Kamis, 28 Februari 2013

Etika Politik Islami





Oleh : Musthofa Umar, S. Ag.


Gonjang ganjing perpolitikan nasional, tentu kita semua paham. Dan sebentar lagi, NTB secara umum dan Kota Bima secara khusus juga akan menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan ini. NTB akan memilih  Gubernur dan Wakil Gubernur. Demikian halnya dengan Kota Bima akan memilih Walikota dan Wakil Walikota untuk periode 2013-2018. Seiring dengan  hal ini, menjadi inspirasi dakwah saya sebagai Penyuluh Agama Islam, bagaimana harusnya umat Islam melihat politik. Sehingga manfaatnya dirasakan, untuk kemaslahatan bersama.

Politik kadang orang bilang kejam, tidak mengenal kawan dan saudara. Yang ada dalam politik adalah kepentingan dan tujuan yang tercapai. Akan tetapi tentu Islam tidak membenarkan segala cara untuk mencapai kepentingan dan tujuan itu, bila cara itu haram atau merupakan larangan Allah SWT. Nah sebenarnya Islam sendiri seperti apa sich melihat politik itu? Hal ini menjadi penting karena Islam adalah pemilih terbesar, apalagi untuk NTB dan Kota Bima. Islam sebagai bagian dari politik, tentu harus mempunyai peranan penting dan memosisikan diri pada posisi yang tepat.

Islam adalah agama yang syamil wamutakamil (menyeluruh, integral dan terpadu). Ia adalah agama yang sempurna dan diridhai Allah, sebagaimana dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 19, “sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi kitab, kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian diantara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh Allah sangat cepat perhitungan-Nya”. Demikian halnya pada Surat Al-Maidah ayat 3 dikatakan, “….Pada hari ini, telah aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. Tetapi, barangsiapa terpaksa, karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. Karena ia agama yang integral, maka tak ada satu aspekpun dalam kehidupan ini yang tidak terangkum dalam ajaran Islam, termasuk politik.

Lihat saja NU (Nahdlatul Ulama) pada dasawarsa 1980an dan 1990an terjadi perubahan mengejutkan di dalam lingkungan ormas terbesar di Indonesia ini. perubahan yang paling sering disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah, proses “kembali ke khittah 1926”. NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi ‘jam’iyah diniyah’, bukan lagi sebagai wadah politik. Dengan kata lain, sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai politik mana pun termasuk Golkar dan PDI pada masa itu. Karena kiai lebih condong ke PPP (Partai Persatuan Pembangunan), yang lebih bisa mewadahi kemauan para kiai pada saat itu. Dengan adanya komitmen ini, NU tidak lagi dicurigai oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya, pertemuan, seminar dan lain-lain tidak lagi dilarang, malah sering difasilitasi peremerintah.

Kejatuhan Orde Baru (Sueharto) tahun 1998, menjadikan kran demokrasi terbuka lebar. Gelora reformasi digaungkan oleh elit-elit bangsa ini. Demikian halnya dengan sistem kepartaian di Indonesia. dari tiga parti menjadi multi partai, demikian halnya dengan mudahnya ormas-ormas Islam mendirikan partai. Misalnya NU dengan PKB, Muhammadiyah dengan PAN dan PKS, PPP, PBB, PKNU dan  Partai Masyumi dan lain-lain. Dari partai-partai yang berlabel Islam ini, tidak jarang pengurusnya adalah kiai atau mereka-mereka dari kalangan pesantren, yang selama ini dikenal hanya bergelut dengan kitab kuning dan sarung saja. Walaupun selanjutnya menyatakan diri terbuka dan memberikan kesempatan non Islam masuk dan ikut sebagai pengurusnya.
Tentu dari ulasan di atas, kemampuan kiai dalam bidang agama Islam tidak kita ragukan. Dan kalau mereka terjun dalam dunia politik, tentu umat sebagai pengikut fatwa dan ceramah-ceramah para kiai, ingin meniru dan ikut apa kata kiainya. Nah jika kiai sudah memulai, kenapa tidak dengan umat? Dan itulah sebagian fungsi kiai, pemimpin umat. Agar umat tidak salah memilih dan umat mempunyai pegangan kuat, maka sandaran mereka adalah ulama (kiai/tuan guru). Dan hal inilah yang terjadi dalam perpolitikan sejak Orde Baru runtuh. Dari tiga partai menjadi multi partai, dan sejak itu pula di sebagian wilayah Indonesia, ada kiai yang menjadi Bupati, Gubernur bahkan Presiden (Gus Dur). Termasuk NTB yang saat ini dipimpin oleh seorang Tuan Guru.

Proses politik yang nampak di Indonesia akhir-akhir ini, cukup menyisakan PR (pekerjaan rumah) bagi kita, bagi cendikiawan dan pemimpin kita. Bagaimana tidak, para pelaku politik yang biasanya dilakukan profesional, kali ini sudah banyak wajah-wajah baru yang ikut nimbrung dalam pentas politik praktis. Tidak kurang tokoh dari berbagai agama, ikut andil yang kemudian secara otomatis mereka juga mengantongi isu-isu dari agama mereka masing-masing. Hingga yang nampak adalah upaya mencari dukungan dari massa dan umat tersebut tidak pernah lepas dari eksplorasi mereka terhadap statemen agama dan ayat-ayat yang dapat menjustifikasi dari kepentingan-kepentingan politik. “Perang” dalih agama tidak bisa dielakkan antara tokoh agamawan dan pemimpin umat. Dalam kondisi demikian, agama hanya dijadikan sebagai bancakan politik, bukan sebagai paradigma dan target dari perjuangan. Inilah yang terkadang membuat citra jelek agama dan politik.

Seorang Ulama Mesir terkemuka dan pendiri Ikhwanul Muslimin, Imam Syahid Hasan al-Bana mendifinisikan politik sebagai kegiatan penyelenggaraan persoalan-persoalan internal maupun eksternal. Yang dimaksud dengan kegiatan internal adalah mengurus soal pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya serta merinci hak-hak dan kewajibannya. Kemudian melakukan pengawasan terhadap penguasa. Mematuhinya jika mereka dalam kebenaran dan mengkritik serta meluruskannya jika mereka berbuat kesalahan. Sedangkan yang dimaksud dengan kegiatan eksternal politik adalah memelihara kemerdekaan, kedaulatan dan kebebasan sebagai bangsa dan umat serta menghindarkannya dari penindasan dan intervensi bangsa lain. Sebaliknya pemerintah yang berkuasa di suatu negeri muslim, harus dapat menghantarkan bangsanya sebagai bangsa yang terhormat dan tidak hidup tergantung dari belas kasihan negara-negara lain.

Melihat definisi Hasan al-Bana tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa politik adalah sarana ibadah dan sekaligus juga mengandung muatan-muatan dakwah berupa amar ma’ruf wa nahyu anil munkar. Jika selama ini ada keengganan untuk membicarakan dan terjun dalam politik terutama bagi muslimah, hal tersebut disebabkan karena paradigma tentang politik yang populer adalah paradigma Barat. Seperti misalnya pendapat Machiavelly mengatakan, politik adalah tujuan mengalalkan segala cara. Sehingga dari pernyataan Machiavelly ini, timbul teori yakni sah-sah saja orang merebut atau mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.

Nah tentu hal ini kita tidak inginkan, apalagi kalau sebagian tokoh-tokoh partai kita adalah orang Islam. Tentu dalam Islam banyak pelajaran yang diambil, bagaimana harusnya ber-akhlakul karimah dalam politik. Akhlak yang diajarkan Rasulullah SAW bukan hanya dalam urusan ibadah mahdhah saja, melainkan ibadah-ibadah ghairu mahdhah, termasuk politik. Artinya, Islam kaffah dalam segala sendi kehidupan harus dipraktekkan, harus ditegakkan dan diberikan contoh yang baik bagi umat. Mereka adalah pemimpin, dan rakyat adalah orang yang dipimpin. Dalam hal ini pula, sudah ada hadits Nabi yang mengatakan, “kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawabannya kelak atas kepemimpinannya”. Jadi kepemimpinan dalam politikpun juga sama, sebagai pemimpinan umat.
Politik harusnya menjadi sarana berkhidmat pada umat atau rakyat dengan tujuan mendapatkan ridha Allah SWT. Sehingga kebersihan dan kelurusan niat dan cara-caranya pun menjadi sebuah keharusan dalam berpolitik. Dalam konsep Islam pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya (orang yang dipimpinnya). Ada ungkapan, “sayyidul qaumi khadimuhum” (pemimpin suatu bangsa adalah pelayan bagi bangsanya). Pemimpin dalam pandangan Islam juga bertugas membebaskan rakyatnya dari segala rasa lapar dan takut. Ia juga wajib menjadikan kekuasaan sebagai amanah dan alat untuk menegakkan kebenaran dan memerangi kemungkaran.

Politik adalah taktik atau cara, yakni cara untuk meraih sesuatu. Termasuk Rasulullah SAW bertaktik (politik) dalam hal berperang dengan orang-orang kafir pada zaman dahulu. Termasuk Rasulullah SAW sering mencontohkan diplomasi baik dengan raja-raja yang kafir dan diminta masuk Islam oleh beliau. Dan ingat Rasulullah SAW mempunyai empat sifat wajib yang harus diketahui dan diikuti oleh kita umatnya. Ada Shiddiq (Jujur), Amanah (Dipercaya), Thabligh (menyampaikan) dan Fathanah (cerdas). Kalau ulama adalah pewaris Nabi dalam hal ilmu agama dan tingkah laku Nabi secara keseluruhan, pemimpin juga pewaris Nabi dalam hal kepemimpinannya. Amanah (Dipercaya) adalah sifat yang diwariskan setiap pemimpin. Kalimat amanah kalau dalam kaidah ilmu nahwu-sharraf bisa berarti kepercayaan, atau orang yang dipercaya. Pemimpin yang terpilih, adalah orang yang ‘dipercaya’ dengan ‘kepercayaan’ masyarakat melalui pemilihan secara jujur dan adil.

Maka dari itu, pemimpin yang lahir dari proses pemilihan umum pada partai politik, harus mengikuti salah satu sifat Rasulullah SAW tersebut. Dengan demikian, jika mereka para pemimpin tersebut tidak dapat dipercata dan menyalahi kepercayaan ‘khianat’ rakyat, maka sudah melenceng dari warisan Rasulullah SAW tersebut. Dari sinilah umat harus merenungi lebih dalam lagi, sebelum menentukan pilihannya untuk menjadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpinnya di masa depan.  Latar belakang, serta program kerja mereka harus dipaparkan pada rakyat. Dan rakyat tidak ‘menjual’ kepentingan sesaat dengan uang semata (politik uang). Jika ini yang terjadi, menjadikan awal yang buruk. Dan apabila awalnya sudah buruk, maka selanjutnya perjalanan dan akhirnyapun akan buruk pula.

Dalam sebuah hadits Imam Muslim diungkapkan, “barang siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaknyalah mencegahnya dengan tangannya, apabila tidak sanggung maka dengan lisannya, dan jika tidak sanggup hendaklah dengan hatinya. Dan itu termasuk selemah-lemahnya iman”. Kata-kata tangan dalam hadits ini, tentu bukan dengan tindakan, tapi dengan kekuasaan. Jadi orang yang berkuasa lebih mempunyai porsi untuk mencegah kemungkaran dari pada kita yang tidak berkuasa. Misalnya dengan menandatangani perda anti miras, judi dan lain-lain. Sehingga bisa dilakukan dan dilaksanakan dalam sebuah wilayah. Jangan terbalik, kekuasaan dijadikan untuk melegalkan hal-hal yang mungkar. Dan sahabat Utsman bin Affan pernah berkata, “al-Qur’an lebih memerlukan kekuasaan dari pada kekuasaan membutuhkan al-Qur’an. Dan karena politik merupakan bagian dari ke-universal-an Islam. Maka, setiap muslim meyakini bahwa Islam memiliki sistem politik yang bersumber dari Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dikembangkan oleh para sahabat dan salafusshaleh sesuai dinamika perkembangan hidup manusia setiap masa. Mudah-mudahan kita sebagai rakyat dan bawahan, mampu memilih pemimpin yang baik untuk kemajuan bangsa, negara dan agama. Amin.



Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di Kementerian Agama Kota Bima.


1 komentar:

  1. Aslmkm Ustad...disini saya mereplay Komentar anda disini : http://studi-center.blogspot.com/2011/03/profil-kh-abd-akrim-jamak.html
    mengapa anda belum merespown dari komentar anda, saya sebagai masyarakat Awam sehendaknya tolong ditunjukan yang benar itu...kalau saya lihat sudah banyak Prof yang mengikuti dan mendengar langsung dan Ustad Lihat disini : http://aswinrose.wordpress.com/author/aswinrose/
    jangan mengeluarkan Kata bahwa Asap Besar yg dilihat itu kebakaran mana tahu ada yang sedang bakar Ban....terimakasih atas perhatiannya ...

    BalasHapus