Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pdi.
Judul opini saya kali ini
kayaknya menggelikan sekali. Namun sebenarnya untuk keprihatinan kita semua
atas kejadian yang menimpa anak-anak didik kita, beberapa hari lalu (Bimeks
30-08) menulis adanya siswa yang kedapatan dalam HP (hand phone) nya terdapat file-file film dewasa (porno) dirazia
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Kejadian yang memperihatinkan kita
semua, terutama lembaga pendidikan ini, apabila tidak diberantas dan diantisipasi
sedemikian rupa, maka sama dengan kita akan menciptakan generasi-generasi porno
kedepannya.
Jangan sampai anak-anak didik
kita kecanduan film porno yang nantinya akan berakibat fatal untuk masa
depannya. Sudah sering kita lihat dalam berita media, banyak anak-anak yang
terlibat perkosaan rekannya, bahkan orang tua memperkosa anak di bawah umur
akibat kecanduan film dewasa ini. Bahkan pemerintah sendiri, kran ke arah
tesebut sudah mengupayakan utuk ditutup melalui dikeluarkannya UU
(Undang-undang) Pornoaksi dan Pornografi. Demikian halnya melalui Kementrian Komunikasi
dan Penyiaran mengeluarkan pemblokiran situs-situs yang mengandung unsur porno.
Agar tidak diakses secara bebas oleh mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
Lalu harusnya dari mana kita akan
mulai membina mereka? Yang jelas tidak cukup dari sekolah saja, atau bahkan
orang tua saja. Akan tetapi lingkungan masyarakat harus terlibat agar generasi
yang kita bentuk sesuai dengan tujuan bangsa dan agama. Coba kita mulai dari
fungsi sebuah Rumah Tangga, karena dari beberapa faktor pembentukan sebuah
karakter baik bagi seorang anak, yang berperan banyak adalah Rumah Tangganya
masing-masing. Artinya dalam rumah tangga, jelas ada Bapak dan Ibu mereka
(orang tua). Seorang pakar Psikologi
Sosial Ogburn menulis bahwa fungsi keluarga itu ada tujuh. Adapaun fungsi yang
tujuh ini adalah, affectional, ekonomic,
educational, protective, recreational, family status dan religius.
Pembagian Ogburn ini, jauh lebih
lengkap dari pendapat Prof. Dr. J. Verkuyl pakar Psikologi Sosial lain, bahwa
fungsi Rumah Tangga atau Keluarga hanya tiga saja, yakni; mengurus keperluan
materi anak, menciptakan suatu “home”
bagi anak dan tugas pendidikan saja. Yang ditulis Ogburn sangat berkaitan
antara satu dan lainnya. Karena beliau memfungsikan keluarga dan lingkungan. Akan
tetapi oleh Drs. H. Abu Ahmadi dalam bukunya Psikologi Sosial menyempitkan pendapat Ogburn menjadi tiga
saja, yakni; menstabilisasi situasi keluarga termasuk ekonomi keluarga,
mendidik anak dan pemeliharaan pisik dan psikis keluarga, termasuk dalam hal
ini adalah mengenai kehidupan religiusnya.
Nah faktor-faktor keluarga
terhadap perkembangan anak bisa di lihat dari empat faktor. Pertama,
faktor Perimbangan Perhatian. Artinya dalam memperhatikan anak,
harusnya ada perimbangan tugas masing-masing antara Bapak dan Ibu. Bukan berarti
Bapak sebagai pencari nafkah, lalu tugas memperhatikan anak hanya tugas seorang
Ibu saja. Atau sebaliknya, jika Ibu yang kerja maka tugas memperhatikan anak
adalah Bapak. Apabila keseimbangan ini tidak seimbang maka terjadilah
perkembangan anak tidak wajar alias keluarga tidak stabil. Dari itu harusnya
antara Bapak dan Ibu harus berimbang pembagian tugas memperhatikan anak, tidak
boleh satu yang memonopoli. atau banyak kita temukan, misalnya si anak keliru,
satu yang marah satu membela, ini juga tidak bisa membentuk keluarga menjadi
stabil.
Tetapi keluarga yang stabil bukan
satu-satunya kebutuhan anak. Masih ada kebutuhan lain yang dituntut oleh anak
misalnya pendidikan. Kalau demikian nanti akan terjadi bahwa orang tua mampu
menyediakan kebutuhan materi anak-anaknya secara memuaskan, akan tetapi
kebutuhan pendidikan tidak pernah terpenuhi. Anak tidak pernah dipersiapkan
menjadi manusia dewasa seperti tujuan yang hendak dicapai oleh sebuah proses
pendidikan. Anak berkembang “liar” tanpa adanya pola yang hendak dituju. Mereka
tumbuh tanpa tuntunan norma yang pasti. Kalau tidak ada kepastian pada diri
anak, bagaimanakah ia harus berbuat atau bersikap karena memang tidak pernah
diberitahu dan dibimbing oleh orang tuanya.
Situasi seperti ini disebut miss educated. Kadang-kadang hal
demikian bisa terjadi pada sebuah keluarga, apabila orang tua mereka
betul-betul tidak tau cara mendidik anak-anak mereka. Atau bisa saja terjadi
karena faktor terlalu sibuk memenuhi kebutuhan ekonomi saja (kerja). Stabil seperti
di atas juga termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan. Bukan saja perhatian yang
harus stabil antara Bapak dan Ibu, akan tetapi stabil pemenuhan kebutuhan anak,
antara ekonomi, perhatian dan pendidikannya. Dalam beberpa literatur Hadits,
bahwa nanti akan ada istilah orang pailit (bangkrut) di Akhirat gara-gara
amalnya banyak diambil. Yakni orang tua yang rajin shalat, bersedekah, haji,
puasa akan tetapi anaknya tidak pernah dididik agama dan karena itu dia
melakukan banyak dosa dan pelanggaran atas perintah Allah SWT, maka Allah akan
memberikan pahalanya kepada anak-anaknya.
Lain halnya, jika orang tua sudah
menyarankan, mendidik anaknya dengan agama dan pendidikan (baik), namun anaknya
yang memang tetap seperti itu, maka tidak masuk ke dalam orang yang pailit di
Akhirat. Tetap akan menjadi nafsi-nafsi (sendiri-sendiri) tidak ada tanggung
jawab atas dosa yang dilakukan anak. Dalam Islamm juga dibuat panduan kewajiban
seorang ayah kepada anaknya empat perkara. Yakni memberikan nama yang baik (islami)
di utamakan, memberikan nafkah, memberikan pendidikan dan menikahkan jika
sampai waktunya. Apabila sudah dilakukan keempatnya, maka putuslah kewajiban
seorang ayah kepada anaknya. Akan tetapi kewajiban anak kepada orang tuanya,
tetap harus taat sampai kapanpun.
Kedua, faktor keluarga
terhadap anak adalah kebutuhan keluarga. Keluarga yang utuh adalah keluarga
yang dilengkapi dengan anggota-anggota keluarga yang lain. Misalnya Bapak, Ibu
dan anak-anak. Dan kebalikannya adalah ada keluarga yang tidak utuh. Entah Bapak
yang tidak ada, atau Ibu bahkan anak. Ini bisa terjadi dengan sebab kematian
salah satu mereka, atau perceraian sampai mandul. Akan sangat mempengaruhi
perkembangan sebuah keluarga. Keluarga yang utuh tidak sekedar utuh dalam arti
berkumpulnya Bapak, Ibu dan anak saja. Akan tetapi keutuhan di sini adalah
keutuhan pisik dan psikis anggota keluarga tersebut. Keluarga yang utuh
memiliki suatu kebulatan orang tua terhadap anaknya. Keluarga yang utuh
memiliki perhatian yang penuh atas tugas-tugasnya sebagai orang tua.
Sebaliknya keluarga yang pecah
atau broken home perhatian terhadap
anaknya akan menjadi kurang. Antara Bapak dan Ibu tidak memiliki kesatuan
perhatian atas putra-putranya. Broken
Home memiliki pengaruh yang negatif. Situasi keluarga yang pecah (tidak
utuh) tidak menguntungkan bagi perkembangan anak. Anak akan mengalami yang
namanya maladjusment. Hal ini
bersumber dari hubungan yang pecah tadi. Anak akan menjadi frustasi, stres,
depresi dan sangat-sangat tidak memuaskan. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa anak nakal (delinquent)
berasal dari keluarga yang tidak utuh. Di dalam keluarga anak memerlukan
perimbangan perhatian, kasih sayang dari orang tuanya. Dalam keluarga yang
pecah, seorang anak tidak akan mendapat kepuasan perhatian seperti perhatian
seorang anak dari keluarga yang utuh.
Ketiga, faktor
perkembangan dalam keluarga adalah Status Sosial. Status sosial orang tua
ternyata ikut berpengaruh dalam perkembangan seorang anak. Tingkah laku dan
kebiasaan seorang anak berangkat dari status sosial orang tua mereka. Bandingkan
anak seorang pegawai negeri, TNI, Petani dan Pedagang serta anak seorang buruh.
Di samping status kasta mereka, misalnya antara anak priyayi dan sudra akan
menjadi beda. Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang berlainan dengan keluarga
lain, sehingga perkembangan anakpun juga berlainan. Di dalam hal ini status
sosial pekerjaan orang tua memegang peranan yang penting juga. Kebiasaan-kebiasaan
orang tua yang Petani, TNI, Pegawai, Dokter dan Buruh akan diikuti oleh
anak-anak mereka dan akan menjadi pembawaan kebiasaan seorang anak dalam
bergaul dengan lingkungannya.
Dan masalah status sosial ini
masih kita jumpai di tengah-tengah masayarakat kita. Orang tua yang tidak
membolehkan anaknya bergaul dengan anak orang yang tidak sama statusnya dengan
dia. Padahal Islam sendiri menghapus istilah status-status sosial demikian itu,
yang dilihat hanya ketaqwaannya kepada Allah SWT. Dan status sosial adalah
hanya bersifat keduniawian belaka, dalam pendidikan tidak mengenal istilah
status sosial. Bahkan anak petani terkadang lebih berhasil (cerdas) dari pada
anak pejabat. Dari itu hendaklah orang tua memberikan contoh yang baik dalam
hal kesetaraan manusia di hadapan Allah SWT tidak dengan status sosial mereka. Memberikan
contoh baik itu merupakan usaha pendidikan manusia dewasa untuk membawa manusia
(anak-anak) mereka ke arah kedewasaan.
Dan faktor terakhir, keempat
dalam faktor yang mempengaruhi perkembangan keluarga, menurut Abu Ahmadi
adalah besar kecilnya keluarga. Keluarga kecil, terdiri dari Bapak, Ibu dan
seorang atau dua orang anak saja. Sedangkan keluarga besar lebih dari tiga
orang anak. Menurut analisa sosial Abu Ahmadi dalam bukunya Psikologi Sosial,
anak dari keluarga besar akan mampun cepat bergaul dengan orang lain dari pada
anak dari keluarga kecil. Pertimbangannya adalah, anak dari kelurga besar akan
seimbang pemikirannya karena kebiasaan dalam keluarganya, antara menghormati
kakaknya dan mengalah pada adiknya. Orang tua juga akan sangat mudah membagi
kebagahiaan, keadilan dan perhatian pada anak yang banyak. Akan tetapi orang
tua yang mempunyai anak tugalnya misalnya akan berusaha tidak membuat dia
kecewa, yang nanti ujungnya menjadikan anak tersebut manja. Keluarga besar jika
terjadi “kecewa” masih ada perlindungan pada kakak atau adik mereka untuk
berbagi “kesedihan”.
Keempat faktor inilah yang akan
menjadi penentu perkembangan anak selanjutnya. Anak akan menjadi baik dan
stabil jika keempat faktor ini diperhatikan orang tua masing-masing. Kasus yang
menimpa pelajar kita, pelajaran berharga untuk orang tua agar lebih
memperhatikan anak-anak mereka. HP perlu di perhatikan fungsi dan tujuan
(peruntukan) jika diberikan kepada anak. Kalau untuk usia pendidikan cukuplah
sekedar bisa sms dan telpon, tidak harus canggih sampai ada fitur-fitur yang
memungkinkan untuk disalah gunakan. Dan hubungan HP dengan jam-jam pelajaran
saya kira tidak pas, kalau alasan untuk mencari materi pelajaran, kan sudah ada buku ajar. Atau kalau
memang harus internet, tetap dalam pengawasan orang tua.
Di sekolah sendiri saya kira
sangat gampang untuk itu, kalau zaman dahulu murid sebelum masuk kelas, kita diabsen
berbaris depan pintu masuk kelas sambil razia kuku dan rambut sampai memasukkan
baju apa tidak, kenapa itu tidak dilakukan saat ini? Razia HP, tas (untuk
kondom dan narkoba) bagi anak-anak didiknya. Dan kualitas pendidikan dulu,
tidak kalah dengan saat ini. Toh guru-guru sekarang adalah produk sistem
pengajaran guru-guru yang dulu. Ketegasan guru dalam menegakkan aturan bersama
komite yang mewakili para wali murid adalah upaya untuk mengantisipasi
generasi-generasi porno masa depan. Mudah-mudahan ini bisa dilakukan oleh para
pendidik negeri ini. Wassalam.
Penulis adalah Penyuluh Agama
Islam di Kementerian Agama Kota Bima dan Sekretaris Forum Komunikasi Penyuluh
Agama Islam Kota Bima.