Jumat, 28 Oktober 2011

Perselingkuhan dan Kehamilan Luar Nikah

Oleh : Mustapa Umar, S. Ag., M.Pd.I.
Tulisan saya ini sebenarnya, kelanjutan dari tulisan saya tempo hari, tentang Patologi Sosial Remaja. Di samping itu untuk merespon kejadian beberapa waktu lalu, mungkin kita masih ingat oknum PNS di perpajakan yang menghamili rekan kerjanya sendiri, sedangkan dia berstatus suami orang. Sebenarnya kata-kata menghamili bagi saya kurang tepat, seolah-olah yang laki-laki saja punya kemauan. Namun dalam masalah ini, mereka sama-sama mau dan terjadilah hubungan itu sampai yang perempuannya hamil. Sebab jika kasus ini adalah kemauan laki-laki semata, itu namanya pemaksaan atau pemerkosaan dan harusnya tidak menunggu hamil, si perempuannya lapor ke polisi kejadian itu. Akan tetapi seperti yang di atas, mereka mau sama mau sehingga si perempuannya diam saja. Atau bisa jadi, karena si laki-laki mengancam atau menjanjikan sesuatu yang muluk-muluk kepada si perempuan.
Dalam kasus ini, ada tiga inti pokok yang bisa kita kaji dan jadikan introspeksi diri. Pertama, patologi sosial (penyakit sosial). Free sex (sex bebas) dikalangan remaja adalah sebuah penyimpangan prilaku, sehingga sex bebas tidak dibenarkan. Kedua, perselingkuhan dan ketiga status hamil di luar nikah dalam islam yang berdampak kepada status anak hasil hubungan luar nikah. Untuk yang pertama, sudah sering kita bicarakan. Dulu pernah saya menulis opini di media ini tentang dampak penggunaan narkoba dikalangan remaja. Dan minggu kemarin, saya menulis tentang patologi sosial remaja. Mengkonsumsi Narkoba dikalangan remaja adalah patologi sosial yang berdampak kepada menghalalkan hubungan di luar nikah (free sex) tadi.  Dan mengenai selingkuh, dari media elektronik (TV) mungkin sering kita menemukan contoh tentang apa itu selingkuh. Ringkasnya selingkuh itu adalah serakah. Serakah dalam hal cinta, karena dia sudah mempunyai cinta tapi tidak puas dengan cinta yang dia punya. Sehingga menyebabkan si empunya selalu mencari cinta lain.
Selingkuh lebih dihususkan untuk hubungan cinta saja, walaupun kalau dilihat dari pengertiannya tidak hanya untuk cinta saja, tapi untuk semua pekerjaan. Saya tidak mengartikan selingkuh itu ‘berpaling ke lain hati’ tapi mendua dan ingin mengumpulkan dua hati (kemauan) dalam satu wadah yakni suami-istri. Kalau berpaling artinya ‘murtad’ dan akan meninggalkan yang sudah dia punya, namun dalam hal ini tidak, dia ingin yang lain sedangkan dia sebenarnya sudah mempunyai hal yang serupa. Sehingga dalam kasus ini, saya lebih melihat sebuah keserakahan saja. Akan tetapi, agar pembahasan opini ini tidak melebar, saya kerucutkan saja ke masalah cinta suami-istri (pernikahan), yang ingin mempunyai suami-istri atau pasangan lain di luar pasangan mereka yang sudah sah dan ada. Lalu pertanyaan kita, kenapa selingkuh itu bisa terjadi?? Banyak pendapat tentang hal ini, ada mereka yang berpendapat tentang laki-laki yang puber tiga kali dalam hidup mereka. Sejak aqil baligh (15 tahun), umur 40 tahun dan terakhir laki-laki akan mengalami puber pada  umur 50 tahun. Pendapat ini terlihat lebih memenangkan laki-laki dan mendeskriditkan perempuan, padahal puber tidak hanya dimiliki laki-laki saja, akan tetapi perempuan juga mengalami puber.
Puber, adalah keinginan yang sangat, berapi-api dan sangat ingin memiliki terhadap lawan jenisnya. Namun pendapat ini belum teruji kebenarannya secara ilmiah, karena dalam psikologi remaja yang menyinggung tentang puber sendiri mengatakan, puber itu hanya terjadi satu kali dalam hidup seseorang. Tidak ada istilah puber satu, puber kedua dan selanjutnya. Lalu kalau memang tidak ada puber kenapa bisa terjadi perselingkuhan? Banyak sebab orang itu selingkuh, minimal sebab yang paling berbahaya dalah karena memang penyakitnya sendiri. Ada yang disebabkan oleh kebosanan yang terus menerus dan berkepanjangan yang terjadi. Selingkuh juga bisa terjadi karena ada sesuatu keiingin yang tertunda lalu ditemukan kembali pada orang lain. Baiklah, kita akan urai satu persatu penyebab perselingkuhan itu terjadi. Orang selingkuh karena watak (pembawaan) yang kurang baik, ini bagaimanapun caranya tidak akan teratasi kecuali dari dirinya sendiri. Pembawaan bisa jadi adalah kebiasaan yang buruk, selalu merasa tidak cukup dan selalu merasa kurang dengan apa yang dia miliki. Sifat qona’ah (cukup) dalam islam, sangat membantu orang-orang yang pembawaannya (wataknya) selalu ingin selingkuh.
Selanjutnya masalah perselingkuhan, yang disebabkan oleh kebosanan yang terus menerus dan berkepanjangan. Masalah ini alamiah sifatnya, orang akan cepat bosan jika yang dilakukan itu-itu saja. Tiap bertemu hanya satu tempat, yang diomongkan itu-itu saja dan jika sudah berkeluarga yang gaya hidup dan pelayanan kepada pasangan dari baru naik pelaminan sampai punya anak tetap itu-itu saja. Tidak ada inisiatif dan kreatif dalam membangun sebuah hubungan. Banyak orang berfikir kalau sudah dapat, maka cukup sudah tanpa mereka berpikir bagaimana mereka mempertahankan sebuah hubungan itu. Untuk yang sudah menikah, anda bisa buktikan sendiri bagaimana saat ‘pacaran’ dulu, baru bersalaman saja kita sudah terangsang (ereksi). Tapi kenapa setelah menikah, dapat 2-3 bulan jangankan di pegang tangan, dipeluk saja kita tidak spontan ereksi seperti waktu ‘pacaran’ dulu. Pasangan sering meninggalkan aura pemikat waktu mereka sendiri dulu. Aura pemikat, kenapa sampai si dia tertarik pada kita dan sampai siap menikah. Dah banyak kita lihat, begitu mereka menikah hal-hal yang itu mereka lupakan, sehingga kita tidak salahkan pasangan mereka berpaling. Juga kita lihat, jika mereka sudah menjadi duda-janda, aura pemikat itu kembali tertata, yang dandanannya tiap hari, selalu pakaian bagus, harum wangi bunga dan lain-lain.
Dari itu solusi yang bisa kami tawarkan dalam mengatasi kebosanan adalah, selalu ada refresh (peremajaan) suasana kembali. Misalnya dengan membuka album photo saat pernikahan dulu, atau mendatangi tempat-tempat yang dulu romantis pernah kita tempati dalam meluapkan asmara rindu waktu itu. Bisa juga dengan cara memikat laki-laki (suami) atau perempuan (istri) kita dengan cara saat pertama kina kenal. Tanyakan apa yang mebuat dia terpikat pertama kali anda bertemu, melihat anda dan menyatakan tertarik. Ini yang saya sebut di atas ‘aura pemikat’ yang harus dipertahankan, di pupuk, di sirami, di jaga dari sesuatu yang membuatnya sakit dan sebagainya. Nah kalau hal-hal ini kita lakukan, isnyaallah kebosanan itu bisa kita hadapi. Terkadang kebosanan ini akan sirna jika dalam rumah tangga kita ada anak yang lucu-lucu dan imut yang bisa menghibur orang tua dan membanggakan orang tua.
Selain karena kebosanan, perselingkuhan terjadi karena ada keinginan yang tertunda. Misalnya seseorang menginginkan pasangannya nanti yang kaya, akan tetapi entah kenapa dia menemukan yang miskin. Nah suatu saat dalam perjalanan rumah tangga atau hubungan asmara , tanpa sengaja dia menemukan orang yang kaya dan mau, maka mereka dengan sendirinya akan pindah hati. Bisa juga karena perhatian yang kurang, komunikasi yang tidak efektif dan mengerti satu sama lain. Dari itu ada beberapa tawaran alternative menghadapi selingkuh diantaranya; (a) memberi sambutan yang manis, (b) Percantiklah dirimu dan rendahkan suaramu, (c) senantiasa tampil mewangi dan selalu cantik, (d) ketika melakukan hubungan intim harus sama-sama ceria dan mau melakukan, (e) merasa puas dengan apa yang telah Allah berikan melalui suami dan istri, (f) jangan pusing dengan hal-hal keduniaan, (g) bersyukur dan memberikan apresiasi, minimal ucapan terimakasih, (h) kesetiaan dan ketaatan, (i) memenuhi permintaan suami, (j) jika suami marah, buatlah dirinya merasa lega, (k) menjaga diri ketika suami tidak ada, (l) tunjukkan rasa hormat kepada keluarga dan teman-temannya, (m) kecemburuan yang terpuji, bukan cemburu buta, (n) kesabaran dan dukungan emosional, (o) mendukung suami untuk taat kepada Allah, berdakwah, dan berjihad fi sabilillah, (p) merawat rumah dengan baik dan (q) mengatur keuangan keluarga. insyaAllah kalau ini sudah kita lakukan, maka tidak ada perselingkuhan itu terjadi, apalagi sampai menyebabkan hamil. Nah kehamilan yang tidak diinginkan, sangat besar dampak yang ditimbulkan, malu kepada keluarga, status anaknya yang gak jelas, laki-laki yang tidak mau bertanggung jawab sampai melakukan aborsi. Lalu bagaimana sebenarnya hukum menikahi atau menikahkan orang hamil? Sepakat imam madzhab tidak membolehkan kecuali bersyarat, kecuali Imam Syafi’i. Namun imam Abu Hanifah menetapkan syarat adalah ‘tidak menggauli’ sampai dia melahirkan. Akan tetapi masalahnya, adakah suami yang menahan dirinya tidak menggauli istrinya sampai melahirkan, kalau dia menikahi perempuan yang sedang hamil? Baik hamil oleh dirinya, ataupun orang lain.
Dalam hal ini, Asy Syaikh Abu Yaasir Khalid Ar Raddadiy (hafidhahumallah) pernah ditanya tentang apakah sah pernikahan seorang perempuan yang hamil karena zina dengan laki-laki yang berzina dengannya atau dengan selain laki-laki yang berzina dengannya? Maka jawab beliau, masalah pernikahan perempuan hamil karena berzina, adalah Allah SWT berfirman dalam surat An-Nuur ayat 3, “Laki-laki yg berzina itu tidak menikahi kecuali wanita yg berzina atau wanita musyrikah. Dan wanita yang berzina itu tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yg berzina atau seorang laki-laki yang musyrik dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang beriman.” Apabila kita membaca ayat yang mulia ini yang Allah akhiri ayat ini dengan “dan hal itu diharamkan bagi orang-orang beriman,” maka kita bisa simpulkan dari hal ini satu hukum, yaitu HARAMNYA menikahi perempuan yang berzina dan HARAMNYA menikahkan laki-laki yang berzina. Artinya, hanya boleh dinikahi dan menikahkan dengan pasangan zinanya saja.
Dan apabila kita mengetahui hal tersebut dan bahwa hal itu diharamkan bagi orang-orang yang beriman, maka sesungguhnya orang yang melakukan perbuatan yang keji ini kondisi/keadaanya tidak terlepas dari keadaan orang yang mengetahui haramnya perbuatan tersebut, namun ia tetap menikahi perempuan itu dikarenakan dorongan hawa nafsu dan syahwatnya, maka pada saat seperti itu, laki-laki yang menikahi perempuan yang berzina itu juga tergolong sebagai seorang pezina sebab ia telah melakukan akad yang diharamkan yang ia meyakini keharamannya.
Jadi, hukum asal dalam menikahi seorang wanita yang berzina itu adalah tidak boleh dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina pula. Memang  ada diantara para ulama yang memfatwakan, apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan dan laki-laki ini bermaksud untuk menikahi wanita tersebut, maka wajib bagi keduanya untuk bertobat kepada Allah SWT. Kemudian hendaknya kedua orang tersebut melepaskan dirinya dari perbuatan yang keji ini dan ia bertobat atas perbuatan keji yang telah dilakukannya dan bertekad untuk tidak kembali kepada perbuatan itu serta melakukan amalan-amalan yang shalih.
Dan apabila laki-laki tersebut berkeinginan untuk menikahi perempuan itu, maka ia wajib untuk membiarkan perempuan itu selama satu masa haid yaitu 1 bulan, sebelum ia menikahi atau melakukan akad nikah terhadapnya. Apabila kemudian perempuan itu ternyata hamil, maka tidak boleh baginya untuk melakukan akad nikah kepadanya kecuali setelah perempuan tersebut melahirkan anaknya.
Hal ini berdasarkan larangan Nabi Muhammad SAW, “Seseorang untuk menyiramkan airnya ke sawah atau ladang orang lain,” dan ini adalah bahasa kiasan, yaitu menyiramkan maninya kepada anak dari kandungan orang lain. Sedangkan mengenai status anaknya, semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi’i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang mena-burkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si perempuan yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah: “Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).” (HR: Al-Bukhari dan Muslim). Firasy adalah tempat tidur dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak perempuan yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuanmenggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu dinasab-kan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja.
Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina maka; (1) anak itu tidak berbapak, (2) anak itu tidak saling mewarisi de-ngan laki-laki itu. Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali. Berdasarkan sabda Rasulullah  “Maka sulthan (pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali?” (HR. Asy Syafi’iy, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Satu masalah lagi yaitu bila si perempuan yang dizinahi itu dinikahi sebelum beristibra dengan satu kali haidh, lalu digauli dan hamil terus melahirkan anak, atau dinikahi sewaktu hamil, kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, perempuan itu hamil lagi dari pernikahan yang telah dijelaskan di muka bahwa pernikahan ini adalah haram atau tidak sah, maka bagaimana status anak yang baru terlahir itu? Bila si orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu sah, baik karena taqlid kepada orang yang memboleh-kannya atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan dinasabkan kepadanya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang pernikahan perempuan di masa ‘iddahnya di saat mereka tidak mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah atau karena mereka tidak mengetahui bahwa perempuan itu sedang dalam masa ‘iddahnya, maka anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan kepada-nya padahal pernikahan di masa ‘iddah itu batal dengan ijma para ulama, berarti penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak. Semoga orang yang keliru menyadari kekeliruannya dan kembali taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesungguhnya Dia Maha luas ampunan-Nya dan Maha berat siksa-Nya. Na’udzubillahiminzaalik!
 
Penulis adalah Penyuluh Agama di KUA Kec. Mpunda Kemenag Kota Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar