Rabu, 28 November 2012

Kontes Waria di Awal Muharram



Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M.Pdi.

Rabu, 14 Nopember  2012 kemarin, pada malamnya umat Islam di seluruh dunia memperingati pergantian Tahun Hijriyah. Perhitungan 1 Muharram, terhitung sejak matahari tenggelam, tidak seperti hari atau tahun Masehi, pergantiannya pada pukul 00.00. Hijriyah sendiri, didasarkan pada peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah. Pergantian tahun 1433 ke 1434 berjalan sederhana, di Kota Bima sendiri hanya diisi dengan pawai dan tabligh akbar oleh PHBI Kota Bima di Paruga Nae. Itulah budaya Islam sesungguhnya, damai dan sederhana. Lain halnya dengan pergantian tahun Masehi, 1 Januari sering dimeriahkan dengan hura-hura dan terkesan negatif.
Berbicara Hijriyah sendiri, memang tidak akan lepas berbicara pribadi Muhammad Rasulullah SAW. Dan berbicara Muhammad adalah berbicara tentang islam yang dibawakan beliau untuk kita umatnya. Sosok Muhammad Rosululullah, tak hanya sukses dalam bidang spiritual, tetapi pada setiap peran yang dia emban dalam berbagai bidang kehidupan. Kepribadian Muhammad, sangatlah luas, beliau seorang pahlawan, ekonom/pembisnis, negarawan, orator/diplomat handal, reformer, yatim piatu yang mandiri, pelindung budak dan kaum marginal saat itu yakni perempuan. Bukan hanya itu, Muhammad adalah Hakim yang adil, dan tentara serta pendidik yang baik.
Keperibadian Muhammad SAW ini,  Allah SWT menegaskan hal demikian dalam firman-Nya surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Wujud dari uswah hasanah selain terdapat di dalam Al-Qur’an, juga melalui sunahnya. Sunah atau hadis adalah keseluruhan dari kehidupan Nabi Muhammad saw., baik perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun himmah atau cita-citanya yang belum terwujud.
Kredibilitas Muhammad sebagai ‘orang yang harus dimuliakan’ tidak hanya diakui umatnya sendiri, akan tetapi umat agama lain. Namun sangat disayangkan, pencitraan Muhammad SAW sempat membuat panas umat Islam di seluruh dunia, beberapa waktu lalu yang dilakukan oleh Sutradara Anonim Sam Bacile, yang membuat film Innocence Of Muslims. Inisama dengan apa yang dilakukan oleh Greet Wilder, politisi asal Belanda ini tahun 2008 membuat Film bertajuk FITNA.  Semua ini bentuk serangat umat lain, yang sangat membeci Rasulullah SAW secara pribadi dan Islam ajaran yang beliau bawa secara umum. Akan tetapi, terpaan-terpaan yang menimpa Islam, tidak membuatnya surut atau kehilangan umat. Justru Islam semakin solid untuk bersatu melawan praktek-praktek Zionis menghina Islam dan Rasulullah SAW.
Secara historis, peristiwa keberangkatan nabi besar Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya dari kota Makkah menuju kota Yathrib, yang kemudian disebut al-Madinah al-Munawwarah mengandung beberapa makna untuk kita ambil; Pertama, perisitwa hijrah Rasululah dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan tonggak sejarah yang monumental dan memiliki makna yang sangat berarti bagi setiap muslim, karena hijrah merupakan tonggak kebangkitan Islam yang semula diliputi suasana dan situasi yang tidak kondusif di Makkah menuju suasana yang prospektif di Madinah.
Hal tersebut bisa dilakukan umatnya saat ini, terkadang seseorang melakukan Urbanisasi (perpindahan penduduk dari desa ke Kota), atau bahkan Transmigrasi (perpindahan penduduk dari pulau satu yang padat penduduknya, ke pulau yang jarang penduduknya). Semua ini dilakukan orang dengan tujuan mencari sesuatu yang beda dari sebelumnya, atau tempat tinggal sebelumnya. Tentu berpidahnya lokasi seseorang, tidak hanya pindah tempat tinggal saja, melainkan pindah pola pikir, pindah pekerjaan, pindah cara-cara lama ke arah cara-cara baru yang lebih baik. Dan Islam di tanah air Indonesia kita ini pun, penyebarannya tidak lepas dari proses hijrahnya beberapa waliyullah, habaib, dan para ulama’ dari Arab menyebar ke semenanjung Asia termasuk Indonesia dengan berbagai cara, baik berdagang, pernikahan ataypun akulturasi budaya.
Kedua, Hijrah mengandung semangat perjuangan tanpa putus asa dan rasa opimisme yang tinggi, yaitu semangat berhijrah dari hal-hal yang buruk kepada yang baik, dan hijrah daru hal-hal yang baik ke yang lebih baik. Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya telah melawan rasa sedih dan takut dengan berhijrah, meski harus meninggalkan tanah kelahiran, sanak saudara dan harta benda. Ketiga, Hijrah mengandung semangat persaudaraan, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. pada saat beliau mempersaudarakan antara kaum muhajirin dengan kaum anshar, bahkan beliau telah membina hubungan baik dengan beberapa kelompok yahudi yang hidup di Madinah dan sekitarnya.
Hijrah atau berpindah, seperti yang saya tulis di atas, adalah semangat ingin berubah ke arah yang lebih baik. Dan terkadang perubahan itu, tidak semulus yang kita bayangkan dan rencanakan. Tidak jarang, seseorang akan mengalamai berbagai cobaan, dan kesulitan atas apa yang diusahakannya. Apalagi sesuatu itu hal yang baru baginya, belum lagi tempat tinggal yang baru. Dari itu diperlukan rasa optimisme yang kuat, jika ingin tercapai tujuan. Dari rasa optimisme inilah nantinya akan menjadi semangat kita, untuk mewujudkan kinginan itu. Berubah, tentu seperti yang disabdakan Rasululllah SAW adalah berubah dari kemarin jelek menjadi lebih baik pada saat ini, bukan sebaliknya.
Nah pertanyaanya, apakah sampai tahun 1434 Hijriyah sudahkah kita melakukan ajaran-ajaran yang Muhammad Rasulullah bawa dengan sempurna? Atau kalau tidak kapan kita akan melakukan perubahan (hijriyah) itu?  Pemaknaan hijrah tentu bukan selalu harus identik dengan meninggalkan kampung halaman seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan kaum Muhajirin waktu itu, tetapi pemaknaan hijrah lebih kepada nilai-nilai dan semangat berhijrah itu sendiri, karena hijrah dalam arti seperti ini tidak akan pernah berhenti Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ada seorang yang mendatangi Rasulullah dan berkata: wahai Rasulullah, saya baru saja mengunjungi kaum yang berpendapat bahwa hijrah telah telah berakhir, Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya hijrah itu tidak ada hentinya, sehingga terhentinya taubat, dan taubat itu tidak ada hentinya sehingga matahari terbit dari sebelah barat”.
Momentum Muharram harusnya dijadikan untuk introspeksi dan muhasabah diri. Karena tuntutan Islam adalah setiap pergantian tahun, haruslah berusaha lebih baik dari tahun kemarin. Hal ini berangkat dari hadits Rasulullah, bahwa orang yang beruntung adalah yang memaknai hari atau pergantian tahun, lebih baik perkerjaannya dari tahun kemarin. Dan sebaliknya, orang yang melakukan pekerjaan yang lebih jelek dengan tahun sebelumnya, adalah termasuk orang yang merugi. Dan untuk mengetahui, apakah pekerjaan kita kemarin buruk atau tidak, tentu dengan cara introspeksi dan muhasabah diri. Dari hasil introspeksi dan muhasabah diri inilah yang akan menjadi barometer kita untuk kearah lebih baik.
Harapan ini tentu bertolak belakang, dengan judul opini saya kali ini. Muharaam seharusnya menjadikan umat kelebih baik, ternoda dengan pemeritaan beberapa media tanggal (17/11) kemarin, bahwa ada kontes waria di Jatiwangi. Dan beberapa kalanganpun angkat bicara, tentang kontes yang tak lazim di Kota Bima ini. Untuk meluruskan opini kita tentang waria, alangkah lebih baiknya kalau kita sedikit mengetahui siapa dan bagaimana waria itu? Lalu bagaimana sebenarnya Islam memandang waria?!
Waria adalah singkatan atau sebutan dari wanita pria. Istilah ini kadang juga disebut wadam, banci, bencong, banthu, wandhu atau tepatnya pria yang dianalogkan dengan prilaku yang gemah gemulai, lembut dan kewanita-wanitaan. Perilaku waria terkadang dibuat-buat (akting), dan ada juga yang memang bawaan lahir (gen). dalam kompilasi hukum Islam, memang istilah Banci ada juga, akan tetapi banci dalam islam adalah seseorang yang lahir dengan dua kelamin sekaligus. Sehingga penentuan hukumnya tergantung pada kelamin apa yang mendominasi atau tumbuh besar.
Waria yang saat ini kita lihat, jarang ada yang berkelamin dua sekaligus, akan tetapi terbentuk akibat lingkungan tempat dia tinggal dan bergaul. Dan waria masuk dari kategori gangguan psikologi dan penyakit sosial. Sehingga dibeberapa wilayah, sering kita jumpai penjaringan waria atau razia terhadap waria.  Dikategorikan gangguan psikologi, karena prilaku yang ditimbulkannya. Waria sering berdandan untuk menarik minat pasangan sejenisnya. Mencintai dan berhubungan dengan sejenis, dalam istilah gangguan sexual/psikologi disebut homo. Jenis homo dikategorikan kedalam dua bentuk, husus laki-laki disebut gay dan perempuan disebut lesbi. Dari sinilah Islam melarang bentuk atau praktek waria.
Praktek homo sudah dikenal dalam sejarah Islam sejak zaman Nabi Luth, dan untuk waria sendiri, pada zaman Rasulullah SAW praktek seperti ini sudah ada, sehingga menyebabkan Rasulullah mengeluarkan hadits, “Laknat atas laki-laki yang menyerupai perempuan dan sebaliknya”.  Dan waria adalah laki-laki yang menyerupai perempuan. Berprilaku waria, sebenarnya membuat diri terbatas. Baik pada keluarga, maupun lingkungannya. Hal ini dinyatakan oleh Oetomo (2000) dalam penelitiannya menyebutkan, berprilaku waria memiliki banyak resiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah penolakan keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak diterima secara sosial. Dianggap lelucon, hingga kekerasan baik verbal maupun non verbal dihadapi waria. Penolakan terhadap waria juga dilakukan oleh masayarakat strata sosial atas.
Nah ini menunjukkan betapa waria menjadi masalah berkepanjangan di masyarakat. Dampak lain adalah status ibadah mereka, apakah mengikuti cara ibadah laki-laki atau perempuan, padahal mereka laki-laki. Dari itu Agama sagat melarang, dari segi kesehatan juga jelas menjadi tidak sehat dengan kehidupan sembunyi-sembunyi, keluar malam dan terkesan ngatif ke arah penyakit masyarakat. Jika terindikasi penyakit masyarakat maka ini kewajiban Satpol PP untuk mentertibkannya. Jika Penyakit Psikologi akibat Depresi, Stress dan gangguan-gangguan kejiwaan lain, pihak pemerintah dan rumah sakit berkewajiban untuk memberantas ini denganc ara dihadirkan psikolog-psikolog yang bisa membawa mereka sadar ke jalan yang benar kembali. Dan tugas kita semua, untuk mencegah dari yang munkar. Tentu Kota Bima tidak ingin menjadi atau mengulang sejarah Nabi Luth dan kaumnya yang di balik tanah kelahirannya atau tempat tinggalnya, dari atas menjadi bawah dan yang bawah menjadi atas. Na’udzubillahimindzaalik…
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di Kemenag Kota Bima dan Anggota PHBI Kota Bima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar