Rabu, 28 November 2012

Nasionalisme Generasi Muda (Renungan 10 Nopember 1945)



Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pdi.

Melirik sejarah Bangsa ini, tidak lepas dari peran kaum muda waktu itu. Tidak terhitung lagi, berapa darah para syuhada’ telah tertumpah untuk membangun negeri ini. Tiga ratus lima puluh tahun atau tiga setengah abad, negeri yang selanjutnya bernama Indonesia ini, diporak-porandakan penjajah, baik Belanda, Inggris dan Amerika serta sekutu-sekutunya. Termasuk Jepang pada awal tahun 1942 sampai tahun 1945. 17 Agustus 1945 Proklamator kita, Ir. Soekarno dan Hatta, memproklamirkan Indonesia Merdeka. Akan tetapi, 1945 bukanlah akhir penderitaan rakyat Indonesia, melawan penjajah.
Lihat saja, setelah perjuangan panjang para pejuang kita, sampai Agustus 1945. Kembali pada tanggal 20 Oktober 1945 di Ambarawa terjadi pertempuran lagi. Sehingga peristiwa waktu itu dikenal dengan istilah Palangan Ambarawa. Begitu juga setahun setelah kemerdekaan di proklamirkan, kembali kedaulatan Bangsa ini, coba untuk dirong-rong kembali. Di Bandung, pada tanggal 23 Maret 1946, terjadi pertempuran antara rakyat Indonesia dan Belanda, yang selanjutnya terkenal dengan istilah Bandung Lautan Api. Dari Bandung, peristiwa yang sama terjadi kembali pada Nopember tanggal 20 1946 di  Tabanan Bali. Para pejuang muda kita, di bawah komando Kolonel I Gusti Ngurah Rai, yang dikenal dengan Pertempuran Puputan Margarana, berjuang mempertahankan kedaulatan Bangsa yang sudah dinyatakan medeka ini.
Dan tentu ingatan sejarah kita masih segar, setahun sebelumnya dari peristiwa di Bali, 10 Nopember 1945 pertempuran yang sama terjadi di Surabaya. Bung Tomo menyemangati kaum muda “arek-arek suroboyo” menyerbu markas Belanda, dan naik di atas Hotel Yamato yang saat ini dikenal dengan nama Hotel Majapahit di Jalan Tunjungan nomor 56 Surabaya saat ini. Dan peristiwa ini menjadi penetapan Hari Pahlawan Nasional. Walaupun Bung Tomo sendiri berikut Soekarno dan Hatta baru-baru ini mendapat gelar Pahlawan Nasional, setelah 67 tahun Bangsa ini beliau proklamirkan merdeka. Di atas Hotel yang terkenal juga pada waktu itu bernama Oranje Hotel (Hotel Oranye), Bung Tomo merobek kain bendera warna biru, sehingga merah-putih berkibar gagah perkasa. Walaupun sebenarnya, pada tanggal 31 Agustus 1945 Maklumat Pemerintah pada waktu itu, menetapkan tanggal 1 September 1945 Bendera Nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia.
Perjuangan rakyat Indonesia belum tuntas sampai di sana. Tahun 1949 di Yogyakarta juga terjadi perebutan kekuasaan, yang dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret. Termasuk tahun 1965 peristiwa G.30 SPKI. Begitu panjang derita bangsa ini, baik sebelum 1945 ataupun sesudahnya. Dan perjuangan demi perjuangan para pahlawan kita ini, kalau kita lihat lebih banyak melibatkan generasi muda. Dari peristiwa Soempah Pemuda 28 Oktober 1928, para pemudalah yang banyak menyumbangkan kemerdekaan pada bangsa ini. Termasuk di Dana Mbojo sendiri, dalam tulisan Tajib tahun 1995 dan tahun 1999, beliau menceritakan perjuangan Laskar Bima melawan belanda dan juga melawan Jepang pada tahun 1942 hingga 1945. Dan pertanyaan kita selanjutnya, apakah generasi muda saat ini sudah mewarisi nilai-nilai kepahlawanan para pahlawan kita?! Atau cukup dengan tawuran, miras, narkoba, dan video mesum?!
Al-qur’an sangat menganjurkan kita untuk selalu bersyukur atas segala bentuk nikmat yang diberikan-Nya. Dalam Firman Allah SWT surat Ibrahim ayat 7 dikatakan, “sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku kan menambah nikmat kepadamu, tapi jika kamu mengingkati nikmat-Ku maka pasti adzab-Ku sangat berat”. Berangkat dari ayat ini, bentuk syukur apakah yang pernah kita perbuat, dalam berbangsa dan bernegara yang dahulu mereka pertahankan dengan pengorbanan yang luar biasa, sehingga kita bisa menikmati dengan segar udara kemerdekaan di Negeri ini. Coba kita renungkan sejenak, warisan yang mereka tinggalkan ini.sudah kita rawat dengan baik, atau kita mau hancurkan kembali pelan-pelan?! Dan sejauhmanakan kiranya penghayatan akan arti dan makna dari kepahlawanan bagi generasi muda sekarang ini?! Suatu pertanyaan untuk dijawab dengan tidak begitu mudah,  belum lagi dengan semrautnya keadaan dewasa ini utamanya menyangkut terhadap apa yang dikatakan orang bahwa krisis terhadap nilai-nilai kepahlawanan itu sendiri terasa bagi kita bersama. Dan kita tidak jarang menangkap kegelisahan generasi muda, mereka dalam keadaan bingung dan bertanya-tanya, nilai-nilai apa yang sebenarnya kini sedang berlaku, mengingat tingkah laku dari para pemimpin, yang dikatakan sering berbeda antara ucapan dan perbuatan, memberi janji tanpa ditaati dan terjadi hal-hal yang cenderung mengabaikan aturan permainan
Kesemuanya itu berbaur dalam alam kemerdekaan kita sekarang ini dan lebih dari itu sangat terasa pada apa yang kita sebut dengan “kejujuran” sering sebagai salah satu ciri khas kepahlawanan telah merupakan barang komoditi moral yang lagi ambruk, kejujuran adalah klise yang tak pernah kadaluwarsa. Tapi kejujuran itu semakin kian menipis dan terasa langka adanya justru saat ini kita sangat memerlukan sebagai landasan moral dari suatu tanggung jawab pembangunan karakter bangsa. Begitu kadang-kadang keras orang-orang mengadakan perbandingan, dengan mengatakan, “yang jujur terkubur, yang sabar terkapar dan terlantar”, apakah telah sedemikian semerautnya keadaan masyarakat kita dewasa ini, oleh desakan kemajuan teknologi yang menuntut manusia untuk berpacu dalam segala keadaan dan waktu?!.
Ada empat karakteristik orang dikatakan pahlawan. Pertama, Berani. Artinya, sifat berani dalam hal menegakkan kebenaran. Berani tidak identik dengan nekat, akan tetapi berani masih bisa berpikir jernih untuk melakukan tindakan. Dia akan berpikir dampak yang akan timbul jika melakukan sebuah perbuatan. Tentu untuk urusan kebenaran dia akan di depan untuk memperjuangkannya. Selanjutnya, kedua ialah Pantang Menyerah. Pantang menyerah, adalah kata untuk melukiskan orang yang berbuat tanpa ada putus asa. Dia akan sanggup menghadapi segala rintangan, dan jika gagal terus akan mencoba kembali sampai kebenaran itu tegak. ketiga dari kerakteristik seorang dikatakan pahlawan adalah, Rela Berkorban. Pahlawan akan merelakan kepentingan dirinnya sendiri, pikiran, tenaga, harta bahkan nyawa untuk kepentingan orang lain yang memang sangat harus ditolong. Dan keempat adalah Mendahulukan Kepentingan Orang Lain. Orang lain atau kepentingan orang banyak, haruslah didahulukan baru kepentingan diri sendiri atau kelompok. Nilai kepahlawan itu sendiri sebenarnya tidak terbatas pada suatu masa atau suatu bidang kehidupan tertentu saja. Potensi dan intuisi kepahlawan itu sendiri akan selalu ada dan hidup di dalam diri orang yang memiliki bakat untuk itu, dan ini akan selalu ada disegala zaman dan disegala bidang kehidupan.
Pada keadaan masyarakat kita sekarang, sifat dari kepahlawanan itu sendiri terasa sangat sukar untuk ditemukan. Bahwa hal yang demikian, dapat dikatakan langka dan nilai-nilai kepahlawanan itu sendiri kian kabur serta sulit untuk dilihat realita yang jelas. Ia hanya dapat dirasakan sebagai suatu bentuk impian, yang kian sirna dari kehidupan dalam masyarakat kita dan terdesak oleh sifat keras kehidupan yang ada dewasa ini . Pencermian yang suram, dari nilai kepahlawan itu sendiri, tidak lepas dari moral etika yang mencuat dari generasi suatu bangsa. Nilai kepahlawanan yang bersifat heroisme, patriotisme dan nasionalisme sebagai pencerminan watak generasi sebelumnya. Bagaimanapun generasi muda akan mewarisi nilai-nilai dari kepahlawanan itu sendiri, jika semua itu hanya lewat anjuran-anjuran yang bersifat verbal dari mereka yang menginginkannya, sedangkan tindakan dari sang penganjur sendiri sangat bertentangan dari apa yang mereka katakana. Kiranya pahlawan dalam arti keteladanan adalah sangat diperlukan pada masa sekarang ini, bukan hanya dengan omongan saja. Mereka-mereka yang lebih berhikmat dibidangnya masing-masing untuk memerangi kemiskinan, menjunjung tinggi hak azasi manusia yang kesemuanya itu lebih berarti daripada apa yang hanya berupa anjuran-anjuran belaka.
Sesuai dengan era pembangunan dinegeri kita yang sedang berjalan dewasa ini , kiranya pula satu keteladanan lebih berharga dari kepahlawanan itu sendiri, dengan kata lain bahwa “teladan” lebih sesuai dari pada pahlawan, karena pada saat sekarang negara lebih memerlukan mereka yang mau bekerja keras untuk membangun negaranya dan keteladanan yang demikian patut untuk mendapat penghargaan. Memang kita sering melihat dan mendengar dan membaca di Media massa berbagai bentuk pemberian penghargaan yang tentunya juga bersifat keteladanan itu sendiri yang sering dilaksanakan di istana Presiden, tapi gaung dari keteladan itu sendiri tidak begitu ditanggap oleh generasi muda untuk diteladani. Kiranya ada sesuatu yang kurang pas dihati para generasi muda kita yang masih cenderung konsumtif dan hura-hura.
Rasulullah SAW sendiri menyatakan dirinya diutus untuk memperbaiki akhlak, bukan memperbaiki kata-kata. Sebuah Hadits beliau, “aku diutus ke muka bumi ini, untuk memperbaiki akhlak”. Jadi harusnya kita tidak membuang energi, untuk ceramah dimana-mana, akan tetapi sulit untuk kita terapkan. Menasehati orang baik, namun kita sendiri tidak baik. Saya sering contohkan jika anak-anak kita mau berakhlak baik, maka orang tua di dalam rumah (lingkungan) yang menjadi pigur dari seorang anak itu, haruslah selalu menunjukkan etika (akhlak), budi pekerti yang baik. Menyuruh anak shalat atau mengaji, akan tetapi selaku orang tua tidak membarengkan dengan shalat juga, menjadi aneh. Pahlawan kita, tidak hanya memerintahkan serang penjajah, akan tetapi ikut terjun di depan, memimpin pengikutnya.
Kiranya makna hakiki dari arti nilai suatu kepahlawanan sekarang ini, dapat dikatakan telah mengalami erosi. Pendek kata, nilai kepahlawanan sewaktu masa revolusi dulu, kini telah mengalami perkembangan arti. Ia tidak lagi sebagaimana bentuk asli, sewaktu nilai-nilai kepahlawanan yang bersifat heroik tersebut, diperlukan pada zamannya. Ia telah bergeser pada arah keteladanan, yang memungkinkan hal-hal yang demikian, dapat ditampilkan sebagaimana mestinya. Dan guna buat kita sadari bersama, penerimaan dari masyarakat nanti, dan semua ini kita serahkan kepada waktu dan keadaan serta sejarahlah yang akan mencatatnya.  Karena hanya itu yang bisa kita perbuat saat ini, untuk berjuang mengangkat senjata, kiranya sudah bukan zamannya lagi. Perang bukanlah solusi terbaik menyelesaikan masalah Bangsa. Masih ada diplomasi-diplomasi dan usaha lain. Karena peperangan justru akan membuat masalah baru, kemiskinan, keterpurukan ekonomi, penurunan kualitas pendidikan dan keadaan trauma akibat tidak aman situasi.
Mengikuti jejak pahlawan bukan berarti seperti apa yang mereka lakukan tempo dulu. Nilai-nilai yang bisa kita terjemahkan dari semangat mereka merebut kemerdekaan inilah yang bisa kita lakukan saat ini. Agar Indonesia yang mereka rebut sulu, selalu berjaya seperti yang diharapkan. Walaupun mereka tidak menikmati langsung hasil perjuangannya, akan tetapi untuk kita, anak cucunya, generasi-generasi selanjutnya. Begitupun nantinya kita akan memberikan estafet memelihara bangsa ini pada generasi selanjutnya.
Kiranya, lagu “Mengheningkan Cipta” membantu kita memahami jasa para pahlawan. Mereka berjuang bagi nusa dang bangsa. Mereka mereka mengorbankan jiwa dan raga demi bangsa. Jasa mereka itu sangat berharga. Mereka seperti cahaya pelita dalam kegelapan. Berkat perjuangan mereka negara kita merdeka. Mereka tahu bahwa penjajahan itu tidak benar. Maka mereka berjuang menentang penjajahan. Mereka juga tidak menyerah ketika menderita. Tentu kamu pernah mendengar cerita bagaimana Panglima Besar Jenderal Sudirman berjuang. Waktu itu beliau sakit keras. Namun, dengan semangat tinggi beliau tetap memimpin pasukan bergerilya melawan Belanda. Kita bisa mengatakan seorang pahlawan memiliki sifat - sifat berani, pantang menyerah, rela berkorban, dan mendahulukan kepentingan orang lain. Semoga kita semua mampu berbuat untuk itu, Amin.
 
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Bima dan Anggota PHBI Kota Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar