Oleh : Musthafa Umar, S. Ag.
Tanggal 27 Nopember besok Jam 18.00, kita akan memasuki bulan Muharram 1433 Hijriyah. Itu artinya kita akan memasuki tahun baru Hijriah, tahun baru dalam penanggalan Islam. Tentu tidak semeriah dan seperti kita menyambut tahun baru Masehi Januari nanti. Namun itulah ajaran pokok islam, yakni kedamaian bukan hura-hura dan pesta-pesta yang cendrung kearah negatif. Lalu kita sebagai umat islam, tentu harus tahu sedikit tidak apa makna dalam setiap tahunnya kita memperingati tahun baru? Nah tulisan saya kali ini, mudah-mudah menjadikan kita faham dan tahu harus bagaimana bersikap dalam menyambut tahun baru.
Hijrah dari bahasa Arab artinya ‘berpindah-perpindahan’. Dan nama Hijriyah diambil dari peristiwa Hijrahnya Rasulullah Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Empat belas abad silam, tepatnya pada malam tanggal 27 Shafar dan sampai di Yastrib (Madinah) pada tanggal 12 Rabiul awal atau tahun 622 Masehi, Adapun pemahaman bulan Muharram sebagai bulan Hijrah Nabi, karena bulan Muharram adalah bulan yang pertama dalam kalender Qamariyah yang oleh Umar bin Khattab, yang ketika itu beliau sebagai khalifah kedua sesudah Abu Bakar, dijadikan titik awal mula kalender bagi umat Islam dengan diberi nama Tahun Hijriah.
Muhammad bin Abdullah, memutuskan hijrah ke kota Madinah, mencari peruntungan dakwah Islam meninggalkan Mekah, kota kelahirannya. Belum genap tiga belas tahun, waktu yang relatif singkat untuk mencipta peradaban baru, dari kota kecil nan tandus itu, beliau sukses menyampaikan pesan Tuhan ke sekian banyak manusia, merubah paganisme masyarakat jahiliyah menuju penyembahan kepada Tuhan yang satu, menembus batas teritorial kota Madinah, menaklukkan Mekah, hingga menjalar ke seluruh jazirah Arab kemudian melintasi benua. Jutaan manusia berbondong-bondong mengikuti ajakannya memasuki agama Islam. Hingga sekarang, tak sejengkal wilayahpun di bumi luput dari pancaran cahaya Islam.
Secara historis, peristiwa keberangkatan nabi besar Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya dari kota Makkah menuju kota Yathrib, yang kemudian disebut al-Madinah al-Munawwarah mengandung beberapa makna untuk kita ambil; Pertama, perisitwa hijrah Rasululah dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan tonggak sejarah yang monumental dan memiliki makna yang sangat berarti bagi setiap muslim, karena hijrah merupakan tonggak kebangkitan Islam yang semula diliputi suasana dan situasi yang tidak kondusif di Makkah menuju suasana yang prospektif di Madinah.
Kedua, Hijrah mengandung semangat perjuangan tanpa putus asa dan rasa opimisme yang tinggi, yaitu semangat berhijrah dari hal-hal yang buruk kepada yang baik, dan hijrah daru hal-hal yang baik ke yang lebih baik. Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya telah melawan rasa sedih dan takut dengan berhijrah, meski harus meninggalkan tanah kelahiran, sanak saudara dan harta benda. Ketiga, Hijrah mengandung semangat persaudaraan, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. pada saat beliau mempersaudarakan antara kaum muhajirin dengan kaum anshar, bahkan beliau telah membina hubungan baik dengan beberapa kelompok yahudi yang hidup di Madinah dan sekitarnya.
Berbicara Hijriyah memang tidak akan lepas berbicara Muhammad Rasulullah. Dan berbicara Muhammad adalah berbicara tentang islam yang dibawakan beliau untuk kita umatnya. Sosok Muhammad Rosululullah, tak hanya sukses dalam bidang spiritual, tetapi pada setiap peran yang dia emban dalam berbagai bidang kehidupan. Kalau boleh saya mengutip tulisan seorang Profesor Filsafat India, Ramakrishna Rao, dalam bukunya, Muhammad: The Prophet of Islam, menyebutnya sebagai ”model (teladan) yang sempurna bagi kehidupan manusia”.
Lebih lanjut dia menegaskan bahwa ”The personality of Muhammad, it is most difficult to get into the whole truth of it. Only a glimpse of it I can catch. What a dramatic succession of picturesque scenes! There is Muhammad the Prophet. There is Muhammad, the Warrior; Muhammad, the Businessman; Muhammad, the Statesman; Muhammad, the Orator; Muhammad, the Reformer; Muhammad, the Refuge of Orphans; Muhammad, the Protector of Slaves; Muhammad, the Emancipator of Women; Muhammad, the Judge; Muhammad, the Saint. All in these magnificent roles, in all these departments of human activities, he is like a hero.” ("Kepribadian Muhammad, hal ini sangat sulit untuk masuk ke dalam seluruh kebenaran itu. Hanya sekilas, aku bisa menangkap. Apa suksesi dramatis adegan indah! Ada Muhammad Nabi. Ada Muhammad, Warrior, Muhammad, Pebisnis itu; Muhammad, Negarawan itu; Muhammad, Orator itu; Muhammad, Reformer, Muhammad, Refuge dari Yatim Piatu, Muhammad, Pelindung Budak, Muhammad, Emansipator Perempuan; Muhammad, Hakim, Muhammad, Santo. Semua dalam peran ini megah, di semua departemen dari aktivitas manusia, dia seperti pahlawa”).
Tidak berlebihan Rao menulis demikian, karena jauh sebelumnya, Allah SWT menegaskan hal demikian dalam firman-Nya surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Wujud dari uswah hasanah selain terdapat di dalam Al-Qur’an, juga melalui sunahnya. Sunah atau hadis adalah keseluruhan dari kehidupan Nabi Muhammad saw., baik perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun himmah atau cita-citanya yang belum terwujud.
Kredibilitas Muhammad sebagai ‘orang yang harus dimuliakan’ tidak hanya diakui umatnya sendiri, akan tetapi umat agama lain. Namun sangat disayangkan, Muhammad SAW. dicitrakan dengan sebaliknya oleh Barat atas nama kebebasan berekspresi. Adalah Jyllands-Posten, ‘pelopor’ pemuatan visualisasi kartun yang dinisbatkan dan selamanya tak akan ternisbatkan oleh sebab kemuliaannya kepada Nabi Muhammad saw., diikuti banyak media-media Barat, bahkan Indonesia hingga sekarang. Kita mungkin masih ingat, film singkat bertajuk “FITNA” yang tersebar luas di liveLeak.com. Oleh para orientalis picik subjektif itu, Nabi Muhammad dituduh sebagai pembawa ajaran kekerasan dan mengajarkan terorisme.
Nah pertanyaanya, apakah sampai tahun 1432 Hijriyah sudahkah kita melakukan ajaran-ajaran yang Muhammad Rasulullah bawa dengan sempurna? Atau kalau tidak kapan kita akan melakukan perubahan (hijriyah) itu? Pemaknaan hijrah tentu bukan selalu harus identik dengan meninggalkan kampung halaman seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan kaum Muhajirin waktu itu, tetapi pemaknaan hijrah lebih kepada nilai-nilai dan semangat berhijrah itu sendiri, karena hijrah dalam arti seperti ini tidak akan pernah berhenti Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ada seorang yang mendatangi Rasulullah dan berkata: wahai Rasulullah, saya baru saja mengunjungi kaum yang berpendapat bahwa hijrah telah telah berakhir, Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya hijrah itu tidak ada hentinya, sehingga terhentinya taubat, dan taubat itu tidak ada hentinya sehingga matahari terbit dari sebelah barat”.
Ada 3 pesan perubahan dalam menyambut Tahun Baru Hijriah ini, yaitu: (1), Hindari kebiasaan-kebiasaan lama / hal-hal yang tidak bermanfaat pada tahun yang lalu untuk tidak diulangi lagi di tahun baru ini. (2) Lakukan amalan-amalan kecil secara istiqamah, dimulai sejak tahun baru ini yang nilai pahalanya luar biasa dimata Allah SWT, seperti membiasakan shalat dhuha 2 raka’at, suka sedekah kepada fakir miskin, menyantuni anak-anak yatim, dll. (3) Usahakan dengan niat yang ikhlas karena Allah agar tahun baru ini jauh lebih baik dari tahun kemarin dan membawa banyak manfaat bagi keluarga maupun masyarakat muslim lainnya.
Bagi kita umat Islam di Indonesia, sudah tidak relevan lagi berhijrah berbondong-bondong seperti jijrahnya Rasul, mengingat kita sudah bertempat tinggal di negeri yang aman, di negeri yang dijamin kebebasannya untuk beragama, namun kita wajib untuk hijrah dalam makna “hijratun nafsiah” dan “hijratul amaliyah” yaitu perpindahan secara spiritual dan intelektual, perpindahan dari kekufuran kepada keimanan, dengan meningkatkan semangat dan kesungguhan dalam beribadah, perpindahan dari kebodohan kepada peningkatan ilmu, dengan mendatangi majelis-majelis ta’lim, perpindahan dari kemiskinan kepada kecukupan secara ekonomi, dengan kerja keras dan tawakal.
Untuk itu, mari kita jadikan makna hijrah dengan semangat menyambut masa yang akan datang dengan penuh harapan, kita yakin bahwa sehabis gelap akan terbit terang, setelah kesusahan akan datang kemudahan dan kita yakin bahwa pagi pasti akan datang walaupun malam terasa begitu lama dan panjang. Karena roda kehidupan selalu berputar dan tidak mungkin berhenti. Imam Syafi’i pernah ebrkata:”Memang sebeanrnya zaman itu sugguh menakjubkan,s ekali waktu engkau akan mengalami keterpurukan, tetapi pada saat yang lain engkau memperoleh kejayaan”. Dengan pergantian waktu setahun, menunjukkan bahwa umur kita bertambah satu tahun, tetapi kesempatan hidup kita di dunia telah ebrkurang pula satu tahun, yang berarti semakin jauh kita dari kelahiran dan semakin dekat kita kepada kematian. Hasan al-Basri mengumpamakan manusia bagaikan kumpulan hari-hari, setiap hari yang pergi, kita seperti kehilangan bagian dari diri kita. Apa yang telah pergi tidak akan pernah kembali.
Mari kita jadikan peralihan tahun sebagai momen untuk melihat kembali catatan yang mewarnai perjalanan hidup masa lalu, dengan melakukan renungan atas apa yang telah kita perbuat. Kita gunakan kesempatan ini untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup di dunia dan akhirat kelak, dengan bercermin kepada nilai-nilai dan semangat hijrah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, karena sesungguhnya Allah menjadi pergantian siang dan malam untuk dijadukan pelajaran dan mengungkapkan rasa syukur, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Furqan ayat 62, artinya “Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur. “Selamat Tahun Baru Hijriah 1433 H” Semoga hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah orang yang beruntung, Siapa yang hari ini keadaannya sama dengan kemarin maka dia rugi, Siapa yang keadaan hari ini lebih buruk dari kemarin, maka dia celaka” (Al Hadist). " Amin-Wallahu a’lam.
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di KUA Kec. Mpunda Kemenag. Kota Bima
Tidak ada komentar:
Posting Komentar