Sabtu, 08 Oktober 2011

Menjadi Pendidik Bijak


Oleh : Musthafa Umar, S. Ag., M. Pd. I.

Tulisan ini tidak ada maksud membela siapa, dan atas kepentingan apa? Hanya ingin menulis saja, mudah-mudahan bermanfaat untuk kita semua. Masih ingat kah kita kejadian memalukan dan memilukan beberapa hari lalu? “pemukulan” di lembaga pendidikan agama. Nah mudah-mudahan, masalahnya sudah ‘tenang’, biarlah proses hokum berjalan sesuai ketentuannya. Dan mari kita menengok ke dalam lagi, menengok pribadi kita, dan pendidikan kita masing-masing. Memang sich menurut kaca mata psikologi, menyelesaikan masalah dalam keadaan ‘emosi’ memuncak itu tidak akan pernah bisa. Tapi menunggu emosi reda itu pun sulit orang bersabar menunggu.
Baiklah, kita mulai dari diutusnya Rasulullah SAW ke muka bumi ini. Dalam hadits beliau, sekaligus sebagai permakluman untuk kita semua, bahwa diutusnya beliau hanya untuk memperbaiki akhlak. Akhlak, adalah sopan santun, tata hidup, aturan hidup, tingkah laku dalam bergaul. Antara tetangga, teman, suami-istri, pimpinan dan bawahan, termasuk murid ke guru dan sebaliknya. Dulu dosen saya Prof. Dr. H. Halim Subahar, MA pernah mengatakan, dan perkataan beliau itu saat ini saya melihat di iklan TV Kementerian Pendidikan dijadikan titik fokus pendidikan, yakni pendidikan menjadikan orang jujur, orang baik bukan orang pintar. Apalah artinya pintar akan tetapi pintar bohong dan pintar korupsi setelah lulusnya nanti.
Hal mendidik orang menjadi baik, memang bukan perkara mudah. Psikolog Dewa Putu Arta dari Bali pernah menulis, bahwa untuk menjadikan seseorang baik, tidak cukup satu,dua bahkan tiga orang, tapi banyak orang. Maka dari itu, pantas UU Pendidikan kita  nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional kita dalam Pasal 4 tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan butir ke 6 jelas dikatakan bahwa, pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Jadi mendidik dan menjadikan anak terdidik, tidak cukup pak guru dan bu guru di sekolah saja. Tapi orang tua, dan masyarakat di lingkungan anak didik tersebut harus aktif. Maka dari sini, muncul Komite Sekolah, yang beranggotakan wali murid dan masyarakat sekitar, dengan tujuan agar mereka juga tahu kebijakan-kebijakan sekolah dalam batas-batas tertentu.
Dan bukankah kalau dilihat dari hadits Nabi tentang pendidikan, kita ini semua adalah murid (pelajar)? Karena usia pendidikan kita tidak lagi 9 tahun, namun “sejak keluar dari rahim ibu sampai masuk liang lahad” jadi kita semua masih wajib untuk menuntut ilmu. Menuntut ilmu sabar, ilmu mengendalikan emosi, ilmu ikhlas, ilmu mengedepankan kepentingan bersama dari kepentingan kelompok, dan ilmu cukup dengan apa yang ada. Jadi berangkat dari kasus kemarin siapa yang mau disalahkan? Murid adalah obyek yang harus di didik karena dia kurang sopan, tidak bisa membaca, tidak bisa menulis dan tidak bisa memahami kemauan guru. Orang tua menyekolahkan dia, karena mereka tidak bisa segala-galanya. Untuk para orang tua, pernahkan mengetahui tindakan-tindakan apa yang akan diterima anak-anak mereka apabila melanggar aturan-aturan yang dibuat sekolah? Sekolah pernahkan memberikan aturan-aturan disekolahnya kepada para orang tua saat mendaftarkan anak-anak mereka?
Selain kita semua adalah seorang pelajar, kita semua juga adalah pemimpin. Karena pada dasarnya tugas manusia diciptakan Allah adalah sebagai pemimpin (khalifah) selain untuk menjadi penghamba (ibadah). Dan dari segi kepemimpinan di sekolah khususnya, jauh-jauh sebelumnya  Ki Hajar Dewantara pernah mencontohkan tentang itu,”ing ngarso sung tolodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani,”. Memberikan keteladanan, membimbing dan menutun serta mendorong dari belakang. Memberikan contoh yang baik (uswatun hasanah) lebih bermanfaat dari pada memberikan kata-kata yang baik (mauidoh hasanah).  Orang tua, adalah pemimpin bagi anak-anaknya. Guru adalah pemimpin bagi murid-muridnya. Dan murid adalah pemimpin masa depan untuk menggantikan kita-kita saat ini. Apa jadinya kalau estafet kepemimpinan kita jatuh kepada orang yang tidak di didik dengan baik. Dan satu lagi, memaafkan lebih baik dari meminta maaf. Allah saja bisa memberikan dan membuka pintu taubat pada hambanya yang berdosa, bagaimana manusia selaku hamba?? Wallahu’alam.

Penulis adalah Penyuluh Agama di KUA Kec. Mpunda Kemenag Kota Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar