Oleh : Musthafa
Umar
Temanya memang sebuah pertanyaan,
karena akan butuh sebuah jawaban. Dan jawaban ini nanti akan datang dari
masing-masing diri Anda yang membaca tuntas tulisan saya ini. tema ini bermula
dari sebuah pertanyaan teman saya, “kemana politik NU menjelang Pilpres 2014?”.
Nah sebelum saya menulis kemana arah politik NU menjelang pilpres 2014,
pastikan dulu anda siapa?!. NU kah atau yang lain?! Atau bisa jadi tidak faham
sekarang Anda sebenarnya ada dimana?!. Lalu muncul pertanyaan berikutnya, apa
pentingnya ikut NU atau yang lain, toh kita Islam. Benar, kita sudah
Islam akan tetapi apa yang kita kerjakan (amaliah ibadah) kita tidak tiba-tiba
hadir dalam diri kita. Banyak proses yang dilalui untuk sampai kepada kita.
Contoh dalam perkara shalat lima waktu, tentu kita semua laksanakan. Namun,
cara kita shalat selama ini ikut siapa?! Menurut siapa?! Ilmunya siapa dan dari
mana?!
Allah SWT menurunkan printah
shalat dalam surat An-Nisa’ ayat 103, “sesungguhnya shalat itu diwajibkan kepada
orang-orang mukmin yang telah ditentukan waktunya”. Dalam ayat ini, tidak kita
jumpai waktu yang dimaksud, bahkan rukun, syarat, yang membatalkan dan tata
cara shalat tidak ada. maka sebagai ‘penerjemah’ al-Qur’an dan maksud Allah,
diutuslah Nabi Muhammad SAW ke dunia membawa Islam itu sendiri dengan
ajaran-ajarannya. Karena al-Qur’an sendiri, isi dan maknanya terbagi dua, ada
yang dzhonni (bisa dijabarkan) dan ada yang Qath’i (ketentuan
mutlak). Dan prosentase menurut buku Nalar dan Wahyunya Dr. Yazid, LLM adalah
70% dzhonni dan 30% adalah qath’i. sehingga sangat butuh namanya
penjelasan-penjelasan lebih lanjut.
Contoh yang saya berikan di atas
adalah shalat, sekali lagi dalam al-Qur’an tidak akan kita pernah temukan tata
cara shalat seperti yang kita lakukan. Pertama harus takbiratul ihram, baca
fatihah, rukuk, i’tidal, sujud dan sebagainya (rukun-rukun shalat). Lalu dari
mana kita dapat?! Kemungkinan jawaban kedua adalah hadits Nabi. Hadits Nabipun
secara terang-terangan tidak ada yang menyebutkan urut-urutan rukun shalat
seperti kita lakukan saat ini. Rasulullah SAW hanya cukup dengan hadits, “shallu
kama roaytumuni ushally” --shalatlah kalian seperti kamu melihatku
shalat--. Dari sini sudah bisa anda tebak kemana arah tulisan saya. Bahwa yang
namanya shalat pada zaman Rasulullah SAW, tidak pernah sendiri-sendiri selalu
berjama’ah (bersama-sama). Karena namanya berjama’ah, tentu tidak sedikit orang
yang melihat Nabi shalat pada waktu itu. Dan diantara sahabat-sahabat Nabi yang
iktu pada waktu itu, tentu sifat, karakter, watak, kecerdasan, kepintaran dan
kepandaian masing-masing sangatlah berbeda. Hal inipula yang menyebabkan hadits
punya riwayat banyak, hadits juga berebda-beda tingkatan. Semua ini berawal
dari tingkat pemahaman, kepandaian dan kecerdasan sahabat yang mendengarkan
Nabi, yang melihat Nabi pada waktu itu.
Maka jika sahabat A berkata lain,
sudah tentu dan bisa jadi sahabat B akan berkata lain pula. Dan
perbedaan-perbedaan ini berkembang, dari sahabat, tabi’in samapai para ulama’
(imam madzhab) yang disepakatai. Kita
tidak bisa menyalahkan kenapa berbeda, dan merekapun saling memegang teguh
argumen masing-masing pada waktu itu. Selain itu, kita tidak melihat langsung
Rasulullah SAW, maka butuh guru yang memberitahu kita tentang amaliah ibadah
Rasululllah SAW itu. Guru yang saya maksud adalah orang yang sangat paham
kepada agama (ulama’). Ulama’ berasal dari ‘alima (fi’il madhi)
artinya tahu/faham. Maka orang yang faham/tahu agama disebut ulama’ atau
‘alim. Mengiktui ‘ulama
adalah pilihan karena kita tidak melihat langsung Rasulullah SAW dan ‘ulama sendiri
telah mendapat ‘mandat’ langsung dari Rasulullah SAW melalu hadits beliau, “al-‘ulama’u
warosatul anbiya’” --ulama itu adalah pewaris para Nabi--.
Sebagai mandat Nabi, ‘ulama mempunyai
kewenangan untuk menjabarkan setiap masalah yang belum ditemukan dalam
al-Qur’an dan hadits melalui namanya Ijma’ dan Qiyas. Al-Qur’an
dijabarkan dengan Nabi melalui Hadits, Hadtis Nabi dijabarkan oleh ‘ulama melalui
kitab-kitab yang mereka tulis, melalui Ijma’ (kesepakatan) dan Qiyas (analog).
Seperti saya katakan di atas, masing-masing ‘ulama pun akan berbeda
masing-masing mereka tergantung kepada sahabat, tabi’in, ta’uttabi’in dan imam
madzhab yang mereka ikuti. Dari ‘ulama inilah sampai kekita
ajaran-ajaran tentang Islam itu. Ada memang sekelompok orang menamakan diri Salafy
yang murni mengambil hukum hanya dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Nah rangkaian-rangkaian ibadah
dalam Islam semunya bersyarat pada ilmu. contoh yang sama tentang shalat lima
waktu, dalam syarat sahnya mencantumkan, harus mengetahui ilmunya shalat.
Begitupun dalam ibadah-ibadah yang lain, haji, puasa, zakat dan sebagainya.
Dari sinilah kita dituntut untuk mencari ilmu-ilmu itu agar sempurna ibadah
kita. ‘ulama satu dan lainnya tentu berbeda dalam memahami ilmunya
shalat, contoh dilapangan subuh, ada yang menggunakan do’a qunut ada yang
tidak. Ada yang takbir harus di telinga, dibahu, atau tidak perlu takbir. Dan
banyak lagi perbedaan-perbedaan dalam shalat atau ibadah-ibadah yang lain selama
ini kita kerjakan. Dan kita tidak boleh mengerjakan amalan ibadah tanpa
mengetahui ilmunya alias ikut-ikutan.
Dari ilmunya shalat saja, kita
akan temukan sumber, menurut ’ulama siapa?! Dan jauh sebelum ini, para ‘ulama
kita telah menghimpun diri mereka yang sama cara dalam melakukan sebuah
perkara amaliah ibadah mereka dalam bentuk atau wadah organisasi. Di Indonesia,
yang terbesar ada NU (Nahdlatul ‘Ulama), Muhammadiyah, Persis dan di Lombok ada
NW serta yang lain-lain. Contoh kecil golongan Qunut subuh ada NU dan NW,
sedangkan tidak Qunut ada Muhammadiyah, Persis dan Wahabi. Dari contoh kecil
ini sekarang kita bisa ukur diri kita masing-masing, ilmu ‘ulama yang
mana kita ikuti/pakai selama ini. tidak hanya masalah shalat saja, masalah yang
terang-terangan berbeda misalnya masalah tanhizul mayyit, ada yang
Talkin ada yang tidak. Sama dengan di atas ukurannya adalah Qunut.
Tapi ada diantara kita melakukan
Qunut namun bukan NU atau NW lalu apa?! Nah hal inilah yang ingin menjadi
jawaban dari tema dan tulisan saya kali ini. jika amalan-amalan NU yang kita
pilih, maka kenapa kita ragu kalau menyatakan diri NU, atau mungkin kita tidak
mengenal apa dan siapa NU sehingga kita diam saja. Walaupun ilmunya para ‘ulama
ini kita lakukan selama ini tanpa ‘terimakasih’ kepada mereka atas ilmu
yang diberikan. Boleh anda bilang, saya ibadah tidak ikut ‘ulama ini dan
itu, akan tetapi itu namanya menipu diri sendiri. memakai karya orang tanpa
ijin dan terimakasih kepada yang empunya. Para ‘ulama telah melakukan
ijtihad selama hidup mereka, untuk kebaikan kita dalam menjalankan segala
bentuk ibadah kita, lalu seenaknya kita memakai ijtihad mereka tanpa mengikuti
keingin-keinginan mereka. Dan salah satu kumpulan/organisasi ‘ulama yang
ingin saya pertegas di sini adalah NU (Nahdlatul ‘Ulama).
Nahdlatul ‘Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam),
disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam
yang terbesar nomer 1 di Indonesia. Berdiri dari Masjid Jombang Jawa Timur Organisasi
ini pada tanggal 31 Januari 1926
dan bergerak di bidang pendidikan, sosial,
dan ekonomi.
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia,
akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran
kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan
pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal
dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat
kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar
terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai
jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren
yang selama ini gigih melawan kolonialisme,
merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan,
seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air)
pada 1916. Kemudian
pada tahun 1918
didirikan Taswirul Afkar atau dikenal
juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai
wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ
kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar,
(pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul
Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan
yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Berangkan komite
dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka
setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan
lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah
berkordinasi dengan berbagai kyai,
akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul
‘Ulama (Kebangkitan ‘Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).
Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar. Untuk
menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi
(prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad
Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian
diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan
sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang
sosial, keagamaan dan politik.
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir
yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber
pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah,
tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara
berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan
Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi.
Kemudian dalam bidang fiqih
lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i
dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki, dan imam Hanbali
sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 (empat) di bawah.
Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid
Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Nah sampai di sini mungkin kita
sudah bisa mengira-ngira sekarang, sebenarnya kita NU atau bukan?! Jika jawaban
anda benar maka kenapa harus malu menunjukkan jati diri kita. Kalau jati diri
kita benar NU maka selanjutnya bisa anda menggali lebih jauh tentang amaliah
ibadah kita selama ini yang NU gariskan untuk dilaksanakan. Tidak hanya masalah
shalat lima waktu dan tanhizul mayyit namun, masalah-masalah ibadah yang
lain. Kesimpulannya sederhana, semua amalan ibadah yang kita lakukan tentu
bersumber dari ilmu yang selama ini kita pelajari. Baik dari buku-buku bacaan,
kitab, maupun guru langsung. Tinggal siapa pengarangnya jika itu buku atau
kitab, dan jika itu guru langsung siapa madzhabnya?! Karena guru (ustad, kyai,
Tuan Guru, bahkan ‘ulama) kita merujuk kepada satu sumber Nabi Muhammad
SAW dengan pemahaman, pendengaran, kecerdasan yang berbeda-beda tingkatannya
dan mempengaruhi paham dan anggapan yang samapai kepada kita. Kalau bersikukuh
hanya mengikuti Nabi dan al-Qur’an juga keliru karena zaman berkembang banyak
hal-hal yang butuh hukum, sehingga butuh Íjma dan Qiyas, di samping Nabi pun
telah memandatkan untuk hal itu kepada ‘ulama. Contoh masalah HP,
Internet, Saham, Perbankan, Narkoba, yang belum ada dalam al-Qur’an dan Hadits,
dan hal itu bisa kita temukan dalam Ijma’ dan Qiyas.
Akhirnya jika kita sudah jelas
ikut ‘ulama dan organisasi mana?! Maka kalau ditanya kemana arah politik
dalam Pilpres 2014, tinggal mempertanyakan diri kita, mau mebesarkan organisasi
atau mengahncurkan?! Mengikuti organisasi atau khianat?! Bukankah organisai itu
ibarat organ tubuh, satu sakit maka semua terasa sakit?! Maka butuh namanya
kekompakan, kesolidan dan kesepahaman, karena itu bagian dari cara membesarkan
organisasi. Dan jika benar organisasi yang anda ikuti saat ini adalah NU maka
ikutilah NU kemana dan dengan siapa orgnaisasi berkoalisi. Tapi sebenarnya NU
kemana arah politiknya?! Nah jawabannya akan saya coba tulis dalam edisi
selanjutnya…terimakasih wallahu al-muwaffiq ila aqwami at-thariq.
Penulis adalah Anggota
MABINCAB PMII dan Ketua Majelis Dzikir Rijalul Ansor GP. Ansor Kota Bima