Senin, 30 Juli 2012

Mengukur Kadar Iman dengan Puasa

Oleh : Mustapa Umar, S.Ag.

Surat Al-Baqarah ayat 183 yang menjadi dalil puasa, yang sering kit abaca dan dengarkan dalam setiap ceramah-ceramah agama, tulisan-tulisa ramdahan adalah. Allah berfirman, “wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kamu untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa”. Dan selajutnya diikuti oleh ayat-ayat yang lain, yang semuanya berkaitan dengan perintah puasa ini. Dari posisi turunnya kita sudah faham kalau ayat ini termasuk bagian dari ayat-ayat Madaniyah atau ayat-ayat yang diturunkan di Madinah.  Ayat ini menggunakan awal, “yaa ayyuhalladzi na aamanu”  (wahai orang-orang yang beriman). Dan beda dengan ayat-ayat Makiyah yang dimulai dari “yaa ayyuhannas” (wahai manusia). 
 
Ibadah apapun yang kita kerjakan, hendaknya lebih kualitasnya dari pada kuantitasnya. Boleh saja kita hanya shalat lima waktu, zakat, dan puasa namun apapbila diterima semua oleh Allah SWT maka hasilnya sama dengan mereka ummat-ummat terdahulu yang notabenenya berumur panjang-panjang dan bisa melakukan ibadah kepada Allah SWT panjang pula. Dan inilah keistimewaan ummat Nabi Muhammad SAW dengan ummat-ummat yang lain. Kuantitas umur dan ibadah tidak mempengaruhi kualitas nilai ibadah yang kita kerjakan. Dan tulisan saya ini, mencoba melihat beberapa kandungan maksud dari kata-kata “aamanu” (beriman) yang implikasinya adalah sifat takqwa menjadi meningkat kepada Allah SWT. Adapun beberapa makna yang bisa kita ambil dari ayat ini adalah ;
 
Pertama, ayat ini menggunakan “aamanu” hanya cirri-ciri ayat-ayat Madinah saja, karena diturunkan di kota Madinah. Kota yang didiami oleh Rasulullah dengan cara hijarah bersama para sahabat saat itu. Dan di Madinah keimanan ummat islam pada waktu itu berbeda dengan Makkah. Artinya, masyarakat Madinah saat itu sudah sebagian besar beriman, sehingga perintah puasa turun di Madinah di saat umat islam sudah beriman. Kedua, kalimat “aamanu” dalam ayat ini adalah merupakan prasyarat (syarat awal) bagi mereka yang hendak melakukan puasa. Kalau mereka tidak beriman maka jelas, mereka tidak bisa mengerjakan puasa dalam bulan Ramadhan ini. Karena dengan imanlah yang akan menuntun kita bagaimana cara mengerjakan puasa yang benar dan puasa yang diterima oleh Allah SWT.
 
Ketiga, bisa juga, “aamanu” dalam dalil puasa ini berarti seleksi atas keimanan masing-masing ummat islam di dunia ini. Ibarat sebuah perlombaan, digaris start banyak kita yang mengikuti, namun sampai garis finis hanya beberapa orang saja yang bisa menyelesaikannya dengan baik. Boleh dikata hasil adalah manfaat dalam melakukan puasa yakni Taqwa. Namun sebenarnya Iman dan Taqwa adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Orang berimanlah yang akan mendapatkan Taqwa itu dan hanya orang-orang yang berimanlah yang mampu menyelesaikan puasanya dengan baik.
 
Dengan kita menjalankan puasa, berarti kita beriman dan akan mendapatkan taqwa? Ini pun jawabannya belum tentu, kenapa? Karena kita harus melihat posisi iman dan taqwa itu sebenarnya dimana? Di mana posisi iman dan taqwa  yang menjadi tujuan kita menjalankan puasa ini sebenarnya? Dalam sebuah riwayat hadits, pernah diceritakan para sahabat mempertanyakan kepada Rasululullah tentang Iman dan Taqwa. Karena para sahabat heran, kenapa dalam setiap khotbah, tausiyah dan pidato-pidato Nabi, mesti diawali dengan kata-kata tingkatkan iman dan taqwa selalu. 
 
Para sahabat saat itu bertanya, “ya Rosulullah, hamba perhatikan setiap khotbah Rosul selalu mengingatkan kami untuk selalu beriman dan bertaqwa,  apakah kami belum dikatakan beriman dan bertaqwa? Padahal kami sudah imani dan yakini Allah SWT adalah Tuhan dan Rosulullah adalah junjungan kami?. Dan Rosulullah menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepala seraya menunjuk dada beliau, “saya tidak tahu, karena iman dan taqwa itu, hanya d isni (haa hunaa), telunjuk rasulullah lurus ke dada sebelah kiri, yakni posisi hati.  
 
Berawal dari hal inilah, maka puasa benar-benar ibadah yang rahasia. Karena ibadah ini hanya berurusan dengan hati masing-masing kita. Sebuah pribahasa sering kita dengarkan, “sedalam-dalamnya lautan dapat kita ukur, namun sedalam-dalamnya hati siapa yang tahu”. Hati adalah segumpal darah yang menentukan bentuk tingkah laku manusia. Dari hati akan dikomunikasikan dengan akal, lalu dijalankan dengan indra-indra yang lain, bisa mata, hidung, telinga, mulut, tangan dan kaki. Maka Rosulullah SAW sangat berpesan untuk bisa menjaga hati. 
 
Dalam kitab sulamuttaufiq dikatakan setiap manusia melakukan dosa kepada Allah SWT, maka akan diberikan satu titik hitam dihatinya. Maka jika sering melakukan dosa, semakin banyak titik-titik hitam di dalam hatinya, dan jika hati sudah dipenuhi dengan titik-titik hitam, maka menjadi hitamlah hati manusia yang semula berwarna merah kecklatan. Dan kalau sudah hati menjadi hitam, sejak itupula manusia menjadi keras, sulit diarahkan karena hatinya sudah tidak bisa menerima kebaikan yang ada.  Apapun nasehat yang diberikan tentang nasehat agama dan kebaikan, mereka seolah-olah acuh tak acuh saja. Dan merasa bangga dengan dosa-dosa yang mereka perbuat di dunia ini. Na’udzubillahimindzaalik semoga kita terhindar.
 
Taqwa yang kita harapkan, sebenarnya rinkas saja yakni menjalankan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya. Hatilah yang akan memilah mana yang harus diberikan porsi kepada nafsu dan mana yang diberikan porsi kepada akal fikiran. Jika nafsu lebih besar porsinya dan dia mengalahkan akal, maka jelas manusia bisa menjadi binatang, dan bahkan lebih dari itu kata Allah SWT. Tapi jika akal yang lebih besar mendapatkan porsi maka selamatlah manusia itu. Kerena akallah menjadi pembeda antara manusia dan binatang.
 
Setelah puasa, kita bisa ukur sendiri apakah kita menjadi lebih takut melakukan dosa, dan gemar melakukan kebaikan apa tidak? Jika gemar melakukan dosa, maka insyaallah imbas puasa tidak ada. Sebaliknya, kebaikan-kebaikan yang kita lakukan di dalam puasa ini, kita tingkatkan setelah puasa malah semakin bertambah, insyaallah taqwa itu kita dapatkan. Oleh karena itu, mari ibadah puasa yang kita lakukan saat ini, hendaknya mampu membersihkan titik-titik hitam itu, dan Allah SWT memberikan kita pengampunan serta menjadikan kita orang-orang yang bertaqwa. Amin ya Robbal ‘aalamin.
 
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di KUA Kec. Mpunda Kemenag Kota Bima Sekretaris Forum Penyuluh Agama Islam Kota Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar