Oleh : Musthafa Umar
Akhir-akhir ini terdengar kabar banyak instansi akan melakukan penggeseran personil, ada yang diturunkan atau dipromosikan. Dan setiap pejabat baru selalu kita lihat ada sumpah saat pelantikan. Dengan lancar mereka selalu memulai sumpahnya dengan kalimah sumpah, wallahi, tallahi dan billahi. Allah diingat dan diminta menyaksikan sebuah estafet kepemimpinan. Manusia adalah terlahir sebagai seorang hamba dan seorang pemimpin. Memimpin berbagai urusan untuk kemaslahatan bumi yang diberikan Allah SWT. Selain itu, nantinya kepemimpinan kita akan dimintai pertanggung jawaban di yaumil qiyamah. Kepemimpinan apapun bentuknya dari sebuah jabatan, adalah tanggung jawab tidak hanya kepada atasan, bawahan, bangsa namun agama dan Allah SWT
Berangkat dari sini, saya mencoba mengaktualisasikan dalam sebuah tulisan, tentu dengan versi seorang penyuluh sesuai tupoksi saya. Apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang pernah mendapat ‘jabatan’ disertai dengan sumpah. Mudah-mudahan nantinya ini akan menjadi renungan kita bersama dan bermanfaat dalam menjalankan aktivitas kita sehari-hari. Kaffarat bisa diartikan menutupi sesuatu, karena diambil dari bahasa kafara. Atau juga bisa diartikan sebuah denda yang wajib ditunaikan karena sebab suatu perbuatan dosa. Dan Allah memberikan peluang untuk menutup dosa itu dengan membayar kaffarat.
Sebelum kita terlalu jauh membahas ini, alangkah baiknya untuk kita ketahui macam-macam kaffarat sumpah dalam hukum islam. Kaffarat sumpah, para ulama membedakan sumpah tersebut dalam sumpah lagw (sia-sia) seperti ucapan seseorang yang dilontarkan tanpa tujuan untuk bersumpah. Sumpah seperti ini tidak dianggap sebagai sumpah yang harus dikenai denda kafarat. Ada pula sumpah qumus yakni sumpah dusta dan mengandung unsur pengkhianatan. Sumpah seperti ini tidak dikenakan kafarat menurut jumhur ulama karena hukumannya lebih besar dan berat dari kafarat. Sumpah mun'aqidah yaitu sumpah yang dilakukan seseorang bahwa ia akan melakukan sesuatu di masa yang akan datang atau tidak melakukan sesuatu, namun sumpah itu dilanggarnya.
Nah dari gambaran pembagian kafarat sumpah ini, kita telah menemukan focus bahasan saat ini, yakni kafarat sumpah mun’aqidah, contohnya sumpah jabatan para pejabat kita. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 89, “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja… (al-ayah). Jelas bahwa setiap perbuatan akan mendapat hukuman, termasuk melanggar sumpah yang kita ucapkan. Bentuk pelanggaran sumpah yang sering dilakukan seorang pejabat adalah yang paling nyata, tidak akan korupsi yang mengakibatkan kerugian Negara. Entah bentuknya, korupsi waktu, mementingkan diri sendiri, memperkaya diri sendiri dan kolusi yang berkelanjutan. Hal demikian adalah bagian dari kata-kata sumpah yang tidak pernah diucapkan. Namun kenapa dilanggar? Lalu apa dampaknya?
Kafarat apabila telah ditunaikan, maka pengaruh dari dosa-dosa yang kita perbuat tidak kita rasakan baik di dunia maupun di akhirat. Kafarat merupakan salah satu hukuman yang dipaparkan secara terperinsi dalam syariat Islam.
Ada bermacam-macam kafarat dalam Islam yang bentuknya berbeda sesuai dengan perbedaan pelanggaran (dosa) yang dilakukan. Perbuatan-perbuatan dosa yang dikenakan kaafarat tersebut antarta lain melanggar sumpah, melakukan jimak (hubungan suami istri) di siang hari pada bulan Ramadhan, men-zihar istri (seorang suami menyatakan bahwa punggung istrinya sama dengan punggung ibunya), dan mempergauli istri ketika sedang melaksanakan ihram di Makkah.
Ada bermacam-macam kafarat dalam Islam yang bentuknya berbeda sesuai dengan perbedaan pelanggaran (dosa) yang dilakukan. Perbuatan-perbuatan dosa yang dikenakan kaafarat tersebut antarta lain melanggar sumpah, melakukan jimak (hubungan suami istri) di siang hari pada bulan Ramadhan, men-zihar istri (seorang suami menyatakan bahwa punggung istrinya sama dengan punggung ibunya), dan mempergauli istri ketika sedang melaksanakan ihram di Makkah.
Lanjutan dari surat al-Maidah ayat 89 yakni tentang kaffarat sumpah itu sendiri, “Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”.
Berangkat dari ayat ini, ulama Mazhab Maliki berpendapat bentuk-bentuk hukuman tersebut merupakan tiga alternatif yang boleh dipilih tanpa terikat dengan tertib yang ada dalam ayat. Boleh saja yang dua didahulukan kalau kemaslahatan menghendaki demikian. Dari berbagai ayat dan hadis tentang kaffarat tersebut terlihat bahwa tujuan kaffarat adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, di samping juga memerdekakan budak, dalam arti bukan untuk menanggung resiko fisik sebagaimana yang terdapat dalam hukuman-hukuman hudud atau kisas. Lain halnya dengan jumhur ulama, sepakat bahwa kafarat zihar ini dengan urutan seperti yang ada dalam ayat itu, tanpa ada kebolehan memilih atau mengganti-ganti urutan tersebut.
Ada pengecualian dari untuk saat ini, karena tidak adanya perbudakan, maka tinggal ada pilihan dua. Akan tetapi sesorang yang melanggar sumpahnya masih diberikan pilihan jika dia tidak mampu, yakni puasa berturut-turut selama tiga hari. Bukan hanya itu, kwajiban disini sifatnya mutlak (tak mempunyai batas waktu). Maksudnya tidak harus dilaksanakan seketika setelah melanggar sumpah. Jadi, misal, tidak bisa melaksanakan dlm seminggu setelah melanggar sumpah, maka boleh dikerjakan setelah itu. Sampai ia sempat. Jika terabaikan, sesuai firman Allah di atas, bahwa mereka termasuk orang-orang yang tidak pandai bersyukur kepada Allah, maka bukan penambahan rizki dari hasil kerjaannya yang di dapat, malah adzabKU kata Allah sangat pedih bagi mereka yang kufur (tidak pandai bersyukur) terhadap nikmat-nikmat yang Allah berikan.
Pelanggaran sumpah menurut hadits riwayat Bukhari Muslim adalah bisa menghilangkan kebarokahan dari apa yang kita dapatkan. Jika itu sebuah jabatan, maka jabatan yang kita emban tidak barokah, sehingga keputusan-keputusan yang di hasilkan atau kerjaan yang direncanakan, kurang mendapat pertolongan Allah dan manfaatnya sedikit untuk sesama. Demikian halnya dengan uang/gaji/upah/imbalan yang diperoleh dari sumpah yang dilakukan lalu di langgar dan tidak pernah dibayar kaffaratnya, adalah keberkahannya hilang. Sama qiyasnya dengan uang yang dihasilkan melalui jalan haram. Entah judi, atau menipu orang dan riba.
Ingat, saat kita bersumpah Allah SWT menjadi saksi dari apa yang kita ucapkan. Akankah kesaksian Allah kita ragukan? Sehingga kita dengan leluasa melanggar sumpah-sumpah yang kita ucapkan, dengan berbuat tidak sesuai peruntukannya? Kalau ini terjadi maka adzab Allah selalu mengintai kita setiap saat. Demi Allah! Awal kata sumpah yang kita sering ucapkan, adalah secara langsung mengimani bahwa Allah Maha tahu, Maha melihat dan Maha mendengar apa yang akan kita lakukan selanjutnya dalam mengemban tugas yang diberikan. Apalah artinya pengawasan atasan, bila dibandingkan dengan pengawasan Allah SWT. Namun terkadang berbanding terbalik, kita lebih takut pengawasan atasan ketimbang pengawasan Allah SWT.
Inilah ujian keimanan kita masing-masing. Sedari kecil kita diajari iman kepada Allah sebagai rukun pertama dalam rukun iman. Dalam setiap ceramah dan khutbah, selalu khatib atau da’i mengingatkan kita agar selalu meningkatkan iman dan taqwa kita. Agar selalu merasa terawasi oleh Allah dari setiap gerak gerik kita. Di manapun dan kapanpun, Allah selalu beserta kita. Kalau hal ini sudah kita pahami, insyaAllah tidak ada para pejabat kita yang korupsi, kolusi dan nepotisme lagi. Tapi kalau ada perlu diingatkan kembali sumpah jabatan yang mereka baca di depan tamu undangan, di depan pejabat yang melntiknya dan di hadapan Allah SWT yang disebutnya pertama kali.
Maka jangan heran dengan kondisi bangsa dan pimpinan kita, jika mereka melakukan acap kali kesalahan. Pembangunan yang dilakukan kadang tidak berumur panjang, korupsi uang Negara, karena selalu merasa kekuarangan. Tidak pernah cukup dengan apa yang diterima. Sebenranya ini semua, bentuk dari ketidak berkahan kerja dan hasil kerja akibat pelanggaran sumpah yang dilakukan. Mudah-mudahan kita sebagai aparat Negara atau apapun yang berujung pada sumpah, hendaknya benar-benar melakukannya dengan benar. Sebab banyak orang yang sering tanpa sadar melakukan pelanggaran sumpah namun tidak pernah membayar kaffaratnya. Semoga Allah menjauhkan kita dari hal-hal yang demikian. Amin…
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di KUA Kec.Mpunda Kemenag Kota Bima.