Minggu, 16 Oktober 2011

Sakinah vis a vis Selingkuh

Oleh : Musthofa Umar
 
Untuk kali kedua, saya menyampaikan terimakasih untuk Lensa Post yang telah memberikan kesempatan saya untuk menulis di rubrik ini. Tulisan ini sebagai bentuk pertanggungjawaban saya pribadi telah diutus kantor untuk mengikuti Diklat Keluarga Sakinah di Mataram, mulai tanggal 15 sampai dengan 17 Oktober 2011. Apa yang saya tulis, adalah bentuk berbagi ilmu, walaupun sebenarnya saya yakin anda lebih bisa dan lebih dulu mengetahui hal ini. Tidak ada maksud “menggarami lautan” akan tetapi “hanya” saya mempunyai kesempatan untuk menuliskannya saja, dan berharap bisa bermanfaat bagi saya pribadi dan untuk kita semua.
Sakinah vis a vis selingkuh yang saya ambil menjadi judul tulisan saya ini, ingin mencari bagaimana model sakinah yang diinginkan agama dan menangkal sebuah “trend” keliru masa kini yang semakin mewabah, yakni selingkuh. Baik diperkotaan-perkotaan besar bahkan mungkin sudah merambah pedusunan di sekitar kita.  Selingkuh adalah tantangan terberat saat ini untuk membentuk sebuah keluarga sakinah. Sakinah, mawaddah, warahmah, wabarkah yang selalu kita harapkan, yang sering kita dengarkan dari nasihat-nasihat sebuah pernikahan dan do’a-do’a mereka yang hadir saat walimatul urus, kini sulit kita dapatkan. Dan tahukah kita, dampak dari selingkuh bukan hanya kepada suami-istri, namun mereka-mereka remaja kita bahkan putra-putri kita menjadi trauma dalam menikah akibat melihat contoh-contoh yang kurang baik dari mereka yang “cerai-berai” karena sebuah perselingkuhan.
Sebelum kita ke selingkuh, kita melihat sakinah itu seperti apa sich?! Banyak yang mengartikan pendek saja, Sakinah adalah membentuk keluarga seindah keluarga Rasulullah SAW. Sakinah dalam Surat Ar-Ruum ayat 21, mengatakan bahwa sakinah (tentram damai), mawaddah (cinta birahi), warahmah (cinta kasih sayang) dan wabarkah (diberkahi). Keindahan keluarga Rasulullah SAW, menjadi harapan kita semua, karena siapa lagi yang menjadi junjungan, rujukan dan panutan kita ummat islam, kecuali Muhammad Rasulullah SAW. Cerita-cerita tentang keluarga Rasulullah sangat banyak. Bagaimana Beliau setiap memanggil istrinya dengan panggilan romantis. Misalnya, kepada Aisyah RA beliau memanggilnya khumairo’ (bunga mawar). Jika Aisyah memasak kurang sesautunya, Rasulullah hanya menyindir saja. Jika Aisyah sudah tidur dan Rasulullah membangunkannya untuk membukakan pintu, namun tidak bangun-bangun, Beliau tidur di depan pintu. Kalau Beliau meminta sarapan, namun Aisyah RA menjawab tidak ada, maka Beliau puasa. Begitupun dengan Aisyah RA, merapikan pakaian Nabi, Memotongkan kukunya, menyisir rambutnya, membacakan sesautu yang Beliau suka dan sesekali menyuapi makanan.
Padahal Rasululullah menikah tidak melalui “pacaran” dulu, yang selalu kita menjadikan pacaran itu adalah sebagai penjajagan (masa saling kenal-mengenal), namun kenapa sampai menikahpun kita sepertinya tidak mengenal istri atau suami kita secara utuh. Saling kenal mengenal adalah bentuk untuk mencari kecocokan pasangan. Sehingga begitu dirasa cocok, saling pahami dan siap untuk serius, kita memutuskan menikah. Namun kenapa kalau orang bercerai, kalau ditanya alasannya, selalu jawabannya  “karena sudah tidak ada kecocokan lagi”.Berangkat dari jawaban kebanyakan ini, saya mengartikan bahwa kecocokan itu terbatas. Sehingga kecocokan yang kita “berusaha” untuk mencocokkan saat pacaran itu bisa hilang begitu saja dalam waktu tertentu.
Begitu banyak contoh yang diberikan Rasulullah memang tidak mungkin kita akan ikuti semua. Namun kalau bisa dua atau tiga contoh sudah cukup. Dalam kehidupan berkeluarga memang tidak akan pernah mulus. Ada saja cara Allah SWT menguji kita, dan ada saja peluang syaiton menggoda kita. Yang perlu kita pahami adalah bahwa kita “berbeda”. Menikah adalah berusaha mempertemukan dua keluarga yang jelas karakter, watak, sifat dan keperibadian berbeda. Jangankan suami-istri yang jelas-jelas berbeda ibu dan bapaknya, anak kembar saja yang satu rahim dan satu ibu-bapak, mereka bisa berbeda semuanya. Dalam nikah juga ada rasa jenuh, ada rasa bosan karena rutinitas yang kita kerjakan dan yang kita lihat hanya itu-itu saja. Perlu dalam keluarga dibangun komunikasi yang efektif, yang baik agar setiap masalah kecil segera terselesaikan. Jika sebuah masalah terus menerus ditunda dan disimpan dalam hati maka akan menjadi bom waktu, yang sewaktu-waktu akan meledak.
Bila perlu sebelum akad dilangsungkan, ada hal-hal yang harus disepakati bersama dan dibuat atas kemauan berdua disaat-saat bahagia itu, selain yang tertera di buku nikah (shigat thalak). Dan setelah kita membuat kesepakatan, kita menjaganya dengan usaha maksimal. Akan tetapi kalau semua usaha gagal, maka jika percerain terjadi dan sulit dihindari tidak masalah. Setelah kita konsultasikan, istiharahkan dan hasilnya harus pisah, silahkan ambil jalan itu. Selama ayat-ayat yang mengatur talak, berarti talak itu ada dan pernah terjadi. Kelemahan masing-masing kita selalu ada, karena manusia tidak ada yang sempurna. Namun sebaik-baik cara untuk mengungkapkan kelemahan itu dengan berkomunikasi dan memperbaiki. Jangan karena lemah pada satu sisi dalam pasangan kita, maka itu menjadi peluang untuk mencari yang lain. Selingkuh terjadi karena melihat satu kelebihan pada orang lain yang menutupi kelemahan pasangan. Rajin-rajinlah bertanya tentang sesuatu yang kurang dirasakan pasangan, sehingga dengan begitu cepat teratasi dan mengurangi selingkuh. Kontrol diri dan pasangan apabila terjadi perubahan sikap yang tidak wajar dari biasanya. Saling memahami, memaklumi dan perhatian serta komunikasi adalah kunci sakinah menangkal selingkuh. Jika tidak mampu menyelesaikan masalah berdua, cari orang ketiga yang netral untuk membantu kita. Amin.
 
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di KUA Kec. Mpunda Kemenag Kota Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar