Oleh : Musthafa Umar
Kemarin kita menyaksikan ribuan buruh menadati Bundaran Hotel
Indonesia, dan Kantor Kementerian Transmigrasi menuntut outsourcing (pemindahan
atau pengalihan kerja) agar dihapus, UU No. 13 Tahun 2003 dihapus dan kenaikan
upah minimum. Rezim Soeharto memang telah lama lengser, yang mana kita
mengetahui kebesan kaum buruh terasa tidak ada sama sekali, beberapa kisah
nasib buruh yang memperjuangkan nasib / haknya pada waktu itu, hilang tanpa
jejak atau dibiarkan begitu saja. Kasus melegenda nasib buruh Marsinah
misalnya, sampai sekarang kita tidak tahu kelanjutannya. Dan tentu banyak
Marsinah-Marsinah lain yang bernasib sama. Akan tetapi walaupun Orde Baru sudah
tidak ada, posisi nilai tawar buruh terhadap majikan dan pemerintah masih belum
selayaknya. Sehingga setiap hari Buruh Dunia (1 Mei) tetap saja ada demo
tuntutan-tuntutan kesejahteraan dan lainnya bagi mereka. Tetap saja, banyak
buruh kita yang menjadi korban kebiadaban majikan, terutama di luar negeri.
Indonesia memang sudah lama merdeka, bebas dari jajahan kolonialisme.
Akan tetapi sampai saat ini, tanpa kita sadari Indinesia sebenarnya masih
dijajah rezim Kapitalisme dan Neoliberalisme adalah rezim yang menjajah bangsa
ini. Liberalisme berintikan pada persaingan bebas. Dalam kenyataan sehari-hari
setiap orang tidaklah sama, setiap negara tidak sama kuat. Maka penerapan
Liberalisme berarti memusnahkan kelompok-kelompok yang lemah, menciptakan
kesenjangan sosial yang lebar. Krisis demi krisis adalah konsekuensi logis dari
sistem ekonomi Liberal. Ketika rakyat miskin harus menderita beban kenaikan
harga-harga, maka kaum pemilik modal mendapatkan keuntungan yang semakin
berlipat.
Liberalisme sangat mementingkan bebasnya pasar dari intervensi negara.
Persaingan bebas berarti setiap pihak
harus menjadi pelaku pasar, bukan mengatur pasar. Maka kedudukan negara sebagai
regulator ditentang habis-habisan oleh kaum Liberal. Negara dianggap penghalang
bagi pasar, benalu yang harus dikikis, parasit birokrasi yang membuat
pertumbuhan ekonomi berjalan lambat. Pemberian tunjangan sosial kepada rakyat
miskin dianggap menciptakan ketergantungan yang besar terhadap negara dan
mematikan kreativitas warga negara. Keberadaan perusahaan-perusahaan milik
negara dituding sebagai penghambat terhadap pasar bebas sehingga harus dijual
pada swastanisasi internasional.
Hal inilah yang kerap menimbulkan malapetaka bagi buruh di tanah air.
Padahal kiprah buruh di Indonesia sudah tidak diragukan lagi dalam ikut serta
membangun kemajuan bangsa indonesia. Apalagi mereka yang bekerja di luar negeri
sana, devisa yang mereka sumbangkan untuk pembangunan Indonesia sangatlah
besar. Walau menurut mereka dan para pengamat buruh di Indonesia tidaklah
sebanding dengan pelayanan yang mereka dapatkan dari pemerintah. Kepentingan-kepentingan
buruh tidaklah sejalan dengan kepentingan pemilik modal atau majikan. Dan
sejenak kita perhatikan tuntutan-tuntutan kaum buruh selama ini, kalau kita lihat dan kebanyakan
yang ujung-ujungnya menuntut naiknya upah minimum dan kesejahteraan, hal itu
memang wajar , akan tetapi sebatas kebutuhan jasmani semata.
Dan pembahasan saya disini lebih kepada kebutuhan rohani kaum
buruh, sesuai bidang saya dalam kerja
sebagai Penyuluh Agama Islam di Kementerian Agama Kota Bima. Ini sebagai bentuk
keseimbangan pengelihatan kita terhadap “hak dan privasi” buruh. Kapankah buruh diperhatikan kebutuhan
rohaninya? Karena seperti yang saya tulis di atas, hidup ini tentu harus
seimbang antara kehidupan jasmani dan rohaninya. Dan tentu yang harus
memperhatikan kebutuhan rohani mereka adalah para bos, majikan dan pemilik modal serta
pemerintah dalam hal ini paling pas menurut saya MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Mari hal ini coba kita telaah sejenak, karena hal ini jarang kita
melihat para buruh berdemo, untuk menuntut kebutuhan rohani mereka terpenuhi.
Memang ada beberapa personal, dan merupakan kasuistik saja yang menuntut hal
itu. Bagai makan buah simalakama, menuntut dipecat membiarkan dapat kerja. Kondisi ini sangat menghawatirkan dan miris
kita melihat, dimana rata-rata kaum buruh sebagian besar adalah kaum muslim dan
para pemilik perusahan / modal adalah kaum nasrani. Kalau perusahaan besar, hal
itu akan sangat jelas nampak, namun pada tataran perusahaan-perusahaan kecil,
seolah-olah itu tidak menjadi masalah. Inilah tugas MUI saya kira untuk
memberikan kejelasan aturan agama atau semacam fatwa kepada pemilik perusahaan.
Kenapa saya menunjuk MUI yang harus bertanggung jawab? Saya qiyaskan kepada MUI yang mengeluarkan
fatwa haram atau halal terhadap makanan dan minuman yang dikeluarkan terhadap
hasil produk dari sebuah perusahaan. Dan tata cara serta tempat sama juga harus
di fatwakan MUI apakah layak atau tidak bagi ummat islam yang menjadi karyawan
mereka. Mengerucut ke Kota Bima yang notabenenya
adalah wilayah religius, harus MUI seperti yang diperbuat MUI Situbondo Jawa
Timur 2010 lalu merazia perusahaan-perusahaan, toko-toko atau apa saja yang
memperkerjakan ummat islam untuk menyediakan tempat dan sarana ibadah mereka. Terutama yang
memberlakukan jam sampai melalui waktu shalat (dzhuhur, ashar, magrib).
Pemilik modal / perusahaan, toko dan lain-lain, tidak bisa kita
salahkan. Karena pada dasarnya mereka kaum nasrani yang tidak mengerti itu. Dan
bisnis oriented (yang penting barang
dagangan laku) apapun bisa dilakukan dalam marketing plannya. Misalkan saja,
pakaian harus minim, tidak boleh berjilbab dan sebagainya. Ini bentuk yang saya
katakan di atas adalah hak rohani, hak privasi seorang buruh atau tenaga
kerja. Mereka jelas tidak punya daya dan
kekuatan untuk melakukan itu sendiri, karena mereka sangat butuh penghidupan
layak dari hasil kerja mereka. Oleh karena itu perlindungan hak privasi
khususnya rohani mereka (kaum buruh dan
pekerja) harus ada yang memikirkan dan membantu mereka.
Kita mungkin sangat miris mendengar beberapa TKW-TKI kita di luar
negeri sana, yang notabenenya adalah
muslim dipekerjakan tidak islami bahkan tidak manusiawi. Namun pemerintahpun
tidak bisa berbuat apa-apa. Dan anehnya TKI-TKW kita diam saja dan meng-“amini”
apa yang dilakukan bos mereka demi mereka mendapat pekerjaan dan upah untuk
menyambung hidup mereke serta keluarganya di rumah. Misalnya banyak TKW dan TKI
kita yang bekerja tidak boleh shalat, merawat anjing, memasak daging babi yang
bagi mereka adalah haram. Sangat disayangkan Indonesia yang dikenal sebagian
besar ummat islamnya, tidak bisa menunjukkan identitas itu di luar negeri.
Malah menjadi perolok-olokan mereka karena menganggap rendah seorang tenaga
kerja.
Masalah yang terjadi di luar negeri tersebut, tidak menutup
kemungkinan juga terjadi disekeliling kita (kota Bima) yang kita cintai ini. Karena
mental-mental majikan dan karyawan tidak lah jauh dari yang ada. Seperti yang
saya tulis diatas, majikan terkadang tidak mentaati regulasi yang dibuat
pemerintah (dalam hal ini Dinas Tenaga kerja), dan sebaliknya pemerintah jarang
mengontrol aturan yang ada setelah dikeluarkan dan diberlakukan. Malah ada
aturan untuk buruh, adalah pesanan para bos besar, para majikan dengan
iming-iming uang sehingga pembuat aturan mau bekerjasama dengan para pemilik
uang ini.
Lalu setelah mengetahui ini semua, apa yang harus kita lakukan sebagai
saudara dari mereka?! Karena jelas mereka butuh pekerjaan, mereka butuh
kehidupan yang sejahtera. Namun tidak
ada masalah yang tidak bisa diusahakan selesai. Termasuk masalah yang ini,
seperti usul saya di atas agar bagaimana MUI sebagai lembaga yang menaungi
ummat islam dalam hal demikian agar bertindak demi keseimbangan kebutuhan
antara jasmani dan rohani para buruh muslim ini. Sesekali cobalah turun di
lapangan dan memantau cara memperkerjakan mereka di sana, berikan mereka
perlindungan agar mereka tidak ketakutan sendiri menghadapi semua ini.
Kalau dulu sering kita dengar, masyarakat kita para pencari kerja
mengatakan, “kerja apa saja yang penting halal” kata-kata itu sering
dikonotasikan dengan pekerjaan tidak halal seperti mencuri, merampok, melacur
dan berjudi. Namun kalau dipertanyakan, mereka kerja mengurus sesuatu yang
haram (masak babi atau mengurus anjing majikan dan sampai tidak bisa melakukan
shalat) itu sebenarnya juga pekerjaan yang tidak halal atau haram bagi mereka. Memperjelas
status pekerjaan mana yang halal dan haram tentu adalah tugas kita semua,
terutama lembaga-lembaga keagamaan yang bergerak bidang dakwah. Mereka melakukan
itu mungkin dengan tiga pertimbangan, yang pertama karena mereka tidak
mengetahui hal itu halal atau haram. Atau yang kedua, mereka melakukan itu bisa
jadi karena mereka tidak ada yang memberitahu tentang hal itu. Dan yang ketiga
adalah karena keadaan ekonomi mereka, sehingga apapun dianggap sah dan halal
menurut kacamata manusia mereka lakukan, padahal menurut pertimbangan agama hal
itu haram dilakukan.
Buruh-buruh ini adalah manusia yang harus mendapat perhatian dan
binaan serius, mungkin waktu mereka tidak ada karena tersita dengan
kerjaan-kerjaan sehari-hari. Sehingga belajar agama atau menunggu kepedulian
pemilik modal / majikan untuk mengajarkan agama bagi mereka tidak mungkin,
akibat majikan yang non muslim. Dan oleh karena itu, regulasi lah yang bisa
membantu mereka untuk mendapatkan hak ibdah, hak privasi menjalankan agamanya
dengan benar dari para regulator yang ada. Sangat jarang kita temukan, majikan
yang pro buruh, rata-rata mereka hanya bisnis semata (bisnis oriented) yang
penting mendapat keuntungan.
Mudah-mudahan tulisan saya ini, menggugah para pemegang kebijakan
dalam hal buruh ditanah air, atau setidaknya di Kota Bima ini. Majikan harus
faham dimana mereka berdiri, atau mendirikan usaha. Kalau memang pekerja mereka
muslim seratus porsen, maka saran ibadah dan hak ibadah (misalnya menggunakan
jilbab dan tidak mau pakaian minim) harus diberikan. Para buruh (karyawan)
harus mempunyai wadah aspirasi dan dibela hak-haknya sehingga tidak ketakutan
sendiri dalam menghadapi masalahnya. Serta para karyawan harus berani
melaporkan dan menuntut hak-hak mereka kepada majikan. Kepada pemerintah,
terutama Dinas Tenaga Kerja, lebih memperhatikan para karyawan dan membuat
regulasi yang memihak kepada mereka, sehingga para majikan tidak gampang
memecar atau mem-PHK karyawan yang menuntut hak ibadah mereka. MUI sekali lagi
setidaknya mengontro tempat –tempat ummat islam bekerja, apakah menurut
pandangan agama halal atau haram, sehingga Kota Bima religius tercipta baik.
Amin ya robbal ‘alamin.
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kemenag Kota Bima dan Sekretaris Forum
Komunikasi Penyuluh Agama Islam Kota Bima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar