Oleh : Mustapa Umar, S. Ag., M.Pdi.
Idul Fitri telah berlalu, kemenangan
atas perang terhadap hawa nafsu telah kita peroleh, kita kembali fitrah kembali
kepada kesucian hati dan diri seperti bayi yang baru dilahirkan. Idul Fitri
1433 H yang kita peringati tentu tidak cukup dengan memohon ampun kepada Allah
karena ibadah yang kita lakukan sebelumnya yakni puasa adalah ibadah sosial. Ibadah yang berkaitan dengan manusia lainnya. Contoh
saja, Zakat Fitrah adalah mengeluarkan harta untuk orang lain, tanpa itu puasa
kita pahalanya terkatung-katung antara bumi dan langit. Dan termasuk bersalaman
(memaafkan) adalah rangkaian penyempurnaan ibadah yang kita lakukan. Hablumminallah (hubungan dengan Allah)
dan hablumminannas (hubungan dengan
manusia) harus berjalan seiring. Sehingga pengampunan Allah belum cukup jika
belum dimaafkan sesama (manusia).
Orang
sasak menyebutnya, be-salam. Intinya
bertemunya dua telapak tangan, dengan tujuan baru berjumpa atau mau berpisah
atau bahkan saling maaf memaafkan. Bersalaman asal katanya “salaam” ada
tambahan awalan ber dan akhiran an. Sedangkan “salaam” sendiri
adalah bahasa Arab, “salaama” dari fiil madi (kosa kata Arab) yang
terjemahan bebasnya “keselamatan” bisa juga diartikan “kedamaian”. Dan tulisan “salaama”
sendiri terdiri dari rangkaian huruf hija’iyah, ( م س ل ا ) . Empat huruf hija’iyah
ini kalau digabung menjadi “salaama” jika diberikan harkat fathah (baris
atas). Beberapa pendapat dalam memaknai tentang huruf ( م س ل ا ). Misalnya Prof. Dr. H. Munir dari Forum Arimatea,
menjelaskan dalam sebuah debat, bahwa tulisan ( م س ل ا ) yang dalam bahasa Ibraninya
adalah “salaam” (
( سلام Dan oleh orang Nasrani
dibaca “saloom” yang artinya sama “keselamatan dan kedamaian”. Munir
menambahkan bahwa “salaam” adalah petunjuk Allah SWT dalam al-Kitab tentang “Islam”
( اسلام)
Oleh karena itu, “Islam”
artinya keselamatan dan kedamaian. Maka siapa yang memeluk Islam, adalah akan
menemukan kedamaian dan keselamatan. Kembali kepada tradisi orang sasak, jika ada orang non-muislim
(mu’allaf) maka sering disebut “be-selam”.
Kata-kata “be-selam” kalaau di tulis
dengan huruf-huruf hija’iyah, karena asalnya kata-kata itu adalah bahasa
Arab, maka huruf-hurufnya adalah, ba, sa, lam, alif dan mim.
Tambahan huruf ba disana, dalam terjemahnya adalah “beserta” atau
“disertai”. Ini mirip dengan, orang mengaji al-Qur’an dengan Tajwid, jika pada
hukum, ”bi-ghunnah”, huruf ba kasrah (baris bawah) dalam bi
di sini bermakna “beserta” atau “disertai”. Maka orang yang masuk islam (mu’allaf)
adalah disertai atau beserta kedamaian dan keselamatan.
Ringkasnya sampai di sini, “be-salam” atau “bersalaman” adalah mencari kedamaian atau keselamatan antar sesama
kita. Orang yang bersalaman, atau berjabatan tangan, adalah orang-orang yang
ingin damai dan ingin selamat. Bukankah kalau ada teman kita bertengkar,
bermusuhan dan tidak tegur sapa, kita biasanya menyuruh mereka untuk “be-salam” artinya menyuruh mereka untuk
berdamai. Dalam dalam setiap perjumpaan orang selalu dimulai dengan “be-salam”
atau berjabat tangan, artinya mereka ingin pertemuannya adalah damai dan
penuh keselamatan, tidak ada permusuan. Begitupun jika orang mengakhiri
pertemuannya, juga diakhiri dengan “be-salam” atau berjabat tangan. Dan
ucapan “salam” –assalamu’alaiykum-- baik itu disaat berjumpa, bertamu,
titip salam bahkan selesai shalat lima waktu dan shalat-shalat lainnya, juga termuat
di dalamnya kata-kata “salam” yang artinya do’a keselamatan pada orang lain
yang disalamkan. Namun selanjutnya, bagaimana makna yang lebih dari “salam”
itu? Dan apakah “bersalaman, be-salam,
berjabat tangan” tidak ada efek (mudharat) yang lain?
Bersalaman tentu ada dampak
baik juga ada dampak buruknya. Kita lihat dampak/efek buruknya dulu. Jumhur
ulama’ (sebagian besar) sepakat bersalaman dengan lain jenis dan bukan mahrom kita adalah haram. Walaupun ada
beberapa ulama’ yang menghalalkan/membolehkan dengan alasan-alasan tertentu.
Misalnya karena sebuah pernghormatan, dari seorang murid kepada guru, dari
seorang bawahan kepada atasan, dari yang lebih muda kepada yang tua dengan
syarat tidak menimbulkan syahwat (rangsangan) saat terjadi salaman, hal itu
boleh-boleh saja. Inilah dasar jumhur ulama’ mengharankan bersalaman
antara lain jenis yang bukan mahrom-nya,
karena dikhawatirkan timbulnya syahwat birahi itu. Menurut mereka, barang atau sesuatu yang apabila dilihat saja
haram, apalagi disentuh lebih haram lagi. Perempuan adalah aurat mereka
seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Perempuan adalah haram
memandangnya bila berlama-lama, apalagi menyentuhnya dengan pandangan syahwat. Contoh
paling sering kita jumpai, dampak/efek buruk bersalaman adalah membatalkan wudlu’
(beberapa Imam) jika bersalaman dengan yang halal dinikahi (mahrom).
Tapi dibalik mudharat,
ada beberapa manfaat yang timbul dari proses bersalaman, untuk mencapai tujuan
damai dan selamat tadi, diantaranya ada empat perkara yang bias kita ambil : Pertama,
Ta’arafu (saling kenal mengenal). Bersalaman, secara langsung untuk
saling kenal mengenal antara satu dan lainnya. Dan berkenalan adalah termasuk
perintah Allah SWT dalam surat, Al-Hujarat ayat 13, Firman-Nya, “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa
- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”
Di sini Allah memerintahkan
kita untuk lebih mengenal secara universal, baik itu antar suku dengan suku
yang lain, atara sesama suku, sesama jenis atau lain jenis. Entah dalam level suku, bangsa, dan bahkan Negara.
Mengenal atau ada keinginan untuk mengenal seseorang, sering ditandai dengan
bersalaman pada awal mulanya. Baik itu Setelah
kiat mengenal antar sesama kita, maka timbul yang ke dua yakni;
Kedua,
Tafahum (Saling
memahami). Jika perkenalan sudah terjadi, maka antar kita yang berkenalan
dengan berjabat tangan / bersalaman tadi akan terjadi yang namanya “saling
memahami” atau terjadi kesepahaman. Yang satu paham apa keinginan yang
dikenalnya, begitupun yang diajak berkenalan, akan mencoba memahami orang yang
mengajaknya berkenalan tadi. Terkadang antara “berkenalan” dengan saling
memahami ini akan terjadi waktu yang agak lama. Karena dari kesepahaman ini,
nantinya aka nada tindak lanjut jika masing-masing mempunyai kepentingan yang
harus dikomunikasikan dengan yang dikenalnya tadi. Dan pemahaman kita terhadap orang lain, teman,
sahabat adalah bentuk tindakan kita dalam menghilangkan prasangka (anggapan)
negative sama orang.
Dalam hal ini Allah juga
berfirman dari ayat sebelumnya di surat yang sama (Al-Hujarat) ayat 12, “Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang” Perbuatan-perbuatan,
dosa ini (prasangka buruk, kecurigaan, mencari-cari keburukan orang lain dan
menggujing) dalam ayat ini insyaAllah
tidak akan terjadi selagi kita
sudah memahami arti sebuah persahabatan, dan memahami siapa sahabat kita ini.
Nah dari langkah ke dua ini, terkadang seseorang akan terputus samapai
di sini. Pemahaman yang keliru terhadap rekan yang baru kita kenal, atau
malasnya kita untuk lebih memahami teman kita, membuat kita tidak melanjutkan
hubungan perkenalan ini. Namun jika kedua pihak sudah saling memahami, maka
terjadi tindakan ke tiga adalah;
Ketiga,
Tarahhum (Kasih sayang). Timbul kasih
sayang diantara kita, kasih sayang dengan makna yang lebih luas tidak hanya
sekedar cinta semata. Dan bukankah Allah SWT juga memerintahkan kita untuk
saling kasihi dan saling menyayangi.
Dalam sebuah ayat-Nya di surat Maryam ayat 96 misalnya, “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah, akan menanamkan dalam
(hati) mereka rasa kasih sayang”. Di Ayat lain, Allah juga berfirman dalam
surat Al-Hujarat ayat 11, “…dan janganlah suka mencela diantara kamu
(manusia yang lain) dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
Dalam beberapa ayat ini, bahwa
Allah sangat senang melihat hamba-hambanya saling kasihi dan sayangi, bukan
hanya dengan antar sesame manusia, bahkan Allah SWT memerintahkan kita
mengasihi san menyayangi seluruh isi alam ini. Dan Allah sendiri adalah Maha
Pengasih dan Maha Penyayang (bismillahirahmanirrahim) kepada
makhluk-Nya. Kalau sudah Allah saja mengasihi dan menyanyangi sifat-Nya, lalu
kenpa kita hanya sebagai hamba ciptaan-Nya tidak mau menyanyagi dan mengasihi
yang lain? Betapa sombongnya kita kalau seperti itu. Nabi Muhammad SAW juga
memerintahkan kita saling kasihi dan sayangi, karena antara satu mukmin dan
mukmin yang lain adalah ibarat satu tubuh, jika satu yang luka maka seluruh
tubuh akan merasakan sakitnya. Dalam Hadits
lain, yang diriwayatkan Thabani dan Hakim, Beliau bersabda, “Sayangilah penduduk bumi ini, niscaya kamu akan disayangi oleh siapa
yang di langit”. (HR. Thabrani dan
Hakim).
Makna kasih sayang ini sangat
luas, dan tidak mungkin saya akan menulisnya di sini. Begitu luasnya rasa itu
yang bias kita berikan antar sesama. Idul Fitri dan Idul Adha juga sebuah
bentuk kasih sayang itu diterapkan. Kasih sayang kepada mereka-mereka yang
membutuhkan kita, membutuhkan kebahagiaan di hari bahagia ini. Mereka-mereka
anak Yatim Piatu yang tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua, kasih
sayang seorang bapak kepada anaknya, kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.
Oleh karena itu, kita orang-orang yang berada, yang beriman dan beragama harus
bias memberikan rasa itu kepada mereka, agar bias merasakan seperti apa yang
anak-anak lain rasakan dihari ini. Selanjutnya terakhir, jika kenalan sudah,
memahami sudah dan mengasih serta menyanyagi, maka terakhir dalam makna sebuah
perkenalan (berjabat tangan) itu adalah;
Keempat,
Ta’awun (Saling tolong menolong). Antara
sahabat sering terjadi saling tolong menolong antar mereka. Dan memang inilah
makna dari sebuah persahabatan sejati itu. Teman akan menolong setiap kesusahan
yang dialami oleh temannya yang lain. Bukan sebaliknya, teman/sahabat hanya
dianggap, jika mereka dalam keadaan bahagia saja, tapi jika dalam keadaan
susah/menderita kitajauh dari mereka. Namun perlu digaris bawahi,
bertolong-tolongan antara sahabat itu oleh Allah SWT hanya dianjurkan dalam
nuansa atau koridor kebaikan saja, tidak bertolong-tolongan dalam nuansa
kebatilan atau yang haram. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Maidah Ayat 2 ,
“…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”.
Demikian mungkin yang bisa saya
urai dalam tulisan kali ini, mudah-mudahan manfaat yang ada dalam “bersalaman”, “be-salam”, atau berjabat
tangan dapat kita raih dan lebih besar manfaatnya yang kita dapatkan dari pada
mafsadhatnya. Pasangan muda-mudi, jangan sampai menjadikan “kesempatan” dalam
Idul Fitri untuk mengumbar syahwat dengan “bersalaman” disertai dengan nafsu
syahwat antar lain jenisnya. Mudah-mudahan kita terhindar dari itu semua, agar
apa yang kita usahakan selama puasa kemarin betul-betul ada bekasnya, jangan
sampai terbuang percuma dengan hal-hal spele.
Dan budaya “be-salam” tidak ada salahnya jika kita teruskan untuk kebaikan,
selesai shalat, baru berjumpa, mau berpisah bahkan untuk urusan-urusan yang
lain, misalnya menerima ucapan selamat karena prestasi, proses ijab Kabul
pernikahan. Jangan dimaknai lain, atau salaman diganti dengan istilah anak muda
sekarang “tos” ingat hal itu bukan yang dianjurkan dan jauh
dari makna yang ada, apalagi “salaman” untuk salam tempel “amplop” sogokan agar
tidak terlihat yang lain. Akhirnya tulisan saya ini, saya tutup dengan
mempersatukan persepsi bahwa “be-salam” atau berjabat tangan, adalah
sebuah anjuran agama yakni dalam rangka menjaga tali kekeluargaan dalam bingkai
“silaturrahmi”. Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa Ayat 1 berbunyi, “…..dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. Shadaqollahul’aadziim.
Penulis adalah Penuluh Agama
Islam di KUA Kec. Mpunda Kemenang. Kota Bima. Dan sekretaris Forum Komunikasi
Penyuluh Agama Islam Kota Bima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar