Sabtu, 04 Juni 2011

Kartini dari Sudut Pandang Pria

Oleh : Musthofa Umar 

Hari ini kita semua memperingati lahirnya sosok pahlawan “gender” R.A. Kartini. Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – wafat di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun). Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Beliau putri R.M. Sosroningrat dari istri pertama
Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Dan mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Kegigihan seorang Kartini tidak diragukan lagi, namun sampai saat ini apa persembahan kita untuk mengingat perjuangan dan suri tauladan yang pernah beliau torehkan?
Kartini melalui bukunya, “habis gelap terbitlah terang” seolah-olah membuka pikiran kita semua untuk tidak selalu terbelakang terutama perempuan. Dan tulisan saya ini, mencoba sedikit mengurai makna tersembunyi di balik judul buku yang beliau tulis tersebut. Kalau kita lihat, selama ini, Kartini hanya seolah-olah milik perempuan, selalu disimbolkan dengan baju kebaya dan rambut bersanggul. Namun sebenarnya tidak hanya sampai di situ saja.
Dan bangsa ini, memang sering dikatakan bangsa yang sering melupakan pahlawannya. Coba kita telaah kembali, betapa “tabu” nya seorang perempuan dalam berkarier dan menjadi pemimpin di negeri ini, walau Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika dll sudah mencontohkan puluhan tahun lalu. Perempuan mulai diperhitungkan sejak Era kepemimpinan Presiden Gus Dur (Alm. KH. Abdurrahman Wahid), yang saat itu membuat kementrian Pemberdayaan Perempuan dan mengangkat Khofifah Indra Parawangsa menjadi Meteri Pertama, dan dua tahun setelahnya ada Mega Wati Sukarno Poetri sebagai Presiden menggantikan Gus Dur kala itu. Sejak itu, banyak perempuan yang tampil menjadi Gubernur, Bupati bahkan Kepala Desa.
Kita tinggalkan sejenak, kebaya yang sudah banyak ditinggalkan generasi bangsa ini. Tapi focus bahasan opini kali ini tentang seorang pria dalam memaknai dan menghargai hari Kartini. Mudah-mudahan tulisan ini nantinya sedikit memberikan gambaran bagaimana seharusnya kaum pria memperingati Kartini. Baik dalam bersahabat, berhubungan cinta/pacaran ataupun dalam berumah tangga.
 
Habis gelap terbitlah terang, bisa jadi sama maknanya dengan lirik lagu Rhoma Irama, “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”. Setelah gelap/sakit suatu saat kita akan mendapatkan terang/kebahagiaan. Dari makna ini, betapa sikap optimis dan tidak menyerah akan menghadapi sesuatu masalah apapun dalam kehidupan untuk selanjutnya menemukan kebahagiaan di belakang hari, yang ingin ditunjukkan Kartini. Hidup memang tidak bermula dari kesenangan, selalu berawal dari nol, dari perjuangan yang sakit dan pada akhirnya nanti sukses menggembirakan.
Dari sini sudah mulai kita lihat, makna yang ingin disampaikan Kartini untuk universal, pria dan perempuan. Selanjutnya dalam hal memuliakan perempuan, sejauh manakah kita kaum pria memaknai hari Kartini? Secara umum, memahami sosok perempuan? Bukankah perempuan adalah barometer tegak dan runtuhnya suatu Negara? Rasul kita Muhammad SAW, sering memperingati kita agar selalu memuliakan perempuan demi Agama, Bangsa dan Negara. Selain itu, bukankah banyak penguasa yang jatuh dari  kursi kekuasaannya “gara-gara” perempuan?
Kemarin kita juga dikejutkan dengan pemberitaan media ini, yang dikutip dari pernyataan MUI Bima tentang maraknya perceraian, yang berangkat dari hal-hal kecil, (baca Bimaeks, edisi Senin 18 April 2011 hal. 2) mungkinkah semua itu, karena kita tidak bisa memahami dan memuliakan sosok perempuan? Perempuan lumrah orang pahami berasal dari tulang rusuk pria. Tulang rusuk terletak di samping, bukan di kaki untuk selalu jadi bawahan atau di kepala untuk selalu dipuja-puja, namun berada di samping artinya untuk selalu dilindungi dan disayang. Arti harfiyahnya, jika itu penjelmaan dari tulang rusuk, begitu kita menemukannya tentunya harus dijaga dengan baik agar tidak hilang kembali. Ibarat barang yang hilang, begitu ketemu harusnya kita jaga dengan baik agar tidak hilang kembali.
Allah SWT dalam firman-Nya surat An-Nisa’ ayat 19 misalnya, jelas kita pria diperintahkan untuk bergaul/menggauli perempuan dengan arif dan bijaksana, dengan baik. Dalam ayat tersebut, kalau kita menelaah kosa kata Bahasa Arab, ada dhamir hunna yang menggantikan orang/jama’ untuk perempuan, bukan pria. Seolah-olah Allah SWT hanya memberikan perintah kepada kaum pria, tidak kepada kaum perempuan, karena belum ada ayat yang jelas-jelas sama, memerintahkan untuk menggauli/bergaul dengan pria atau kata-kata hum atau antum pengganti orang/jama’ untuk pria.
Memang ayat ini masuk dalam ayat-ayat rumah tangga, atau hubungan suami-istri, akan tetapi bukankah Al-Qur’an bersifat universal begitupun dengan ajaran di dalamnya? Artinya ayat ini bisa kita gunakan juga untuk orang-orang yang belum berumah tangga, pacaran atau tunangan misalnya. Pacaran atau tunangan, adalah proses atau ikhtiar dalam mencari jodoh kita. Sering kaum pria, kurang memuliakan pasangannya, misalnya banyak pria yang meminta “tanda” keseriusan hubungan dengan cara “cek” fisik. Dan sepanjang sejarah, selalu yang menjadi korban adalah perempuan. Seharusnya kalau memang seorang pria baik, dan bisa memuliakan perempuan, tidak seharusnya meminta pembuktian dengan cara-cara seperti itu.
Payahnya juga, perempuan selalu meng-ia-kan begitu saja kemauan cowoknya demi alasan cinta, atau takut diputusin. Padahal tidak ada jaminan kalau pacar/tunangannya saat ini adalah jodohnya. Ingat, jodoh adalah ketentuan Allah SWT. Apa ia, sambil kita meminta, menunggu Allah SWT memberikan kita jodoh melalui do’a-do’a kita, tapi kita tidak mau mengikuti larangan Allah SWT sendiri? Jangankan zina,  mendekati zina saja, kita dilarangNya. Mungkinkah Allah SWT mengabulkan dia sebagai jodoh kita? Wong pada dasarnya seolah-olah kita menentang Allah SWT? Mari kita pahami bersama, dalam kehidupan sehari-hari saja, andai kita punya maksud tertentu pada seseorang, tentunya apapun yang dia perintahkan kita akan laksanakan dengan baik, agar kemauan kita di kabulkannya, termasuk larangannya.
Dalam ayat lain, Allah SWT juga membuat ikhtibar dengan indahnya, tentang hubungan berumah tangga. Surat Al-Baqarah ayat 187, “..hunna libasullakum waantum libasullahunna..” di sini Allah SWT menggambarkan, suami-istri sebagai pakaian. Dari sini juga bisa kita lihat setatus suami sama sejajar dengan istri, “dia perempuan adalah pakaian buatmu laki-laki, dan dia laki-laki adalah pakaian buatmu perempuan”.
Pakaian banyak fungsi tentunya, untuk hiasan yang memperindah pemakainya, sebagai penutup aurat, sebagai pelindung dari dingin dan memperhangat pemakainya. Mari kita coba urai satu persatu, kenapa Allah SWT mengibaratkan “pakaian” dalam hubungan suami-istri. Pertama, menjadi hiasan yang memperindah pemakainya. Orang yang tidak berpakaian, mungkin kita sebut “gila” untuk era saat ini, kecuali pada suku-suku tertentu. Dan tiada keindahan hidup, bagi laki-laki atau perempuan kalau terus-menerus hidup dalam kejombloan. Berapapun kayanya dan bagaimanapun cantik/tampan parasnya, namun jika dia hidup sendiri, maka jelas hidupnya tidak indah. Maka kehadiran pasangan, menjadikan hidup kita hari-harinya menjadi indah untuk kita jalani bersama.
Kedua, fungsi pakaian sebagai penutup aurat. Manusia diciptakan sempurna oleh Allah SWT dibanding ciptaan yang lain, termasuk hewan/binatang. Dan salah satu factor penetu perbedaan itu adalah pakaian itu sendiri.  Aurat manusia, ada batas-batasan tertentu, misalnya pria, dari lutut sampai pusar sedangkan perempuan seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan.  Banyak kejahatan perkosaan dan pelecahan sexual, berawal dari ketertarikan akan kemolekan tubuh perempuan. Dan kemolekan tubuh terlihat dari tidak menggunakan pakaian secara benar sesuai syariat yang digariskan Allah SWT. Aurat juga bisa berarti aib. Nah istri dan suami tentunya akan saling menutup aurat/aib masing-masing.
Istri atau suami adalah orang yang paling dekat dengan kita, tentu jelas mereka lah yang banyak tahu tentang kejelekan kita bahkan kebaikan dan kebiasaan kita. Dari itu antisipasi Agama dalam hal ini jauh-jauh sudah dipertegas, bahwa larangan bagi suami atau istri menceritakan aib suami dan sebaliknya kepada orang lain. Ini juga bisa menjadi barometer kita dalam menilai seseorang, apabila sesuatu yang begitu rahasia masih bisa dia ceritakan pada orang lain, maka orang tersebut pasti orang munafik dan sering bohong alias tidak bisa dipercaya.
Ketiga, fungsi dari pakaian itu adalah untuk membuat hangat dikala dingin dan mendinginkan dikala hangat. Tidak jarang penentu kesuksesan suami adalah karena dorongan dan dukungan sang istri. Namun sebaliknya ada juga, kehancuran suami karena pengaruh istri juga. Mendinginkan dikala panas, adalah istri atau suami, hendaknya menjadi peredam emosi jika terjadi pada salah satu pasangannya. Menghangatkan dikala dingin, bisa jadi suami atau istri menjadi pemecah kebekuan dalam masalah rumah tangga, bukan sama-sama diam/dingin.
Terkadang yang tidak lazim, seorang istri atau suami, menghangatkan sesuatu yang sudah hangat, atau mendinginkan sesuatu yang sudah dingin. Misalnya, jika suami atau istri bersetru dengan tetangga, orang lain atau korupsi di instansinya, maka istri atau suami kadang “menyulut api” mendukung, mengompor-ngompori  pasangannya, sehingga bukannya redam atau terhindar, malah semakin menjadi. Sama halnya jika dalam rumah tangga terjadi masalah, harusnya ada yang mengalah untuk membuka komunikasi terlebih dalu, agar kebekuan itu tidak terus-terusan terjadi.
Dalam rumah tangga kebekuan sering menjadi penyebab perselisihan, perselingkuhan bahkan sampai kepada perceraian. Karena salah satu pasangan, enggan membuka terlebih dahulu. Banyaknya masalah yang sering muncul dalam rumah tangga, dari ketidak puasan pelayanan suami atau istri, kalau hal ini tidak segera dicarikan jalan keluar, dikomunikasikan, dicairkan maka akan menumpuk dan menjadi sesak di dada bahkan jadi bom waktu yang setiap waktu siap meledak. Terkadang jalan pintas yang ditempuh, yakni selingkuh. Selingkuh terjadi kebanyakan alasan awal, tidak puas dengan pelayanan suami atau istri, mungkin kalau ini segera dikomunikasikan pada pasangan maka akan mengendalikan perceraian dan perselingkuhan yang  marak akhir-akhir ini.
Demikian mungkin hal-hal yang bisa kita lakukan, sebagai pria dalam memaknai hari Kartini 21 April 2011 yang kita peringati setiap tahun. Apapun masalah yang kita hadapi, di kantor, bahkan di rumah hendaknya optimis selalu pasti ada jalan keluar dan berjuanglah untuk meraih terang/bahagia itu sesudah gelap/perjuangan yang kita lakukan. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar