Rabu, 28 November 2012

Konflik Internal, Kelemahan Komunikasi Pemimpin


 
Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pdi.
 
Beberapa hari kemarin, kita dikejutkan oleh kejadian yang sangat membuat keprihatinan kita semua. Bagaimana tidak, konflik antar satu komunitas, satu suku, satu agama terjadi di kota Bima yang slogannya adalah kota “BERTEMAN”.  Konflik yang terjadi antara Kampung Sumbawa dan Tanjung, terjadi dibulan Muharram, yang seharusnya dijadikan bulan muhasabah dan introspeksi diri, mempererat persaudaraan seperti yang dilakukan Rasulullah SAW, saat Hijrah 1434 tahun yang lalu, dengan membawa kaum Muhajirin dari Kota Mekkah dan dipersatukan dengan kaum Anshor di Madinah. Sebeulm saya mengajak pembaca untuk menuju judul opini saya, alangkah baiknya kita mengetahui beberapa pandangan orang tentang hakekat dan konflik itu sendiri.
Hakekat konflik adalah orang-orang dan kelompok dalam lingkungannya mengembangkan keahlian dan pandangannya yang berbeda tentang pekerjajan/tugasnya dan pekerjaan/tugas kelompok lain. Ketika interaksi diantara mereka terjadi maka konflik menjadi potensial untuk muncul. Konflik dapat menimbulkan konsekuensi positif dan negatif. Dapat mendorong inovasi, kreativitas,dan adaptasi. Sekalipun beberapa konflik yang terjadi bermanfaat bagi kemajuan, akan tetapi konflik yang sering terjadi muncul kepermukaan adalah konflik yang bersifat disfungsional. Konflik yang seperti ini dapat menurunkan kohesivitas, menimbulkan ketidakpuasan, meningkatkan ketegangan.
Ada beberapa pandangan tentang konflik, yang pertama adalah disebut Pandangan Tradisional, yakni menganggap bahwa semua konflik adalah berbahaya dan oleh karenanya harus dihindari, konflik dilihat dari hasil yang disfungsional sebagai akibat dari buruknya komunikasi, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan diantara individu, dan kegagalan pemimpin untuk memberikan respon atas kebutuhan dan aspirasi anggota. Lalu yang kedua adalah disebut Pandangan Aliran Hubungan Manusiawi, yakni menganggap bahwa konflik adalah sesuatu yang lumrah dan terjadi secara alami dalam setiap komunitas, kelompok ataupun organisasi. Pandangan ini menyadari bahwa konflik tidak dapat dihindari, dan menganggap bahwa ada kalanya konflik bermamfaat bagi kemajuan.
Dan ketiga adalah disebut, Pandangan Interaksionis, yakni jika pandangan hubungan manusiawi menerima keberadaan konflik, maka pendekatan interaksionis mendorong konflik pada keadaan yang harmonis. Tidak adanya perbedaan pendapat yang menyebabkan organisasi menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi. Sumbangan utama dari pandangan yang interaksionis adalah mendorong pemimpin untuk selalu mempertahankan tingkat konflik yang optimal agar mampu menimbulkan semangat  dan kreativitas.
Nah itulah beberapa pendapat tentang terjadinya konflik. Kita kembali ke konflik yang terjadi di Kota Bima, harusnya ini tidak akan terjadi apalagi hanya persoalan sepele. Kenapa bisa begitu? Coba kita lihat struktur penataan Kota Bima, selain slogan BERTEMAN entah dengan konotasi yang lain, tapi yang jelas saya mengartikan BERTEMAN adalah antara masyarakat/suku yang lain tidak bisa terpisahkan seperti sebuah PERTEMANAN/PERSAHABATAN. Persahabatan atau Pertemanan bagai sebuah saudara, yang mana persaudaraan yang diajarkan Rasulullah SAW ibarat satu tubuh, satu yang sakit maka seluruhnya menjadi sakit.  Kota Bima juga indah dengan penataan alun-alun kota (lapangan) ditengah, sebelah Timur Kediaman Raja, dan sebelah Barat Masjid Sultan Salahuddin yang mengisyaratkan kita bahwa, antara satu dan lainnya harus bergandengan. Lapangan adalah gambaran masyarakat (Rakyat), kediaman Raja menggambarkan Pemimpin/Tokoh Masyarakat (Umara’) dan Masjid adalah gambaran Tokoh Agama (Ulama’).
Di samping itu, kita juga masih ingat pembinaan Toga/Toma yang dilakukan Kementerian Agama Kota Bima 29 September 2012 lalu, yang dipusatkan di Lesehan Putri kota Bima. Di mana dalam pertemuan ini dibahas, bagaimana mencegah terjadinya konflik  antara satu agama dan agama lain, satu suku dengan suku lain, dan termasuk konflik internal antara satu agama, satu pemahaman, satu individu dengan individu lainnya.  Dalam sebuah masyarakat tentu ada TOMA (Tokoh Masyarakat) dan TOGA (Tokoh Agama). Jika melihat pandangan Tradisional tentang konflik diatas, adalah akibat kurang komunikasinya pemimpin maka konflik internal bisa terjadi. Masyarakat adalah dipimpin toga dan  toma setempat, merekalah sebagai rujukan masyarakat dalam menyelesaikan permasalahannya. Cobalah kita eratkan kembali hubungan pemimpin, hubungan ulama’ dengan masayarakat. Jangan hanya saat kampanye saja, seorang calon pemimpin blusukan (masuk gang ke gang) mencari masyarakat/rakyat. Lalu setelah itu tidak merakyat kembali.
Ketiga Instrument ini (rakyat, umara’ dan ulama’) harusnya bersinergi. Bukan timpang salah satu. Rakyat hanya dekat dengan ulama’ tapi jauh dengan umara’ (pemimpin). Atau sebaliknya, rakyat dekat dengan pemimpin, namun ulama’ (toga) nya acuh tak acuh. Nah kalau ini terjadi maka wajar konflik cepat terjadi di masyarakat. Mudah-mudahan ke depan, antara pemimpin, ulama’ dan rakyat bisa mengintensipkan komunikasi bergandengan tangan seiring sejalan, bagai Kediaman Raja, Lapangan Merdeka dan Masjid Sultan Salahuddin, sehingga konflik seperti ini tidak akan terjadi kembali. Wallohua’lamubisshawab….

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Bima dan Anggota PHBI Kota Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar