Selasa, 03 Juni 2014

APA SAYA NU??!

 
Oleh : Musthafa Umar
 
Temanya memang sebuah pertanyaan, karena akan butuh sebuah jawaban. Dan jawaban ini nanti akan datang dari masing-masing diri Anda yang membaca tuntas tulisan saya ini. tema ini bermula dari sebuah pertanyaan teman saya, “kemana politik NU menjelang Pilpres 2014?”. Nah sebelum saya menulis kemana arah politik NU menjelang pilpres 2014, pastikan dulu anda siapa?!. NU kah atau yang lain?! Atau bisa jadi tidak faham sekarang Anda sebenarnya ada dimana?!. Lalu muncul pertanyaan berikutnya, apa pentingnya ikut NU atau yang lain, toh kita Islam. Benar, kita sudah Islam akan tetapi apa yang kita kerjakan (amaliah ibadah) kita tidak tiba-tiba hadir dalam diri kita. Banyak proses yang dilalui untuk sampai kepada kita. Contoh dalam perkara shalat lima waktu, tentu kita semua laksanakan. Namun, cara kita shalat selama ini ikut siapa?! Menurut siapa?! Ilmunya siapa dan dari mana?!
Allah SWT menurunkan printah shalat dalam surat An-Nisa’ ayat 103, “sesungguhnya shalat itu diwajibkan kepada orang-orang mukmin yang telah ditentukan waktunya”. Dalam ayat ini, tidak kita jumpai waktu yang dimaksud, bahkan rukun, syarat, yang membatalkan dan tata cara shalat tidak ada. maka sebagai ‘penerjemah’ al-Qur’an dan maksud Allah, diutuslah Nabi Muhammad SAW ke dunia membawa Islam itu sendiri dengan ajaran-ajarannya. Karena al-Qur’an sendiri, isi dan maknanya terbagi dua, ada yang dzhonni (bisa dijabarkan) dan ada yang Qath’i (ketentuan mutlak). Dan prosentase menurut buku Nalar dan Wahyunya Dr. Yazid, LLM adalah 70% dzhonni dan 30% adalah qath’i. sehingga sangat butuh namanya penjelasan-penjelasan lebih lanjut.
Contoh yang saya berikan di atas adalah shalat, sekali lagi dalam al-Qur’an tidak akan kita pernah temukan tata cara shalat seperti yang kita lakukan. Pertama harus takbiratul ihram, baca fatihah, rukuk, i’tidal, sujud dan sebagainya (rukun-rukun shalat). Lalu dari mana kita dapat?! Kemungkinan jawaban kedua adalah hadits Nabi. Hadits Nabipun secara terang-terangan tidak ada yang menyebutkan urut-urutan rukun shalat seperti kita lakukan saat ini. Rasulullah SAW hanya cukup dengan hadits, “shallu kama roaytumuni ushally” --shalatlah kalian seperti kamu melihatku shalat--. Dari sini sudah bisa anda tebak kemana arah tulisan saya. Bahwa yang namanya shalat pada zaman Rasulullah SAW, tidak pernah sendiri-sendiri selalu berjama’ah (bersama-sama). Karena namanya berjama’ah, tentu tidak sedikit orang yang melihat Nabi shalat pada waktu itu. Dan diantara sahabat-sahabat Nabi yang iktu pada waktu itu, tentu sifat, karakter, watak, kecerdasan, kepintaran dan kepandaian masing-masing sangatlah berbeda. Hal inipula yang menyebabkan hadits punya riwayat banyak, hadits juga berebda-beda tingkatan. Semua ini berawal dari tingkat pemahaman, kepandaian dan kecerdasan sahabat yang mendengarkan Nabi, yang melihat Nabi pada waktu itu.
Maka jika sahabat A berkata lain, sudah tentu dan bisa jadi sahabat B akan berkata lain pula. Dan perbedaan-perbedaan ini berkembang, dari sahabat, tabi’in samapai para ulama’ (imam madzhab) yang disepakatai.  Kita tidak bisa menyalahkan kenapa berbeda, dan merekapun saling memegang teguh argumen masing-masing pada waktu itu. Selain itu, kita tidak melihat langsung Rasulullah SAW, maka butuh guru yang memberitahu kita tentang amaliah ibadah Rasululllah SAW itu. Guru yang saya maksud adalah orang yang sangat paham kepada agama (ulama’). Ulama’ berasal dari ‘alima (fi’il madhi) artinya tahu/faham. Maka orang yang faham/tahu agama disebut ulama’ atau ‘alim.  Mengiktui ‘ulama adalah pilihan karena kita tidak melihat langsung Rasulullah SAW dan ‘ulama sendiri telah mendapat ‘mandat’ langsung dari Rasulullah SAW melalu hadits beliau, “al-‘ulama’u warosatul anbiya’” --ulama itu adalah pewaris para Nabi--.
Sebagai mandat Nabi, ‘ulama mempunyai kewenangan untuk menjabarkan setiap masalah yang belum ditemukan dalam al-Qur’an dan hadits melalui namanya Ijma’ dan Qiyas. Al-Qur’an dijabarkan dengan Nabi melalui Hadits, Hadtis Nabi dijabarkan oleh ‘ulama melalui kitab-kitab yang mereka tulis, melalui Ijma’ (kesepakatan) dan Qiyas (analog). Seperti saya katakan di atas, masing-masing ‘ulama pun akan berbeda masing-masing mereka tergantung kepada sahabat, tabi’in, ta’uttabi’in dan imam madzhab yang mereka ikuti. Dari ‘ulama inilah sampai kekita ajaran-ajaran tentang Islam itu. Ada memang sekelompok orang menamakan diri Salafy yang murni mengambil hukum hanya dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Nah rangkaian-rangkaian ibadah dalam Islam semunya bersyarat pada ilmu. contoh yang sama tentang shalat lima waktu, dalam syarat sahnya mencantumkan, harus mengetahui ilmunya shalat. Begitupun dalam ibadah-ibadah yang lain, haji, puasa, zakat dan sebagainya. Dari sinilah kita dituntut untuk mencari ilmu-ilmu itu agar sempurna ibadah kita. ‘ulama satu dan lainnya tentu berbeda dalam memahami ilmunya shalat, contoh dilapangan subuh, ada yang menggunakan do’a qunut ada yang tidak. Ada yang takbir harus di telinga, dibahu, atau tidak perlu takbir. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan dalam shalat atau ibadah-ibadah yang lain selama ini kita kerjakan. Dan kita tidak boleh mengerjakan amalan ibadah tanpa mengetahui ilmunya alias ikut-ikutan.
Dari ilmunya shalat saja, kita akan temukan sumber, menurut ’ulama siapa?! Dan jauh sebelum ini, para ‘ulama kita telah menghimpun diri mereka yang sama cara dalam melakukan sebuah perkara amaliah ibadah mereka dalam bentuk atau wadah organisasi. Di Indonesia, yang terbesar ada NU (Nahdlatul ‘Ulama), Muhammadiyah, Persis dan di Lombok ada NW serta yang lain-lain. Contoh kecil golongan Qunut subuh ada NU dan NW, sedangkan tidak Qunut ada Muhammadiyah, Persis dan Wahabi. Dari contoh kecil ini sekarang kita bisa ukur diri kita masing-masing, ilmu ‘ulama yang mana kita ikuti/pakai selama ini. tidak hanya masalah shalat saja, masalah yang terang-terangan berbeda misalnya masalah tanhizul mayyit, ada yang Talkin ada yang tidak. Sama dengan di atas ukurannya adalah Qunut.
Tapi ada diantara kita melakukan Qunut namun bukan NU atau NW lalu apa?! Nah hal inilah yang ingin menjadi jawaban dari tema dan tulisan saya kali ini. jika amalan-amalan NU yang kita pilih, maka kenapa kita ragu kalau menyatakan diri NU, atau mungkin kita tidak mengenal apa dan siapa NU sehingga kita diam saja. Walaupun ilmunya para ‘ulama ini kita lakukan selama ini tanpa ‘terimakasih’ kepada mereka atas ilmu yang diberikan. Boleh anda bilang, saya ibadah tidak ikut ‘ulama ini dan itu, akan tetapi itu namanya menipu diri sendiri. memakai karya orang tanpa ijin dan terimakasih kepada yang empunya. Para ‘ulama telah melakukan ijtihad selama hidup mereka, untuk kebaikan kita dalam menjalankan segala bentuk ibadah kita, lalu seenaknya kita memakai ijtihad mereka tanpa mengikuti keingin-keinginan mereka. Dan salah satu kumpulan/organisasi ‘ulama yang ingin saya pertegas di sini adalah NU (Nahdlatul ‘Ulama).
Nahdlatul ‘Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar nomer 1 di Indonesia. Berdiri dari Masjid Jombang Jawa Timur Organisasi ini pada tanggal 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul ‘Ulama (Kebangkitan ‘Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki, dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 (empat) di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Nah sampai di sini mungkin kita sudah bisa mengira-ngira sekarang, sebenarnya kita NU atau bukan?! Jika jawaban anda benar maka kenapa harus malu menunjukkan jati diri kita. Kalau jati diri kita benar NU maka selanjutnya bisa anda menggali lebih jauh tentang amaliah ibadah kita selama ini yang NU gariskan untuk dilaksanakan. Tidak hanya masalah shalat lima waktu dan tanhizul mayyit namun, masalah-masalah ibadah yang lain. Kesimpulannya sederhana, semua amalan ibadah yang kita lakukan tentu bersumber dari ilmu yang selama ini kita pelajari. Baik dari buku-buku bacaan, kitab, maupun guru langsung. Tinggal siapa pengarangnya jika itu buku atau kitab, dan jika itu guru langsung siapa madzhabnya?! Karena guru (ustad, kyai, Tuan Guru, bahkan ‘ulama) kita merujuk kepada satu sumber Nabi Muhammad SAW dengan pemahaman, pendengaran, kecerdasan yang berbeda-beda tingkatannya dan mempengaruhi paham dan anggapan yang samapai kepada kita. Kalau bersikukuh hanya mengikuti Nabi dan al-Qur’an juga keliru karena zaman berkembang banyak hal-hal yang butuh hukum, sehingga butuh Íjma dan Qiyas, di samping Nabi pun telah memandatkan untuk hal itu kepada ‘ulama. Contoh masalah HP, Internet, Saham, Perbankan, Narkoba, yang belum ada dalam al-Qur’an dan Hadits, dan hal itu bisa kita temukan dalam Ijma’ dan Qiyas.
Akhirnya jika kita sudah jelas ikut ‘ulama dan organisasi mana?! Maka kalau ditanya kemana arah politik dalam Pilpres 2014, tinggal mempertanyakan diri kita, mau mebesarkan organisasi atau mengahncurkan?! Mengikuti organisasi atau khianat?! Bukankah organisai itu ibarat organ tubuh, satu sakit maka semua terasa sakit?! Maka butuh namanya kekompakan, kesolidan dan kesepahaman, karena itu bagian dari cara membesarkan organisasi. Dan jika benar organisasi yang anda ikuti saat ini adalah NU maka ikutilah NU kemana dan dengan siapa orgnaisasi berkoalisi. Tapi sebenarnya NU kemana arah politiknya?! Nah jawabannya akan saya coba tulis dalam edisi selanjutnya…terimakasih wallahu al-muwaffiq ila aqwami at-thariq.
 
Penulis adalah Anggota MABINCAB PMII dan Ketua Majelis Dzikir Rijalul Ansor GP. Ansor Kota Bima