Senin, 25 Februari 2013

Rokok Persfektif Islam[1]








Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pd.I[2]



Sejarah

Syaikh Ihsan Jampes (1901 M), seorang ulama’ besar asal Banjarmelati-Kediri Jawa Timur masih keturunan Sunan Gunung Jati dari silsilah Bapaknya dan Sunan Ampel dari silsilah Ibunya. Beliau mengutip pendapat pengarang Kitab Tuhfah al-Ikhwan, dalam buku yang ditulis beliu, Kitab Kopi dan Rokok (untuk para pecandu rokok dan penikmat kopi berat), yakni pada bagian menjelaskan bagian kesehatan badan, dijelaskan bahwa tembakau (at-Tabghu) pada mulanya adalah tanaman lokal di suatu daerah yang bernama Tobago  suatu negeri di wilayah Meksiko, Amerika Utara. Pada masa pendudukan Amerika, berbondong-bondonglah orang-orang dari Eropa untuk singgah dan menetap di ‘dunia baru’ tersebut.  Mereka bergaul dengan penduduk asli Amerika sehingga tahulah mereka tradisi dan adat istiadat penduduk asli, termasuk dalam hal merokok. Ketertarikan mereka terhadap tradisi merokok membuat mereka membawa bibit tanaman tembakau ini ke negeri-negeri Eropa, khususnya ketika ada di antara mereka yang pulang ke kampung halaman.
Pemindahan bibit ini terjadi pada 1517 M atau 935 H. Hanya saja, tanaman tembakau ini tidak tersebar luas di seluruh daratan Eropa. Pada 1560 M atau 977 H, Yohana Pailot dari Vunisia mengunjungi Raja Alburqanal di Panama, Amerika. Tentu saja kunjungan itu bukan sekedar kunjugan biasa, akan tetapi dia membawa tambahan bibit tembakau untuk Vunisia sehingga beberapa saat kemudian tembakau tersebar di negeri itu. Dari Vunisia, tanaman tembakau dibawa dan disebarkan ke negri-negeri Eropa yang lain oleh seorang Rahib Vunisia yang bernama Vuses Lorenz. Sejak saat itu, tanaman tembakau menjadi masyhur di seluruh Eropa hingga sampailah ke Asia dan Indonesia. [3]
Inilah sejarah singkat tanaman tembakau yang selanjutnya menjadi rokok. Tembakau (Indonesia) kalau dilihat dari sejarah ini, lebih mirip ke asal nama tembakau dari Vunisia, yakni Tobago (tembago=tembako=tembakau). Sedangkan Rokok sendiri bahsa arabnya adalah ad-dhukhon (kabut).  Dan kata-kata Kabut berasal dari bahasa al-Qur’an, surat ad-Dukhan, tertulis pada ayat ke 10.
 

Artinya, :  “Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata[1371],

[1371]  yang dimaksud kabut yang nyata ialah bencana kelaparan yang menimpa kaum Quraisy Karena mereka menentang nabi Muhammad s.a.w.


Kedudukan Qiyas

Islam adalah agama universal (rahmatan lil ‘alamin) begitupun dengan al-Qur’an bersifat (mujmal) dan membutuhkan kehadiran Hadits sebagai penjabaran maksud dari al-Qur’an, sehingga bisa diterima oleh umat secara sempurna. Ada penelitian di salah satu universitas di Damaskus 750 ayat dari sekitar 6.000 lebih ayat dalam al-Qur’an menegur orang mukmin untuk menggunakan akal fikirannya. Ada ayat-ayat Qur’aniyah (Eksistensi Fisik) dan Kauniyyah (Metafisik). Sebanyak 10 % ayat itu Qath’i (baku tidak bisa disentuh nalar) dan 90 % Zhanni (masih bisa disentuh nalar).[4]
Seperti awal turunnya al-Qur’an berbentuk suhuf (lembaran), tanpa harkat dan bahasa arab. Kemudian pada zaman Sayyidina Utsman bin Affan (Khalifah ke 4 setelah Rasulullah) mengumpulkan al-Qur’an dan memberikan harkat, setelah terjadi perbedaan dialeg cara membaca al-Qur’an pada saat itu, yang berimbas pada makna dan arti al-Qur’an itu sendiri.  Dan dalam sejarah Islam ini dikatakan mushaf Utsmani.
Sehingga pertanyaannya, apakah al-Qur’an bid’ah?. Jawabannya adalah ia, karena pengumpulan dan pengharkatan al-Qur’an pada zaman Rasulullah tidak ada. Akan tetapi ini adalah bagian dari bid’ah hasanah. Dan Islam agama mudah, agama yang tidak mempersulit penganutnya. Begitupun dalam pengambilan hukum-hukum yang dieprgunakan dalam mu’amalah sehari-hari, termasuk masalah rokok.
Ayat al-Qur’an membahas masalah rokok secara teks memang tidak ada, namun secara konteks tentu ada, sepeti keharaman Narkoba yang didasarkan pada surat al-Maidah ayat 90 :

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah : 90).

Ayat ini kemudian di jabarkan / diperjelas kembali dengan Hadits dari Abdullah bin Umar ra.

    كل مسكرخمروكل مسكرحرام

Artinya, : “Setiap zat yang memabukkan itu khamer dan setiap zat yang memabukkan itu haram.
Dalam masalah ini, berlaku hukum Qiyas. Bahwa Narkoba dan sejenisnya, yang bisa membuat orang mabuk (lupa ingatan) adalah dihukumi sama dengan Khamer dan maka menjadi haram pula.
Nah, Qiyas adalah perbandingan atau perumpamaan yang berdampak sama. Dan Qiyas ini merupakan salah satu dari macam-macam pengambilan sumber hukum dalam Islam setelah al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ (kesepakatan para ulama’). Termasuk Istihsan (penganggapan baik), Istishhab (pemberlakuan hukum masa lampau), al-mashlahah al-mursalah (kemaslahatan yang tidak terdapat nas-nya dalam agama), ‘urf (adat kebiasaan) dan Syar’u man Qablana (Syariat nabi sebelum kita. [5]

Pandangan Ulama’

Selanjutnya bagaimana pandangan ulama’ tentang Rokok? Dalam hal ini ada dua pendapat yang sama-sama menggunakan dalil naqli maupun aqli untuk memperkuat argumen masing-masing :
1.       Golongan Ulama’ yang Mengharamkan
Ada beberapa ulama’ yang mengharamkan langsung rokok. Yakni diantaranya : Syaikh asy-Syihab al-Qalyubi. Beliau menjelaskan hukum rokok ini pada Bab Najis dalam hasyiyah-nya atas kitab karangan al-Jalal al-Mahali yang mengomentari kitab al-Minhaj-nya Imam Nawawi. Pendapat beliau, “tembakaunya suci, namun rokoknya haram. Karena salah satu efek rokok adalah membuka saluran tubuh, sehingga mempermudah masuknya penyakit ke dalam tubuh”.
Ulama’ lain yang mengharamkan rokok adalah, Syaikh Ibrahim al-Laqqani al-Maliki, beliau berpendapat sama dengan ulama’ pertama, bahwa rokok adalah nakjis sehingga harus dihindari dan berbahaya serta merusak pikiran.
Ulama’ ketiga yang mengharamkan rokok adalah, al-Allamah al-Faqih ath-Tharabisyi, bahkan beliau menulis buku yang berjudul, Tabshirah al-Ikhwan fi Bayan adh-Dharar at-Tabgh al-Masyhur bi ad-Dukhan termasuk berpendapat sama dengan ath-Tharabisyi adalah al-Muhaqqiq al-Bujairimi beliau menulis dalam hasyiyah-nya kitab al-Iqna’ fi Syarh Matn Abi Syuja’, pendapatnya “mengkonsumsi sesuatu  yang dapat membahayakan badan atau pikiran hukumnya adalah haram”.
Dan tokoh yang lebih keras berpendapat adalah Syaikh Hasan asy-Syaranbila seorang ulama’ dari Madzhab  Hanafi, mengatakan rokok dan orang menjual rokok adalah haram. Ini di dasarkan pada, setiap sesuatu yang nakjis dan haram untuk dimakan, maka menjual dan membelinyapun haram. Hal ini seperti pada khamer (minuman keras). Termasuk salah satu Ulama’ sufi, Sayyid al-Husain Ibn Abi Bakr termasuk yang mufakat dengan pendapat ini adalah Syaikh Abdullah ibn Ahmad Basudan, pendapat beliau, “barang siapa yang tidak mau bertaubat dari merokok dalam waktu empat puluh hari sebelum matinya, dikhawatirkan dia akan mati dalam keadaan su’ul khatimah (mati jelek).
Dan terakhir adalah Syaikh Abdullah ibn Alwi al-Haddad seorang sejarawan sekitar tahun 1012 tahun setelah hijrah Nabi dalam syairnya beliau mengatakan, “menghirup lebih jelek di banding menghisap, karena nafas tentu terbawa ke otak dan saat itu juga berpengaruh pada indera, demikianlah tingkah setan terkutuk lagi tercela dan demikian, pembahasan haramnya rokok telah sempurna”.

 2.       Golongan Ulama’ yang Menghalalkan
Seperti yang saya sampaikan di atas, tiap masalah tentu ada yang pro dan ada yang kontra. Nah setelah kita membahas ulama’ yang mengharamkan rokok, kini kita seimbangkan dengan ulama’ yang menghalalkan rokok. Diantara ulama’ yang menghalalkan rokok adalah, al-Imam Abd al-Ghani an-Nabilisi dari pengikut Madzhab Hanafi beliau menulis sebuah risalah yang dinamai, ash-Shulh bain al-Ikhwan fi Hukm Ibhah Syarb ad-Dukhan dan pendapat beliau juga di ‘amini’ oleh ualam’ lain, seperti al-‘Alamah asy-Syabramalis, Syaikh as-Sulthan al-Halab, dan al-Barmawi. Pendapat mereka yakni, “menghisap rokok halal. Kerharamannya bukan karena rokok itu sendiri haram (haram li dzatih), namun karena ada unsur dan faktor luar yang mempengaruhi ataupun merubah hukum halal ini”. malahan al-Fadhil Mas’ud ibn Hasan al-Qanawi asy-Syafi’i dalam kitab Syarh Lamiyah mengatakan, “rokok juga mempunyai manfaat yakni menghilangkan serak atau parau, sehingga rokok menjadi halal”. Dan  ar-Rusyd yang tertuanga dalam Hasyiyah ‘ala Nihayah mengatakan, “karena tidak adanya dalil yang dijadikan dasar untuk mengharamkan menghisap dan  mengkonsumsi rokok, maka hukumnya adalah mubah (boleh).
Lain halnya dengan Syaikh Muhammad Sa’id Babashil, beliau seorang ualama’ fiqih, mufti Syafi’iyah. Termasuk dalam golongan ini Syaikh Muhammad ibn Musa an-Nasawi dan al-Jamal ar-Ramli dalam Tuhfah-nya Ibn Hajar mengatakan, “rokok tidak samapai haram, melainkan hukumnya adalah makruh”.

Kesimpulan

Dari beberapa pendapat ulama’ tentang rokok maka bisa di simpulkan bahwa, hukum rokok atau rokok dalam pandangan Islam mempunyai beberapa hukum :
1.       Haram, jika memudharatkan si perokok (bila menyebabkan sakit atau memiskinkan diri).
2.       Mubah, jika menjadi obat / penyembuh.
3.       Makruh, jika menyebabkan kelalaian.
Kelalaian dalam arti, sampai meninggalkan ibadah yang lain (misalnya bersedekah, zakat dan menafkahi istri termasuk shalat lima waktu akibar membeli atau merokok).

Artinya, “Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya Haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah Telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah ?" (QS. Surat Yunus : 59).

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah Telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”. (QS. Al-Maidah : 87-88).

Sebuah Hadits riwayat Ahmad mengatakan :

لاَ ضِرَارَ أخرجه الإمام أحمد في المسند ومالك في الموطأ وابن ماجةلاَ ضَرَرَ وَ

“ Tidak (boleh melakukan/menggunakan sesuatu yang) berbahaya atau membahayakan” (Riwayat Ahmad dalam Musnadnya, Malik dan Atturmuzi)

Artinya, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah : 168)

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”. (QS. Al-Baqarah : 172).

Artinya, “(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-A’raf : 157)

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (An-Nisa’ : 29-30).

[287]  larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.

Artinya, “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu Karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada   keterangan Ini (Al-Quran)”. (QS. Al-Kahfi : 6).













[1] Disampaikan pada seminar Dinas Kesehatan Kota Bima 25-28 Pebruari 2013.
[2] Penyuluh Agama Islam di Kementerian Agama Kota Bima.
[3] Syaikh Ihsan Jampes, Irsyad al-Ikhwan fi Bayan al-Hukm al-Qahwah wa ad-Dukhan, (Terjemah : Kitab Kopi dan Rokok), Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2009, hal. 14-15.
[4] DR. Abu Yasid, LL.M., Nalar & Wahyu, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2007, hal. 60.
[5] Ibid, hal, 56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar