
Kalau melihat sebab-sebab terjadinya korupsi “peluang” sangat besar sekali. Dari system, media, pimpinan (pemegang kebijakan) sampai kepada rakyat-pun jika cuek dan tidak tertarik membahas korupsi, maka menjadi peluang korupsi itu semakin meraja lela. Sebuah kaidah ushul fiqh mengatakan, lilwasaaili hukma al-faqooshidi”, artinya; Bagi perantara sesuatu perbuatan yang dimaksud itu hukumnya sama dengan maksudnya. Wasilah (perantara) dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang menjadi penyebab sempurnanya suatu perbuatan.  Misalnya orang meminjami uang kepada orang lain untuk berjudi atau membeli sabu-sabu dan sebagainya, maka ia termasuk ikut juga menerima dosa sebagaimana orang yang melakukannya.
Begitu sebaliknya, jika membatu orang untuk kebaikan, maka ia mendapatkan pahala sebagaimana orang yang melakukan kebaikan tersebut, seperti membantu pendirian tempat ibadah, madrasah dan sebagainya. Teori ini diambil dari hadits nabi, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ”man dalla ‘alaa khaiyri falahu mitslu ijri faa ‘ilihi” (siapa saja yang member petunjuk kepada perbuatan yang baik, maka baginya pahala seperti pahala orang yang melakukannya. Nah bagi kita sebagai pemegang kebijakan, pemimpin dan tahu hal itu korupsi, maka hendaknya kita berusaha mencegah dan jangan sampai member peluang sedikitpun, karena sesuai kaidah ushul fiqh ini, kita adalah sama dengan yang melakukan.
Padahal dalam GBHN-GBHN jelas dikatakan, “Bahwa bangsa dan pemerintah Indonesia bercita-cita menuju kepada apa yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945. Pembangunan Nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia dan Masyarakat Indonesia seutuhnya. Hal ini berarti adanya keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara pembangunan  bidang jasmani dan rohani, antara bidang material dan spiritual, antara bekal keduniaan dan ingin berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesame manusia dan dengan Lingkungan hidupnya secara seimbang. Pembangunan seperti tersebut diatas menjadi pangkal tolak pembangunan bidang agama.”

Dari itu, kata tutor saya Pak Dimyati (Widyaiswara) di Balai Diklat Keagamaan Denpasar, waktu itu hendaknya Pola Pikir (mind Setting) Pegawai dan masyarakat Indonesia pada umumnya harus dirubah. Karena  Pola pikir kebanyakan masyarakat Indonesia sekarang, masih memiliki pola pikir yang kurang menguntungkan untuk diri mereka sendiri. Atau dengan kata lain, kebanyakan masyarakat Indonesia masih memiliki pola pikir masyarakat di era industrialisasi. Padahal, kita sekarang hidup di era yang baru;  era informasi.  Banyak hal dan kenyataan hidup orang-orang di era industrialisasi yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kenyataan yang ada sekarang. Pada era industrialisasi, kita dididik untuk menjadi seorang pekerja industry, dengan segala konsekuensi yang ada.  Konsekuensi seperti apa?
Buku Pola Pikir Pegawai Negeri Sipil menulis, bahwa konsekuensi yang paling nyata dan dialami oleh kebanyakan orang pada era industrialisasi adalah bertambahnya maalah sosial masyarakat, keluarga, sebagai komunitas terkecil, telah menjadi salah satu sumber dari masalah sosial tersebut. Orang tua yang harus bekerja dari pagi hingga malam hari, karena tuntuttan hidup, semakin kehilangan kontrol dan pengawasan terhadap anak-anaknya. Anak-anak yang tumbuh tanpa bimbingan orang tua akan menimbulkan masalah sosial yang besar bagi masyarakat, sekarang dan dimasa yang akan datang. 
Dan tulisan saya ini, mari kita renungkan bersama, kita simpulkan bersama kemana langkah yang harus kita tempuh. Akhirnya saya tutup dengan sebuah syair lagu idola saya, Iwan Fals dalam album 50-50 dengan judul Rubah.
Zaman berubah, perilaku tak berubah….
Orang berubah, tingkah laku tak berubah….
Wajah berubah ko’ menjadi lebih susah…
Manusia berubah… berubah… rubah.. 
Lembaga berdiri berselimut korupsi…
Wibawa menjadi alam melindungi diri….
Pendidikan adalah anak tiri yang kesepian…
Agama sebagai topeng yang dicipta…
Kemiskinan merajalela, yang kaya semakin rakus saja…
Hukum dan kesehatan diperjual belikan….
Oleh kepentingan ngawur….

Mudah-mudahan kita, keluarga kita dan semuanya terhinar dari masalah-msalah korupsi, sehingga bangsa yang kita cintai ini sejahtera. Maka kalau bangsa sudah sejahtera, sejahteralah kita semua… Amin. Wallahua’lamubisshawab.

Penulis, adalah Penyuluh Agama Islam di KUA Kec. Mpunda Kemenag. Kota Bima NTB.