Oleh : Musthofa Umar
Seminggu yang lalu, tepatnya 31
Mei 2012 kita memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia (World No Tobacco Day). Terkesan lambat namun perlu sedikit
menuangkan opini lewat koran ini tentang tembakau yang ujung-ujungnya berbicara
mengenai rokok. Banyak tulisan di
Internet yang membahas rokok dengan kemiskinan, mereka mengopinikan perokok
kebayakan orang-orang miskin yang tidak punya pekerjaan dan pinggitan. Namun
tidak demikian adanya, karena banyak orang kaya pun merokok, PNS, bahkan
dokterpun ada yang merokok. Beberapa waktu lalu diruang rontgen salah satu
rumah sakit di kota ini, saya melihat petugas rotgen menghisap rokok sambil
menunjukkan hasil rotgen pada pasien, sangat ironis memang, tapi itulah
Indonesia. Demikian halnya dengan guru, yang merokok dilihat oleh
murid-muridnya.
Akan tetapi, jika kita berbicara
tembakau dengan kemiskinan para petani tembakau, akan menjadi menarik. Karena
banyak petani tembakau yang belum sejahtera walaupun harga rokok melambung
tinggi. Mereka petani tembakau sebagian besar masih identik dengan kemiskinan, apalagi
tembakau adalah tanaman musiman, yang penghasilan mereka didapat semusim sekali
saja. Mereka padahal menyumbang pendapatan negara dari bea cukai tembakau
sangat fantastis. Berbicara rokok, tentu juga sering diidentikkan dengan
penyakit yang sangat mematikan yakni paru-paru. Dan jarang kita menemukan, ada
orang yang menyeimbangkan pembicaraan rokok, tembakau dengan kesejahteraan
rakyat kita yang sebagian besar menggantungkan hidupnya dengan tembakau atau
pabrik rokok.
Saya tidak berbicara hukum fiqh
(agama) bagaimana menghukumi rokok, bukan karena saya sendiri seorang perokok
tidak, tapi opini saya lebih kepada hukum sosial. Karena berbicara hukum fiqh
adalah hak manusia dengan Allah SWT, di samping itu penafsiran tentang hukum
rokok sendiri masih sengit diperbincangkan, alhasil kalau saya berbicara
tentang hukum fiqh maka akan mengusik ketentraman sebagian faham di negara ini,
tentang pandangan mereka terhadap rokok.
Dan kritik saya terhadap pakar-pakar fiqh adalah, kenapa mereka tidak
membicarakan hukum menanam tembakau, yang sumber utama dari rokok. Lalu nanti
akan ditemukan penilaian tersendiri dari para jama’ah kita yang menggantungkan
hidup dan keluarganya dari hasil menanam tembakau. Atau hukum bekerja pada
pabrik rokok, dan hukum menjual rokok. Oleh karena itu, mari kita berbicara
hukum sisi sosialnya saja. Bagaimana kehidupan mereka-mereka yang menanam
tembakau, dan bekerja dari hasil tembakau dan rokok.
Coba kita lihat beberapa fakta
dilapangan yang berasal dari rokok atau tembakau. Petani tembakau menurut data BPS (Badan Pusat
Statistik) Nasional tahun 2005 saja, tercatat 1,6 persen dari jumlah tenaga
kerja sektor pertanian atau sekitar 686.000 petani. Ini setara dengan 0,7
persen jumlah tenaga kerja di Indonesia.
Produksi tembakau Nasional mencapai 150.000 ton per tahun, pada tahun
2008 untuk membuat 22 milyard batang rokok. Dan jumlah pendapatan Negara dari
beacukai tembakau pada tahun 2012 mencapai, 62,759 triliun pada 2011, sementara
target pajak sektor penerimaan APBN secara umum saban tahun mencapai 75 persen;
jika pada 2012 nanti Indonesia membelanjakan sekitar 1.100 triliun, maka
sumbangan rokok bisa dihitung.
Belum lagi pekerja-pekerja yang
menggantungkan hidupnya pada tembakau. Lihat saja catatan Wikipedia dari tiga
pabrik rokok terbesar di Indonesia, HM.Sampoerna misalnya, memperkerjakan
karyawan sebanyak 28.300 orang data tahun 2009. Gudang Garam, juga sebanyak
28.300 (2009) orang dan Djarum memperkerjakan karyawan sebanyak 75.000 orang (2009). Belum lagi mereka-mereka yang
jualan rokok, pedagang asongan, kaki lima, kios dan sebagainya. Dan jumlah perokok di dunia data tahun 2010
sebanyak 1,3 Miliyard orang. Garis kemiskinan di negeri ini sudah sangat
menghawatirkan. Apalagi kalau kita tidak berbuat untuk mensejahterakan mereka,
nah dengan adanya rokok dan tembakau, sedikit tidak membantu mereka keluar dari
belenggu kemiskinan. Atau setidaknya, mereka tidak menjadi pengemis dan
gelandangan yang pada akhirnya akan mengganggu stabilitas negara juga.
Namun jika rokok bisa membuat
seorang menjadi sakit, tentu ada antisipasi yang harus dibuat. Akan tetapi,
rokok bukanlah sumber penyakit satu-satunya, bahkan makanan dan minuman yang
sering kita konsumsipun jika tidak tepat, akan menyebabkan kita sakit
bertahun-tahun. Kita harus pandai menimbang-nimbang, seberapa besar pengaruhnya
jika larangan merokok terhadap kehidupan mereka (petani tembakau dan pekerja
rokok). Adakah alternatif lain yang diperbuat kita, selain melarang? Misalnya
dengan menciptakan tanaman lain, yang harganya sama dengan harga tembakau, atau
pekerjaan lain yang nilai upahnya sama dengan upah mereka yang bekerja di
pabrik-pabrik rokok? Dari sini nanti baru kita bisa melangkah kearah yang lebih
kongkrit, yakni larangan. Menurut saya, sejauh ini, baru semacam
himbauan-himbauan saja, bukan laranagan. Atau boleh dikatakan larangan, namun
masih setengah-setengah. Karena sepertinya tidak diindahkan oleh mereka baik
pabrik, petani, pekerja maupun perokok.
Nah dari data-data di atas, apa
yang bisa kita perbuat untuk mengantisipasi ‘bahaya’ rokok? Beberapa alternatif
yang diperbuat pemerintah yang sudah dilakukan adalah dengan membangun
fasilitas-fasilitas khusus di beberapa rumah sakit untuk penderita jantung dan
paru-paru yang dananya dari hasil bea cukai tembakau dan rokok. Selain itu
pemerintah juga membuat perda-perda tentang rokok. Namun pertanyaan kita,
seberapa efektifkah semua itu? Dengan data yang terus mengalami peningkatan
yang ditimbulkan adanya rokok. Dan yang
pernah di buat pada tahun 2004 di Jenewa adalah, penyusunan FCTC
(Framework Convention on Tobacco Control) atau Kerangka Konvensi Pengendalian
Tembakau, yakni beberapa point; (1) Pengurangan iklan rokok, (2) Menaikkan cukai
terhadap produk rokok, (3) Memberikan peringatan bergambar tentang bahaya rokok
pada produk rokok, (4) Membuat area khusus untuk perokok, (5) Pembatasan akses
anak terhadap rokok, dan (6) Penjualan
rokok secara tertutup.
Dari beberapa point FCTC yang efektif
atau dilaksanakan berapa? Bisa kita lihat dan nilai, apakah aturan ini berlaku
atau belum efektif alias mandul? Pengurangan iklan rokok, memang jam
penanyangan sudah di batasai, baik di TV ataupun di radio, mulai jam 21.00 ke
atas. Akan tetapi bagaimana dengan Koran, Majalah dan Spanduk atau baliho?
Sepanjang jam orang bisa melihat demikian juga dengan anak-anak, karena itu
bagian dari cara beriklannya sebuah produk rokok. Iklan rokok juga mendatangkan inkam
tersendiri bagi para pengusaha media, juga pajak iklan untuk pemerintah daerah.
Taruk saja untuk zona satu harga satu sepanduk adalah 3.500 rupiah per meter
kali perhari. Kalau mereka memasang sepanduk satu bulan dengan ukuran enam
meter, berapa penghasilan pemerintah dari pajak yang edikeluarkan? Inilah yang
mungkin juga membuat pemerintah setengah-setengah mengeluarkan perda laranagn
iklan rokok di tempat-tempat terbuka. Dan mana mau, perusahaan rokok, memasang
iklan ditempat tertutup. Belum lagi pajangan-pajangan rokok di mall atau
warung-warung pojok, sebagian dari bentuk iklan rokok yang dilakukan rokok.
Dari pertunjukkan musik, konser
atau sejenisnya dengan menggandeng perusahaan rokok sebagai iklan tunggal yang
menyokong dana kegiatan misalnya, belum ada yang menyaring penonton umur 18 tahun
ke atas, sepengetahuan saya, pernah dilakukan oleh HM. Sampoerna waktu dulu,
entah saat ini, atau entah perusahaan-perusahaan rokok yang lain. Namun dalam
hal ini, kelihatannya sulit sekali untuk mengantisipasi penonton yang dibawah
umur 18 tahun, menonton konser musik dengan penyokong dana atau iklannya rokok.
Akan menjadi sangat rumit bagi panitia pelaksana untuk menyeleksi dengan
menunjukkan KTP setiap pengunjungnya. Karena dengan jalan itulah bisa diketahui
bahwa penontonnya sudah berumur 18 tahun atau tidak. Iklan walapun sudah
mentaati peraturan jam 21.00 ke atas, akan tetapi, pemerintah belum bisa
memastikan, anak-anak usia 18 tahun ke bawah pada jam itu sudah tidak menonton
TV atau tidak, sehingga jam 21.00 bisa jadi, masih banyak anak-anak remaja kita
yang menonton dan masih bisa melihat iklan rokok di putar.
Lalu penaikan bea cukai rokok?
Kita tahu harga rokok terus meningkat, namun pembelinya pun tanpa surut dan
banyak alternatif lain, yang penting bisa merokok. Aturan ini sebenarnya untuk
mengurangi pabrik rokok atau perokok? Kalau pabrik rokok mungkin saja bisa,
karena tidak mampu membayar karyawan atau bea produksi lain, akan tetapi
perokok akan tetap merokok walau dengan membuat sendiri (lintingan). Dan jumlah
perokok filter (bersaring) dan kretek (tanpa saring) lebih banyak yang kretek.
Sejarah rokok juga menunjukkan awalnya rokok hanya kretek, karena mudah dan
simpel dibuat orang. Dengan membawa kertas rokok dan tembakau, masyarakat kita
dengan mudah membuat rokok. Sehingga bea cukai, hanya menekan tumbuhnya pabrik
rokok, tidak untuk mengurangi perokok. Tentang peringatan bergambar, sampai
sekarang perusahaan rokok tidak memberikan gambar apapun pada bungkus rokok
mereka.
Hasil FCTC yang point empat,
tentang area khusus perokok. Beberapa tempat di bandara atau terminal mungkin
sudah kita temukan, akan tetapi kebayakan belum menerapkan itu, sehingga dengan
bebas perokok merorok di manapun. Dan aturan ke lima ini, perlu kita waspadai
dan berusaha bagaimana caranya penjual rokok ditingkat terbawah (pedagang
asongan) supaya tidak menjual rokok pada anak-anak dibawah umur. Sering saya
lihat anak berseragam membeli rokok pada jam istirahat, karena dagang di
samping sekolah, atau orang tua yang menyuruh anaknya untuk membelikan mereka
rokok. Dan tindakan orang tua ataupun guru mengenai rokok belum begitu nyata.
Mendeteksi perokok, terutama siswa sangat mudah padahal, dari bau mulut atau
keringat saja, orang bisa mendeteksi bahwa dia seorang perokok. Dan harusnya
banyak sekolah yang menerapkan itu, bukannya himbauan berupa tulisan-tulisan
saja.
Ingat negara kita Indonesia, adalah
sebagai negara pengguna tembakau terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan
India. Jika boleh saya ibaratkan seorang petani membasmi hama wereng supaya
padinya hasil panen bagus, maka wereng sebagai penyebab rusaknya padilah yang
dibasmi. Nah pada persoalan rokok, terlihat memang sekedar himbauan walapun
katanya penyakit yang diakibatkan rokok sangat berbahaya. Jika memang sudah
sangat mengkhawatirkan, kenapa tidak dilakukan “pembasmian” segera. Inilah yang
terlihat setengah hati, harusnya petani tembakau dihimbau untuk menanam yang
lain, atau bagaimana caranya agar mereka tidak menanam tembakau, atau
perusahaan tidak menginpor tembakau sehingga bahan baku mereka tidak ada. Tapi kembali
ke kesejahteraan petani dan pekerja, sudahkagh pemerintah memikirkan lapangan
pekerjaan lain untuk mereka? Puluhan ribu pekerja itu, hanya menggantungkan
hidup mereka dari rokok. Oleh karena itu, jika hanya semacam himbauan, maka
menurut saya sulit untuk menghentikan rokok di Indonesia. Dan ketegasan
pemerintah juga, untuk mereka-mereka yang dibawah umur dan masih sekolah yang
sudah candu merokok.
Andaipun sebagus apa peraturan tentang
rokok, tapi kalau setengah hati maka hanya menjadi peraturan angin lalu saja. Di
rumah, sekolah, tempat-tempat umum masih banyak kita jumpai anak-anak yang
membeli dan merokok seenaknya. Namun pedagang cuek-cuek saja, mereka hanya
mengejar keuntungan belaka. Lihat saja, beberapa SMA-SMK yang dipinggirnya ada
kios atau toko menjual rokok, terkadang kerap kali kita lihat siswa membeli dan
merokok begitu saja, namun tidak ada sangsi yang diberikan kepada pedagangnya
misalnya bila kedapatan menjual rokok pada anak di bawah umur. Atau di rumh
sakit walau ada peraturan area bebas rokok dan denda 50 ribu, masih saja orang
enak merokok. Mudah-mudahan tulisan
saya, menjadi inspirasi kita untuk bagaimana peredaran rokok, cukup pada mereka
yang sudah dewasa kalau memang menghentikan total tidak bisa. Amin,
Penulis adalah Penyuluh Agama
Islam di KUA Mpunda Kemenag Kota Bima dan Sekretaris Forum Komunikasi Penyuluh
Agama Kota Bima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar