“ Puasa Memburu Taqwa”
Musthofa Umar
Bismillahirrrahmanirrahim..
Alhamdulillah
tidak terasa kita telah memasuki
sepuluh (10) terakhir fase bulan Ramdhan kali ini, tentu kita berharap-harap
cemas (antara yakin dan tidak) bahwa puasa kita diterima, atau sebaliknya
ditolak oleh Allah SWT. Namun kita harus tetap optimis (yakin) bahwa amal
ibadah yang kita lakukan, termasuk puasa kali ini diterima Allah SWT.
Sebenarnya, apa yang kita lakukan, amaliah-amaliah ibadah kita bisa kita lihat
ukurannya diterima apa tidak melalui cara kita menjalankannya sehari-hari,
apakah sudah memenuhi syarat, rukun dan tata cara yang digariskan syari’at apa
belum, atau kita banyak meninggalkan tata cara, rukun dan syaratnya?! Nah kalau
itu yang kita lakukan, seyakin apapun tetap saja tidak bisa kita katakan
diterima. Misalnya saja, puasa adalah ‘imsak’ (menahan) diri dari
hal-hal yang membatalkan puasa, yakni masuknya sesuatu dari tujuh (7) lubang
anggota badan kita. Baik itu berupa benda ataupun sesuatu yang disengaja untuk
dimasukkan. Tujuh (7) anggota badan itu adalah, dua (2) lubang hidung, dua (2)
lubang telinga, 1 (satu) mulut dan dua (2) lubang di depan dan belakang kita
bagian bawah, yakni dubur dan qubul. Hal ini dilakukan semenjak fajar shiddiq
(subuh) sampai terbenamnya matahari (maghrib). Hal ini secara lahiriah bisa
terlihat, sehingga dikatakan hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Selain ada
hal-hal yang tidak terlihat, yang bisa membuat batal pahala puasanya. Dan puasa
harus menjaga hal-hal yang membatalkan puasa dan juga pahalanya.
Syaratnya
adalah tidak masuk ke salah satu tujuha (7) lubang yang dilarang, akan tetapi
dalam sehari-hari kita lengah, sayarat ini tidak kita penuhi. Belum saatnya
berbuka, kita sudah memasukkan ‘sesuatu’ dalam tujuh (7) lubang indera kita,
baik di mulut, hidung, telinga, ataupun qubul dan dubhur kita. Maka jelas kita
batal dalam puasa, artinya tidak diterima karena melanggar syarat-syaratnya,
walaupun kita yakin seribu porsen (1000
%) akan diterimanya ibadah puasa kita. Begitupun dalam ibadah-ibadah yang lain,
selama kita menjalankan syarat-syarat, rukun dan tata caranya dengan benar,
maka bolehlah kita mengatakan ibadah kita diterima oleh Allah SWT, namun
sebaliknya jika kita melanggar salah satu dari syarat atau rukun yang telah
ditentukan, mungkin kita terlalau ke-PD-an (percaya diri), untuk
menganggap ibadah kita diterimaNya.
Nah
bagaimana dengan puasa?! Bulan puasa, atau bulan Ramadhan seperti yang Allah
SWT jelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 183, “wahai orang-orang yang beriman,
telah diwajibkan atas kamu untuk berpuasa, sebagaimana yang telah diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”. Ukuran puasa kita diterima
atau tidak oleh Allah SWT tentu satu kata ‘berubah’. Ada sesuatu yang berubah
dalam hal-hal yang menyangkut amaliah ibadah kita yang berubah. Tentunya
berubah dari yang tidak sama sekali ke ada atau melakukan, atau dari yang sudah
dilakukan ke lebih baik dalam melakukannya. Ringkasnya adalah kita semakin
takut kepada Allah SWT. Takut untuk melanggar dan lalai dari segala bentuk
perintahNya, melakukan segala hal yang diwajibkan, dan meninggalkan segala hal
yang telah dilarangNya. Inilah yang dikatakan taqwa (takut kepada Allah
SWT), yang menjadi tujuan kita dipuasakan.
Apa
sebenarnya yang dikatakan taqwa itu? Yang menjadi tujuan kita dipuasakan
oleh Allah SWT seperti akhir surat al-Baqarah ayat 183 yang menjadi dalil naqli
puasa itu sendiri --la’allakum tattaquun—(mudah-mudahan kamu
bertaqwa) itu? Semua orang tentu menjadi ‘pemburu’ taqwa yang dijanjikan
Allah SWT saat ini. Lalu bagaimana cara kita melihat, kita ini taqwa apa
belum? Artinya, kalau kita melihat ciri-ciri ini pada seseorang atau diri kita,
berarti taqwa sudah kita dapatkan. Akan tetapi sebaliknya, jika
ciri-ciri itu tidak ada, bisa jadi predikat taqwa itu belum kita
peroleh, dan itu artinya puasa kita masih dipertanyakan keberhasilannya, masih
meragukan entah diterima apa tidak? Dan itu bisa jadi saya pribadi, anda dan
kita semua pasti mengalami hal yang sama.
Kalimat
taqwa, selain pengertian ringkas,
sudah saya jelaskan di atas, ada beberapa hal yang bisa dilihat sebagai
ciri-ciri orang yang bertaqwa, tentu menurut al-Qur’an dan Hadith sebagai
pedoman kita hidup. Al-Baqarah ayat 2-5 mengatakan, “Kitab (Al Quran) Ini tidak
ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang
beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian
rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab
(Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah
yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang
beruntung”.
Melihat
dari terjemah makna surat al-Baqarah di atas, maka sangat jelas ciri-ciri orang
yang dikatakan taqwa tersebut. Yang paling mendasar memang, harus
meyakini akan kebenaran al-Qur’an dan ajaran-ajarannya yang telah di firmankan
oleh Allah SWT. Dari al-Qur’anlah, kita akan mengetahui selanjutnya apa yang
dilakukan dan harus diperbuat oleh orang-orang taqwa itu sebagai
petunjuk dan tidak boleh meragukan sedikitpun. Al-Qur’an memerintahkan orang
yang meyakininya agar beriman kepada yang ghaib (tidak terlihat),
seperti Allah SWT, Malaikat, pahala, dosa, Syurga dan Neraka. Termasuk meyakini
Rasulullah SAW yang sudah ghaib bagi kita. Sehingga keyakinan akan yang ghaib
ini, akan mengantarkan kita selalu takut dan hati-hati dalam bertingkah
laku, Allah SWT, Malaikat selalu melihat dan mencatat perbuatan kita. Kalau
kita taqwa pasti tidak akan berani melakukan munkar karena
keyakinan kita, akan dilihat Allah SWT dan dicatat Malaikat Rokib dan
‘Atid tadi. Termasuk selalu mendirikan shalat, karena diperintah dan
dilihat Allah SWT.
Ciri
yang lain orang bertaqwa itu adalah, selalu menafkahkan sebagian rizkinya.
Menafkahkan rizki tidak harus menunggu waktu zakat fitrah satu kali setahun,
namun zakat-zakat mal (harta) kita bisa kita keluarkan/nafkahkan kapan
saja, bila telah sampai haul dan nishabnya. Puasa telah melatih
kita haus dan lapar, kekurangan dan keterbatasan seperti yang sering dirasakan
oleh orang-orang kekurangan (fakir, miskin dan anak yatim serta orang-orang
yang tidak berkecukupan). Maka zakat kita sangat membantu kekurangan mereka,
sehingga mereka bisa merasakan kebahagiaan sama dengan kebahagiaan kita. Dari
itu rasa lapar, haus dan kekurangan ini, bisa membuat kita peka terhadap
lingkungan sekitar kita, untuk selalu memberi bagian rizki kita. Orang-orang
yang bisa berbagi baik dalam bentuk infaq, shadaqah dan zakat inilah
orang-orang yang bertaqwa. Wallohua’lamu
bishhowab.
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama
Kota Bima.