Selasa, 23 Agustus 2011

“Bersedihlah dengan Perginya Puasa”


Oleh : Musthapa Umar

Akhir-akhir puasa, rata-rata ummat Islam pada berburu pakaian baru, makanan yang lezat-lezat. Pernah dalam kesempatan kuliah subuh saya di masjid Baitul Hamid Raba, mempertanyakan kepada jama’ah, apa rasanya sebentar lagi kita lebaran, Idul Fitri atau sebentar lagi kita akan meninggalkan Ramadhan ini. Ada ragam jawaban, antara yang senang dan yang bersedih.  Dan menurut saya jawaban kita harusnya adalah “sedih” karena beberapa alasan :
1.       Di dalam kita puasa, pada awal-awalnya biasanya para penceramah mengeluarkan satu Hadits, yang kira-kira artinya begini, “barang siapa yang bergembira atas datangnya bulan Ramadhan, maka akan diharamkan jasadnya disentuh api neraka”. Hadits ini sebagai alasan saya, mungkinkah banyak diantara kita, yang katanya “beriman” ini sedih bila datangnya puasa? Mereka bersedih karena tidak bias makan dan minum disiang hari, tidak bisa merokok, tidak bisa berhubungan badan lagi sama istri mereka. Seolah-olah Puasa bagi mereka adalah beban yang teramat berat, sebuah “pemaksaan” hak asasi dan sebuah halangan semata.
2.       Namun ada orang yang mengartikan “kegembiraan” dalam hadit ini beda juga. Mereka sebelum tibanya bulan puasa, sudah mempersiapkan “petasan” yang besar, atau kenalpot yang besar untuk track-track an di jalan, atau sekedar “ramai” di awal tarawih dengan teriak sekencang-kecangnya, “allahumma shalli alaih” atau teriak, “amiin”. Kegembiraan begini juga salah kaprah karena bisa mengganggu ketentraman dan kehusu’an jama’ah lain yang beribadah di bulan puasa.
3.       Dua alasan saya ini, bertolak belakang namun begitulah kenyataan yang sering kita jumpai di tengah-tengah masayarakat kita. Tapi kita tidak boleh heran, karena seperti yang kita ketahui dalam dalil (dasar) hokum puasa, surat Al-Baqarah ayat 183 adalah diawali dengan kata-kata “aamanu” yakni Iman. Jikalau manusia itu meng-imani adanya Allah, berarti dia akan meng-imani apapun perintah-perintah Allah. Termasuk yang kita laksanakan ini, adalah perintah-Nya juga, bukan berasal dari Nabi Muhammad saja, melainkan langsung dari Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada kita ummatnya.
4.       Makna Idul Fitri sendiri yakni kembali. Kembali kepada kesucian, kembali Fitrah. Para ustad, sering mengartikan kembali fitrah adalah seperti “bayi” yang baru dilahirkan. Tanpa dosa dan noda bersih seperti kain putih / kertas putih lagi. Namun ingat, puasa adalah ibadah yang dobel, antara kepentingan manusia dengan Allah (hablumminallah) dan kepentingan manusia dengan sesamanya (hablumminannas). Ini harus sejalan seiring tidak bisa terpisahkan. Hubungan dengan Allah tanpa berhubungan baik dengan sesama, apa artinya kita puasa? Bukankah di dalam puasa, banyak hal-hal yang membatalkan pahala pusa, yang berkaitan dengan manusia itu sendiri? Misalnya, menggunjing, memfinah, mengadu domba, iri, hasud, dengki. Karena pada dasarnya, puasa adalah melunakkan hati. Puasa adalah  perang terhadap hawa nafsu. Dan yang saya sebutkan tadi adalah semua berasal dari penyakit-penyakit hati. Oleh karena itu, puasa dikatakan berhasil apabila mampu mengendalikan hawa nafsunya (hati) nya dan mampu pula berhubungan baik dengan sesamanya.
Puasa bayak bersinggungan dengan sesama. Taruk saja contoh, apabila kita masih terpaut hutang piutang dengan sesame kita, maka pahala puasa kita bergantung antara bumi dan langit. Begitu juga halnya jika kita tidak membayar zakat fitrah sampai khotib naik membaca khutbah di hari Idul Fitri. Dan juga dalam puasa ada kewajiban menunaikan zakat fitrah kepada 8 golongan itu, artinya juga adalah berhubungan dengan manusia. Maka wajar puasa adalah ibadah yang ber-horizontal dengan manusia dan ber-vertikal dengan Allah. Maaf saudara adalah menjadi barometer Allah untuk mengampuni. Jangan berharap dosa akan terampuni, jika kita belum meminta maaf kepada sesama. Dasar ini juga menjadi patokan kita kenapa Idul Fitri diisi dengan silaturrahmi, bermaaf-maafan dan bersalam-salaman dengan sesame kita.

5.       Kalau kita tarik kesimpulannya, maka “bayi” apabila dilahirkan adalah membuat sekitarnya menjadi tertawa, namun bayi yang keluar selalu menangis. Nah jika kita mengibaratkan Idul Fitri adalah kembali seperti “bayi” maka harusnya kita bersedih dengan berakhirnya pusa, dan selalu berharap, bermohon kepada Allah supaya dipertemukan dengannya kembali di tahun-tahun yang akan datang. Kalau sudah begitu, insyaAllah benar lah apa yang dimaksud dengan Hadits pada point satu itu, masuk puasa harusnya kita bergembira dan perginya puasa, kita harus bersedih. Bukan sebaliknya, masuk puasa kita sedih dan berakhirnya puasa kita gembira ria.
Nah mudah-mudah seleksi iman kita adalah mereka-mereka yang bersedih dengan perginya bulan puasa. Dan banyak hadits yang berbicara tentang itu, tentang bagaimana pepohonan dan makhluk lain  manusia dan jin, menangis saat puasa pergi. Kenapa kalau pohon saja menangis, kita manusia harus tertawa? Dan andai kata manusia tahu nikmat dan berkahnya Ramadhan, kata Rosul, maunya setahun itu adalah bulan puasa. Tapi sayang manusia harus mencarinya sendiri kenapa? Bulan puasa penuh rahasia. Ibadahnya rahasia, berkahnya rahasia, laylatul qadarnya rahasia dan taqwanyapun rahasia. Wallahu’alam bissawab!

Penulis, adalah Penyuluh Agama di KUA KEc. Mpunda Kemenag Kota Bima


Tidak ada komentar:

Posting Komentar