Kamis, 23 Agustus 2012

Islam dan Ber-Salam-an


Oleh : Mustapa Umar, S. Ag., M.Pdi.

Idul Fitri telah berlalu, kemenangan atas perang terhadap hawa nafsu telah kita peroleh, kita kembali fitrah kembali kepada kesucian hati dan diri seperti bayi yang baru dilahirkan. Idul Fitri 1433 H yang kita peringati tentu tidak cukup dengan memohon ampun kepada Allah karena ibadah yang kita lakukan sebelumnya yakni puasa adalah ibadah sosial.  Ibadah yang berkaitan dengan manusia lainnya. Contoh saja, Zakat Fitrah adalah mengeluarkan harta untuk orang lain, tanpa itu puasa kita pahalanya terkatung-katung antara bumi dan langit. Dan termasuk bersalaman (memaafkan) adalah rangkaian penyempurnaan ibadah yang kita lakukan. Hablumminallah (hubungan dengan Allah) dan hablumminannas (hubungan dengan manusia) harus berjalan seiring. Sehingga pengampunan Allah belum cukup jika belum dimaafkan sesama (manusia).
Orang sasak menyebutnya, be-salam. Intinya bertemunya dua telapak tangan, dengan tujuan baru berjumpa atau mau berpisah atau bahkan saling maaf memaafkan. Bersalaman asal katanya “salaam” ada tambahan awalan ber dan akhiran an. Sedangkan “salaam” sendiri adalah bahasa Arab, “salaama” dari fiil madi (kosa kata Arab) yang terjemahan bebasnya “keselamatan” bisa juga diartikan “kedamaian”. Dan tulisan “salaama” sendiri terdiri dari rangkaian huruf hija’iyah, ( م س ل ا  ) . Empat huruf hija’iyah ini kalau digabung menjadi “salaama” jika diberikan harkat fathah (baris atas). Beberapa pendapat dalam memaknai tentang huruf ( م س ل ا  ).  Misalnya Prof. Dr. H. Munir dari Forum Arimatea, menjelaskan dalam sebuah debat, bahwa tulisan ( م س ل ا  ) yang dalam bahasa Ibraninya adalah “salaam” (  ( سلام  Dan oleh orang Nasrani dibaca “saloom” yang artinya sama “keselamatan dan kedamaian”. Munir menambahkan bahwa “salaam” adalah petunjuk Allah SWT dalam al-Kitab tentang “Islam” ( اسلام)

Oleh karena itu, “Islam” artinya keselamatan dan kedamaian. Maka siapa yang memeluk Islam, adalah akan menemukan kedamaian dan keselamatan. Kembali kepada tradisi orang sasak, jika ada orang non-muislim (mu’allaf) maka sering disebut “be-selam”. Kata-kata “be-selam” kalaau di tulis dengan huruf-huruf hija’iyah, karena asalnya kata-kata itu adalah bahasa Arab, maka huruf-hurufnya adalah, ba, sa, lam, alif dan mim. Tambahan huruf ba disana, dalam terjemahnya adalah “beserta” atau “disertai”. Ini mirip dengan, orang mengaji al-Qur’an dengan Tajwid, jika pada hukum, ”bi-ghunnah”, huruf ba kasrah (baris bawah) dalam bi di sini bermakna “beserta” atau “disertai”. Maka orang yang masuk islam (mu’allaf) adalah disertai atau beserta kedamaian dan keselamatan.
Ringkasnya sampai di sini, “be-salam” atau “bersalaman” adalah mencari kedamaian atau keselamatan antar sesama kita. Orang yang bersalaman, atau berjabatan tangan, adalah orang-orang yang ingin damai dan ingin selamat. Bukankah kalau ada teman kita bertengkar, bermusuhan dan tidak tegur sapa, kita biasanya menyuruh mereka untuk “be-salam” artinya menyuruh mereka untuk berdamai. Dalam dalam setiap perjumpaan orang selalu dimulai dengan “be-salam” atau berjabat tangan, artinya mereka ingin pertemuannya adalah damai dan penuh keselamatan, tidak ada permusuan. Begitupun jika orang mengakhiri pertemuannya, juga diakhiri dengan “be-salam” atau berjabat tangan. Dan ucapan “salam” –assalamu’alaiykum-- baik itu disaat berjumpa, bertamu, titip salam bahkan selesai shalat lima waktu dan shalat-shalat lainnya, juga termuat di dalamnya kata-kata “salam” yang artinya do’a keselamatan pada orang lain yang disalamkan. Namun selanjutnya, bagaimana makna yang lebih dari “salam” itu? Dan apakah “bersalaman, be-salam, berjabat tangan” tidak ada efek (mudharat) yang lain?
Bersalaman tentu ada dampak baik juga ada dampak buruknya. Kita lihat dampak/efek buruknya dulu. Jumhur ulama’ (sebagian besar) sepakat bersalaman dengan lain jenis dan bukan mahrom kita adalah haram. Walaupun ada beberapa ulama’ yang menghalalkan/membolehkan dengan alasan-alasan tertentu. Misalnya karena sebuah pernghormatan, dari seorang murid kepada guru, dari seorang bawahan kepada atasan, dari yang lebih muda kepada yang tua dengan syarat tidak menimbulkan syahwat (rangsangan) saat terjadi salaman, hal itu boleh-boleh saja. Inilah dasar jumhur ulama’ mengharankan bersalaman antara lain jenis yang bukan mahrom-nya, karena dikhawatirkan timbulnya syahwat birahi itu. Menurut mereka, barang atau sesuatu yang apabila dilihat saja haram, apalagi disentuh lebih haram lagi. Perempuan adalah aurat mereka seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Perempuan adalah haram memandangnya bila berlama-lama, apalagi menyentuhnya dengan pandangan syahwat. Contoh paling sering kita jumpai, dampak/efek buruk bersalaman adalah membatalkan wudlu’ (beberapa Imam) jika bersalaman dengan yang halal dinikahi (mahrom).
Tapi dibalik mudharat, ada beberapa manfaat yang timbul dari proses bersalaman, untuk mencapai tujuan damai dan selamat tadi, diantaranya ada empat perkara yang bias kita ambil : Pertama, Ta’arafu (saling kenal mengenal). Bersalaman, secara langsung untuk saling kenal mengenal antara satu dan lainnya. Dan berkenalan adalah termasuk perintah Allah SWT dalam surat, Al-Hujarat ayat 13, Firman-Nya, “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”
Di sini Allah memerintahkan kita untuk lebih mengenal secara universal, baik itu antar suku dengan suku yang lain, atara sesama suku, sesama jenis atau lain jenis. Entah dalam level suku, bangsa, dan bahkan Negara. Mengenal atau ada keinginan untuk mengenal seseorang, sering ditandai dengan bersalaman pada awal mulanya.  Baik itu Setelah kiat mengenal antar sesama kita, maka timbul yang ke dua yakni;
Kedua, Tafahum (Saling memahami). Jika perkenalan sudah terjadi, maka antar kita yang berkenalan dengan berjabat tangan / bersalaman tadi akan terjadi yang namanya “saling memahami” atau terjadi kesepahaman. Yang satu paham apa keinginan yang dikenalnya, begitupun yang diajak berkenalan, akan mencoba memahami orang yang mengajaknya berkenalan tadi. Terkadang antara “berkenalan” dengan saling memahami ini akan terjadi waktu yang agak lama. Karena dari kesepahaman ini, nantinya aka nada tindak lanjut jika masing-masing mempunyai kepentingan yang harus dikomunikasikan dengan yang dikenalnya tadi.  Dan pemahaman kita terhadap orang lain, teman, sahabat adalah bentuk tindakan kita dalam menghilangkan prasangka (anggapan) negative sama orang.
Dalam hal ini Allah juga berfirman dari ayat sebelumnya di surat yang sama (Al-Hujarat) ayat 12,  “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” Perbuatan-perbuatan, dosa ini (prasangka buruk, kecurigaan, mencari-cari keburukan orang lain dan menggujing) dalam ayat ini insyaAllah tidak akan terjadi selagi kita sudah memahami arti sebuah persahabatan, dan memahami siapa sahabat kita ini. Nah dari langkah ke dua ini, terkadang seseorang akan terputus samapai di sini. Pemahaman yang keliru terhadap rekan yang baru kita kenal, atau malasnya kita untuk lebih memahami teman kita, membuat kita tidak melanjutkan hubungan perkenalan ini. Namun jika kedua pihak sudah saling memahami, maka terjadi tindakan ke tiga adalah;
Ketiga, Tarahhum (Kasih sayang). Timbul kasih sayang diantara kita, kasih sayang dengan makna yang lebih luas tidak hanya sekedar cinta semata. Dan bukankah Allah SWT juga memerintahkan kita untuk saling kasihi dan saling menyayangi.  Dalam sebuah ayat-Nya di surat  Maryam ayat 96 misalnya,  “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah, akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang”. Di Ayat lain, Allah juga berfirman dalam surat Al-Hujarat ayat 11,  “…dan janganlah suka mencela diantara kamu (manusia yang lain) dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
Dalam beberapa ayat ini, bahwa Allah sangat senang melihat hamba-hambanya saling kasihi dan sayangi, bukan hanya dengan antar sesame manusia, bahkan Allah SWT memerintahkan kita mengasihi san menyayangi seluruh isi alam ini. Dan Allah sendiri adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang (bismillahirahmanirrahim) kepada makhluk-Nya. Kalau sudah Allah saja mengasihi dan menyanyangi sifat-Nya, lalu kenpa kita hanya sebagai hamba ciptaan-Nya tidak mau menyanyagi dan mengasihi yang lain? Betapa sombongnya kita kalau seperti itu. Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan kita saling kasihi dan sayangi, karena antara satu mukmin dan mukmin yang lain adalah ibarat satu tubuh, jika satu yang luka maka seluruh tubuh akan merasakan sakitnya.  Dalam Hadits lain, yang diriwayatkan Thabani dan Hakim, Beliau bersabda, “Sayangilah penduduk bumi ini, niscaya kamu akan disayangi oleh siapa yang di langit”. (HR. Thabrani dan Hakim).
Makna kasih sayang ini sangat luas, dan tidak mungkin saya akan menulisnya di sini. Begitu luasnya rasa itu yang bias kita berikan antar sesama. Idul Fitri dan Idul Adha juga sebuah bentuk kasih sayang itu diterapkan. Kasih sayang kepada mereka-mereka yang membutuhkan kita, membutuhkan kebahagiaan di hari bahagia ini. Mereka-mereka anak Yatim Piatu yang tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua, kasih sayang seorang bapak kepada anaknya, kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Oleh karena itu, kita orang-orang yang berada, yang beriman dan beragama harus bias memberikan rasa itu kepada mereka, agar bias merasakan seperti apa yang anak-anak lain rasakan dihari ini. Selanjutnya terakhir, jika kenalan sudah, memahami sudah dan mengasih serta menyanyagi, maka terakhir dalam makna sebuah perkenalan (berjabat tangan) itu adalah;
Keempat, Ta’awun (Saling tolong menolong). Antara sahabat sering terjadi saling tolong menolong antar mereka. Dan memang inilah makna dari sebuah persahabatan sejati itu. Teman akan menolong setiap kesusahan yang dialami oleh temannya yang lain. Bukan sebaliknya, teman/sahabat hanya dianggap, jika mereka dalam keadaan bahagia saja, tapi jika dalam keadaan susah/menderita kitajauh dari mereka. Namun perlu digaris bawahi, bertolong-tolongan antara sahabat itu oleh Allah SWT hanya dianjurkan dalam nuansa atau koridor kebaikan saja, tidak bertolong-tolongan dalam nuansa kebatilan atau yang haram. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Maidah Ayat 2 , “…dan  tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa  dan pelanggaran.  Dan  bertakwalah kamu kepada Allah,  Sesungguhnya   Allah   Amat berat    siksa-Nya”.
Demikian mungkin yang bisa saya urai dalam tulisan kali ini, mudah-mudahan manfaat yang ada dalam “bersalaman”, “be-salam”, atau berjabat tangan dapat kita raih dan lebih besar manfaatnya yang kita dapatkan dari pada mafsadhatnya. Pasangan muda-mudi, jangan sampai menjadikan “kesempatan” dalam Idul Fitri untuk mengumbar syahwat dengan “bersalaman” disertai dengan nafsu syahwat antar lain jenisnya. Mudah-mudahan kita terhindar dari itu semua, agar apa yang kita usahakan selama puasa kemarin betul-betul ada bekasnya, jangan sampai terbuang percuma dengan hal-hal spele.
Dan budaya “be-salam” tidak ada salahnya jika kita teruskan untuk kebaikan, selesai shalat, baru berjumpa, mau berpisah bahkan untuk urusan-urusan yang lain, misalnya menerima ucapan selamat karena prestasi, proses ijab Kabul pernikahan. Jangan dimaknai lain, atau salaman diganti dengan istilah anak muda sekarang “tos”  ingat hal itu bukan yang dianjurkan dan jauh dari makna yang ada, apalagi “salaman” untuk salam tempel “amplop” sogokan agar tidak terlihat yang lain. Akhirnya tulisan saya ini, saya tutup dengan mempersatukan persepsi bahwa “be-salam” atau berjabat tangan, adalah sebuah anjuran agama yakni dalam rangka menjaga tali kekeluargaan dalam bingkai “silaturrahmi”. Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa Ayat 1 berbunyi, “…..dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. Shadaqollahul’aadziim.

Penulis adalah Penuluh Agama Islam di KUA Kec. Mpunda Kemenang. Kota Bima. Dan sekretaris Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam Kota Bima.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar