Sabtu, 14 April 2012

Kaya Bermanfaat, Miskin Bermartabat



Oleh : Musthofa Umar

Judul opini saya kali ini, adalah mengambil dari sepenggal kata-kata amanat inspektur upacara pada peringatan ulang tahun ke-10 Kota Bima, 10 April 2012 beberapa waktu yang lalu, yang tak lain adalah Walikota Bima sendiri, yakni Bapak H. Qurais. Kalimat ini memang sederhana, namun menarik untuk kita kaji konteksnya dalam kehidupan kita. Kalimat ini pun akan menjadi pembahasan yang panjang jika kita tinjau dari sudut berbeda. Kalau saya melihat konteks kalimat ini adalah tentang meminimalisir kemiskinan yang ada dengan sadarnya para orang kaya akan amal, shadaqah, infaq, zakat dan pajak mereka. Sehingga bisa menajdi bermanfaat untuk sebagian masyarakat Kota Bima yang berada di bawah garis kemiskinan.
Walikota kita selintas berusaha mengetuk hati mereka yang kaya untuk bisa berbagi kekayaan mereka kepada saudara-saudaranya yang miskin. Karena dengan begitulah program pemerintah untuk menjadikan Indonesia secara umum dan khususnya Kota Bima menjadi daerah bebas miskin akan terwujud. Islam jauh menuntun hal itu, dan ini yang akan kita bahas tentang bagaimana pandangan Islam tentang kaya dan miskin. Bagaimana pula seharusnya sikap seorang kaya kepada seorang miskin dalam hal berintraksi untuk membangun kota ini ke arah yang lebih baik. Secara tidak langsung, andil orang kaya sangat dibutuhkan untuk membangun kota, dengan sadar zakat dan pajak, insyaAllah apapun bentuk pembangunan yang di cita-citakan akan terwujud.
Dampak dari ketidak sadaran orang kaya terhadap orang miskin adalah seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Banyak kerusuhan, penjarahan, perampokan, copet, pencurian, pemerkosaan dan pembunuhan serta model-model kejahatan lainnya, lebih banyak dipicu kemiskinan (ekonomi sulit). Pada akhirnya yang kayalah menjadi target sasaran. Sehingga hitung-hitung untuk menjaga harta mereka, harusnya mereka secara rutin mengeluarkan hak-hak orang miskin. Apalah artinya kita kaya namun keamanannya tidak terjamin setiap hari.  Walaupun kita memperkerjakan sebanyak-banyaknya orang untuk menjaganya toh tetap tidak akan aman. Namun kalau mereka (penduduk sekitar) yang miskin terayomi, tanpa disuruh menjaga pun mereka akan sendirinya membantu kita yang kaya.
Hadits Nabi SAW mengatakan, “khairunnas yanfa’uhum linnas” adalah sebaik-baik manusia yaitu yang bermanfaat bagi sebagian mereka. Manusia menurut hadits ini, menjadi manfaat hidupnya di dunia, jika mereka bisa bermanfaat untuk yang lain.  Tentu kalau kita melihat dari kaca mata kaya dan miskin, maka yang kaya akan menjadi baik dan bermanfaat dengan kekayaannya, jika mereka bisa memberikan manfaat atas kekayaan mereka kepada yang miskin. Orang berilmu (kaya akan pengetahuan), akan bermanfaat kepada saudara-saudara mereka yang miskin ilmu (bodoh). Termasuk orang yang kuasa (pejabat) akan bermanfaat jika mereka bisa berbagi manfaat jabatannya kepada yang di kuasai (bawahan).  Arti manfaat adalah jelas untuk kebenaran dan kebaikan. Bukan manfaat kepada jalan yang tidak benar, misalnya dengan harta mereka, membuka fasilitas perjudian atau perzinahan. Kalau ini yang dilakukan, tetap tidak dikatakan bermanfaat dengan kekayaannya. Harta yang diberikan Allah haruslah digunakan pada jalan yang diridhai Allah, bukan pada jalan-jalan yang dibenci-Nya.
Saya kira semua kita sepakat tidak mau miskin. Akan tetapi sudah menjadi sunnatullah (ketentuan Allah)  bahwa keseimbangan dunia ini, harus ada yang miskin karena ada yang kaya. Orang kaya tidak akan menjadi kaya, bila tidak adanya orang miskin. Begitulah sunnatullah yang ada, kaya-miskin, baik-buruk, hitam-putih, tinggi-rendah, atasan-bawahan, surga-neraka, pahala-dosa..dan lain-lain. Bersyukurlah mereka-mereka yang tercipta memang harus kaya, dan bersabarlah kita yang tercipta menjadi miskin. Kaya bukan sebuah kebetulan, namun kekayaan bisa jadi adalah bentuk ujian Allah kepada kita. Pandaikah kita mensyukurinya atau sebaliknya yakni menjadikan kita kufur nikmat. Begitu pula dengan kemiskinan, bisa jadi adalah cobaan kita, sehingga apabila kita lulus berkah hidup akan kita dapatkan. Tidak di dunia, mungkin Allah membalasnya di Akhirat kelak.
Selain itu, manusia memang tercipta sosial. Manusia sosial adalah manusia yang bisa berintraksi baik sesama manusianya. Manusia akan bisa hidup dengan orang lain. Seberapa kayapun kita tapi kalau kita hidup sendiri juga tidak menjadi enak. Sehingga di balik kekayaan kita, terlibat orang lain yang berintraksi terus menerus dengan kita. Dan Islam hadir untuk menjaga keseimbangan antara kaya dan miskin di dunia ini. Bentuk Islam menjaga keseimbangan itu adalah, dengan diwajibkannya setiap Islam dan beriman agar mengeluarkan sebagian harta mereka, dengan tujuan membersihkan harta-harta mereka dengan jalan berzakat, berinfaq, bershadaqah dan bentuk-bentuk lain yang intinya bisa dinikmati mereka-mereka yang tidak seberuntung kita. Islam tidak anti harta (kekayaan), dan Islam juga sangat khawatir akan kemiskinan.
Beberapa hadits sangat jelas dan shahih tentang kaya dan miskin. Dalam satu hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam At-Turmudzi dan Ibnu Majah yang merupakan do’a Rasulullah yakni, “wahai Allah, berilah aku hidup dan mati dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin kelak di hari kiamat”. Hadits ini mungkin yang diyakini oleh sebagian faham dalam Islam bahwa menjadi miskin itu adalah dijanjikan berkumpul nanti dengan Rasulullah SAW di surga. Dengan hadits ini pula, jangan-jangan mereka menjadi pasrah akan rizki tanpa berusaha dan memiskinkan diri.  Hadits ini, tidak serta merta kita artikan sebuah anjuran agar kita sepakat untuk miskin, akan tetapi lebih kepada kerendahan hati seorang Rasulullah kepada Allah, tidak congkak, pongah dan sombong terhadap harta yang diberikan.
Karena memang, di uji dengan kekayaan lebih sering lupa kepada Allah dari pada kita di uji dengan kemiskinan. Renungkan dan kita lihat relita yang ada, kalau seorang Kaya terkadang lupa dengan Allah (contoh sahabat Saklabah), begitu diberikan kekayaan, dengan berlimpah ternaknya pada waktu itu, sampai lupa shalat karena tidak sempat dengan binatang ternaknya. Tidak jauh beda dengan kita kebayakan, jika diberikan sedikit lebih kita lebih senang berpoya-poya dan lupa kewajiban. Namun jika manusia di uji oleh kemiskinan, rasanya tangis dan airmata dalam sujud serta do’a permohonan kepada Allah selalu kita lantunkan. Shalat duha atau membaca surat waqi’ah tanpa henti. Artinya kemiskinan kita yang merupakan cobaan tadi, lebih mendekatkan diri kita kepada Allah. Dalam hal ini tidak jauh beda dengan Fir’aun. Begitu Allah memberikannya kekayaan, maka mereka menjadi sombong. Dan contoh lain yang tidak kalah menarik  guyonan alm. KH. Zainuddin MZ, dalam beberapa pidatonya, sering mengatakan, “waktu miskin rajin baca ayat kursi, setelah dapat kursi lupa ayat”. Menangis waktu miskin, dan tertawa waktu kaya.
Dan menjadi kaya lebih  banyak tanggung jawabnya dari pada miskin di hadapan Allah SWT. Yang berharta akan ditanya tiga hal, yakni dari mana engkau dapatkan, dengan cara apa dan kemana disalurkan harta yang di dapat. Belum lagi dalam al-Qur’an kaya dikatakan adalah jalan yang sukar, surat al-Balad ayat 11-16 mengatakan, “Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?”.  Dalam lanjutan ayatnya, “tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” yakni, “melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir” dalam penutup penjelasan ayat ini, ayat ke 17, “dan dia termasuk orang-orang yang beriman”.
Jadi posisi kaya dan miskin dalam ayat ini, sangat jelas. Bahwa orang kaya yang sedang menikmati kekayaannya sama seperti mendaki pada jalan yang sukar. Dikatakan mendaki dan sukar, karena beberapa hal harus mereka lakukan dalam pendakian jalan yang sukar itu. Yakni membebaskan perbudakan, menyantuni atau memberi makan anak yatim dan orang miskin yang sangat fakir. Nah sekarang mungkin tinggal dua, yatim dan miskin. Karena perbudakan sudah tidak ada. Merek orang yang kaya dan melakukan dua hal ini adalah beriman sesuai ayat 17 surat al-Balad tadi, dan sebaliknya apabila tidak melakukan dua hal tersebut adalah termasuk orang-orang yang tidak beriman.
Hadits tentang kemiskinan tadi, seolah-olah bertolak belakang dengan hadits-hadits Nabi SAW yang lain. Mari kita lihat, hadits riwayat Imam Muslim dan at-Turmudzi, yang artinya “Wahai Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu petunjuk, ketakwaan, harga diri dan kekayaan”. Hadits lain juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahmad, yang artinya “sesungguhnya Allah senang pada hamba yang bertakwa, kaya dan tidak suka menonjolkan diri”. Hadits lain juga shahih karena diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, artinya “sesungguhnya kamu, meninggalkan ahli-ahli warismu dalam keadaan kaya raya jauh lebih baik ketimbang kamu meninggalkan mereka dalam keadaan berkekurangan dan minta-minta pada manusia (pengemis)”.
Melihat dua model hadits ini, tentu kita akan berpikir apakah menjadi kaya atau menjadi miskin. Karena pilihan-pilihan  ini tentu ada konsekuensi masing-masing. Namun yang jelas, kaya dan miskin seperti yang saya katakan di atas adalah fitnah (cobaan). Ini berdasarkan sebuah hadits Rasululullah SAW juga, dan merupakan do’a beliau, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari artinya, “Wahai Allah aku mohon perlindungan kepadaMu dari fitnahnya kekayaan dan aku mohon perlindungan (pula) dari fitnahnya kemiskinan”.  Setidak-tidaknya, untuk bisa berbagi kepada sesama, maka jelas kita harus menjadi kaya terlebih dahulu. Kalau anda disuruh memilih sudah barang tentu kaya yang anda minta, karena miskin adalah mendekati kepada kekufuran.
Kesimpulan tulisan saya adalah, kaya atau miskin adalah pilihan hidup yang sudah digariskan oleh Allah SWT. Namun sesuatu ketentuan berawal dari permohonan-permohonan hamba. Karena Allah dalam ayatNya mengatakan, “tidak akan merubah nasib suatu kaum, apabila kaum tersebut tidak mau merubah dirinya sendiri” jadi apapun pilihan yang ingin kita jalani, adalah penentunya kita sendiri. ada orang yang lahirnya miskin, namun karena ulet dan tekut dalam berusaha, mereka menjadi kaya. Namun sebaliknya, awalnya kaya tapi karena angkuh, sombong dan takabbur mereka menjadi melarat kembali.  Oleh karena itu, sebaik-baik kita adalah tetap pada kerendahan hati. Apabila Allah memberikan kita kekayaan, maka kita rendah hati dengan tidak sombong, takabbur dan tamak serta angkuh. Agar kita tidak mengikuti jejak Saklabah, Fir’aun, Qorun dan lain-lain. Tetaplah mencontoh kepada Nabi Sualaiman AS yang diberikan kekayaan oleh Allah, namun tetap rendah hati.
Begitu halnya dengan kemiskinan. Agar menjadi miskin yang bermartabat, harusnya sadar diri apakah kekurangan kita, mungkin harus lebih banyak sabar, dan beribadah serta berusaha kepada Allah SWT atas cobaan yang diberika, seperti Nabi Ayyub AS dan Nabi-nabi yang lain. Bukan pasrah, lalu memaki-maki Allah SWT dengan menyebut Allah tidak adil sehingga inilah yang dikatakan dan ditakutkan Nabi SAW, orang fakir mendekati kufur. Tidak pasrah dengan keadaan dan meminta-meminta kepada sesama manusia, padahal kita punya kemampuan untuk bangkit dan berusaha. Buktikan bahwa kita bisa untuk lebih baik dari yang kita alami saat ini. Sehingga kita meninggalkan anak cucu kita dalam keadaan lebih baik.  
Kaya ataupun miskin, sama-sama berpeluang kufur. Yang kaya, jika tidak bisa bersyukur makan dia menjadi kufur nikmat, sebaliknya yang miskin mendekati kekufuran. Jadi peluang untuk menjadi kufur itu sangat dekat bagi kita. Dari itu pergunakan kesempatan yang diberikan Allah sebaik-baiknya. Agar kita terhindar dari kekufuran itu. Yang kaya manfaatkan kekayaannya untuk membantu mereka yang miskin, begitupun yang miskin agar selalu bersabar dan terus berusaha serta yakinlah bahwa Allah Maha Tahu, Allah Maha pemberi rizki, jadi kerja sesuai tuntutan agama dan niatkan ibadah kepada Allah, insyaallah akan menjadi amal kita di dunia menuju akhirat kelak. Amin.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kec. Mpunda Kementerian Agama Kota Bima.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar