Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M.Pdi.
Membaca pemberitaan koran ini
(27/11) kemarin, percerain di Pengadilan
Agama (PA) Bima, tembus angka 1.144 (seribu seratus empat puluh empat) kasus.
Dan dari sekian kasus ini, sebanyak 318 adalah cerai talak atau cerai yang
dilakukan atas kehendak suami. Dan yang menarik adalah sebanyak 826 kasus cerai
gugat atau perceraian yang dilakukan atas kehendak istri. Berbanding jauh
sekali, antara cerai talak dengan cerai gugat. Kenapa hal ini bis terjadi?!
dari itu, saya mencoba menggambarkan keprihatinan saya dengan menulis artikel
ini. Mudah-mudahan bisa memberikan sedikit pengetahuan dan menjadi pencegahan
dini kepada putra-putri kita, untuk tidak cepat-cepat cerai.
Perceraian memang tidak dilarang
oleh Allah SWT, dengan adanya beberapa dalil di Al-Qur’an tentang talak
(cerai), maka menunjukkan hal perbuatan itu menjadi boleh untuk dilakukan.
Misalnya pada surat Al-Baqarah ayat 229 tentang talak raj’i (talak yang membolehkan suami untuk rujuk kembali). Firman
Allah SWT, “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk
kembali dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik”. Dalam
ayat lain, masih di surat Al-Baqarah ayat 230. Allah berfirman tentang talak Ba’in (talak yang tidak boleh rujuk
kembali, akan tetapi harus nikah seperti pertama kali, setelah si perempuan
nikah dengan orang lain). Dalam surat Al-Baqarah ini dikatakan, “kemudian jika
suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal
lagi baginya, sampai dia kawin dengan suami yang lain”.
Nah istilah cerai gugat dalam
beberapa fiqh munakahat jarang ditemukan, karena pada dasarnya perceraian
adalah hak suami. Pihak istri tidak ada hak untuk mentalak, akan tetapi mereka
diberikan beberapa peluang untuk melakukan itu. Bedanya adalah, jika talak dari
laki-laki, dan masih talak raj’i maka
mereka bisa rujuk kembali, akan tetapu untuk merempuan satu kali menjadi
terakhirkali dan jika ingin kembali, dengan cara menikah seperti semula, yang
didahulu dengan cara muhallil
(menikah dengan laki-laki lain) terlebih dahulu.
Kenapa hak talak diberikan kepada
laki-laki? Dalam hal ini, para ulama’ sepakat melihat karena suami dipandang
telah mampu memelihara kelangsungan
hidup bersama. Suami diberi beban membayar mahar (maskawin) dan memikul nafkah
istri serta anak-anaknya. Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah istri
selama ia menjalankan masa iddahnya (masa menunggu). Hal ini adalah agar suami
tidak menjatuhkan talak sesuka hati.
Abdurrahman Shazaly, MA. Menulis
bahwa pada umumnya hak talak itu pada suami, dengan pertimbangan akal dan bakat
pembawaannya, lebih tabah menghadapi apa yang kurang menyenangkan ketimbang
istri. Biasanya suami tidak cepat-cepat menjatuhkan talak, karena sesuatu yang
menimbulkan amarah emosinya, atau karena keburukan pada istri yang memberatkan
tanggung jawab suami. Hal ini berbeda dengan istri, biasanya wanita lebih
menonjol sikap emosionalnya, kurang menonjol sikap rohanoahnya, cepat marah,
kurang tahan menderita, mudah susah dan gelisah, dan jika bercerai bekas istri
tidak menanggung beban materi terhadap bekas suaminya, tidak wajib membayar
mahar. Dari inilah istri tidak mempunyai hak talak atas suaminya. Andaikata
istri diberikan hak talak, kemungkinan istri akan lebih mudah menjatuhkan
talak, karena suatu sebab yang kecil.
AL-Jurjawi menambahkan, wanita
itu lebih cepat goncang pendapatnya dalam menghadapi uji coba dan keculitan
hidup. Wanita juga kurang teguh dalam menghadapi hal-hal yang ia tidak senangi,
wanita lebih mudah gembira dan cepat susah. Pendapat para ulama’ di atas memang
bukan tanpa alasan. Saat ini saja, seperti pembahasan artikel saya ini, dari
1.144 kasus yang ada, lebih bayak hampir 70 porsen adalah cerai gugat atau
perceraian yang diajukan oleh pihak istri. Memang istilah cerai gugat dalam
fiqh munakaht tidak populer, akan tetapi beberapa peluang istri untuk lepas
dari suami itu ada, jika dipandang perlu karena sudah tidak tahan menderita
misalnya, itu boleh dilakukan dengan
mengajukannya ke Pengadilan Agama sebagai hakim yang adil. beberapa hal itu
adalah;
Khulu’ ini disebut oleh para fuqaha, adalah
perceraian yang disertai dengan sejumlah harta sebagai ’iwadh (pengganti) yang diberikan istri kepada suami untuk menebus
diri agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’, mubara’ah ataupun talak. Hukum Islam memberi jalan kepada istri yang
mengendaki perceraian dengan mengajukan khulu’,
sebagaimana hukum Islam memberikan hak talak
kepada suami. Ini berdasarkan ayat 229 dari surat Al-Baqarah, “..jika kamu
khawatir bahwa keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak
ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya..”.
Zihar adalah hak atau
peluang bagi istri untuk lepas dari suami. Zihar
dalam bahasa arab artinya punggung. Perkara zihar adalah jika suami menyamakan punggung istrinya dengan
punggung ibu kandungnya sendiri. dan kata-kata, “punggungmu sama dengan
punggung ibuku” jika terlontar maka ada beberapa konsekuensi hukum yang
menyertainya, yakni istri boleh mengadukan halnya kepada hakim, dalam hal ini
Pengadilan Agama jika dia tidak merasa aman berada di dekat suami, menunggu
suami mencabut ziharnya dan membayar kaffarah zihar. Konsekuensi kedua, jika
suami tidak mencabut ziharnya sampai
120 hari sejak diucapkan, maka Hakim berhak menceraiakn keduanya, karena
melanggar hukum-hukum Allah, yakni surat Al-Ahzab ayat 4.
Dalam ayat ini dengan tegas Allah
menyatakan, “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya. Dan tidak menjadikan istri-istri yang kamu zihar itu sebagai
ibumu…”. Dalil inilah yang membolehkan zihar.
Dan zihar statusnya dengan talak ba’in atau tidak bisa rujuk
kembali. Jika suatu saat suami menyesali perbuatannya, maka dia harus membayar kaffarah (denda) yakni, memerdekakan
seorang budak, atau berpuasa berturut-turut selama 2 bulan tanpa diselingi, dan
jika tidak mampu, boleh memilih opsi yang ketiga yakni, memberi makan 60 orang
miskin.
Lalu peluang istri untuk lepas
dari suami yang ketiga adalah Ila’. Ila’ adalah sumpah suami, kepada istri untuk tidak mendekatinya
atas nama Allah. Jika suami berkata, “Demi Allah, saya tidak akan menggauli
istriku, atau Demi Allah, saya tidak akan mendekati istriku selamanya, atau
Demi Allah saya tidak akan mencampuri istriku selama lima blan” maka jatuhlah
hukum ila’ kepada suami. Allah
memberi batas selama 4 bulan, ini sesuai dengan firmanNya dalam surat
Al-Baqarah ayat 226-227. Dalam ayat ini, Allah memberikan batas maksimal 4
bulan kepada suami untuk mecabut ila’nya
dengan beberapa syarat. Diantaranya, memberi makan orang miskin sebanyak 10
orang, atau memberi pakaian orang miskin 10 orang, atau memerdekakan seorang
budak atau bisa juga berpuasa berturut-turut sebanyak 3 hari. Hal ini berdasarkan
surat Al-Ma’idah ayat 89.
Nah jika dalam masa penantian 4
bulan, suami tidak mencabut ila’ nya
atau sumpahnya, maka istri berhak mengajukan masalahnya ke hakim, atau
Pengadilan Agama untuk meminta pemisahan hubungan (cerai) atas suaminya. Dan
yang keempat peluang istri untuk lepas dari suami adalah li’an. Li’an adalah perbuatan menuduh istri
berzina. Ini didasarkan pada ayat 6-7 surat An-Nur. Allah berfirman,
“orang-orang yang menuduh istrinya berzina padahal mereka tidak mempunyai
saksi-saksi selain dari mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat
kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang
yang benar. Dan sumpah yang kelima, bahwa laknat Allah akan ditimpakan
kepadanya jika ia termasuk orang-orang yang berdusta”.
Khusus masalah li’an, jika itu terjadi maka tidak bisa
kembali untuk selama-lamanya. Artinya tidak bisa menikah kembali dengan bekas
istrinya walaupun melalui proses muhallil.
Dan perkara li’an ini untuk
saat-saat ini sangat rawan dimasyarakat kita. Dengan populernya istilah
selingkuh, maka menjadi peluang sangat lebar bagi suami untuk menuduh istrinya
berzina. Karena selingkuh identik dengan hubungan suami-istri. Dan tahun
kemarin menurut data Pengadilan Agama Bima, selingkuh termasuk penyebab perceraian
terbanyak.
Selain empat peluang istri dalam
melepaskan ikatan pernikahannya, ada empat peluang yang sama-sama antara suami
dan istri, yakni perceraian yang disebabkan akbiat Syiqaq (krisis
pertengkaran yang terus menerus memuncak antara suami dan istri, dan hanya
hakim yang bisa menyelesaiakannya). Sebab kedua adalah karena pembatalan
(ini bisa terjadi jika dalam pernikahan yang sudah dilakukan, ditemukan
beberapa rukun yang tidak sesuai, misalnya masih adanya ikatan pernikahan
dengan orang lain, salah satu dari mempelai. Maka hakim dalam hal ini
Pengadilan Agama, harus membatalkan pernikahan tersebut).
Sebab yang ketiga bolehnya
melepaskan ikatan pernikahan antara suami dan istri adalah akibat Fasakh.
Istilah ini diartikan adalah pemutusan paksa atas pernikahan seseorang
oleh hakim (Pengadilan Agama), jika ditemukan tiga hal, yaitu bila
memudharatkan satu pihak, atau ditemukannya penyakit yang sangat merugikan
pihak lain, atau karena penderitaan kepada istri akibat tidak adanya nafkah
lahir dan batin terus-menerus. Penderitaan lahir batin bisa diartikan dalam
konpilasi hukum Islam adalah, jika suami KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga),
Impoten, Mandul atau Struk, Gila dan sebagainya. Dan sebab yang keempat adalah
akibat meninggal dunia. Apabila salah satu pihak (suami-istri)
meninggal, maka putuslah hubungan suami istri dengan sendirinya. Dan harus
menunggu selama empat bulan sepuluh hari sebagai masa berkabung atau masa ihdad.
Beberapa faktor yang menyebabkan
jatuhnya cerai talak atau gugat di Pengadilan Agama, perlu dijadikan pelajaran
bagi kita semua, dalam memutuskan untuk menikah. Yang paling dominan adalah
faktor ekonomi. Pemberian nafkah adalah wajib bagi suami, dan istri wajib
memelihara nafkah yang dihasilkan suami, dan juga wajib memelihara diri ketika
suami keluar mencari nafkah. Sulitnya lahan pekerjaan, atau kurang kreatifkah
kita menemukan peluang kerja, ini menjadi ancaman percerain selanjutnya. Jika
memang gugat cerai yang mendominasi, berarti ada ketidak puasan istri, atas
belanja yang diberikan suami kepadanya. Dari itu tanamkan sifat sederhana dalam
hidup, menerima apa adanya dan sabar serta terus berusaha. Karena jika suami
atau istri tidak kerja, menjadi masalah selanjutnya, yakni dengan tidak
senangnya mertua.
Dan faktor perceraian di
Pengadilan Agama Bima adalah faktor tidak akurnya menantu dan mertua. Harusnya
para orang tua, memahami bahwa pernikahan adalah peralihan tanggung jawab dari
orang tua kepada suami. Faktor mertua
juga bisa akibat belum matangnya usia pernikahan, atau kembali kemasalah
pertama karena faktor ekonomi, sehingga anak harus bergantung pada orang
tuanya, dan bisa juga faktor cinta yang buta. Menantu sebenarnya kurang
direstui, tapi anak memaksakan diri, padahal dia harus serumah dengan orang
tuanya, atau tidak bisa mandiri.
Dan faktor selanjutnya adalah
faktor KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), juga faktor selingkuh mewarnai
kasus-kasus perceraian di Pengadilan Agama Bima. Dan menurut pihak Pengadilan,
perceraian yang tembus angka 1.144 ini adalah sebuah peningkatan. Artinya kalah
banyak dengan tahun-tahun sebelumnya. Dari itu tugas kita bersama, untuk
menimalisir perceraian yang terjadi. kembalikan fungsi BP4 yang ada di KUA-KUA,
P3N harusnya membawa pasangan yang kedapatan chek-chok untuk dinasehati kembali seperti yang dilakukan saat awal
menikah, sebelum ke Pengadilan.
Senyampang saya memberikan
nasehat nikah di KUA, banyak memang pasangan yang bermasalah. Saya mengatakan
itu masalah, karena beberapa dari mereka terkadang tidak bisa baca Al-Qur’an.
Padahal Al-Qur’an adalah penyejuk jiwa, kitab suci ummat Islam, penuntun hidup,
dan pelajaran-pelajaran yang lain. Apa jadinya kalau orang Islam sendiri, tidak
memahami kitabnya. Bagaimana shalat, puasa, zakat dan aktifitas rumah tangganya
kalau Al-Qur’an tidak mereka pahami. Bagaimana melayani suami dan sitri,
melayani mertua, melayani tetangga dan bergaul. Kalau ini tidak dipahami, maka
wajar pertengkaran dalam rumah tangga terjadi dan berujung pada cerai.
Faktor lain, terkesan memaksakan
pernikahan. Artinya beberapa pasangan pengatin, terpaksa harus dinikah akibat
sudah hamil duluan. Sehingga mengakibatkan beberapa pihak dalam keluarga tidak
suka, nah dari sinilah timbul konflik dalam rumah tangga. Mungkin maksud hati
ingin tidak bertanggung jawab, akan tetapi dari pihak yang dirugikan akan
membawa perkaranya ke arah yang lebih besar, maka pernikahanlah solusi paling
akhir.
Selain itu, ada juga beberapa
pasangan yang menikah belum mempunyai pekerjaan. Terkadang pihak istri
mempunyai pekerjaan, suami tidak. Nah hal ini terkadang akan menimbulkan
preseden buruk dalam rumah tangga, karena suami selalu merasa tidak enak hati
sama istri, walaupun mungkin pihak istri
sudah merelakan hartanya untuk itu. Masalah lain akan timbul juga dari mertua,
yang menganggap menantu hanya enak-enak saja dirumah, istri yang kerja. Tekanan
batin terus-menerus akan menimbulkan pertengkaran dalam rumah tangga.
Dan beberapa masalah ketidak
matangan usia, cinta membutakan mereka untuk menikah. Padahal seluk beluk rumah
tangga belum mereka ketahui. Dari itu, saya mengajak kita semua untuk
memperhatikan beberapa faktor penyebab percerian ini, agar menjadi waspada kita
bersama. Pikirkan kembali matang-matang, konsultasikan dengan seluruh keluarga
jika kita ingin menikah atau ingin bercerai. Terkadang jika kita menikah kita
libatkan keluarga, penghulu, P3N dan orang-orang dekat kita. Tapi saat kita
ingin berpisah/bercerai, hanya diputuskan berdua saja. Dari itu kalau memang
percerian adalah solusi terakhir kenapa tidak untuk dilakukan, senyampang itu
yang terbaik yang diambil. Akan tetapi keputusan akhir itu harus diambil
setelah kita melakukan diskusi panjang dengan keluarga kedua belah pihak.
Akan tetapi, jika kita merasa
keluarga tidak bisa adil, maka carilah orang yang adil. P3N tempat anda daftar
nikah dahulu, bisa dimintai bantuan untuk mengantar anda ke Penghulu atau
kepala KUA untuk dinasehati kembali sebelum nasehat (mediasi) dilakukan di
Pengadilan Agama. Berusahalah bersikap “api dan air” dari salah satu kita. Jika
suami emosinya tinggi, istri haruslah lemah lembut. Namun sebaliknya, jika
istri yang emosinya tidak stabil, suami harus mengalah. Dari itulah sebelum
kita melangkah kearah pelaminan (menikah), proses saling kenal-mengenal itu
harus dilakukan secara detail dan jujur. Artinya, detail kebaikan dan keburukan
masing-masing pasangan. Dan jujur dalam artian, menceritakan apa yang menjadi
kebiasaan masing-masing pihak selama ini, agar menjadi antisipasi nanti saat
memutuskan untuk menikah.
Yang perlu diperhatikan lagi
dalam sebuah kasus percerian adalah, dampak yang akan ditimbulkan setelahnya.
Terkadang status duda dan janda, akan memberikan peluang negatif kepada kita,
lebih-lebih janda, karena orang yang pernah merasakan dengan yang belum pernah
akan berbeda, jika tiba-tiba menjadi terhenti. Belum lagi masalah biaya yang
dikeluarkan, baik saat menikah dulu ataupun perceraian. Dan yang paling penting
adalah psikologi anak, jika bercerai mempunyai anak. Anak yang mengetahui orang
tuangnya bercerai dan tidak mampu dikendalikan emosi pikirannya, dengan
memberikan pengertian, pemahaman akan menjdi fatal. Jangankan orang tua sampai
cerai, orang tua tidak cerai namun jarang dirumah apalagi berantem terus, akan
membuat anak tidak betah dirumah.
Anak dengan angka kriminal
tinggi, rata-rata akibat ketidak puasan mereka dirumah. Kurangnya perhatian,
kasih sayang dan pendidikan keluarga mengakibatkan anak-anak melakukan tindak
kriminal yang fatal. Bahkan kasus-kasus PSK (Perempuan Seks Komersial) di bawah
umur, rata-rata akibat rumah tangga orang tuanya berantakan. Kesenangan yang
harusnya mereka peroleh lebih banyak dirumah, tidak mereka dapatkan, akhirnya
mencari kesenangan itu di luar rumah, baik dengan Narkoba, minum-minuman keras
ataupun berjudi, mencuri dan merampok. Anak-anak ini butuh pendekatan secara
kekeluargaan, kasih sayang yang diberikan haruslah imbang antara ibu dan bapak.
Pendidikan tidak cukup mengandalkan yang didapat dari sekolah/madrasah saja,
akan tetapi pendidikan yang utama dan berjangka panjang adalah pendidikan
keluarga.
Dari itu kehati-hatian dan
pencegahan lebih baik, namun jika segala usaha sudah kita lakukan dan toh
terjadi juga apa boleh buat. Mungkin Allah memberikan jalan yang terbaik
melalui hal-hal yang kita tidak suka dan tidak mengerti. Jadikan perceraian
sebagai renungan diri, apakah yang kurang pada diri kita masing-masing. Bukan
masalahnya do’a “sakinah, mawaddah, warahmah” pengunjung dulu saat resepsi atau
saat akad tidak mustajab (diterima Allah), tapi bisa jadi kita tidak mengerti
akan maksud do’a itu, sehingga kita sia-siakan begitu saja. Wallahua’lam….
Penulis adalah Penyuluh Agama
Islam di Kemeneterian Agama Kota Bima dan Anggota PHBI Kita Bima.