Jumat, 10 Juni 2011

Rumusan Pancasila adalah al-Qur’an

Refleksi Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945

Oleh : Mustapa Umar

“….pancasila dasar negara,
rakyat adil makmur sentosa,
pribadi bangsaku, ayo maju maju,
ayo maju maju, ayo maju maju……”
Potongan lagu “Garuda Pancasila” karangan Sudharnoto ini, mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Sederhana syairnya, namun harus penghayatan penuh untuk memahaminya. Panca (lima) dan Sila (dasar), adalah lima prinsip yang dirumuskan Presiden Soekarno dalam mendirikan bangsa ini. Pancasila menjadi dasar tunggal dalam memajukan bangsa yang kita cintai ini. 1 Juni 1945 sampai 1 Juni 2011, artinya 66 tahun sudah lamanya, 2 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dan kenyataannya bisa kita lihat sendiri, apakah rakyat sudah adil, makmur dan sentosa?
Ada lima prinsip dalam perumusan pancasila. Kelima prinsip inilah, selanjutnya menjadi sila-sila dalam pancasila itu sendiri. Sekilas kalau kita melihat tersirat beberapa ayat dalam al-Qur’an yang bisa kita ambil sebagai dalil atau bukti, bahwa Pancasila tidak dirumuskan dengan sembarangan.
1.      Ketuhanan yang Maha Esa.
Tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam al-Qur’an terdapat 174 ayat yang tersebar di 31 surat yang menyatakan tentang ke-Esa-an Tuhan. Salah satunya, dalam ayat al-Ma’idah ayat 73, “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih”
Semua bentuk agama dan keyakinan di Indonesia, akan mengakui kalau Tuhan adalah Esa. Tentang agama dan keyakinan, sudah tidak bisa ditawar lagi. Empat butir dalam sila pertama, sudah menjelaskan makna sila ini. Sehingga apabila kita menyadari posisi masing-masing, insya-Allah tidak akan terjadi perselisihan agama dan keyakinan. Jika masih terjadi perselisihan, maka kembalilah ke dasar  negara kita yakni Pancasila.
2.    Kemanusiaan yang adil dan beradab
Setelah hablumminallah (hubungan dengan Allah), lalu hablumminannas (hubungan dengan manusia). Hubungan ini, tergambar pada sila ke dua. Manusia harus adil dan beradab, sehingga bisa hidup berdampingan, aman, sentosa bersama manusia yang lain. Dalam al-Qur’an sekitar empat ayat tentang keadilan, salah satunya dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8. “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil”. Lalu dalam surat al-Hujarat ayat 9 ”…dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil”
Rasa keadilan di negeri ini, seperti jauh panggang dari api. Banyak rakyat Indonesia, yang belum merasakan indahnya sikap adil para penguasa atau para penegak hukum. Berbagai kasus dari yang terkecil sampai terbesar, belum menemukan jawaban pasti. Dan belum membuat puas sebagian besar rakyat ini. Masih banyak masyarakat yang miskin, mereka diperlakukan kurang manusiawi. Bukankah menurut Rasululullah, manusia yang baik itu adalah manusia yang bermanfaat untuk sesamanya?
3.    Kemanusiaan yang adil dan beradab
Dari rasa keadilan itulah maka antara rakyat satu dan lainnya akan bersatu. Tapi sebaliknya, jika ada diantara kita tidak merasakan keadilan, terjadilah perpecahan, kerusuhan, tawuran, demo anarkis di mana-mana. Allah sendiri, memperingatkan kita dalam surat ali-Imran ayat 103, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Secara tidak langsung, ayat ini menjadi cerita bagi kita. Bahwa dahulu kala, pada masa Jahiliyah masa kebodohan, masa keterbelakangan mereka saling bermusuh-musuhan. Kalau dahulu seperti itu, mungkin wajar karena mereka belum tersentuh ilmu agama, namun saat ini akankah kita kembali menjadi Jahiliyah? Ilmu banyak, modern, tapi masih sering bermusuh-musuhan. Antar saudara, seagama, sesuku dan sebagainya. Kalau itu masih kita perbuat, kapan Negara ini akan maju?
4.   Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
Selanjutnya adalah prinsip kerakyatan, prinsip musyawarah dan mufakat. Soekarno bercita-cita agar masalah-masalah yang terjadi di negeri ini cepet terselesaikan dengan adanya para wakil-wakil rakyat. Dengan kondisi letak geografis Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau, maka dengan prinsip perwakilan, sangat mungkin untuk menyampaikan aspirasi masing-masing mereka.
Dan setiap keputusan diambil dengan musyawarah/mufakat secara bijaksana. Artinya tidak memandang golongan atau suku, ras, dan agama pada saat itu. Dalam al-Quran surat as-Syuuraa ayat 38, Allah menjelaskan-Nya. “dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”
Ayat ini, lengkap untuk menjadi kajian para wakil rakyat dan kita semua. Bagi mereka yang menerima adanya Tuhan (beriman), lalau mengerjakan shalat dan untuk memutuskan suatu urusan/perkara hendaknya dengan jalan musyawarah. Setelah itu, masih dari ayat ini, adalah seruan untuk menafkahkan sebagian rezeki (zakat, infaq dan shadaqah) kepada rakyat-rakyat yang membutuhkan. Bukan sebaliknya, menjadi wakil rakyat, tapi tidak mau tahu penderitaan rakyat.
5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
Terakhir adalah prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indoneisa. Aplikasi dari bentuk adil sosial adalah bahwa rakyat harus sama dimata hukum, sama kesejahteraannya, tidak ada yang sangat kaya dan sangat miskin. Mereka harus hidup layak, dan mereka yang berkecukupan harus berjiwa sosial. Soekarno menulis dalam pidatonya, “Keadilan, tidaklah keadilan dalam berpolitik saja, tapi keadilan dalam hal kesejahteraan ekonomi masyarakatnya”. Nah apakah kita sudah menjadi Rakyat Indonesia yang pancasilais? Tanyakan pada dirimu.. Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar