Oleh : Musthafa Umar
Lama sudah kita masuk di era informasi, mau tidak mau semua kita pasti akan memasuki wilayah satu ini. Perkembangan media begitu pesat, apalagi di Indonesia setelah Soeharto lengser, SIUPP di cabut yang sebelumnya di bubarkannya Departeman Penerangan, memudahkan orang mendirikan radio, TV, Majalah dan Koran seenaknya, bagai jamur di musim hujan. Dulu HP (hand phone) barang mewah dan langka, namun saat ini semua usia bisa mengoprasikan HP. Begitu halnya dengan Internet, sudah merambah wilayah pedesaan. Hal ini menyebabkan skat dan filter informasi, terasa tipis sekali. Lalu bagaimana seharusnya sikap kita umat islam dalam menghadapi era ini? Sekelumit tulisan ingin saya sampaikan di rubrik oipini media ini, semoga bermanfaat untuk kita semua, terutama umat islam.
Kebetualan S.1 saya di Komunikasi Penyiaran Islam jadi sangat perlu meluruskan bagaimana seharusnya seorang Muslim berkomunikasi yang islami dengan sesamanya. Informasi ada yang beilang berita, adalah ‘penguasa’ dunia ke tiga. Ingat perangnya Irak dan Amerika, itu semua berawal dari perang opini (anggapan) di media saling serang, dan sampai ke peperangan. Begitu halnya dengan kejadian di sekitar kita, saya perihatin atas kejadian Kolo dan Melayu beberapa waktu lalu. Dan bagian ini, tidak lepas dari perang opini dan informasi keliru. Nah Informasi itu simpulnya kabar/ berita bersumber dari ucapan seseorang yang dituangkan dalam gambar (visual) atau suara (audio). Informan (yang memberikan informsi) kalau tidak pandai memosisikan diri dan bahasa, terkadang salah ditangkap dan di dengar oleh audience (pendengar) bisa menjadi masalah besar. Konflik seperti beberapa waktu lalu, adalah ‘berkat’ informasi yang keliru. Benar kata pepatah “lidah tak bertulang” dan Nabi kitapun mengingatkan betapa besar akibat -keseleo- lidah. Bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Oleh karena itu hendaknya kita pandai-pandai mengartikan sebuah sebuah informasi sebelum disampaikan keorang lain. Berpikirlah apakah informasi yang akan kita sampaikan keorang lain itu, akan berdampak positif atau negatifkah pada keadaan selanjutnya.
Tantangan
Pertama-tama saya mencoba mengutip saduran Ziauddin Sardar dalam bukunya, tantangan dunia islam abad 21 bahwa revolusi informasi kini sedang dijajakan sebagai sebuah rahmat bagi umat manusia. Penjajaannya bisa kita lihat, dengar dan baca di media massa. Entah apakah itu koran, majalah, radio dan televisi serta internet. Namun beliau mempertanyakan apakah perkembangan informasi ini, akan menjadikan atau melahirkan masyarakan yang lebih baik, atau sebaliknya? Apakah melimpah ruahnya teknologi informasi mengandung makna bahwa kita lebih mampu mengendalikan masa depan? Seperti judul tulisan ini, tantangankah atau peluangkah?
Secara paradoks, abad informasi adalah upaya untuk meningkatkan pengendalian manusia atas kehidupan, tapi kenyataannya justru menghasilkan efek terbalik. Bagi dunia muslim, revolusi informasi menghadirkan tantangan-tantangan khusus yang harus diatasi demi kelangsungan hidup fisik maupun budaya umat. Menghadapi teknologi-teknologi informasi yang baru itu ibarat melintasi sebuah padang ranjau. Kemajuan teknologi dibidang komunikasi telah mengantarkan alat komunikasi massa dapat menjalankan fungsinya secara baik. Tetapi dibalik itu dalam menjalankan fungsi tersebut sering terjadi pelanggaran terhadap nilai-nilai yang ada.
Beberapa tantangan yang dapat diidentifikasi pada era informasi bagi perkembangan dan untuk membangun komunikasi islam di masa yang akan datang adalah; pertama, keberadaan publikasi informasi merupakan sarana efektif dalam penyebaran isu. Kekuatiran terhadap terjadinya streotype dan subordinasi komunitas tertentu menjadi masalah utama dalam era globalisasi informasi ini. Hal ini disebabkan pada era Intercultural dan International communication (komunikasi internasional dan antar budaya). Komunikasi antar budaya diartikan sebagai komunikasi antara manusia yang berbeda budaya, sedang komunikasi internasional merupakan proses komunikasi antar bangsa yang secara fisik dipisahkan oleh batas-batas teritorial sebuah negara.
Masalah yang dihadapi dalam proses komunikasi seperti ini adalah timbulnya sikap curiga terhadap ras, budaya dan negara lain. Setiap etnis atau suku bangsa memiliki latar belakang, perspektif, pandangan hidup, cita-cita dan bahasa yang berbeda, namun proses komunikasi informasi pada era ini berpretensi menyeragamkan berbagai latar belakang di atas, sehingga berpotensi menimbulkan ekses chaos dalam dinamika masyarakat. Komunikasi islam dihadapkan pada pertarungan ideologi dan pemikiran untuk seterusnya mempengaruhi sekaligus membentuk public opinion tentang islam dan umat islam, dalam rangka mengcounter isu-isu negatif informasi Barat terutama tentang islam.
Kedua, dalam banyak aspek keperkasaan Barat dalam dominasi dan inprealisme informasi pada era ini menimbulkan sekularisme, kapitalisme, paraagmatisme dan sebagainya. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi konsep bangunan komunikasi islam di masa depan untuk mengeleminir seluruh nilai-nilai komunikasi informasi yang bertentangan dengan nilai luhur islam dan budaya ketimuran kita tentunya. Memang dalam hal ‘menguasai’ islam sangatlah jauh tertinggal untuk hal seperti itu. Barat dengan kroni-kroninya lebih banyak menguasai medan dari pada orang-orang islam sendiri. Namun bukan berarti kita harus mengikuti arus, akan tetapi pandai memanfaatkan dan memosisikan tempat yang sesuai dengan kondisi dan keadaan kita.
Ketiga, dari sisi pelaksanaan komunikasi informasi, ekspose persoalan-persoalan seksualitas, peperangan dan tindakan kriminal lainnya mendatangkan efek yang berbanding terbalik dengan tujuan komunikasi dan informasi itu sendiri. Masyarakat dihadapkan pada berbagai informasi yang bertendensi patologis sehingga perilaku masyarakat juga cenderung sebagai mana dilihat, didengar dan disaksikannya. Amat disayangkan gencarnya terpaan media massa dalam proses komunikasi memberi banyak masalah dalam kehidupan Muslim. Ditambah lagi, tayangan-tayangan tertentu media massa oleh sebagian ulama masih diperdebatkan soal halal dan haramnya. Tantangan komunikasi islam dalam konteks ini bagaimana menghadirkan isi pesan komunikasi yang sekuen dengan fungsi komunikasi itu sendiri, yakni to inform, to educate, dan to entertain. Kesemuanya fungsi ini adalah untuk mewujudkan kesamaan makna sehingga mendorong terciptanya perubahan sikap atau tingkah laku masyarakat Muslim untuk kepentingan mencapai keselamatan dunia dan akhirat.
Keeempat, lemah sumber daya modal maupun kualitas negara-negara Muslim memaksa masyarakat Muslim menginport teknologi komunikasi informasi dari dunia Barat. Bersamaan dengan itu adopsi nilai tidak bisa dihadirkan. Hampir semua negara-negara Muslim menggantungkan diri dari software maupun hardware dari negara-negara Barat. Dalam sistem Barat menurut Hamid Mowlana dalam Jurnal Media, Culture & Society, komunikasi informasi dipandang sebagai komoditi, bukan moral atau etika. Ini mengakibatkan Barat mengekspor ideologi sekuler yang menjadi inti terwujudnya the information society dalam era the new global order. Tantangan komunikasi Islam pada era ini adalah mewujudkan komunikasi yang berbasis moral dan etika untuk kesejahteraan umat manusia, bukan hanya sebagai komoditi kekuasaan ansich.
Peluang
Hal di atas adalah tantangan-tangan yang kita hadapi saat ini dan tentunya akan datang untuk generai-generasi kita. Lalu bagaimana dengan peluang komunikasi islam di masa depan dalam era informasi ini? Perlu kita letakkan pertama-tama adalam, informasi bukanlah hal yang baik dan buruk, namun pemakainya sajalah yang menjadikan informasi itu menjadi baik dan buruk. Ziauddin Sardar kembali mengatakan, bahwa sains tidaklah membawa mudarat, mudaratnya berasal dari orang yang menggunakannya. Karena tipe semua informasi saling berkaitan dan saling bergantung, terutama dari matrik ilmu pengetahuan tentang masyarakat, yang bertindak sebagai pemandu yang memberikan pada kehidupan dan lingkungan manusia.
Ilmu pengetahuan tentang masyarakat dipengaruhi oleh empat jenis sistem penginformasian yang membentuk sifat dan karakternya. Pertama, pandangan dunia merupakan sistem penginformasian yang terluas, mengaitkan kosmologi dengan etika, dan bisa berorientasi teistik maupun nonteistik. Kedua, pengetahuan tentang masayarakat itu sendiri (nasionalisme), ketiga, lembaga-lembaga sosial yang ada. Dan keempat, filsafat pribadi. Keempat sistem penginformasian ini membentuk ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Dengan demikian, informasi tidak akan pernah menjadi netral, ia diciptakan dalam batas-batas tertentu untuk melayani kebutuhan-kebutuhan nasional, internasional ataupun pribadi tertentu. Ketika berurusan dengan informasi, kita harus menyadari hakikatnya yang sejati. Kita harus menyadari sistem-sistem penginformasian yang terlibat dalam kemunculannya. Informasi itu sendiri adalah suatu proposisi atau proposisi-proposisi yang multidimensional dengan komponen-komponen yang absolut, dan objektif, sebagai juga subjektif dan kultural, yang disaring, baik secara deduktif maupun induktif, dari data mentah yang dihimpun, diseleksi, dan diorganisasikan berdasarkan suatu pandangan dunia, kebutuhan nasional, tuntutan-tuntutan kelembagaan, dan filsafat pribadi, untuk memperbesar kemanfaatannya dalam pengambilan keputusan, perencanaan, dan pencapaian tujuan. Jadi peluang pengembangan komunikasi Islam pada masa depan adalah sebagai berikut :
Pertama, dalam perspektif Islam, perlulah disadari bahwa informasi akan mempunyai arti hanya bila ia berada dalam kerangka pengetahuan tentang masyarakat, hanya bila komponen sasarannya selaras dengan aspek-aspek mutlak, substitusional, kultural dan subjektif suatu masyarakat, barulah informasi akan dapat memberikan sumbangan positif kepada masyarakat itu sendiri. Keselarasan semacam ini akan dapat terjadi bila mana negara-negara Muslim menghasilkan informasi mereka sendiri dengan perlengkapan relevan yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan para pembuat keputusan dan komunitas-komunitas mereka. Strategi informasi bagi dunia Muslim harus didasarkan pada kesadaran ini.
Kedua, adanya perubahan dari era industri menuju era informasi menyangkut orientasi masyarakat yang menjurus kepada masalah ekonomu, dalam bidang informasi dan komunikasi ini akan mendatangkan kesempatan kerja (job opportunity) bagi masyarakat Muslim. Banyaknya profrsi yang harus diisi dalam bidang informasi, menghabiskan waktu untuk merencanakan, memeroses, dan mendistribusikan informasi. Ketiga, pada masa depan komunikasi Islam itu dapat dikembangkan dengan memperhatikan tujuh konsep pokok islam yang mempunyai kaitan langsung dengan penciptaan dan penyebaran informasi, yakni tauhid (keesaan), ‘ilm (ilmu pengetahuan), hikmah (kebijakan), ‘adl (keadilan), ijama’ (konsensus), syura (musyawarah), istislah (kepentingan umum), dan ummah (komunitas Muslim semuanya).
Seluruh konsep informasi ini dimaksudkan sebagai katalisator bagi pembangunan dan perantara perubahan sosial. Ia diharapkan akan dapat memajukan kemandirian dan partisipasi masyarakat serta membawa suatu masyarakat kearah keadilan sosial dan keontentikan kultural. Sebagai katalis sosial, agen-agen dan jasa-jasa informasi tidak memainkan peranan yang tidak memihak pada tujuan, pekerjaan mereka adalah untuk menggerakkan perubahan yang diinginkan dan membantu masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.
Keempat, peluang eksistensi komunikasi Islam pada masa depan tentu saja berangkat dari historis empirikal. Selama abad pertama Islam, tradisi lisan merupakan sarana utama dalam menyebarkan informasi. Namun segera diketahui bahwa ingatan tidak dapat diandalkan sepenuhnya, sehingga catatan tertulispun mulai berlaku di antara para penuntut ilmu pengetahuan. Pada masa-masa selanjutnya, buku sebagai suatu catatan terpadu atas pikiran, mulai muncul dan berkembang. Dalam periode ini buku sudah menjadi sarana yang umum dan banyak digunakan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan informasi.
Tepat seratus tahun setelah datangnya Islam, industri buku maju pesat sedemikian rupa. Buku diperlukan dalam semua upaya menuntut ilmu pengetahuan. Analisis singkat terhadap sejarah perbukuan periode klasik Islam menunjukkan bahwa buku merupakan infrastruktur penyebaran informasi dalam rangka menegakkan peradaban Muslim. Peluang ke depan, tentu saja karena umat Islam telah memiliki pengalaman dan akar budaya masa lalu, menjadi sarana potensial untuk menguptodatekannya dan mengupgradenya dalam konteks kekinian. Di sinilah letak kekurangan Islam pada zaman dulu. Karena itu banyak istilah-istilah penamaan adalah berbahasa Yunani. Islam hanya mengenal lisan, tidak rajin menulis sehingga catatan-catatan penting penemuan islam tidak terdata dengan baik. Dari itu mari generasi selanjutnya ini, hendaknya merubah paradigma lisan ke tulisan, dan bukankah Nabi memerintahkan kita untuk mencatat setiap transaksi yang kita lakukan? Bahkan Allah memberikan inspirasi kita sebenarnya dengan dua Malaikat yang selalu mecatat amal baik dan buruk manusia, lalu kenapa kita jarang mencatat?? Wallahua’lam bisshawab.
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di KUA Mpunda Kementerian Agama Kota Bima.