Minggu, 14 Agustus 2011

MTQ, antara Tuntunan dan Tontonan

Oleh : Mustapa Umar


Mushabaqah Tilawatil Qur’an di beberapa keluarahan Kota Bima sudah rampung, sementara para juara menunggu untuk kembali bertanding ditingkat Kecamatan. Untuk Kabupaten Bima, bahkan sudah melangsungkan MTQ tingkat Kabupaten sendiri, yang beberapa hari yang lalu dibuka di Kecamatan Wera. Semangat religius Bima patut saya acungkan jempol, dibanding daerah-daerah lain di NTB khususnya dalam melangsungkan MTQ.
Sejauh pengamatan saya disetiap pembukaan dan penutupan, baik di wilayah kerja saya selaku penyuluh (Kecamatan Mpunda), ataupun membaca beberapa informasi tentang MTQ di luar wilayah kerja saya lewat media-media cetak. Dalam setiap kesempatan, wakil walikota bahkan terkadang Camat memberikan sambutan dan sembari mempromosikan tentang gerakan Bima Berzakat, Maghrib Mengaji. Panitia dalam laporan biaya pelaksanaan, tidak tanggung-tanggung menyebut angka bahkan sampai 30-an juta rupiah.
Selain biaya, panitia terkesan “menonjolkan” kemewahan panggung MTQ masing-masing. Namun tanpa kita sadari, atau bahkan mungkin sudah kita sadari namun kita diam saja, seolah-olah tidak menjadi masalah, bahwa peserta yang ikut jauh dari jumlah prosentase kepala keluarga yang ada. Yang ironis malah, pesertanya adalah kiriman kelurahan lain. Belum lagi masalah “pemerataan” juara setiap RT dan RW, bahkan pemotongan biaya atau hadiah yang sangat tidak sesuai dengan jumlah biaya yang dikeluarkan. Masalah-masalah ini secara tidak langsung sudah mencederai hakekat dan tujuan MTQ itu sendiri.
Setiap sambutan, wakil walikota selalu menekankan agar anak-anak kita, masyarakat kita berjiwa Qur’ani. Kita sepakat, bahwa jiwa-jiwa Qur’ani adalah jiwa, prilaku, dan tindakan yang berlandaskan Al-Qur’anul Karim. Dalam al-Qur’an sudah jelas, bagaimana batas aurat, batas pergaulan lain jenis dan batas bagaimana kita menghormati al-Qur’an itu sendiri, termasuk menghormati kesucian Masjid.
Ada beberapa MTQ yang dihelat dipelataran Masjid, kalau kita melihat wanita-wanita yang mengisi acara, tanpa kita sadari ada yang sedang haid (datang bulan), dan dengan leluasa mereka naik kemasjid dengan sandal-sandal / sepatu yang bagus, yang mengakibatkan kenakjisan (hukmiah) pada lantai masjid. Masalah aurat, para penontonnya wanitanya cukup menggunakan celana pendek, ketat dan memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh yang gemulai. Belum lagi tidak jauh dari panggung MTQ, mereka asyik berduaan dengan “pacar” masing-masing yang berlum tentu syah dan masih haram bagi mereka.
Hal-hal seperti ini, saya temukan banyak disetiap pelaksanaan MTQ. Seperti berbanding terbalik dengan hakekak dan makna serta tujuan dilangsungkannya MTQ itu sendiri, yakni untuk mengangunggkan syiar-syiar Islam, kemuliaan Firman Allah SWT yang dilantunkan para Qori’ dan Qori’ah. Seharusnya semangat mereka patut kita dukung dengan lingkungan yang Qur’ani juga. Namun kalau keadaannya seperti ini, maka belum membuahkan hasil syiar yang tepat, hanya seleksi dan menghabis-habiskan dana saja.
Mari kita berpikir ulang, tentang konsep dan manajemen dalam setiap pelaksanaan MTQ yang kita gelar, agar disamping kita mencari penerus-penerus agama yang mencintai al-Qur’an juga masyarakat yang memuliakan kandungan-kandungan al-Qur’an. Beberapa media cetak, memberitakan tentang adanya penyakit-penyakit masayarakat yang semakin meluas, dari siswi SMP yang merokok sampai semak belukar “mesum” disekitar paruga naE yang di desak masyarakat untuk di razia. Belum masalah penggunaan narkoba, sofi, dextro, minuman keras, sampai free sex yang mengakibatkan aborsi dimana-mana. Kos-kosan yang terkesan bebas, tanpa mengindahkan peraturan yang ada, Tamu Harus Lapor 1x24 pada RT atau RW setempat.
Hal-hal inilah sebenarnya yang perlua kita carikan perimbangan dengan nuansa-nuansa yang kita bina selama ini. Agar MTQ yang kita selenggarakan setiap tahun benar-benar sebuah tuntunan bukan sekedar tontonan, apalagi semakin tahun peminat dan peserta MTQ setiap keluarahan semakin menurun dan kualitas masih dalam tanda tanya. Mari kita jadikan Bima kembali harum pada masa Ustadz Ramli Ahmad, Bima menjadi daerah Qur’ani  dan Madani.InsyaAllah. Wassalam.

Penyuluh Agama Islam KUA. Kec. Mpunda Kemenag Kota Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar