Kamis, 17 November 2011

Instansi tidak Mewarnai Pribadi


 
Oleh : Musthafa Umar

Beberapa minggu ini, saya mungkin anda sudah membaca tentang korupsi di lingkungan Kementerian Agama Kabupaten Bima. Anda mungkin akan mencibir, “lembaga agama ko’ korupsi”. Nah tulisan saya ini, mencoba mengurai ‘benang kusut’ kenapa bisa terjadi? Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sudah menggaung puluhan tahun lalu dari para tokoh-tokoh pro reformasi, namun ‘gong’nya baru ditabuh 15 tahun yang lalu. Saat penurunan Presiden Soeharto 1998 secara terang-terangan, para tokoh reformasi dan mahasiswa saat itu menjadikan isu sentral KKN dalam demo menuntut Soeharto turun. Dan Soeharto sendiri, 32 tahun menjadi Presiden, kalau boleh di ‘istibatkan´ maka korupsi, kolusi dan nepotisme itu sudah sekian lama ada.
Apa sich korupsi? Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwodarminto mengartikan Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Secara harfiah korupsi mempunyai arti kebusukan, keburukan, kebejatan, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata ucapan yang menghina dan memfitnah. Lain halnya dengan Erika Revida dari Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, menulis dalam Tesisnya, mengutip pernyataan Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatanformal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Kembali Erika Revida mengutif tulisan Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah.
Nah seiring dengan bergulirnya reformasi, maka tata pemerintahan pun berubah. Undang-undang tentang Korupsi pun bermunculan dan dibuat, misalnya UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU no. 31 tahun 1999 tentang pemberantasa tindak pidana korupsi pada butir a dan b; Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat secara luas sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dan menyusul UU no. 30 tahun 2002 tentang KPK juga tentang PP no 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran serta masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Seiring dengan itu pula, KPK terbentuk sebagai lembaga super body yang akan mengawal maju mundurnya pelaksanaan UU yang sudah dibuat. Itupun terus mendapat sorotan dan goyangan untuk di bubarkan oleh sekelompok orang-orang yang tidak suka dan ketakutan, kalau-kalau pada saatnya nanti adalah giliran dia. Dan kalau kita melihat usia UU itu tergolong masing muda, namun orang-orang yang membuat dan melaksanakan, sebagian masih ‘orde baru’ dan terus mempertahankan status quonya. Inilah orang-orang yang sedang kita hadapi, dan perlu lebih intens dalam mengontrolnya. Sampai-samapai perdebatan antara Prof. Dr. Mahfud MD dengan Dr. Jimly Asshidiqi tentang hukuman mati bagi para koruptor sudah mengemuka, ada yang mengusulkan dan ada yang menolak.
Lalu bagaimana dengan instansinya? Instansi tidak memandang agama atau luar agama. Karena pada dasarnya, korupsi terjadi adalah berangkat dari pribadi-pribadi sendiri, bukan lembaganya. Itulah sering kita sebut oknum pejabat si A dan si B. kalaupun kita tanyakan, apakah di instansi lain tidak terjadi korupsi? Atau mereka tidak beragama? Sama saja, mereka beragama dan instansi lain juga dirundung kasus-ksus yang sama. Kasus yang di hadapai Kementerian Agama Kabupaten Bima adalah bagi gunung es yang mencair, orang agama melanggar perintah agama, yakni korupsi. Hal ini tidak jauh beda dengan orang kerja di Kepolisian, atau Kejaksaan namun melanggar hukum. Atau orang kerja di Kementerian Kesehatan, namun merokok. Padahal mereka sudah tahu kalau merokok itu merusak kesehatan, namun kenapa mereka masih merokok?
Kiasan ini, sama dengan apa yang terjadi di Kementerian Agama. Bahwa korupsi bukan lembaganya, namun pribadinya. Sehingga judul opini saya, instansi tidak mewarnai pribadi. Nah kita tentu semua berharap bisa menjadi pribadi-pribadi yang sesuai dengan ‘baju’ kebesaran kita. apa jadinya kalau semua instansi tanpa bisa menjaga nama besar lembaga tempat mereka bernaung? Saya ingat waktu kita mahasiswa, para senior, para civitas akademika dan para dosen selalu mengingatkan untuk menjaga nama besar almamater. Saya kira sama dengan kita setelah menjadi pejabat, untuk menjaga jabatan yang kita emban. Bukankah dalam fungsi hadirnya manusia di muka bumi ini, adalah untuk menjalankan amanah-amanah Allah SWT yang diberikan kepada kita, untuk dikelola dengan baik, karena pada saatnya nanti, kita semua akan dimintai pertanggung jawaban atas pengembanan amanah yang kita lakukan.
Dengan harapan hasil survey Transparancy International Indonesia (TII) yang menempatkan Indonesia menjadi Negara paling korup No. 6 dari 133 negara Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia saat ini 2,3 yang ternyata lebih rendah dari  Negara-negara tetangga seperti Vietnam, Philipina, Malaysia, Bangladesh dan Myanmar bisa berkurang pringkat. Dan  satu lagi catatan dari Prof. Soemitro (Alm), sebagaimana dikutip oleh media cetak beberapa tahun lalu, bahwa kebocoran keuangan Negara mencapai 30%. Disamping memang penyebab sementara karena manajemen yang kurang baik dan control yang kurang effektif dan effesien, mempengaruhi merebaknya tindak pidana korupsi ini. Na’udzubillahimindzaalik..

Penulis adalah Penyuluh Agama di KUA Kec. Mpunda Kemenag Kota Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar