Kamis, 15 September 2011

Kenapa Kita Berbeda?

Oleh : Mustapa Umar

Masih teringat segar dalam pikiran kita, bagaimana perdebatan para pakar islam dalam menentukan jatuhnya 1 syawal 30 Agustus 2011 kemarin. Siding yang selanjutnya disebut siding isbat berlangsung cukup seru. Sebuah tontonan, sekaligus tuntunan yang mendewasakan ummat islam tentunya. Bagi mereka yang kurang faham, dengan adanya tanyangan itu akan menjadi faham. Di sinilah hikmah yang bisa kita ambil untuk sementara, karena ‘pengalaman’ saya kemarin banyak masyarakat akar rumput justru tidak faham kenapa harus berbeda? Kenapa ada NU dan Muhammadiyah? Dan kenapa ada Rukyah dan Hisab?
Saat kegalauan ‘pemikiran’ orang-orang desa ini, sekilas ada yang secara singkat menjawab, perbedaan yang terjadi adalah perbedaan antara NU (Nahdlatul ‘Ulama) dan Muhammadiyah. Namun saat saya lebih detail bertanya kepada mereka, apa itu Muhammadiyah dan NU mereka juga gak faham, begitu dengan istilah Ru’yah dan Hisab. Alhasil merekapun hanya bisa pasrah atas ‘intruksi’ atasan masing-masing mereka, tanpa ada dasar keyakinan untuk mengikuti sesuatu dengan kemampuan dan pemahaman sendiri. Karena saya melihat, sebagian mereka melakukan amalan-amalan yang berbeda dari organisasi keagamaan yang mereka ikuti. Dan 1 Syawal 1342 H kemarin betul-betul terasa aneh dan sangat terlihat lucu. Ada yang tidak puasa, namun tidak ikut lebaran, ada yang lebaran namun tetap puasa dengan alasan menghormati garis strutur pemerintahan. Ada lagi yang hari raya dua kali, dan banyak lagi masalah-masalah yang timbul malam itu.  Belum lagi kekecewaan anak-anak yang sudah mempersiapkan obor pawai, namun karena informasi takbir jam 22.00 wita mereka sudah tidur.
Belum riak-riak kecil memang, namun sangat tidak membuat nyaman. Seharusnya ‘Idul Fitri untuk memaaf-maafkan malah menjadi berseteru karena tidak yakin dan yakin. Hal ini tentu menjadi PR tersendiri kita semua, terutama mereka-mereka yang ‘pengambil kebijakan’ di tubuh masing-masing organisasi keagamaan yang ada. Tidak bisakah kita mengambil kebjakan itu untuk kemaslahatan bersama? Sehingga ummat di bawah menjadi rukun tentram, dan ‘Idul Fitri terasa sakral dan penuh kedamaian. Tulisan opini saya, mungkin tidak untuk membahas NU ataupun Muhammadiyah, biarlah sekedar merangsang kita untuk mengetahui dan akhirnya mencari mana yang terbaik.
Sedikit mungkin sekedar mengingat ingatan kita. Ru’yah adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali ketika terjadi ijtima’ (bulan baru). Ru’yah dapat dilakukan dengan mata telanjang atau alat bantu optik seperti teleskop. Apabila hilal terlihat, maka sejak petang hati waktu setempat telah memasuki bulan baru hijriah. Sedangkan hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam dimulainya awal bulah hijriyah. Tatkala Allah azza wa jalla mensyariatkan kepada para hamba-Nya untuk melakukan ibadah puasa dan hari raya, maka sudah pasti Allah juga menjelaskan cara menentukan waktunya juga. Melalui lisan Rosul-Nya, Allah menjelaskan hal ini secara gamblang. Rasulullah saw dalam riwayat Bukhari dan Muslim bersabda, “Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya maka berhari rayalah. Dan apabila kalian terhalang maka sempurnakanlah tiga puluh hari”.  Dalil inilah yang menjadi dasar mereka yang melakukan Ru’yah. Sedangkan mereka yang melakukan Hisab, mengambil alasan pada surat Al-Baqarah ayat 185, ““…barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu..”/
Lalu mengenai Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama (NU). Wikipedia menulis, Muhammadiyah adalah organisasi yang didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta pada 18 November 1912 atau bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 H oleh K.H. Ah,ad Dahlan. Sedangkan NU (Nahdlatul ‘Ulama) berdiri di Jombang Jawa Timur pada 16 Rajab 1344 H atau bertepatan dengan 31 Januari 1926 oleh K.H. Hasyim Asy’ari (Kakek K.H. Abdurrahman Wahid (alm) / Gus Dur). Dan sebelum NU berdiri pada saat semangat Kebangkitan Nasional 1908 saat itu muncul pula Nahdlatu; Wathan (NW) atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916, dan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) ptahun 1918 dan Nahdlatut Tujjar, sebagai wahana pendidikan social politik kaum ‘sarungan’ saat itu.
Tapi sebenarnya organisasi keagamaan di Indonesia bahkan dunia tidak hanya NU dan Muhammadiyah saja. Dalam hal ini, Rasululullah saw jauh pada masa beliau, telah memberitahukan kita lewat hadits riwayat Ibnu Majah yang sudah populer, menyebutkan bahwa umat islam terpecah dalam 73 golongan dan 72 golongan di neraka. Sedang yang masuk surga adalah yang mengikuti jam’ah. Hadits lain yang diriwayatkan Tirmidzi, Rasulullah SAW menyebutkan “Yakni orang yang mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku” (ahlussunnah wal jama’ah). Namun saat ini  bahkan kalau kita verifikasi kembali mungkin sudah ratusan. Dan anehnya mereka semua menganggap ajaran merekalah yang benar-benar “ahlussunnah wal jama’ah”.
Sejarah perpecahan yang menimbulkan perbedaan dimulai dimulai dari peperangan antara pengikut Ali bin Abi Thalib dengan pengikut Mu’awiyah, yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Pada peperangan tersebut tentara Ali tewas 35.000 orang dan tentara Mu’awiyah tewas 45.000 orang. Kemudian muncul berbagai perpecahan yang lain, coba kita lihat beberapa perpecahan yang sangat mengerikan, peristiwa jatuhnya Baghdad, yang diserang oleh bangsa Mongol (pasukan Tartar yang dikenal sebagai bangsa yang bengis dan tidak berperikemanusiaan). Ini terjadi karena perbedaan pandangan antara khalifah yang orang Sunni dengan wasir besar (perdana menteri) yang orang Syi’ah. Perkelahian penganut Mazhab Syafi’i dengan Mazhab Hanafi juga telah menghancurkan Negeri Merv sebagai pusat ibukota wilayah Khurasan. Dan di abad ke-15 M, terjadi pertarungan Kerajaan Turki dengan Kerajaan Iran. Dengan terang-terangan kedua pihak mengatakan bahwa mereka berperang untuk mempertahankan kesucian mazhab mereka masing-masing. Turki dengan Mahdzab Sunnni Hanafi dan Iran dengan Mahdzab Syi’ah.
Membahas perbedaan tidak akan cukup satu atau dua halaman kertas ini. perbedaan akan terus berkembang sejalan perkembangan zaman. Tapi dengan munculnya berbagai perbedaan yang ada, akan menambah khazanah pemikiran kita tentang islam. Dan perbedaan-perbedaan inilah yang ikut ‘membumikan’ islam sejak dahulu dan kini. Dalam proses pembumian tersebut menggunakan dasar pemikiran yang berlandaskan pada demokrasi, konteks kekinian serta peng-agungan terhadap perbedaan pendapat, perbedaan penafsiran dan perbedaan pemahaman. Kesimpulan yang diperoleh sang penulis adalah bahwa syariat islam demokratis adalah syariat yang negosiabel, syariat yang membuka ruang untuk tawar menawar. Dengan demikian diarahkan agar ajaran islam tetap relevan dengan perkembangan jaman.
Karena Aallh sendiri tidak menutup ruang bagi hamba-Nya untuk terus berpikir, berkarya dan berinovativ. Kita diciptakan akal pikiran untuk dipergunakan sebaik-baiknya untuk memikirkan ciptaan-Nya. Namun tidak untuk memikirkan dzat-Nya saja. Sehingga sumber rujukan hukum islam terbelah menjadi dua, antara wahyu dan nalar. Wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits) dan Nalar (Ijma’, Qiyas, Istihsan, Istishab, Qaulussahabah, Maslahah al-Musrhalah, ‘Urf, syar’u man qobalana dll). Dalam al-Qur’anpun kandungan-kandungan ayatnya terbagi secara garis besar dua bagian, ada ayat-ayat qur’aniyah dan ayat-ayat kauniyah. Dalam ayat-ayat kauniyah inilah, fungsi akal (nalar) diperlukan agar tetap al-Quran sejalan dengan perkembangan zaman yang ada.
Dr. Abu Yasi, LLM. Wakil Direktur Pascasarjana IAII Situbondo Jawa Timur, alumnus Pakistan ini dalam bukunya Nalar dan Wahyu menulis, dalam terminology ilmu Mantik (ilmu logika) dikatakan manusia adalah hewan yang bisa berkata-kata (alinsaanu hayawanunnaathiq). Dan dalam kaidah Arab, berkata-kata mempunyai konotasi makna tidak sekedar berbicara, namun manusia mempunyai instinct berpikir. Nalar (pikiran) membedakan manusia dengan makhlulk lain. Di samping itu, sebuah sabda Rasulullah saw, “apa yang oleh umat Islam dipandang baik maka di sisi Allah pun hal tersebut dianggap baik”. Dari sinilah perkembangan pemikiran manusia terus mencari penyeimbangan untuk diterapkan oleh umat manusia. Contoh saja tentang jual bili valas, saham, internet, narkoba, dll yang dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ada perincian yang jelas.
Perkembangan pemikiran inilah yang mendasari adanya firqah-firqah dalam tubuh islam.  Namun dari perbedaan-perbedaan yang ada bisa kita urai beberapa hikmah yang bisa kita ambil sebagai pelajaran berharga terutama kita yang hidup di Indonesia dengan faham pluralism atau ‘kebinekaan tunggal ika’ dengan 6  agama yang diakui pemerintah, adalah sangat penting untuk menjaga keutuhan dan kedamaian kita dalam menjalankan ibadah dan keyakinan masing-masing. 
Pertama, Perbedaan itu Rahmat. Dasar ini adalah sebuah hadits yang katanya Rasulullah SAW bersabda :”Perbedaan diantara umat adalah rahmat”. Sementara ada juga yang mengatakan bunyi hadits tersebut adalah :”Perbedaan pendapat diantara umat adalah rahmat”. Sebagian pendapat mengatakan bahwa hadits ini dhoif. Terlepas daripada kesahihan hadits tersebut dari segi riwayat, marilah kita simak firman Allah SWT dalam an-Nahl ayat 64, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”.
Perhatikan ayat diatas, Allah menurunkan Al-Qur’an, salah satu fungsinya adalah untuk menjelaskan perbedaan pendapat diantara umat. Karena itu dengan adanya Al-Qur’an maka perselisihan pendapat dapat dihindari sehingga pada gilirannya  umat tidak terpecah-pecah dalam pertentangan. Bukankah perbedaan pendapatlah yang menyebabkan umat islam terkotak-kotak dalam firqah-firqah.  Maka bagaimana perbedaan pendapat menjadi rahmat bagi seluruh 73 golongan? Untuk apa Rasulullah mewasiatkan bahwa yang mendapat rahmat hanya 1 golongan yaitu yang ikut Al-Quran, Al-Hadits dan hidup berjamaah?
Dalam menghadapi perbedaan pendapat diantara umat islam, Allah SWT berfirman dalam surat an-Nisa ayat 59, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri diantaramu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. Dengan dasar-dasar tersebut sudah semestinya perbedaan pendapat bukan hal yang harus dipelihara apalagi malah menjadi kebanggaan karena bisa beda pendapat.
Kedua, Perbedaan itu Indah. Allah menciptakan alam ini memang sudah dalam keadaan berbeda-beda. Baik manusianya maupun apa-apa yang ada di dalam alam semesta yang kita tempati ini. Penegasan Allah tertera dalam Surat Al-Hujarat ayat 13, Firman-Nya : Artinya, “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”
Da’i sejuta umat, alm. Zainuddin MZ dalam pidatonya tentang  Perbedaan mengatakan, tidak akan ada orang kaya kalau tidak ada orang miskin, tidak ada orang ‘alim kalau tidak ada orang bodoh.  Semua kita saling membutuhkan dan saling ketergantungan. Setanpun Allah yang menciptakan untuk penyeimbang kehidupan, karena Setan tidak akan bisa bergerak bebas tanpa perintah Allah. Kenapa setan Jahat dan Malaikat baik? Karena memang kejadiaannya di ‘segaja’ oleh Allah seperti itu. Kita sedikit membuka alam filsafat kita, bagaimana bisa Setan masuk Syurga untuk menggoda Nabi Adam As dan Hawa pada saat itu, kalau tidak ada ijin dan perintah Allah. Karena Setan toh tempatnya di Neraka.
Beberapa kali saya ikut tarawih dan sholat subuh di Kota Bima, saya melihat perbedaan-perbedaan faham (furu’iyah) ini bisa indah terlihat. Jujur dan singkat mungkin furu’iyah yang diperdebatkan di NU dan Muhammadiyah selama ini yang saya fahami di Jawa Timur tidak terjadi di sini. Perbedaan Qunut dan tidak Qunut dalam shalat Subuh, Tarawih 20 bagi NU dan 8 bagi Muhammadiyah dan hal-hal furu’yah yang lain.  Di sini, mereka bisa akur, duduk berdampingan menempatkan posisi masing-masing dalam satu wadah (masjid) dan tidak perlu mendirikan masjid sendiri-sendiri. Inilah keindahan (pluralism faham) yang harus kita jaga.
Ketiga, Perbedaan itu Adil. Allah tentang keadilan banyak sekali menyinggung dalam Al-Qur’an, satu firman-Nya dalam surat An-Nah ayat 90, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. Kata adil menurut `Ibn ‘Athiyyah: “telah berkata al-Qâdlî `Abû Muhammad: Adil adalah melakukan segala perkara yang difardukan dari segi akidah dan syariat, kehidupan sesama manusia di dalam melaksanakan amanat dan meninggalkan kezaliman, memberikan sesuatu yang hak”.
Allah memerintahkan untuk melaksanakan amanat kepada yang berhak menerimanya. Dalam hal ini adalah semisal memberikan perlindungan hukum terdapat yang memintanya. Dalam menghukum, haruslah dengan keadilan. Adil di sini memiliki banyak arti, bisa berupa memberikan sesuatu yang hak terhadap yang berhak memilikinya. Bisa juga berarti seimbang antara dua orang.Dalam berperadilan, Islam menuntut untuk terjadi keadilan di antara kedua orang yang berperkara. Keadilan ini adalah bermakna kedua mereka sama ada kaya atau miskin, kuat atau lemah haruslah tetap diperlakukan sama tanpa melihat siapa mereka. Ini ditetapkan walaupun terhadap orang yang lemah sekalipun.
Kesimpulan makna dari perbedaan itu adalah keadilan, yakni adil tidak harus sama namun adil adalah berbeda, menempatkan sesautu pada takaran masing-masing. Kalau boleh saya contohkan, jika seorang bapak mempunyai anak dua orang, satu umur 10 tahun dan satu 5 tahun. Maka dalam hal ini, si bapak tidak harus memberikan uang belanja sama-sama Rp. 10.000,- kalau seperti ini si bapak justru tidak adil, karena kebutuhan 10 tahun sama 5 tahun tentu berbeda, maka pemberiannya pun harusnya berbeda sehingga itulah keadilan sebenarnya. Begitupun dalam hal hukum dan perlakuan hukuman kepada mereka yang bersalah demi hukum.  
Mungkin ini yang harus kita ambil makna dari perbedaan yang terjadi ‘Idul Fitri kemarin, kalau toh masih beda pendapat? Mari kita kembalikan bahwa “alhaqqu mir-rabbikum” Kebenaran itu hanya milik Allah. Kita hanya sampai pada batas menyangka sebagai kebenaran dengan menggunakan dalil mengutamakan Al-Quran. Bila dalam Al-Qur’an tidak ada, kita buka Sunnah Rasulullah. Bila tidak ada, maka bermusyawarahlah. Bila dalam musyawarah masih juga belum menemukan kata sepakat, serahkan keputusan kepada imam kita. (Maka dari itu berjama’ahlah).  Dan tidak boleh mengganggap ajaran kitalah yang paling benar, dan ajaran yang lain tidak benar. Dalam ar-Ra’du ayat 40 Allah berfirman, “sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka”. Wallahu’alam bisshawab.
 
Penulis, Penyuluh Agama Islam di KUA Kec. Mpunda Kemenag. Kota Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar