Sabtu, 14 April 2012

Andai Rumah Tahanan menjadi Pondok Pesantren

 
Oleh : Musthofa Umar
 
Pertanyaan kita, mungkinkah itu terjadi? Sebenarnya di dunia ini apa sich yang tidak mungkin, jika kita mau berusaha untuk itu. Karena Allah SWT menyerahkan sepenuhnya ‘pengaturan’ bumi ini kepada kita. Kita diberikan hati dan akal untuk menjalankan roda kepemimpinan  kita di planet ke tiga ini. Jadi bisa-bisa saja jika kita berandai-andai kalau Rumah Tahanan (Rutan) yang ada dijadikan lembaga pengkajian ilmu-ilmu agama atau sosial lainnya. Apa yang menjadi kendala sebenarnya kalau itu dilakukan? Saya kira tidak ada kendala, kalau itu dilakukan. Dana cukup untuk membayar guru-guru yang mahir dalam bidangnya untuk melakukan proses belajar mengajar di penjara, atau dengan kerjasama merangkul lembaga-lemabaga/instansi yang ada. Tinggal kita susun kurikulumnya, karena tempat sudah ada.
 
Perbedaannya hanya pada istilah dan pengertian saja. Namun saya kira tujuannya adalah sama, adalah menjadikan bangsa ini berakhlak mulia. Memang kalau kita lihat pengertian pondok pesantren sendiri sangat jauh, seperti yang disampaikan Dr. H. Imron Arifin, dalam bukunya Kepemimpinan Kyai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng bahwa “Ditinjau dari aspek sejarah dan pengertian bahasa maupun istilah, jelaslah bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya diberikan dengan cara non klasikal (sistem pesantren) dimana seorang Kyai/Tuan Guru mengajar santri-santrinya berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh para ulama-ulama besar dari abad pertengahan (abad ke 12 sampai abad ke 16) para santri biasanya tinggal di dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut”.
 
Sehingga beliau mengambil kesimpulan bahwa, pondok pesantren bukanlah merupakan sekolah-sekolah umum atau dengan kata lain disebut jalur pendidikan yang diselenggarakan oleh departeman pendidikan dan kebudayaan, tetapi pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran yang memiliki ciri-ciri tertentu yaitu dengan sistem pengajarannya yang non klasikal, yakni Kyai sebagai guru yang mengajara, ada murid yang biasa disebut santri, ada kitab-kitab klasik berbahasa Arab adapun pondok atau asrama yang dijadikan tempat tinggal bagi santri dan yang penting lagi adanya masjid pada pondok pesantren. Namun pendapat ini berbeda dengan pendapat  Dr. Husni Rahim bahwa, “Pesantren di samping sebagai lembaga pendidikan agama Islam, pesantren juga berkembang menjadi  sebuah lembaga sosial yang terlibat dalam proses perubahan sosial politik di Indonesia. Bersama dengan Kyai atau ulama-Pesantren, lembaga pendidikan Islam ini berperan penting dalam proses intensifikasi keislaman masyarakat”.
 
Pendapat ini lebih mewarnai keberadaan-keberadaan sebagian besar pondok pesantren yang ada di Indonesia. Bahkan banyak kita temukan, pondok pesantren yang menggunakan metode-metode modern atau mengikuti trend yang ada saat ini. Baik dalam hal bangunan, metode belajar mengajar sampai pada ekstrakulikuler santri. Dan rumah tahanan sangat berpeluang menjadi sebuah lembaga keagamaan modern dalam menanamkan akhlak kepada  para warga binaan (penghuni) yang ada. Sehingga “maksud” yang tersembunyi dari hukuman yang mereka lewati, yakni “jera” dan tidak kembali ke jalan yang hitam bisa tercapai sempurna.
 
Pondok Pesantren terkadang para santri memberi julukan “penjara suci” saya kira tidak jauh beda dengan tahanan. Karena tiap harinya, para penghuni hidup di lingkungan itu-itu saja, dengan peraturan-peraturan yang dibuat. Bedanya santri belajar dan mengajar dengan proses masuk mendaftar, kalau ini tidak pernah mendaftar tapi masuk begitu saja, lalu setelah di dalam mau belajar apa? Hanya menunggu bebas saja atau lainnya? Oleh karena itu, dalam perenungan saya andai saja, sekian waktu mereka di sana digunakan untuk menimba ilmu yang lebih bermanfaat, untuk di rumah setelah keluarnya nanti, itu saya pikir lebih berguna. Apalagi kewajiban menuntut ilmu itu, tidak terbatas pada usia dan tempat. Di manapun dan kapanpun, jika kita berkesempatan untuk menimbanya, kenapa tidak? Selama unsur-unsurnya terpenuhi. Misalnya tempat, guru dan fasilitas penunjang lainnya.
 
Mungkin hal itu akan menjadi kendala tersendiri untuk tidak bisanya berkala apa yang di dapatkan. Artinya, penghuni rutan acapkali berganti-ganti, yang masuk  di sana beragam. Ada yang hitungan bulan, tahun bahkan seumur hidup di sana. Dari sinilah dituntut dalam penyusunan kurikulumnya, jangan terlalu banyak teori, namun praktek-praktek yang praktis diberikan. Sehingga penyerapan mereka lebih cepat. Prinsipnya adalah, sedikit namun bermanfaat dari pada banyak tapi terlupakan semua. Kasus-kasus yang kadang kerap terjadi di Penjara, akibat kebosanan yang melanda mereka. Kurangnya kegiatan ‘sibuk’ membuat mereka cepat bosan dan berpeluang untuk melakukan hal-hal negatif kembali. Ibarat pakaian kotor, jika tebal kotorannya, maka menyikatnyapun tidak cukup dengan santai atau pembersihnya (ditergen) yang diperlukan harus ekstra, bukan memberikannya kembali “menjamur” dan membahayakan pemakainya.
 
Orang-orang tahan, dipandang ‘jelek’ oleh masyarakat. Dari itu bagaimana upaya kita agar setelah mereka keluar nanti mampu mensiasati hidup dengan baik. Terutama pembinaan-pembinaan keagamaan dalam akhlak  yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Saya menulis hal ini, karena beberapa bulan pernah membina rekan-rekan di Rutan. Kegiatan mereka selain menunggu sidang, menunggu remisi dan menunggu bebas, hanya diisi aktivitas-aktivitas olah raga saja. Pembinaan sangat minim dan kurang terorganisir dengan baik. Terorganisir yang saya maksud adalah kurikulum. Andai terkurikulum dengan baik, insyaAllah akan mengahsilkan ‘lulusan-lulusan’ terbaik. Misalnya hari ini belajar ini, besok belajar itu lusa pelajar lain dan seterusnya. Salurkan bakat-bakat mereka, agar mereka sibuk dan tidak terbersit untuk melakukan kejahatan lagi. Tapi kalau waktu mereka banyak ‘merenung’ takutnya kembali tetap melakukan perbuatan yang dulu. Contoh banyak kasus Narkoba di penjara ditemukan.
 
Ragam usia, kepandean, keterampilan dan daerah ada di Rutan. Ini potensi yang luar biasa kalau dikembangkan dengan baik. Mereka tentu ‘menyesal’ dan ingin kehidupan lebih baik dari yang pernah mereka lakukan hingga menyebabkan mereka masuk kesana saat ini. Ada banyak yang perlu dan bisa kita perbuat, 24 jam mereka hanya melihat dinding-dinding tegar setegar penjaga (sipir) Tahanan, menjadikan stress dan kebosanan yang luar biasa. Nah mungkin dengan adanya aktivitas yang lebih, akan membuat mereka melupakan apa yang terjadi dan kembali ke jalan yang benar.
 
Misalnya mengajari mereka perbengkelan, mubel, ukir, kerajinan-kerajinan yang lain. Bahkan al-Qur’an pun banyak dari mereka yang belum bisa membacanya. Apalagi shalat dan hukum-hukum islam yang lain? Tidak cukup hanya dari ceramah dan khutbah jum’at. Harus ada yang membimbing mereka dengan prakteknya sekaligus. Kita mungkin ingat si Anton Medan, mantan napi yang preman menjadi da’i di masyarakatnya. Kecenderungan melakukan hal yang sama setelah keluar dari Rutan itu ada, jika mereka keluar lalu hanya mendapat cibiran dan cemo’ohan lingkungannya. Tapi kalau mereka keuar dan membawa skill (kemampuan) yang tidak seperti biasanya, mungkin masyarakat akan mulai menyadari hal itu.
 
Langkah yang praktis kalau ada yang mau memulai terutama dari pihak penjara sendiri. karena bagaimanapun keinginan kuat orang-orang di luar penjara, tanpa dukungan dari dalam tidak ada artinya. Mungkin kendala hanya satu, kalau-kalau yang menjadi guru itu tidak amanah. Misalnya dengan upaya macam-macam dia membantu membebaskan tahanan. Tapi saya kira itu bisa diantisipasi seperti mengantisipasi pengunjung yang ada setiap kali bertamu. Kalau dari pihak penjara sudah setuju, tinggal pendataan usia dan kemampuan. Lalu mengajar rembuk semua pihak/instansi yang berkaitan untuk bersama-sama melakukan pembinaan kepada mereka. Karena jelek atau baik toh pada nantinya yang merasakan manfaatnya adalah masyarakat sendiri.
 
Tidak hanya itu, kalau mereka satu orang saja dari sekian orang bisa, maka diharapkan mampu mewarnai yang lainnya.  Dan kalau itu terjadi, ketakutan-ketakutan masyarakat selama ini, kalau-kalau teman-teman kita yang masuk di sana setelah keluarnya akan kambuh lagi tidak terbukti. Manfaat lainnya, hasil mereka belajar atau alih profesi nantinya, sebagai tambahan penghasilan keluarga. Karena di akui selama mereka di tahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggal terkadang mereka kesusahan. Dari itu perlu juga dalam hal ini dukungan pemerintah dan kita semua, agar berjalan dengan lancar dan sesuai harapan kita bersama. Amin,
 
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di KUA Mpunda Kementerian Agama Kota Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar