Oleh : Musthofa Umar, S. Ag.
Gonjang ganjing perpolitikan
nasional, tentu kita semua paham. Dan sebentar lagi, NTB secara umum dan Kota
Bima secara khusus juga akan menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan ini.
NTB akan memilih Gubernur dan Wakil
Gubernur. Demikian halnya dengan Kota Bima akan memilih Walikota dan Wakil
Walikota untuk periode 2013-2018. Seiring dengan hal ini, menjadi inspirasi dakwah saya
sebagai Penyuluh Agama Islam, bagaimana harusnya umat Islam melihat politik. Sehingga
manfaatnya dirasakan, untuk kemaslahatan bersama.
Politik kadang orang bilang
kejam, tidak mengenal kawan dan saudara. Yang ada dalam politik adalah
kepentingan dan tujuan yang tercapai. Akan tetapi tentu Islam tidak membenarkan
segala cara untuk mencapai kepentingan dan tujuan itu, bila cara itu haram atau
merupakan larangan Allah SWT. Nah sebenarnya Islam sendiri seperti apa sich melihat politik itu? Hal ini
menjadi penting karena Islam adalah pemilih terbesar, apalagi untuk NTB dan
Kota Bima. Islam sebagai bagian dari politik, tentu harus mempunyai peranan
penting dan memosisikan diri pada posisi yang tepat.
Islam adalah agama yang syamil wamutakamil (menyeluruh, integral
dan terpadu). Ia adalah agama yang sempurna dan diridhai Allah, sebagaimana
dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 19, “sesungguhnya agama di sisi Allah
ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi kitab, kecuali
setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian diantara mereka. Barang siapa
ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh Allah sangat cepat
perhitungan-Nya”. Demikian halnya pada Surat Al-Maidah ayat 3 dikatakan,
“….Pada hari ini, telah aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku ridhai
Islam sebagai agamamu. Tetapi, barangsiapa terpaksa, karena lapar bukan karena
ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. Karena
ia agama yang integral, maka tak ada satu aspekpun dalam kehidupan ini yang
tidak terangkum dalam ajaran Islam, termasuk politik.
Lihat saja NU (Nahdlatul Ulama)
pada dasawarsa 1980an dan 1990an terjadi perubahan mengejutkan di dalam
lingkungan ormas terbesar di Indonesia ini. perubahan yang paling sering
disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah, proses
“kembali ke khittah 1926”. NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan
kembali menjadi ‘jam’iyah diniyah’,
bukan lagi sebagai wadah politik. Dengan kata lain, sejak Muktamar Situbondo
(1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai politik mana pun termasuk
Golkar dan PDI pada masa itu. Karena kiai lebih condong ke PPP (Partai
Persatuan Pembangunan), yang lebih bisa mewadahi kemauan para kiai pada saat
itu. Dengan adanya komitmen ini, NU tidak lagi dicurigai oleh pemerintah,
sehingga segala aktivitasnya, pertemuan, seminar dan lain-lain tidak lagi
dilarang, malah sering difasilitasi peremerintah.
Kejatuhan Orde Baru (Sueharto)
tahun 1998, menjadikan kran demokrasi terbuka lebar. Gelora reformasi
digaungkan oleh elit-elit bangsa ini. Demikian halnya dengan sistem kepartaian
di Indonesia. dari tiga parti menjadi multi partai, demikian halnya dengan
mudahnya ormas-ormas Islam mendirikan partai. Misalnya NU dengan PKB,
Muhammadiyah dengan PAN dan PKS, PPP, PBB, PKNU dan Partai Masyumi dan lain-lain. Dari
partai-partai yang berlabel Islam ini, tidak jarang pengurusnya adalah kiai
atau mereka-mereka dari kalangan pesantren, yang selama ini dikenal hanya
bergelut dengan kitab kuning dan sarung saja. Walaupun selanjutnya menyatakan
diri terbuka dan memberikan kesempatan non
Islam masuk dan ikut sebagai pengurusnya.
Tentu dari ulasan di atas,
kemampuan kiai dalam bidang agama Islam tidak kita ragukan. Dan kalau mereka
terjun dalam dunia politik, tentu umat sebagai pengikut fatwa dan
ceramah-ceramah para kiai, ingin meniru dan ikut apa kata kiainya. Nah jika
kiai sudah memulai, kenapa tidak dengan umat? Dan itulah sebagian fungsi kiai,
pemimpin umat. Agar umat tidak salah memilih dan umat mempunyai pegangan kuat,
maka sandaran mereka adalah ulama (kiai/tuan guru). Dan hal inilah yang terjadi
dalam perpolitikan sejak Orde Baru runtuh. Dari tiga partai menjadi multi
partai, dan sejak itu pula di sebagian wilayah Indonesia, ada kiai yang menjadi
Bupati, Gubernur bahkan Presiden (Gus Dur). Termasuk NTB yang saat ini dipimpin
oleh seorang Tuan Guru.
Proses politik yang nampak di
Indonesia akhir-akhir ini, cukup menyisakan PR (pekerjaan rumah) bagi kita,
bagi cendikiawan dan pemimpin kita. Bagaimana tidak, para pelaku politik yang
biasanya dilakukan profesional, kali ini sudah banyak wajah-wajah baru yang
ikut nimbrung dalam pentas politik
praktis. Tidak kurang tokoh dari berbagai agama, ikut andil yang kemudian
secara otomatis mereka juga mengantongi isu-isu dari agama mereka
masing-masing. Hingga yang nampak adalah upaya mencari dukungan dari massa dan
umat tersebut tidak pernah lepas dari eksplorasi mereka terhadap statemen agama
dan ayat-ayat yang dapat menjustifikasi dari kepentingan-kepentingan politik.
“Perang” dalih agama tidak bisa dielakkan antara tokoh agamawan dan pemimpin
umat. Dalam kondisi demikian, agama hanya dijadikan sebagai bancakan politik,
bukan sebagai paradigma dan target dari perjuangan. Inilah yang terkadang
membuat citra jelek agama dan politik.
Seorang Ulama Mesir terkemuka dan
pendiri Ikhwanul Muslimin, Imam Syahid Hasan al-Bana mendifinisikan politik
sebagai kegiatan penyelenggaraan persoalan-persoalan internal maupun eksternal.
Yang dimaksud dengan kegiatan internal adalah mengurus soal pemerintahan,
menjelaskan fungsi-fungsinya serta merinci hak-hak dan kewajibannya. Kemudian
melakukan pengawasan terhadap penguasa. Mematuhinya jika mereka dalam kebenaran
dan mengkritik serta meluruskannya jika mereka berbuat kesalahan. Sedangkan
yang dimaksud dengan kegiatan eksternal politik adalah memelihara kemerdekaan,
kedaulatan dan kebebasan sebagai bangsa dan umat serta menghindarkannya dari
penindasan dan intervensi bangsa lain. Sebaliknya pemerintah yang berkuasa di
suatu negeri muslim, harus dapat menghantarkan bangsanya sebagai bangsa yang
terhormat dan tidak hidup tergantung dari belas kasihan negara-negara lain.
Melihat definisi Hasan al-Bana
tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa politik adalah sarana ibadah dan
sekaligus juga mengandung muatan-muatan dakwah berupa amar ma’ruf wa nahyu anil munkar. Jika selama ini ada keengganan
untuk membicarakan dan terjun dalam politik terutama bagi muslimah, hal
tersebut disebabkan karena paradigma tentang politik yang populer adalah
paradigma Barat. Seperti misalnya pendapat Machiavelly mengatakan, politik
adalah tujuan mengalalkan segala cara. Sehingga dari pernyataan Machiavelly
ini, timbul teori yakni sah-sah saja orang merebut atau mempertahankan
kekuasaan dengan segala cara.
Nah tentu hal ini kita tidak
inginkan, apalagi kalau sebagian tokoh-tokoh partai kita adalah orang Islam.
Tentu dalam Islam banyak pelajaran yang diambil, bagaimana harusnya
ber-akhlakul karimah dalam politik. Akhlak yang diajarkan Rasulullah SAW bukan
hanya dalam urusan ibadah mahdhah saja, melainkan ibadah-ibadah ghairu mahdhah,
termasuk politik. Artinya, Islam kaffah dalam segala sendi kehidupan harus
dipraktekkan, harus ditegakkan dan diberikan contoh yang baik bagi umat. Mereka
adalah pemimpin, dan rakyat adalah orang yang dipimpin. Dalam hal ini pula,
sudah ada hadits Nabi yang mengatakan, “kalian adalah pemimpin dan akan diminta
pertanggung jawabannya kelak atas kepemimpinannya”. Jadi kepemimpinan dalam
politikpun juga sama, sebagai pemimpinan umat.
Politik harusnya menjadi sarana
berkhidmat pada umat atau rakyat dengan tujuan mendapatkan ridha Allah SWT.
Sehingga kebersihan dan kelurusan niat dan cara-caranya pun menjadi sebuah
keharusan dalam berpolitik. Dalam konsep Islam pemimpin adalah pelayan bagi
rakyatnya (orang yang dipimpinnya). Ada ungkapan, “sayyidul qaumi khadimuhum” (pemimpin suatu bangsa adalah pelayan
bagi bangsanya). Pemimpin dalam pandangan Islam juga bertugas membebaskan
rakyatnya dari segala rasa lapar dan takut. Ia juga wajib menjadikan kekuasaan
sebagai amanah dan alat untuk menegakkan kebenaran dan memerangi kemungkaran.
Politik adalah taktik atau cara,
yakni cara untuk meraih sesuatu. Termasuk Rasulullah SAW bertaktik (politik)
dalam hal berperang dengan orang-orang kafir pada zaman dahulu. Termasuk
Rasulullah SAW sering mencontohkan diplomasi baik dengan raja-raja yang kafir
dan diminta masuk Islam oleh beliau. Dan ingat Rasulullah SAW mempunyai empat
sifat wajib yang harus diketahui dan diikuti oleh kita umatnya. Ada Shiddiq (Jujur), Amanah (Dipercaya), Thabligh (menyampaikan)
dan Fathanah (cerdas). Kalau ulama
adalah pewaris Nabi dalam hal ilmu agama dan tingkah laku Nabi secara
keseluruhan, pemimpin juga pewaris Nabi dalam hal kepemimpinannya. Amanah
(Dipercaya) adalah sifat yang diwariskan setiap pemimpin. Kalimat amanah kalau dalam kaidah ilmu nahwu-sharraf bisa berarti kepercayaan,
atau orang yang dipercaya. Pemimpin yang terpilih, adalah orang yang
‘dipercaya’ dengan ‘kepercayaan’ masyarakat melalui pemilihan secara jujur dan
adil.
Maka dari itu, pemimpin yang
lahir dari proses pemilihan umum pada partai politik, harus mengikuti salah
satu sifat Rasulullah SAW tersebut. Dengan demikian, jika mereka para pemimpin
tersebut tidak dapat dipercata dan menyalahi kepercayaan ‘khianat’ rakyat, maka
sudah melenceng dari warisan Rasulullah SAW tersebut. Dari sinilah umat harus
merenungi lebih dalam lagi, sebelum menentukan pilihannya untuk menjadikan
mereka sebagai pemimpin-pemimpinnya di masa depan. Latar belakang, serta program kerja mereka
harus dipaparkan pada rakyat. Dan rakyat tidak ‘menjual’ kepentingan sesaat
dengan uang semata (politik uang). Jika ini yang terjadi, menjadikan awal yang
buruk. Dan apabila awalnya sudah buruk, maka selanjutnya perjalanan dan
akhirnyapun akan buruk pula.
Dalam sebuah hadits Imam Muslim
diungkapkan, “barang siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran, maka
hendaknyalah mencegahnya dengan tangannya, apabila tidak sanggung maka dengan
lisannya, dan jika tidak sanggup hendaklah dengan hatinya. Dan itu termasuk
selemah-lemahnya iman”. Kata-kata tangan dalam hadits ini, tentu bukan dengan
tindakan, tapi dengan kekuasaan. Jadi orang yang berkuasa lebih mempunyai porsi
untuk mencegah kemungkaran dari pada kita yang tidak berkuasa. Misalnya dengan
menandatangani perda anti miras, judi dan lain-lain. Sehingga bisa dilakukan
dan dilaksanakan dalam sebuah wilayah. Jangan terbalik, kekuasaan dijadikan
untuk melegalkan hal-hal yang mungkar. Dan sahabat Utsman bin Affan pernah
berkata, “al-Qur’an lebih memerlukan kekuasaan dari pada kekuasaan membutuhkan
al-Qur’an. Dan karena politik merupakan bagian dari ke-universal-an Islam.
Maka, setiap muslim meyakini bahwa Islam memiliki sistem politik yang bersumber
dari Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dikembangkan oleh para
sahabat dan salafusshaleh sesuai dinamika perkembangan hidup manusia setiap
masa. Mudah-mudahan kita sebagai rakyat dan bawahan, mampu memilih pemimpin
yang baik untuk kemajuan bangsa, negara dan agama. Amin.
Penulis adalah Penyuluh Agama
Islam di Kementerian Agama Kota Bima.