Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pd.I[2]
Sejarah
Syaikh Ihsan Jampes (1901 M), seorang ulama’ besar
asal Banjarmelati-Kediri Jawa Timur masih keturunan Sunan Gunung Jati dari
silsilah Bapaknya dan Sunan Ampel dari silsilah Ibunya. Beliau mengutip
pendapat pengarang Kitab Tuhfah
al-Ikhwan, dalam buku yang ditulis beliu, Kitab Kopi dan Rokok (untuk para
pecandu rokok dan penikmat kopi berat), yakni pada bagian menjelaskan bagian
kesehatan badan, dijelaskan bahwa tembakau (at-Tabghu)
pada mulanya adalah tanaman lokal di suatu daerah yang bernama Tobago suatu negeri di wilayah Meksiko, Amerika
Utara. Pada masa pendudukan Amerika, berbondong-bondonglah orang-orang dari
Eropa untuk singgah dan menetap di ‘dunia baru’ tersebut. Mereka bergaul dengan penduduk asli Amerika
sehingga tahulah mereka tradisi dan adat istiadat penduduk asli, termasuk dalam
hal merokok. Ketertarikan mereka terhadap tradisi merokok membuat mereka
membawa bibit tanaman tembakau ini ke negeri-negeri Eropa, khususnya ketika ada
di antara mereka yang pulang ke kampung halaman.
Pemindahan bibit ini terjadi pada 1517 M atau 935 H.
Hanya saja, tanaman tembakau ini tidak tersebar luas di seluruh daratan Eropa.
Pada 1560 M atau 977 H, Yohana Pailot dari Vunisia mengunjungi Raja Alburqanal
di Panama, Amerika. Tentu saja kunjungan itu bukan sekedar kunjugan biasa, akan
tetapi dia membawa tambahan bibit tembakau untuk Vunisia sehingga beberapa saat
kemudian tembakau tersebar di negeri itu. Dari Vunisia, tanaman tembakau dibawa
dan disebarkan ke negri-negeri Eropa yang lain oleh seorang Rahib Vunisia yang
bernama Vuses Lorenz. Sejak saat itu, tanaman tembakau menjadi masyhur di
seluruh Eropa hingga sampailah ke Asia dan Indonesia. [3]
Inilah sejarah
singkat tanaman tembakau yang selanjutnya menjadi rokok. Tembakau (Indonesia)
kalau dilihat dari sejarah ini, lebih mirip ke asal nama tembakau dari Vunisia,
yakni Tobago (tembago=tembako=tembakau). Sedangkan Rokok sendiri bahsa arabnya
adalah ad-dhukhon (kabut). Dan kata-kata
Kabut berasal dari bahasa al-Qur’an, surat ad-Dukhan, tertulis pada ayat ke 10.
Artinya, : “Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut
yang nyata[1371],
[1371] yang dimaksud kabut yang nyata ialah bencana
kelaparan yang menimpa kaum Quraisy Karena mereka menentang nabi Muhammad
s.a.w.
Kedudukan Qiyas
Islam
adalah agama universal (rahmatan lil
‘alamin) begitupun dengan al-Qur’an bersifat (mujmal) dan membutuhkan kehadiran Hadits sebagai penjabaran maksud
dari al-Qur’an, sehingga bisa diterima oleh umat secara sempurna. Ada
penelitian di salah satu universitas di Damaskus 750 ayat dari sekitar 6.000
lebih ayat dalam al-Qur’an menegur orang mukmin untuk menggunakan akal
fikirannya. Ada ayat-ayat Qur’aniyah (Eksistensi Fisik) dan Kauniyyah
(Metafisik). Sebanyak 10 % ayat itu Qath’i (baku tidak bisa disentuh nalar) dan
90 % Zhanni (masih bisa disentuh nalar).[4]
Seperti awal
turunnya al-Qur’an berbentuk suhuf (lembaran), tanpa harkat dan bahasa arab.
Kemudian pada zaman Sayyidina Utsman bin Affan (Khalifah ke 4 setelah
Rasulullah) mengumpulkan al-Qur’an dan memberikan harkat, setelah terjadi
perbedaan dialeg cara membaca
al-Qur’an pada saat itu, yang berimbas pada makna dan arti al-Qur’an itu sendiri. Dan dalam sejarah Islam ini dikatakan mushaf Utsmani.
Sehingga
pertanyaannya, apakah al-Qur’an bid’ah?.
Jawabannya adalah ia, karena pengumpulan dan pengharkatan al-Qur’an pada zaman
Rasulullah tidak ada. Akan tetapi ini adalah bagian dari bid’ah hasanah. Dan Islam agama mudah, agama yang tidak mempersulit
penganutnya. Begitupun dalam pengambilan hukum-hukum yang dieprgunakan dalam
mu’amalah sehari-hari, termasuk masalah rokok.
Ayat al-Qur’an
membahas masalah rokok secara teks memang tidak ada, namun secara konteks tentu
ada, sepeti keharaman Narkoba yang didasarkan pada surat al-Maidah ayat 90 :
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah : 90).
Ayat ini kemudian di jabarkan / diperjelas kembali dengan Hadits dari
Abdullah bin Umar ra.
كل
مسكرخمروكل مسكرحرام
Artinya, : “Setiap zat yang memabukkan itu khamer dan setiap zat yang memabukkan itu haram”.
Dalam masalah ini, berlaku hukum Qiyas.
Bahwa Narkoba dan sejenisnya, yang bisa membuat orang mabuk (lupa ingatan)
adalah dihukumi sama dengan Khamer dan maka menjadi haram pula.
Nah, Qiyas adalah perbandingan atau perumpamaan yang berdampak sama. Dan Qiyas ini
merupakan salah satu dari macam-macam pengambilan sumber hukum dalam Islam
setelah al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ (kesepakatan
para ulama’). Termasuk Istihsan
(penganggapan baik), Istishhab
(pemberlakuan hukum masa lampau), al-mashlahah
al-mursalah (kemaslahatan yang tidak terdapat nas-nya dalam agama), ‘urf (adat kebiasaan) dan Syar’u man Qablana (Syariat nabi sebelum
kita. [5]
Pandangan
Ulama’
Selanjutnya bagaimana pandangan ulama’ tentang Rokok? Dalam hal ini
ada dua pendapat yang sama-sama menggunakan dalil naqli maupun aqli untuk
memperkuat argumen masing-masing :
1.
Golongan
Ulama’ yang Mengharamkan
Ada beberapa ulama’ yang
mengharamkan langsung rokok. Yakni diantaranya : Syaikh asy-Syihab al-Qalyubi. Beliau menjelaskan hukum rokok ini
pada Bab Najis dalam hasyiyah-nya atas kitab karangan
al-Jalal al-Mahali yang mengomentari kitab al-Minhaj-nya
Imam Nawawi. Pendapat beliau, “tembakaunya suci, namun rokoknya haram. Karena
salah satu efek rokok adalah membuka saluran tubuh, sehingga mempermudah
masuknya penyakit ke dalam tubuh”.
Ulama’ lain yang
mengharamkan rokok adalah, Syaikh
Ibrahim al-Laqqani al-Maliki, beliau berpendapat sama dengan ulama’
pertama, bahwa rokok adalah nakjis sehingga harus dihindari dan berbahaya serta
merusak pikiran.
Ulama’ ketiga yang
mengharamkan rokok adalah, al-Allamah
al-Faqih ath-Tharabisyi, bahkan beliau menulis buku yang berjudul, Tabshirah al-Ikhwan fi Bayan adh-Dharar
at-Tabgh al-Masyhur bi ad-Dukhan termasuk berpendapat sama dengan ath-Tharabisyi adalah al-Muhaqqiq al-Bujairimi beliau menulis
dalam hasyiyah-nya kitab al-Iqna’ fi Syarh Matn Abi Syuja’, pendapatnya
“mengkonsumsi sesuatu yang dapat
membahayakan badan atau pikiran hukumnya adalah haram”.
Dan tokoh yang lebih keras
berpendapat adalah Syaikh Hasan
asy-Syaranbila seorang ulama’ dari Madzhab
Hanafi, mengatakan rokok dan orang menjual rokok adalah haram. Ini di
dasarkan pada, setiap sesuatu yang nakjis dan haram untuk dimakan, maka menjual
dan membelinyapun haram. Hal ini seperti pada khamer (minuman keras). Termasuk
salah satu Ulama’ sufi, Sayyid al-Husain
Ibn Abi Bakr termasuk yang mufakat dengan pendapat ini adalah Syaikh Abdullah ibn Ahmad Basudan, pendapat
beliau, “barang siapa yang tidak mau bertaubat dari merokok dalam waktu empat
puluh hari sebelum matinya, dikhawatirkan dia akan mati dalam keadaan su’ul khatimah (mati jelek).
Dan terakhir adalah Syaikh Abdullah ibn Alwi al-Haddad seorang
sejarawan sekitar tahun 1012 tahun setelah hijrah Nabi dalam syairnya beliau
mengatakan, “menghirup lebih jelek di banding menghisap, karena nafas tentu
terbawa ke otak dan saat itu juga berpengaruh pada indera, demikianlah tingkah
setan terkutuk lagi tercela dan demikian, pembahasan haramnya rokok telah
sempurna”.
2.
Golongan
Ulama’ yang Menghalalkan
Seperti yang saya sampaikan
di atas, tiap masalah tentu ada yang pro dan ada yang kontra. Nah setelah kita
membahas ulama’ yang mengharamkan rokok, kini kita seimbangkan dengan ulama’
yang menghalalkan rokok. Diantara ulama’ yang menghalalkan rokok adalah, al-Imam Abd al-Ghani an-Nabilisi dari
pengikut Madzhab Hanafi beliau menulis sebuah risalah yang dinamai, ash-Shulh bain al-Ikhwan fi Hukm Ibhah Syarb
ad-Dukhan dan pendapat beliau juga di ‘amini’ oleh ualam’ lain, seperti al-‘Alamah asy-Syabramalis, Syaikh
as-Sulthan al-Halab, dan al-Barmawi.
Pendapat mereka yakni, “menghisap rokok halal. Kerharamannya bukan karena
rokok itu sendiri haram (haram li dzatih),
namun karena ada unsur dan faktor luar yang mempengaruhi ataupun merubah hukum
halal ini”. malahan al-Fadhil Mas’ud ibn
Hasan al-Qanawi asy-Syafi’i dalam kitab Syarh
Lamiyah mengatakan, “rokok juga mempunyai manfaat yakni menghilangkan serak
atau parau, sehingga rokok menjadi halal”. Dan
ar-Rusyd yang tertuanga dalam
Hasyiyah ‘ala Nihayah mengatakan,
“karena tidak adanya dalil yang dijadikan dasar untuk mengharamkan menghisap
dan mengkonsumsi rokok, maka hukumnya
adalah mubah (boleh).
Lain halnya dengan Syaikh Muhammad Sa’id Babashil, beliau
seorang ualama’ fiqih, mufti Syafi’iyah. Termasuk dalam golongan ini Syaikh Muhammad ibn Musa an-Nasawi dan al-Jamal ar-Ramli dalam Tuhfah-nya Ibn Hajar mengatakan, “rokok
tidak samapai haram, melainkan hukumnya adalah makruh”.
Kesimpulan
Dari beberapa pendapat ulama’ tentang rokok maka bisa di simpulkan
bahwa, hukum rokok atau rokok dalam pandangan Islam mempunyai beberapa hukum :
1.
Haram,
jika memudharatkan si perokok (bila menyebabkan sakit atau memiskinkan diri).
2.
Mubah,
jika menjadi obat / penyembuh.
3.
Makruh,
jika menyebabkan kelalaian.
Kelalaian dalam arti, sampai meninggalkan
ibadah yang lain (misalnya bersedekah, zakat dan menafkahi istri termasuk
shalat lima waktu akibar membeli atau merokok).
Artinya, “Katakanlah: "Terangkanlah
kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya Haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah
Telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah ?" (QS. Surat Yunus : 59).
Artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang
Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah Telah rezekikan
kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”. (QS.
Al-Maidah : 87-88).
Sebuah Hadits riwayat Ahmad
mengatakan :
لاَ ضِرَارَ أخرجه الإمام أحمد في المسند ومالك في الموطأ وابن ماجةلاَ ضَرَرَ وَ
“ Tidak (boleh melakukan/menggunakan sesuatu yang) berbahaya atau membahayakan” (Riwayat Ahmad dalam Musnadnya, Malik dan Atturmuzi)
Artinya, “Hai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah : 168)
Artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang
kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar
kepada-Nya kamu menyembah”. (QS. Al-Baqarah : 172).
Artinya,
“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu
yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al
Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-A’raf : 157)
Artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287];
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat
demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke
dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (An-Nisa’ : 29-30).
[287] larangan membunuh diri sendiri mencakup juga
larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri
sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.
Artinya, “Maka (apakah) barangkali kamu
akan membunuh dirimu Karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya
mereka tidak beriman kepada keterangan
Ini (Al-Quran)”. (QS. Al-Kahfi : 6).
[1]
Disampaikan pada seminar Dinas Kesehatan Kota Bima 25-28 Pebruari 2013.
[2]
Penyuluh Agama Islam di Kementerian Agama Kota Bima.
[3]
Syaikh Ihsan Jampes, Irsyad al-Ikhwan fi
Bayan al-Hukm al-Qahwah wa ad-Dukhan, (Terjemah : Kitab Kopi dan Rokok),
Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2009, hal. 14-15.
[4]
DR. Abu Yasid, LL.M., Nalar & Wahyu, Penerbit
Erlangga, Jakarta, 2007, hal. 60.
[5]
Ibid, hal, 56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar