Minggu, 15 Juli 2012

Hak Rohani Kaum Buruh


Oleh : Musthafa Umar

Kemarin kita menyaksikan ribuan buruh menadati Bundaran Hotel Indonesia, dan Kantor Kementerian Transmigrasi menuntut  outsourcing (pemindahan atau pengalihan kerja) agar dihapus, UU No. 13 Tahun 2003 dihapus dan kenaikan upah minimum. Rezim Soeharto memang telah lama lengser, yang mana kita mengetahui kebesan kaum buruh terasa tidak ada sama sekali, beberapa kisah nasib buruh yang memperjuangkan nasib / haknya pada waktu itu, hilang tanpa jejak atau dibiarkan begitu saja. Kasus melegenda nasib buruh Marsinah misalnya, sampai sekarang kita tidak tahu kelanjutannya. Dan tentu banyak Marsinah-Marsinah lain yang bernasib sama. Akan tetapi walaupun Orde Baru sudah tidak ada, posisi nilai tawar buruh terhadap majikan dan pemerintah masih belum selayaknya. Sehingga setiap hari Buruh Dunia (1 Mei) tetap saja ada demo tuntutan-tuntutan kesejahteraan dan lainnya bagi mereka. Tetap saja, banyak buruh kita yang menjadi korban kebiadaban majikan, terutama di luar negeri.

Indonesia memang sudah lama merdeka, bebas dari jajahan kolonialisme. Akan tetapi sampai saat ini, tanpa kita sadari Indinesia sebenarnya masih dijajah rezim Kapitalisme dan Neoliberalisme adalah rezim yang menjajah bangsa ini. Liberalisme berintikan pada persaingan bebas. Dalam kenyataan sehari-hari setiap orang tidaklah sama, setiap negara tidak sama kuat. Maka penerapan Liberalisme berarti memusnahkan kelompok-kelompok yang lemah, menciptakan kesenjangan sosial yang lebar. Krisis demi krisis adalah konsekuensi logis dari sistem ekonomi Liberal. Ketika rakyat miskin harus menderita beban kenaikan harga-harga, maka kaum pemilik modal mendapatkan keuntungan yang semakin berlipat. 

Liberalisme sangat mementingkan bebasnya pasar dari intervensi negara. Persaingan bebas berarti  setiap pihak harus menjadi pelaku pasar, bukan mengatur pasar. Maka kedudukan negara sebagai regulator ditentang habis-habisan oleh kaum Liberal. Negara dianggap penghalang bagi pasar, benalu yang harus dikikis, parasit birokrasi yang membuat pertumbuhan ekonomi berjalan lambat. Pemberian tunjangan sosial kepada rakyat miskin dianggap menciptakan ketergantungan yang besar terhadap negara dan mematikan kreativitas warga negara. Keberadaan perusahaan-perusahaan milik negara dituding sebagai penghambat terhadap pasar bebas sehingga harus dijual pada swastanisasi internasional.

Hal inilah yang kerap menimbulkan malapetaka bagi buruh di tanah air. Padahal kiprah buruh di Indonesia sudah tidak diragukan lagi dalam ikut serta membangun kemajuan bangsa indonesia. Apalagi mereka yang bekerja di luar negeri sana, devisa yang mereka sumbangkan untuk pembangunan Indonesia sangatlah besar. Walau menurut mereka dan para pengamat buruh di Indonesia tidaklah sebanding dengan pelayanan yang mereka dapatkan dari pemerintah. Kepentingan-kepentingan buruh tidaklah sejalan dengan kepentingan pemilik modal atau majikan. Dan sejenak kita perhatikan tuntutan-tuntutan kaum buruh  selama ini, kalau kita lihat dan kebanyakan yang ujung-ujungnya menuntut naiknya upah minimum dan kesejahteraan, hal itu memang wajar , akan tetapi sebatas kebutuhan jasmani semata.  

Dan pembahasan saya disini lebih kepada kebutuhan rohani kaum buruh,  sesuai bidang saya dalam kerja sebagai Penyuluh Agama Islam di Kementerian Agama Kota Bima. Ini sebagai bentuk keseimbangan pengelihatan kita terhadap “hak dan privasi” buruh.  Kapankah buruh diperhatikan kebutuhan rohaninya? Karena seperti yang saya tulis di atas, hidup ini tentu harus seimbang antara kehidupan jasmani dan rohaninya. Dan tentu yang harus memperhatikan kebutuhan rohani mereka adalah  para bos, majikan dan pemilik modal serta pemerintah dalam hal ini paling pas menurut saya MUI (Majelis Ulama Indonesia). 

Mari hal ini coba kita telaah sejenak, karena hal ini jarang kita melihat para buruh berdemo, untuk menuntut kebutuhan rohani mereka terpenuhi. Memang ada beberapa personal, dan merupakan kasuistik saja yang menuntut hal itu. Bagai makan buah simalakama, menuntut dipecat membiarkan dapat kerja.  Kondisi ini sangat menghawatirkan dan miris kita melihat, dimana rata-rata kaum buruh sebagian besar adalah kaum muslim dan para pemilik perusahan / modal adalah kaum nasrani. Kalau perusahaan besar, hal itu akan sangat jelas nampak, namun pada tataran perusahaan-perusahaan kecil, seolah-olah itu tidak menjadi masalah. Inilah tugas MUI saya kira untuk memberikan kejelasan aturan agama atau semacam fatwa kepada pemilik perusahaan. 

Kenapa saya menunjuk MUI yang harus bertanggung jawab? Saya qiyaskan kepada MUI yang mengeluarkan fatwa haram atau halal terhadap makanan dan minuman yang dikeluarkan terhadap hasil produk dari sebuah perusahaan. Dan tata cara serta tempat sama juga harus di fatwakan MUI apakah layak atau tidak bagi ummat islam yang menjadi karyawan mereka. Mengerucut ke Kota Bima yang notabenenya adalah wilayah religius, harus MUI seperti yang diperbuat MUI Situbondo Jawa Timur 2010 lalu merazia perusahaan-perusahaan, toko-toko atau apa saja yang memperkerjakan ummat islam untuk menyediakan tempat  dan sarana ibadah mereka. Terutama yang memberlakukan jam sampai melalui waktu shalat (dzhuhur, ashar, magrib).

Pemilik modal / perusahaan, toko dan lain-lain, tidak bisa kita salahkan. Karena pada dasarnya mereka kaum nasrani yang tidak mengerti itu. Dan bisnis oriented (yang penting barang dagangan laku) apapun bisa dilakukan dalam marketing plannya. Misalkan saja, pakaian harus minim, tidak boleh berjilbab dan sebagainya. Ini bentuk yang saya katakan di atas adalah hak rohani, hak privasi seorang buruh atau tenaga kerja.  Mereka jelas tidak punya daya dan kekuatan untuk melakukan itu sendiri, karena mereka sangat butuh penghidupan layak dari hasil kerja mereka. Oleh karena itu perlindungan hak privasi khususnya rohani mereka  (kaum buruh dan pekerja) harus ada yang memikirkan dan membantu mereka.

Kita mungkin sangat miris mendengar beberapa TKW-TKI kita di luar negeri sana, yang notabenenya adalah muslim dipekerjakan tidak islami bahkan tidak manusiawi. Namun pemerintahpun tidak bisa berbuat apa-apa. Dan anehnya TKI-TKW kita diam saja dan meng-“amini” apa yang dilakukan bos mereka demi mereka mendapat pekerjaan dan upah untuk menyambung hidup mereke serta keluarganya di rumah. Misalnya banyak TKW dan TKI kita yang bekerja tidak boleh shalat, merawat anjing, memasak daging babi yang bagi mereka adalah haram. Sangat disayangkan Indonesia yang dikenal sebagian besar ummat islamnya, tidak bisa menunjukkan identitas itu di luar negeri. Malah menjadi perolok-olokan mereka karena menganggap rendah seorang tenaga kerja. 

Masalah yang terjadi di luar negeri tersebut, tidak menutup kemungkinan juga terjadi disekeliling kita (kota Bima) yang kita cintai ini. Karena mental-mental majikan dan karyawan tidak lah jauh dari yang ada. Seperti yang saya tulis diatas, majikan terkadang tidak mentaati regulasi yang dibuat pemerintah (dalam hal ini Dinas Tenaga kerja), dan sebaliknya pemerintah jarang mengontrol aturan yang ada setelah dikeluarkan dan diberlakukan. Malah ada aturan untuk buruh, adalah pesanan para bos besar, para majikan dengan iming-iming uang sehingga pembuat aturan mau bekerjasama dengan para pemilik uang ini. 

Lalu setelah mengetahui ini semua, apa yang harus kita lakukan sebagai saudara dari mereka?! Karena jelas mereka butuh pekerjaan, mereka butuh kehidupan yang sejahtera.  Namun tidak ada masalah yang tidak bisa diusahakan selesai. Termasuk masalah yang ini, seperti usul saya di atas agar bagaimana MUI sebagai lembaga yang menaungi ummat islam dalam hal demikian agar bertindak demi keseimbangan kebutuhan antara jasmani dan rohani para buruh muslim ini. Sesekali cobalah turun di lapangan dan memantau cara memperkerjakan mereka di sana, berikan mereka perlindungan agar mereka tidak ketakutan sendiri menghadapi semua ini. 

Kalau dulu sering kita dengar, masyarakat kita para pencari kerja mengatakan, “kerja apa saja yang penting halal” kata-kata itu sering dikonotasikan dengan pekerjaan tidak halal seperti mencuri, merampok, melacur dan berjudi. Namun kalau dipertanyakan, mereka kerja mengurus sesuatu yang haram (masak babi atau mengurus anjing majikan dan sampai tidak bisa melakukan shalat) itu sebenarnya juga pekerjaan yang tidak halal atau haram bagi mereka. Memperjelas status pekerjaan mana yang halal dan haram tentu adalah tugas kita semua, terutama lembaga-lembaga keagamaan yang bergerak bidang dakwah. Mereka melakukan itu mungkin dengan tiga pertimbangan, yang pertama karena mereka tidak mengetahui hal itu halal atau haram. Atau yang kedua, mereka melakukan itu bisa jadi karena mereka tidak ada yang memberitahu tentang hal itu. Dan yang ketiga adalah karena keadaan ekonomi mereka, sehingga apapun dianggap sah dan halal menurut kacamata manusia mereka lakukan, padahal menurut pertimbangan agama hal itu haram dilakukan.

Buruh-buruh ini adalah manusia yang harus mendapat perhatian dan binaan serius, mungkin waktu mereka tidak ada karena tersita dengan kerjaan-kerjaan sehari-hari. Sehingga belajar agama atau menunggu kepedulian pemilik modal / majikan untuk mengajarkan agama bagi mereka tidak mungkin, akibat majikan yang non muslim. Dan oleh karena itu, regulasi lah yang bisa membantu mereka untuk mendapatkan hak ibdah, hak privasi menjalankan agamanya dengan benar dari para regulator yang ada. Sangat jarang kita temukan, majikan yang pro buruh, rata-rata mereka hanya bisnis semata (bisnis oriented) yang penting mendapat keuntungan. 

Mudah-mudahan tulisan saya ini, menggugah para pemegang kebijakan dalam hal buruh ditanah air, atau setidaknya di Kota Bima ini. Majikan harus faham dimana mereka berdiri, atau mendirikan usaha. Kalau memang pekerja mereka muslim seratus porsen, maka saran ibadah dan hak ibadah (misalnya menggunakan jilbab dan tidak mau pakaian minim) harus diberikan. Para buruh (karyawan) harus mempunyai wadah aspirasi dan dibela hak-haknya sehingga tidak ketakutan sendiri dalam menghadapi masalahnya. Serta para karyawan harus berani melaporkan dan menuntut hak-hak mereka kepada majikan. Kepada pemerintah, terutama Dinas Tenaga Kerja, lebih memperhatikan para karyawan dan membuat regulasi yang memihak kepada mereka, sehingga para majikan tidak gampang memecar atau mem-PHK karyawan yang menuntut hak ibadah mereka. MUI sekali lagi setidaknya mengontro tempat –tempat ummat islam bekerja, apakah menurut pandangan agama halal atau haram, sehingga Kota Bima religius tercipta baik. Amin ya robbal ‘alamin.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kemenag Kota Bima dan Sekretaris Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam Kota Bima.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar