Senin, 06 Juni 2011

DIema Pendidikan Kita


Oleh : Musthofa Umar


Tulisan ini tidak bermaksud membela kepala sekolah SMAN 2 Kota Bima ataupun pihak-pihak yang disorot public dalam “kasus” Dancer Perpisahan (30/04/) kemarin. Kalau kita mencermati media massa sekian komentar seolah-olah memojokkan pihak SMAN 2 Kota Bima. Mari kita coba mendudukkan persoalan ini, untuk menjadi masalah kita bersama. Saya sepakat komentar Bapak Wakil Walikota, Bapk H. A. Rahman, SE. di media ini (04/05/), “bahwa hal ini merupakan kegagalan pendidikan kita”, namun kalau dikatakan ini “kegagalan sekolah yang bersangkutan” bias ia juga bias tidak.
Hal ini memang sangat ironis sekali, apalagi peristiwa itu terjadi sehari menjelang Hari Pendidikan Nasional. Namun mari bersama melihat kembali Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional kita dalam Pasal 4 tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan butir ke 6 jelas dikatakan bahwa, pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
Memang sekolah adalah pelaksana pndidikan namun tugas mendidik bukan hanya Pak Guru atau Ibu Guru di sekolah saja, tapi semua komponen masyarakat. Rata-rata proses belajar mengajar di sekolah berlangsung 6-7 jam saja sehari, dan kita hidup 24 jam sehari. Untuk istirahat mungkin 7-8 jam saja, sisanya 9 jam anak didik kita bersama siapa? Tentu kita sepakat, mereka bersama keluarga, teman dan masyarakat lingkungannya. Kalau kita bandingkan, proses belajar mengajar 7 jam dengan seabrek Mata Pelajaran yang mereka harus serap saat itu sangat tidak mungkin untuk sempurna. Belum lagi masalah psikologi mereka, di rumah ada masalah dengan keluarga, teman bahkan pacar. Di sekolah terkadang timbul masalah dengan Guru, teman sekolah, dan Mata Pelajaran yang mereka tidak sukai.
Dari sini para orang tua plus masyarakat lingkungan siswa harus mengambil peran penting, dalam menjadikan anak didik berprilaku sesuai dengan tuntutan pendidikan bahkan tuntutan masyarakat. Seorang Psikolog asal Bali, Dewe Putu Arta mengatakan, “menjadikan anak pintar / baik tidak cukup 1-2 guru, akan tetapi orang sekampung”. Pelajaran yang mereka terima terkadang terlupakan setelah mereka pulang karena asyiknya main bersama teman-temannya di rumah. Dan sebaik apapun pendidikan yang diberikan di sekolah, tapi kalau sampai di rumah atau lingkungan masyarakatnya, mereka anak didik kita melihat langsung sesuatu yang beda, maka secara tidak langsung mereka belajar dengan sendirinya.
Dan sekarang kita pertanyakan diri kita masing-masing, sudahkah kita memberikan lingkungan yang mendidik bagi mereka? Ini baru dari lingkungan, belum dari keluarga, dan media termasuk Internet dan televisi. Pernahkah kita menemani putra-putri kita saat menonton TV atau sekedar bertanya siapa teman-teman bergaul mereka? Atau sejauh mana penyerapan mereka terhadap pelajaran yang dijarakan di sekolah? Mungkin ada, tapi jelas tidak semuanya.
Saya sepakat dengan kebijakan pemerintah tentang Ujian Nasional akhir-akhir ini. Pemerintah tidak mengukur kelulusan hanya dari Ujian Nasional. 60 % dari hasil Ujian Nasional dan 40 % dari Mata Pelajaran / Ujian Lokal. Bisa jadi 40% adalah Hidden Curicullum yang diterapkan masing-masing lembaga pendidikan. Hidden Curicullum atau kurikulum tersembunyi pertama di ungkap oleh John Dewey mengeksplorasi kurikulum tersembunyi dalam penelitiannya di awal abad 20, khususnya dalam buku klasiknya Democracy and Education. Dewey melihat pola dan kecenderungan yang berkembang di sekolah yang menyandarkan diri pada perspektif pro-demokratis.
Kembali masalah Kurikulum Tersembunyi di ungkap  oleh Philip W. Jackson dalam bukunya Life In Classrooms tahun 1968. Ia mengemukakan argumen pentingnya pemahaman pendidikan sebagai proses sosialisasi. Segera setalah tulisan Jackson itu terbit, Benson Snyder mempublikasikan buku The Hidden Curriculum, yang mengajukan pertanyaan tentang mengapa siswa - bahkan atau terutama yang berbakat - menjauhi pendidikan. Snyder menyokong pendapat bahwa kebanyakan konflik kampus dan kecemasan siswa disebabkan oleh sejumlah norma akademik dan sosial yang tidak dinyatakan, yang menghalangi kemampuan siswa untuk berkembang secara mandiri atau berpikir secara kreatif.
Adapun fungsi Kurikulum Tersembunyi Menurut Elizabeth Vallance, bahwa  mencakup "penanaman nilai, sosialisasi politis, pelatihan dalam kepatuhan, pengekalan struktur kelas tradisional-fungsi yang mempunyai karakteristik secara umum seperti kontrol sosial." Kurikulum tersembunyi dapat juga diasosiasikan dengan penguatan ketidaksetaraan sosial, seperti terbukti dalam perkembangan hubungan yang berbeda terhadap modal yang berdasar pada jenis kerja dan aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan yang diterapkan pada siswa jadi berbeda-beda berdasarkan kelas sosialnya.
Manusia hidup social, artinya manusia  tidak biasa hidup sendirian tanpa orang lain. Dan nilai-nilai social itulah yang kita wariskan secara tidak langsung pada putra putrid kita. Mereka belajar dari sana, cara bergaul, berpakaian, dan memahami orang lain. Tingklah laku dan prilaku orang tua, pendidik, dan putra-putri kita adalah hasil dari kurikulum tersembunyi ini. Hal itu memang tidak diajarkan secara formal, secara oral namun dengan uswah atau contoh yang baik. Bukan kah Nabi kita Muhammad SAW juga menitik beratkan harga manusia pada budi pekerti / akhlaknya? Oleh karena itu, sebagai pendidi, entah itu di Sekolah, Rumah atau Lingkungan Masyarakat. Apakah itu Pak / Ibu Guru, Orang Tua atau Teman, hendaknya tunjukkan sesautu yang benar-benar pantas jadi Guru (di gugu dan di Tiru) oleh anak-anak didik kita.Jadi jika kasus di SMAN 2 Kota Bima adalah sebuah kegagalan, itu berarti kegagalan kita semua. Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar