Kamis, 07 Juni 2012

ROKOK antara Kesejahteraan dan Penyakit Masyarakat


Oleh : Musthofa Umar

Seminggu yang lalu, tepatnya 31 Mei 2012 kita memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia (World No Tobacco Day). Terkesan lambat namun perlu sedikit menuangkan opini lewat koran ini tentang tembakau yang ujung-ujungnya berbicara mengenai rokok.  Banyak tulisan di Internet yang membahas rokok dengan kemiskinan, mereka mengopinikan perokok kebayakan orang-orang miskin yang tidak punya pekerjaan dan pinggitan. Namun tidak demikian adanya, karena banyak orang kaya pun merokok, PNS, bahkan dokterpun ada yang merokok. Beberapa waktu lalu diruang rontgen salah satu rumah sakit di kota ini, saya melihat petugas rotgen menghisap rokok sambil menunjukkan hasil rotgen pada pasien, sangat ironis memang, tapi itulah Indonesia. Demikian halnya dengan guru, yang merokok dilihat oleh murid-muridnya.
Akan tetapi, jika kita berbicara tembakau dengan kemiskinan para petani tembakau, akan menjadi menarik. Karena banyak petani tembakau yang belum sejahtera walaupun harga rokok melambung tinggi. Mereka petani tembakau sebagian besar masih identik dengan kemiskinan, apalagi tembakau adalah tanaman musiman, yang penghasilan mereka didapat semusim sekali saja. Mereka padahal menyumbang pendapatan negara dari bea cukai tembakau sangat fantastis. Berbicara rokok, tentu juga sering diidentikkan dengan penyakit yang sangat mematikan yakni paru-paru. Dan jarang kita menemukan, ada orang yang menyeimbangkan pembicaraan rokok, tembakau dengan kesejahteraan rakyat kita yang sebagian besar menggantungkan hidupnya dengan tembakau atau pabrik rokok.
Saya tidak berbicara hukum fiqh (agama) bagaimana menghukumi rokok, bukan karena saya sendiri seorang perokok tidak, tapi opini saya lebih kepada hukum sosial. Karena berbicara hukum fiqh adalah hak manusia dengan Allah SWT, di samping itu penafsiran tentang hukum rokok sendiri masih sengit diperbincangkan, alhasil kalau saya berbicara tentang hukum fiqh maka akan mengusik ketentraman sebagian faham di negara ini, tentang pandangan mereka terhadap rokok.  Dan kritik saya terhadap pakar-pakar fiqh adalah, kenapa mereka tidak membicarakan hukum menanam tembakau, yang sumber utama dari rokok. Lalu nanti akan ditemukan penilaian tersendiri dari para jama’ah kita yang menggantungkan hidup dan keluarganya dari hasil menanam tembakau. Atau hukum bekerja pada pabrik rokok, dan hukum menjual rokok. Oleh karena itu, mari kita berbicara hukum sisi sosialnya saja. Bagaimana kehidupan mereka-mereka yang menanam tembakau, dan bekerja dari hasil tembakau dan rokok.
Coba kita lihat beberapa fakta dilapangan yang berasal dari rokok atau tembakau.  Petani tembakau menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) Nasional tahun 2005 saja, tercatat 1,6 persen dari jumlah tenaga kerja sektor pertanian atau sekitar 686.000 petani. Ini setara dengan 0,7 persen jumlah tenaga kerja di Indonesia.  Produksi tembakau Nasional mencapai 150.000 ton per tahun, pada tahun 2008 untuk membuat 22 milyard batang rokok. Dan jumlah pendapatan Negara dari beacukai tembakau pada tahun 2012 mencapai, 62,759 triliun pada 2011, sementara target pajak sektor penerimaan APBN secara umum saban tahun mencapai 75 persen; jika pada 2012 nanti Indonesia membelanjakan sekitar 1.100 triliun, maka sumbangan rokok bisa dihitung.
Belum lagi pekerja-pekerja yang menggantungkan hidupnya pada tembakau. Lihat saja catatan Wikipedia dari tiga pabrik rokok terbesar di Indonesia, HM.Sampoerna misalnya, memperkerjakan karyawan sebanyak 28.300 orang data tahun 2009. Gudang Garam, juga sebanyak 28.300 (2009) orang dan Djarum memperkerjakan karyawan sebanyak 75.000  orang (2009). Belum lagi mereka-mereka yang jualan rokok, pedagang asongan, kaki lima, kios dan sebagainya.  Dan jumlah perokok di dunia data tahun 2010 sebanyak 1,3 Miliyard orang. Garis kemiskinan di negeri ini sudah sangat menghawatirkan. Apalagi kalau kita tidak berbuat untuk mensejahterakan mereka, nah dengan adanya rokok dan tembakau, sedikit tidak membantu mereka keluar dari belenggu kemiskinan. Atau setidaknya, mereka tidak menjadi pengemis dan gelandangan yang pada akhirnya akan mengganggu stabilitas negara juga.
Namun jika rokok bisa membuat seorang menjadi sakit, tentu ada antisipasi yang harus dibuat. Akan tetapi, rokok bukanlah sumber penyakit satu-satunya, bahkan makanan dan minuman yang sering kita konsumsipun jika tidak tepat, akan menyebabkan kita sakit bertahun-tahun. Kita harus pandai menimbang-nimbang, seberapa besar pengaruhnya jika larangan merokok terhadap kehidupan mereka (petani tembakau dan pekerja rokok). Adakah alternatif lain yang diperbuat kita, selain melarang? Misalnya dengan menciptakan tanaman lain, yang harganya sama dengan harga tembakau, atau pekerjaan lain yang nilai upahnya sama dengan upah mereka yang bekerja di pabrik-pabrik rokok? Dari sini nanti baru kita bisa melangkah kearah yang lebih kongkrit, yakni larangan. Menurut saya, sejauh ini, baru semacam himbauan-himbauan saja, bukan laranagan. Atau boleh dikatakan larangan, namun masih setengah-setengah. Karena sepertinya tidak diindahkan oleh mereka baik pabrik, petani, pekerja maupun perokok.
Nah dari data-data di atas, apa yang bisa kita perbuat untuk mengantisipasi ‘bahaya’ rokok? Beberapa alternatif yang diperbuat pemerintah yang sudah dilakukan adalah dengan membangun fasilitas-fasilitas khusus di beberapa rumah sakit untuk penderita jantung dan paru-paru yang dananya dari hasil bea cukai tembakau dan rokok. Selain itu pemerintah juga membuat perda-perda tentang rokok. Namun pertanyaan kita, seberapa efektifkah semua itu? Dengan data yang terus mengalami peningkatan yang ditimbulkan adanya rokok. Dan yang  pernah di buat pada tahun 2004 di Jenewa adalah, penyusunan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) atau Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau, yakni beberapa point; (1) Pengurangan iklan rokok, (2) Menaikkan cukai terhadap produk rokok, (3) Memberikan peringatan bergambar tentang bahaya rokok pada produk rokok, (4) Membuat area khusus untuk perokok, (5) Pembatasan akses anak terhadap rokok, dan  (6) Penjualan rokok secara tertutup.
Dari beberapa point FCTC yang efektif atau dilaksanakan berapa? Bisa kita lihat dan nilai, apakah aturan ini berlaku atau belum efektif alias mandul? Pengurangan iklan rokok, memang jam penanyangan sudah di batasai, baik di TV ataupun di radio, mulai jam 21.00 ke atas. Akan tetapi bagaimana dengan Koran, Majalah dan Spanduk atau baliho? Sepanjang jam orang bisa melihat demikian juga dengan anak-anak, karena itu bagian dari cara beriklannya sebuah produk rokok.  Iklan rokok juga mendatangkan inkam tersendiri bagi para pengusaha media, juga pajak iklan untuk pemerintah daerah. Taruk saja untuk zona satu harga satu sepanduk adalah 3.500 rupiah per meter kali perhari. Kalau mereka memasang sepanduk satu bulan dengan ukuran enam meter, berapa penghasilan pemerintah dari pajak yang edikeluarkan? Inilah yang mungkin juga membuat pemerintah setengah-setengah mengeluarkan perda laranagn iklan rokok di tempat-tempat terbuka. Dan mana mau, perusahaan rokok, memasang iklan ditempat tertutup. Belum lagi pajangan-pajangan rokok di mall atau warung-warung pojok, sebagian dari bentuk iklan rokok yang dilakukan rokok.
Dari pertunjukkan musik, konser atau sejenisnya dengan menggandeng perusahaan rokok sebagai iklan tunggal yang menyokong dana kegiatan misalnya, belum ada yang menyaring penonton umur 18 tahun ke atas, sepengetahuan saya, pernah dilakukan oleh HM. Sampoerna waktu dulu, entah saat ini, atau entah perusahaan-perusahaan rokok yang lain. Namun dalam hal ini, kelihatannya sulit sekali untuk mengantisipasi penonton yang dibawah umur 18 tahun, menonton konser musik dengan penyokong dana atau iklannya rokok. Akan menjadi sangat rumit bagi panitia pelaksana untuk menyeleksi dengan menunjukkan KTP setiap pengunjungnya. Karena dengan jalan itulah bisa diketahui bahwa penontonnya sudah berumur 18 tahun atau tidak. Iklan walapun sudah mentaati peraturan jam 21.00 ke atas, akan tetapi, pemerintah belum bisa memastikan, anak-anak usia 18 tahun ke bawah pada jam itu sudah tidak menonton TV atau tidak, sehingga jam 21.00 bisa jadi, masih banyak anak-anak remaja kita yang menonton dan masih bisa melihat iklan rokok di putar.
Lalu penaikan bea cukai rokok? Kita tahu harga rokok terus meningkat, namun pembelinya pun tanpa surut dan banyak alternatif lain, yang penting bisa merokok. Aturan ini sebenarnya untuk mengurangi pabrik rokok atau perokok? Kalau pabrik rokok mungkin saja bisa, karena tidak mampu membayar karyawan atau bea produksi lain, akan tetapi perokok akan tetap merokok walau dengan membuat sendiri (lintingan). Dan jumlah perokok filter (bersaring) dan kretek (tanpa saring) lebih banyak yang kretek. Sejarah rokok juga menunjukkan awalnya rokok hanya kretek, karena mudah dan simpel dibuat orang. Dengan membawa kertas rokok dan tembakau, masyarakat kita dengan mudah membuat rokok. Sehingga bea cukai, hanya menekan tumbuhnya pabrik rokok, tidak untuk mengurangi perokok. Tentang peringatan bergambar, sampai sekarang perusahaan rokok tidak memberikan gambar apapun pada bungkus rokok mereka.
Hasil FCTC yang point empat, tentang area khusus perokok. Beberapa tempat di bandara atau terminal mungkin sudah kita temukan, akan tetapi kebayakan belum menerapkan itu, sehingga dengan bebas perokok merorok di manapun. Dan aturan ke lima ini, perlu kita waspadai dan berusaha bagaimana caranya penjual rokok ditingkat terbawah (pedagang asongan) supaya tidak menjual rokok pada anak-anak dibawah umur. Sering saya lihat anak berseragam membeli rokok pada jam istirahat, karena dagang di samping sekolah, atau orang tua yang menyuruh anaknya untuk membelikan mereka rokok. Dan tindakan orang tua ataupun guru mengenai rokok belum begitu nyata. Mendeteksi perokok, terutama siswa sangat mudah padahal, dari bau mulut atau keringat saja, orang bisa mendeteksi bahwa dia seorang perokok. Dan harusnya banyak sekolah yang menerapkan itu, bukannya himbauan berupa tulisan-tulisan saja.
Ingat negara kita Indonesia, adalah sebagai negara pengguna tembakau terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India. Jika boleh saya ibaratkan seorang petani membasmi hama wereng supaya padinya hasil panen bagus, maka wereng sebagai penyebab rusaknya padilah yang dibasmi. Nah pada persoalan rokok, terlihat memang sekedar himbauan walapun katanya penyakit yang diakibatkan rokok sangat berbahaya. Jika memang sudah sangat mengkhawatirkan, kenapa tidak dilakukan “pembasmian” segera. Inilah yang terlihat setengah hati, harusnya petani tembakau dihimbau untuk menanam yang lain, atau bagaimana caranya agar mereka tidak menanam tembakau, atau perusahaan tidak menginpor tembakau sehingga bahan baku mereka tidak ada. Tapi kembali ke kesejahteraan petani dan pekerja, sudahkagh pemerintah memikirkan lapangan pekerjaan lain untuk mereka? Puluhan ribu pekerja itu, hanya menggantungkan hidup mereka dari rokok. Oleh karena itu, jika hanya semacam himbauan, maka menurut saya sulit untuk menghentikan rokok di Indonesia. Dan ketegasan pemerintah juga, untuk mereka-mereka yang dibawah umur dan masih sekolah yang sudah candu merokok.
Andaipun sebagus apa peraturan tentang rokok, tapi kalau setengah hati maka hanya menjadi peraturan angin lalu saja. Di rumah, sekolah, tempat-tempat umum masih banyak kita jumpai anak-anak yang membeli dan merokok seenaknya. Namun pedagang cuek-cuek saja, mereka hanya mengejar keuntungan belaka. Lihat saja, beberapa SMA-SMK yang dipinggirnya ada kios atau toko menjual rokok, terkadang kerap kali kita lihat siswa membeli dan merokok begitu saja, namun tidak ada sangsi yang diberikan kepada pedagangnya misalnya bila kedapatan menjual rokok pada anak di bawah umur. Atau di rumh sakit walau ada peraturan area bebas rokok dan denda 50 ribu, masih saja orang enak merokok.  Mudah-mudahan tulisan saya, menjadi inspirasi kita untuk bagaimana peredaran rokok, cukup pada mereka yang sudah dewasa kalau memang menghentikan total tidak bisa. Amin,

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di KUA Mpunda Kemenag Kota Bima dan Sekretaris Forum Komunikasi Penyuluh Agama Kota Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar