Rabu, 28 November 2012

Catatan dari Workshop Pembinaan Toga/Toma Kemenag se-Kota Bima “Mau Rukun, Kembali ke Pancasila”



Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pdi.

Toga atau lebih dikenal dengan Tokoh Agama adalah terbentuk karena kharisma dan keilmuannya yang khusus dalam bidang agama Islam. Sedangkan Toma atau Tokoh masyarakat terbentuk melalui sistem prosedural (Pilpres, Pilwali, Pilbub, RT, RW, Kepala Desa) dan lain-lain. Namun Tokoh Agama sudah jelas menjadi Tokoh Masyarakat. Akan tetapi Tokoh Masyarakat belum tentu menjadi tokoh agama.  Tema yang diangkat dalam pertemuan di Lesehan Putri ini, yakni mencegah konflik antar, inter, dan antara umat beragama. Dalam workshop sehari ini juga dibahas bagaimana mencegah timbulnya penyakit sosial yang ada di sekitar kita, mulai lemahnya iman umat Islam sehingga malas untuk melakukan ibadah, minuman keras, judi dan anak remaja yang nakal.
Seminar tanggal 29 September 2012 kemarin, terasa hangat sekali dalam ingatan kita, akan tetapi kini kita dikejutkan kembali konflik antara dua desa di wilayah Bima (Roka dan Roi) seperti diberitakan koran ini (selasa 02/10) kemarin.  Bahkan konflik dua desa bertetangga ini juga memakan korban satu orang tewas. Dalam hal ini, perlu juga Kabupaten Bima atau Tokoh agama, masyarakat dan adat di dua desa ini rembuk dalam mencegah konflik antara umat beragama, antara masyarakat satu adat seperti ini. Masyarakat kita begitu mudah disulut hal-hal yang mengakibatkan anarkis, dan mengakibatkan konflik berkepanjangan. Dan semoga ini menjadi konflik terakhir di Dana Mbojo ini, lebih-lebih untuk kota Bima jangan pernah terjadi setelah pertemuan toga/toma kemarin.
Mengawlali pemaparan Nara Sumber, Drs. H. Syahrir, M.Si. selaku kepala kementerian Agama Kota Bima, memberikan garis bawah pidato Presiden Susilo Bambang Yudoyono beberapa waktu lalu, mengenai Empat pilar Indonesia. Empat pilar yang dimaksud, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI dan Bhineka Tugal Ika adalah nilai mati yang tidak bisa ditawar dalam ragam masyarakat yang terdiri dari berbagai agama, ras, suku dan bangsa ini. Nah peran Toga dan Toma sangat dibutuhkan dalam hal mencegah sedini mungkin konflik yang timbul karena pergesekan ras, suku, agama dan bangsa yang ada. Contoh paling gress misalnya, tawuran antar kelompok pelajar yang di Jakarta dan mengakibatkan satu korban tewas. Sebelumnya inter umat beragama (Islam) terjadi di Sampang Madura Jawa Timur, antara Sunni dan Syi’ah. Juga antar umat beragama seperti yang terjadi di Maluku, antara Islam dan Kristen.
Terlebih bulan Oktober ini, harus kita merenungi kembali peristiwa tahun 1965 silam. Bagaimana pancasila dirong-rong kewibawaannya oleh segelintir orang yang menamakan dirinya Komunis Indonesia. seperti yang saya pernah tulis dalam opini sebelumnya, G30/SPKI adalah gerakan anti Tuhan, dan sangat bertentangan dengan pilar kebangsaan kita yaitu Pancasila yang mengenal Tuhan dalam sila pertamnaya, “ketuhanan Yang Maha Esa”. Sehingga tanggal 1 Oktober kita peringati dengan hari Kesaktian Pancasila. Landasan inilah yang harus kita patuhi dan kita amalkan, bukan sekedar menghafal Pancasila dari TK-Perguruan Tinggi, namun bagaimana cara pengamalannya yang tepat dalam kita berbangsa dan bernegara. Enam agama yang ada di Indoensia, rata-rata mengenal adanya Tuhan dan Tuhan yang dimaksud adalah bersifat Esa (tunggal).
Perenungan kita dalam ber-pancasila hendaknya bisa membuat kita bisa memahami agama dan cara ibadah umat yang lain. Walaupun mereka adalah umat minoritas di Indonesia, tapi senyampang tidak menganggu ketentraman umat yang lain, silahkan mereka menjalankan ibadahnya sesuai agamanya masing-masing. Islam tidak perlu merasa paling benar sendiri, Islam justru harus lebih baik, menunjukkan agama ini adalah agama rahmatan lil ‘alamin (agam rahmat untuk sekalian alam). Rasulullah pun mengajrkan kita hidup berdapingan rukun bersama orang-orang yang nasrani, majusi, yahudi pada masa beliau. Beliau hanya memerangi orang-orang yang menentang dan memusuhi Islam. Al-Qur’anpun demikian, agamamu agamamu, agamaku ya agamaku. Surat al-Kafirun itu jelas pedoman islam dalam hidup berdampingan dengan umat lain agar tidak timbul konflik-konflik antar agama.
Akan tetapi konflik antar umat beragama selama ini jarang terjadi, justru yang banyak terjadi konflik atas nama kepentingan ekonomi dan dendam pribadi bahkan asmara. Nah peran Toga dan Toma juga harus bisa menjembatani ekonomi umat agar umat ini sejahtera. Kembali ke landasan negara kita pancasila, sila ke lima yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. pertanyaannya konflik berlandaskan ekonomi selama ini akankah karena masyarakat kita belum merasa diperlakukan adil?! Entah dari adil ekonominya ataupun adil dalam penegakan hukum?! Yang jelas tokoh-tokoh inilah yang harus mengupayakan sedemikian rupa agar masyarakat kita merasa aman, tertib dan sehat dalam menjalani hidup dan kehidupan mereka masing-masing.
Beberapa peserta juga ikut berpartisipasi memberikan tanggapan bahkan curhat yang mreka rasakan selama ini, misalnya mulai dari pendidikan haruslah pendidikan agama dan budi pekerti itu lebih banyak porsinya dengan mata pelajaran yang lain, sehingga sedini mungkin anak-anak bangsa ini terhindar dari konflik seperti yang sudah ada. Satu menilai kurang tegasnya aparat dan pemerintah dalam mengambil sikap, sehingga terkesan dibiarkan berlarut-larut dan kalau sudah hal itu terjadi, maka sulit untuk diselesaikannya. Dan demikian juga dengan peserta yang lain, menilai konflik yang terjadi selama ini, karena masyarakat tidak taat aturan, termasuk Pancasila sendiri, apabila aturan dasar ini sudah tidak ditaati atau dilupakan, maka terjadilah konflik. Dan Umi Mariya memulai tanggapannya dengan istilah ibdak binafsik (mulailah dari diri sendiri), para tokoh harusnya memberikan comtoh konkrit dalam hal ini.
Perlu diwaspadai juga konflik-konflik antara umat islam yang sealiran diakibatkan pilihan berbeda dalam pemilihan partai, calon bupati, gubernur dan presiden seperti yang terjadi di Situbondo, antara NU dan NU sendiri dalam pemilihan Gubernur beberapa tahun yang lalu. Dan tidak menutup kemungkinan di Kota Bima ini, menjelang Pemilihan Wali Kota, pergesekan-pergesekan kepentingan akibat ekonomi itu akan muncul. Politik ada yang mengatakan kejam, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan dan keinginan. Coba kita melirik Pilkada DKI berapa banyak Islamnya dan berapa banyak orang Betawi, namun tokoh Islam dan Betawi kampanye kemana-mana untuk mencoblos yang Islam dan yang Betawi tidak digubris, itu menandakan Politik bisa membuat tokoh agama dan masyarakat tidak diindahkan masyarakat. Lalu ada orang yang mengatakan, beda urusan politik dan agama bahkan adat?! Memang beda akan tetapi imbasnya nanti pada tataran kebijakan-kebijakan yang menyangkut umat beragama sendiri.
Kembali ke peran dan munculnya tokoh agama, adalah tidak diminta untuk ditokohkan akan tetapi muncul sendiri melalui pandangan masyarakat. Seorang Tuan Guru, Ustad atau Kyai tidak pernah diminta untuk dipanggil gelar-gelar sosial tersebut, melainkan kesadaran masyarakatlah yang menganggap seorang tokoh pantas menyandang gelar demikian. Dan sangat jarang kita temukan seseorang yang meminta dirinya untuk dipanggil Tuan Guru, atau Kyai bahkan ustad. Malahan ada beberapa tokoh agama yang tidak mau dipanggil gelar-gelar demikian, karena mreasa ilmunya masih jauh dari yang akan diembannya. Amanah dari masyarakat untuk seorang tokoh agama sangatlah berat dari pada tokoh masyarakat. Karena tokoh agama akan selama-lamanya ditokohkan, diminta fatwanya dalam urusan-urusan gama, namun untuk tokoh masyarakat, sekedar masa mereka menjabat saja. Akan tetapi memang ada tokoh masyarakat yang selalu di dengarkan warganya walaupun dia sudah tidak menjabat, in idiakibatkan karena wibawa dan baiknya sewaktu memimpin.
Berangkat dari hal ini, harusnya masyarakat yang menokohkan seseorang, bila di nasehati akan cepat nurut atau mengikuti apa saran dari tokoh yang ada. Ibarat shalat Jama’ah sepeti yang dicontohkan TGH. Drs. Taufiquddin Hamy (ketua MUI Kota Bima), jika seorang Imam meminta shaf diluruskan maka jama’ah secara sadar dan langsung meluruskan shafnya masing-masing. Jika i’tibar ini kita aplikasikan dalam kehidupan nyata (dunia), maka harusnya jama’ah yakni masyarakat akan patuh dan ta’at pada iamam-imam mereka (tokoh). Namun kenyataannya tidak demikian.
Dalam masyarakat konflik selalu muncul, penyakit sosial selalu muncul dan pergeseran-pergesaran nilai akhlak itu selalu ada. Lalu timbul pertanyaan, apakah ada yang salah dari cara kita berdakwah, menasehati mereka? Atau sangat fatal, bila pars tokoh sudah tidak diindahkan alias tidak didengarkan lagi? Dalam hal ini, Drs. M. taufiqurrahman, M, Pd. Menilai mungkinkah kita hanya melakukan amar makruf saja (menyuruh ke kebaikan), namun nahyu anil munkar (mencegah ke kejelekan) jarang kita lakukan? Agama memberikan alternatif dalam Hadits riwayat Muslim misalnya, “barang siapa yang melihat kemunkaran, hendaklah dia cegah dengan tangannya (kekuasaan), apabila tidak mampu, maka dengan lisannya, apablila tidak mampu maka dengan hatinya (diam) akan tetapi yang demikian itu termasuk lemahnya iman”
Pertemuan yang berlangsung satu hari ini, memang tidak akan menyelesaikan masalah Bangsa khususnya Kota Bima dalam sekejap, sehingga KH. Drs. Ramli Ahmad, M AP. mengusulkan agar Toga dan Toma kompak untuk selalu mengadakan pertemuan rutin yang nantinya menjadi barometer keberhasilan dakwah selama ini. Diakui memang beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat menyebar dalam lembaga-lebaga dakwah, seperti PHBI, DMI, IPHI, MUI, FKPAI, FKSPP, BAZNAS, NU, Muhammadiyah, LDI, Prsis dan sebagainya. Menyebarnya para toga dan toma ini mungkin yang terlihat hanya sendiri-sendiri. Nah jika para toga dan toma ini mempunyai forum tersendiri untuk menyatukan sikap dan mengatur strategi, insyaallah menurut Ustad H. Adnin, M.Pdi dari Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam Kota Bima, selaku ketua beliau berharap  konflik dan timbulnya penyakit-penyakit sosial di masyarakat akan segera teratasi dan tercegah sedini mungkin. Lain halnya dengan sambutan Wali Kota, ke depan pembinaan/pertemuan Toga dan Toma harus melibatkan toga dan toma agama lain yang ada di Kota Bima. Dengan begitu, toleransi beragama dan membangun kerukunan harus dilakukan semua pihak yang ada. Amin..
 
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di Kementerian Agama Kota Bima dan Anggota PHBI Kota Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar