Kamis, 15 September 2011

Konflik diujung Label Islam

Oleh : Mustapa Umar
 
Pergolakan wacana Islam pada dekade terakhir ini mencuat kemabli. Perselisihan dan ketidak dewasaan umat pada saat ‘Idul Fitri kemarin, bisa jadi ‘riak’ pemicunya. Saya menyaksikan sendiri, saat saya diberikan tugas PHBI Kota Bima untuk memberikan khutbah ‘Idul Fitri di Kelurahan Kolo. Malam itu, bagaimana perdebatan Pak Lurah Kolo yang mengikuti garis ‘intruksi’ wali kota dan sebagian masyarakat yang bertahan dengan ‘keyakinan’ faham mereka. Kejadian ini mengingatkan saya pada beberapa kejadian tempo dulu bahkan masih terasa saat ini. Gagasan-gagasan tentang Islam selalu dikumandangkan oleh berbagai pemikir islam, perang konsep selalu dilakukan.
Konsep Islam yang dimunculkan, tidak sebatas NU dan Muhammadiyah, namun ada label-label Islam yang lain dan sering dimunculkan  dan ‘diperjual belikan’ dalam pasar agama, serta istilah-istilah Islam pun makin menjamur. Katakanlah seperti Islam Fundamentalis, Islam Tradisional, Islam Militan, Islam Radikalisme, Islam Sekuler, Islam Liberal, Islam Rasional, Islam Modern, Islam Pluralis, Islam Borjuis, Islam Kanan, Islam Kiri, Islam Proletar dll. Atau bahkan mungkin seribu satu label Islam lainnya tersebut punya makna. Ciri dan tendensi tersendiri terlepas dari baik dan jeleknya. Namun banyak umat yang menkonsumsi istilah-istilah itu dan kemudian terjebak dan terseret bahkan terkubur oleh label-label tersebut tanpa perisai apapun.
Lalu apa yang terjadi? Yang terjadi kalau masalah ini dibiarkan, maka yang terjadi bukan suatu kedamaian dan ketenangan, tapi justru sebaliknya saling menyalahkan, mengkultuskan, tuduh menuduh, klaim-mengklaim, pembenaran sendiri-sendiri yang akhirnya timbullah perselisihan, perpecahan bahkan pertumbuhan darah. Dari sini umat lain akan mudah mengatakan bahwa biang kerok utama kekacauan adalah Islam. Di sinilah Islam sebenarnya diperkosa, dikotori, dan disirami air comberan fundamentalis tradisionalis, kotoran liberalis, modernis, debu-debu militant, radikal dan noda-noda pluralis, borjuis, proletar dan lain-lain.
Arus label-label Islam itulah yang membawa masyarakat ke jurang konflik. Padahal kalau kita mau jujur, sadar dan berpikir dengan jernih kembali, apa sich artinya istilah-istilah atau label-label tersebut? semuanya tak punya pengaruh dan dampak pada diri kita, pada ekonomi, lingkungan, kehidupan bahkan pada agama. bangsa,  dan negara kita. Apakah maju dan tidakannya umat di ukur oleh label-label itu? Apakah kaya dan miskinnya masayarakat disebabkan istilah-istilah tersebut? Tentu tidak! Sebab itu semua hanyalah wacana belaka, yang jauh dari moral-moral Islam sebenarnya. Label-label tersebut hanyalah ’keranda’ kosong orang-orang yang punya kepentingan untuk mengusung umat ke dalam liang perselisihan dan perpecahan yang endingnya Islam bukan agama perdamaian.
Terkadang kita tak sadar bahwa kita telah terbungkus oleh kata-kata fundamentalis, liberalis, pluralis, tradisionalis, feodalisme dan isme-isme yang lain. Terang saja, banyak diantara umat Islam yang teracuni terkekang oleh istilah-istilah tersebut. hingga kebingungan dan sulit untuk melangkah maju, serta tak punya ruang dan tempat, sebab setiap sikap dan gerak geriknya selalu dicap dan dikaitkan dengan istilah-istilah itu, siapakah pengusung label-label itu? Benarkah istilah-istilah itu muncul dari pemikir-pemikir islam? Jangan-jangan itu perburuan dan taktik orang-orang non Islam untuk membuat umat Islam terjebak dalam konflik kepentingan, konflik berkepanjangan, atau bahkan jangan-jangan itu sebuah proyek orang-orang Barat untuk memberangus Islam dari dalam.
Yang jelas Islam tidaklah demikian adanya, Islam ya Islam, tidak punya embel-embel apa pun. Islam tidak punya istilah-istilah itu, jika Islam selalu diberi label, maka akan terus terjadi perselisihan dan pertengkaran yang selalu akan membawa korban. Tengoklah bagaimana Dr. Farad Faudah / Fuda terbunuh dengan cara mengenaskan setelah berdebat tentang Islam sekuler dan radikal, juga bagaimana Fajrul Rahman yang harus keluar dari negaranya, karena konsep liberalnya tak sejalan dengan konsep militan orang-orang Pakistan. Begitupun dengan Mustafa Kamal dengan konsep sekulernya harus membawa korban, Ali Abdul Raziq, Abed Al-Jabini, Nazer Hamid, Dr. Inah dan lainnya. Bagaimana juga Prof. Dr. Nurcholis Madjid dengan konsep pluralismenya diserang oleh orang-orang tradisional. Juga Ulil Absar Abdallah dengan bendera JIL (Jaringan Islam Liberal)-nya mendapat kritikan tajam, bahkan divonis halal darahnya oleh Habib Riziq dari FPI, serta masih banyak pertentangan-pertentangan dan perselisihan yang ditimbulkan oleh istilah-istilah dan label tersebut.
Juga jauh sebelumnya, sejarah perpecahan sejak Ali bin Abi Thalib yang menimbulkan perbedaan dimulai dengan  peperangan Shiffin antara pengikutnya dengan pengikut Mu’awiyah, yang menewaskan 35.000 orang dari pihak Ali bin Abi Thalib dan dari Mu’awiyah tewas sebanyak 45.000 orang. Kemudian muncul berbagai perpecahan yang lain, yang sangat mengerikan, peristiwa jatuhnya Baghdad, yang diserang oleh bangsa Mongol dengan pasukan Tartarnya  yang dikenal sebagai bangsa yang bengis dan tidak berperikemanusiaan. Ini terjadi karena perbedaan pandangan antara khalifah yang orang Sunni dengan Syi’ah.  
 
Di Aabad 15 M, terjadi pertarungan Kerajaan Turki dengan Kerajaan Iran. Dengan terang-terangan kedua pihak mengatakan bahwa mereka berperang untuk mempertahankan kesucian mazhab mereka masing-masing. Turki dengan Mahdzab Sunnni Hanafi dan Iran dengan Mahdzab Syi’ah. Begitu juga hanlnya yang terjadi antara penganut Mazhab Syafi’i dengan Mazhab Hanafi yang telah menghancurkan Negeri Merv sebagai pusat ibukota wilayah Khurasan. Label-label islam tersebut akan selalu mengusung umat untuk saling mengklaim benar-salah, baik-buruk, Muslim-Kafir, untuk mengklaim bahwa kebenaran hanya milik kaum fundamentalis, kemajuan hanya milik liberal, Tuhan hanya milik Islam tradisional, Islam Radikal, Islam Militan dan lain-lain, yang ujung-uungnya umat akan mengalami konflik.
Berangkat dari sini penulis katakana bahwa apapun bentuk dan namanya istilah-istilah itu, hanyalah merupakan ‘drakula’ dalam Islam. Label-label itu sebagai gerbang konflik, bahkan mungkin sebagai gerbang maut yang mengantarkan umat Islam pada jurang perpecahan dan kehancuran. Dari itu, hendaknya kita sebagai pemimpin (khalifah) agama, pewaris para Nabi terutama untuk memberikan pencerahan pemahaman yang lebih mendalam dan transparan kepada mereka-mereka umat Islam yang di tataran ‘akar rumput’ agar Islam tetap menjadi agama perdamaian, agama rahmatan lil ‘alamain bukan agama ‘biang kerok’ perpecahan. Na’udzubillahiminzaalik.
 
Penulis, Penyuluh Agama di KUA Kec. Mpunda Kemenag. Kota Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar