Oleh : Mustapa Umar
Apa hubungangannya? Oleh karena itu, saya mencoba menulis artikel ini agar bisa “berhubungan”. Munculnya lagu Udin Seduni, oleh seorang “artis” dadakan You Tube Udin asal Lombok Timur ini, seperti “memicu” munculnya nama-nama Muhammad Nazarudin, Hakim Syarifudin, Syafaruddin dan Udin-udin yang lain. Persis kasus “Goyang Ngebor” Inul, eh tidak berselang lama kasus Lumpur Lapindo, akibat “dibor” merebak dan sampai sekarang tidak begitu jelas. Entah bersalah apa tidak, atau terbukti apa tidak, UDIN seharusnya memasukkan satu nama lagi. “udin yang suka korupsi, namanya KORUDDIN karena sulit penyebutannya, biasanya dilebutkan menjadi QORUDIN. Sejarah Qorun pada zaman Fir’aun dan Nabi Musa di Mesir, adalah orang yang suka menimbun harta benda, sehingga Allah SWT menenggelamkannya di Sungai Niil, akibat keserakahannya terhadap harta itu. Dan kalau ada yang menemukan harta terpendam, orang bilang harta Karun, artinya Hartanya Qorun.
Tapi apalah artinya Judul, itu memang saya sengaja. Mana mungkin, anda bisa mengetahui apa yang saya tulis hanya dari judul, kalau tidak membaca seutuhnya tulisan saya ini. Dalam dunia Jurnalistik, judul memang ibarat wajah, jadi melihat wajah ga’ menarik, lalu perkenalannya tidak berlanjut? Malah itu diskriminasi orang namanya. Kalau KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Alm., Presiden kita ke empat ini dalam Buku Kumpulan Humor Gus Dur, berbicara tentang cara orang menilai. Pertama, yang suka menilai dari luarnya. Dulu Gus Dur pernah mengelap piring yang akan dipergunakan untuk menyajikan hidangan kepada tamu kyainya dengan CD (Celana Dalam). Akan tetapi CD ini baru dibelinya, kebetulan juga Gus Dur memang kepingin dengan hidangan itu. Nah agar hidangan itu tidak dimakan tamu kyainya, Gus Dur pura-pura membuka korden jendela ruang tamu, sehingga tembus ke dapur dan tamu kyai ini melihat Gus Dur mengelap piring itu dengan CD.
Bisa ditebak, jajan yang dihidangkan tidak disentuh sedikitpun dengan tamu kyainya. Akhirnya Gus Dur mendapatkan semuanya. Kedua, ada namanya Teori “BH”. Dulu teori ini juga pernah di keluarkan Gus Iful (Saifullah Yusuf), Wakil Gubenur Jawa Timur ini waktu penyerahan ijin semua Radio di Hotel Cendana Surabaya pertengahan 2010 yang lalu. Beliau mengatakan, tidak usah melihat merknya, warnanya, ukurannya, jenis kainnya tapi tujuan orang kan dalamnya. Nah makanya jangan lihat judulnya, tapi terus baca saja lanjutan tulisan artikel saya ini. Dan sengaja dibikin santai tapi seirus. Serius ditulis dan serius untuk dilaksanakan.
Tulisan saya ini, akan membahasa tentang bagaimana kita memberantas KORUPSI yang kayaknya semakin “menjijikkan” saja. Sudah berbagai cara tapi masih belum mendekati, malah hasil survey Transparancy International Indonesia (TII) menunjukkan Indonesia merupakan Negara paling korup No. 6 dari 133 negara Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia saat ini 2,3 yang ternyata lebih rendah dari Negara-negara tetangga seperti Vietnam, Philipina, Malaysia, Bangladesh dan Myanmar. Sungguh sangat memalikan dan memilukan kita semua. Lain dari itu, Prof. Soemitro (Alm), sebagaimana dikutip oleh media cetak beberapa tahun lalu, bahwa kebocoran keuangan Negara mencapai 30%. Disamping memang penyebab sementara karena manajemen yang kurang baik dan control yang kurang effektif dan effesien, mempengaruhi merebaknya tindak pidana korupsi ini.
Apa sich korupsi? Akmaludin, salah satu tutor saya (Widyaiswara) di Balai Diklat Keagamaan Denpasar waktu itu, mengutip tulisan Tim Penerbit dari buku, Percepatan Pemberantasan Korupsi bahwa Fockema Andreae dalam Webster Student Dictionary 1960, mendefinisikan Korupsi dari bahasa Latin, corruption atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal dari kata corrumpere, yaitu suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa latin inilah diserap kedalam banyak bahasa dinegara-negara Eropa, seperti Inggris, Corruption, Corrupt, Prancis yaitu Corruption dan Belanda Corruptie (koruptie). Dari bahasa Belanda inilah kita menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Korupsi”.
Sedangkan Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwodarminto mengartikan Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Secara harfiah korupsi mempunyai arti kebusukan, keburukan, kebejatan, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata ucapan yang menghina dan memfitnah. Lain halnya dengan Erika Revida dari Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, menulis dalam Tesisnya, mengutip pernyataan Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatanformal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Kembali Erika Revida mengutif tulisan Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
Kalau Prof. Muljanto menulis, dalam Buku Modul Percepatan Pemberantasan Korupsi bahwa perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana adal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidanannya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsure-unsur :
a. Perbuatan manusia
b. Memenuhi rumusan dengan undang-undang (syarat formil)
c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil)
Sedangkan Evi Hartanti menilai, dalam bukunya Tindak Pidana Korupsi bahwa syarat formil harus ada karena asas legalitas pasal 1 ayat 1 KUHP. Dia menilai Indonesia sudah pada taraf Kejahatan Korupsi Politik, dia mengatakan korupsi politik dilakukan oleh orang atau institusi yang memiliki kekuatan politik, atau konglomerat yang melakukan hubungan transaksional kolutif dengan pemegang kekuasaan. Selain korupsi politik, kultur juga mempengaruhi berkembangnya korupsi di Negara Indonesia, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh B. Sudarsono dalam bukunya Korupsi di Indonesia, yang secara panjang lebar mengurai sejarah kultur Indonesia mulai jaman Multatuli, waktu itu penyalahgunaan jabatan merupakan suatu system.
UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU no. 31 tahun 1999 tentang pemberantasa tindak pidana korupsi pada butir a dan b; Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat secara luas sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dan menyusul UU no. 30 tahun 2002 tentang KPK juga tentang PP no 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran serta masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Hal ini menjadi dasar kita semua untuk memberantas penyakit yang mewabah ini.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup usur-unsur sebagai berikut:
1. Perbuatan melawan hukum;
2. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
3. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
5. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
6. Penggelapan dalam jabatan;
7. Pemerasan dalam jabatan;
8. Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
9. Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Ada beberapa Sebab-sebab terjadinya praktek korupsi. Singh (1974) menemukan dalam penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di India misalnya, adalah kelemahan; moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2 %), hambatan struktur sosial (7,08 %). Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
1. Peninggalan pemerintahan kolonial.
2. Kemiskinan dan ketidaksamaan.
3. Gaji yang rendah.
4. Persepsi yang populer.
5. Pengaturan yang bertele-tele.
6. Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Di sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi yaitu :
a. Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b. Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
c. Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap.
d. Adanya berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi. Misalnya;
Ø Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat dihindarkan.
Ø Menurut kebudayaannya, orang Nigeria Tidak dapat menolak suapan dan korupsi, kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
Ø Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Dari pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
a. Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya.
b. Warisan pemerintahan kolonial.
c. Sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
d. Adnya pengawasan yang kurang efektif dari atasan masing-masing.
e. Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
f. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah.
g. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
h. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
i. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
j. Lemahnya ketertiban hukum.
k. Lemahnya profesi hukum.
l. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
m. Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
n. Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".
Kalau melihat sebab-sebab terjadinya korupsi “peluang” sangat besar sekali. Dari system, media, pimpinan (pemegang kebijakan) sampai kepada rakyat-pun jika cuek dan tidak tertarik membahas korupsi, maka menjadi peluang korupsi itu semakin meraja lela. Sebuah kaidah ushul fiqh mengatakan, “lilwasaaili hukma al-faqooshidi”, artinya; Bagi perantara sesuatu perbuatan yang dimaksud itu hukumnya sama dengan maksudnya. Wasilah (perantara) dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang menjadi penyebab sempurnanya suatu perbuatan. Misalnya orang meminjami uang kepada orang lain untuk berjudi atau membeli sabu-sabu dan sebagainya, maka ia termasuk ikut juga menerima dosa sebagaimana orang yang melakukannya.
Begitu sebaliknya, jika membatu orang untuk kebaikan, maka ia mendapatkan pahala sebagaimana orang yang melakukan kebaikan tersebut, seperti membantu pendirian tempat ibadah, madrasah dan sebagainya. Teori ini diambil dari hadits nabi, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ”man dalla ‘alaa khaiyri falahu mitslu ijri faa ‘ilihi” (siapa saja yang member petunjuk kepada perbuatan yang baik, maka baginya pahala seperti pahala orang yang melakukannya. Nah bagi kita sebagai pemegang kebijakan, pemimpin dan tahu hal itu korupsi, maka hendaknya kita berusaha mencegah dan jangan sampai member peluang sedikitpun, karena sesuai kaidah ushul fiqh ini, kita adalah sama dengan yang melakukan.
Padahal dalam GBHN-GBHN jelas dikatakan, “Bahwa bangsa dan pemerintah Indonesia bercita-cita menuju kepada apa yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945. Pembangunan Nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia dan Masyarakat Indonesia seutuhnya. Hal ini berarti adanya keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara pembangunan bidang jasmani dan rohani, antara bidang material dan spiritual, antara bekal keduniaan dan ingin berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesame manusia dan dengan Lingkungan hidupnya secara seimbang. Pembangunan seperti tersebut diatas menjadi pangkal tolak pembangunan bidang agama.”
Dari itu, kata tutor saya Pak Dimyati (Widyaiswara) di Balai Diklat Keagamaan Denpasar, waktu itu hendaknya Pola Pikir (mind Setting) Pegawai dan masyarakat Indonesia pada umumnya harus dirubah. Karena Pola pikir kebanyakan masyarakat Indonesia sekarang, masih memiliki pola pikir yang kurang menguntungkan untuk diri mereka sendiri. Atau dengan kata lain, kebanyakan masyarakat Indonesia masih memiliki pola pikir masyarakat di era industrialisasi. Padahal, kita sekarang hidup di era yang baru; era informasi. Banyak hal dan kenyataan hidup orang-orang di era industrialisasi yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kenyataan yang ada sekarang. Pada era industrialisasi, kita dididik untuk menjadi seorang pekerja industry, dengan segala konsekuensi yang ada. Konsekuensi seperti apa?
Buku Pola Pikir Pegawai Negeri Sipil menulis, bahwa konsekuensi yang paling nyata dan dialami oleh kebanyakan orang pada era industrialisasi adalah bertambahnya maalah sosial masyarakat, keluarga, sebagai komunitas terkecil, telah menjadi salah satu sumber dari masalah sosial tersebut. Orang tua yang harus bekerja dari pagi hingga malam hari, karena tuntuttan hidup, semakin kehilangan kontrol dan pengawasan terhadap anak-anaknya. Anak-anak yang tumbuh tanpa bimbingan orang tua akan menimbulkan masalah sosial yang besar bagi masyarakat, sekarang dan dimasa yang akan datang.
Dan tulisan saya ini, mari kita renungkan bersama, kita simpulkan bersama kemana langkah yang harus kita tempuh. Akhirnya saya tutup dengan sebuah syair lagu idola saya, Iwan Fals dalam album 50-50 dengan judul Rubah.
Zaman berubah, perilaku tak berubah….
Orang berubah, tingkah laku tak berubah….
Wajah berubah ko’ menjadi lebih susah…
Manusia berubah… berubah… rubah..
Lembaga berdiri berselimut korupsi…
Wibawa menjadi alam melindungi diri….
Pendidikan adalah anak tiri yang kesepian…
Agama sebagai topeng yang dicipta…
Kemiskinan merajalela, yang kaya semakin rakus saja…
Hukum dan kesehatan diperjual belikan….
Oleh kepentingan ngawur….
Mudah-mudahan kita, keluarga kita dan semuanya terhinar dari masalah-msalah korupsi, sehingga bangsa yang kita cintai ini sejahtera. Maka kalau bangsa sudah sejahtera, sejahteralah kita semua… Amin. Wallahua’lamubisshawab.
Penulis, adalah Penyuluh Agama Islam di KUA Kec. Mpunda Kemenag. Kota Bima NTB.