Senin, 14 Juli 2014

Kepemimpinan Kyai di Pesantren



Oleh : Musthofa Umar


Pada edisi yang lalu, saya pernah menulis tentang “peran kyai di pesantren”. Di sana saya mengupas peran-peran penting seorang kyai (mudabbir) atau pimpinan pondok dalam menjaga orsinilitas pendidikan agama Islam dalam lingkungan Pondok Pesantren. Dan pada kesempatan kali ini, saya ingin membahas secara spesifik tentang kepemimpinan seorang kyai (mudabbir) dalam mengatur laju pendidikan dan sistem di sebuah Pondok Pesantren di Indonesia. Dr. Rohiat mengutip pendapat Sustiana dalam bukunya, berpendapat bahwa, Kepemimpinan ialah kemampuan untuk menciptakan perubahan yang paling efektif dalam perilaku kelompok, bagi yang lain dia adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan kelompok ke arah penetapan tujuan dan pencapaian tujuan.
Namun sebelum kita membahas tentang kepemimpinan Kyai di Pesantren, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu tipelogi Kyai-kyai yang ada. Abdurrahman Mas'ud  memasukkan kyai kedalam lima tipologi: pertama, Kyai (ulama) encyclopedi dan multidisipliner yang mengonsentrasikan diri dalam dunia ilmu; belajar, mengajar, dan menulis, menghasilkan banyak kitab, seperti Nawai al-Bantani. Kedua, Kyai yang ahli dalam salah satu spesialisasi bidang ilmu pengetahuan Islam. Karena keahlian mereka dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan, pesantren mereka terkadang dinamai sesuai dengan spesialisasi mereka, misalnya pesantren al-Qur'an. Ketiga, Kyai kharismatik yang memperoleh karismanya dari ilmu pengetahuan keagamaan, khususnya dari sufismenya, seperti KH. Kholil Bangkalan Madura.
Keempat, Kyai Dai keliling, yang perhatian dan keterlibatannya lebih besar melalui ceramah dalam menyampaikan ilmunya sebagai bentuk interaksi dengan publik bersamaan dengan misi sunnisme atau aswaja dengan bahasa retorikal yang efektif. Kelima, Kyai pergerakan, karena peran dan skill kepemimpinannya yang luar biasa, baik dalam masyarakat maupun organisasi yang didirikannya, serta kedalaman ilmu keagamaan yang dimilikinya, sehingga menjadi pemimpin yang paling menonjol, seperti KH. Hasyim Asy'ari. Dari hasil penelitian terhadap pesantren yang dilakukan oleh LP3ES tahun 1972-1973 di Daerah Bogor, muncul beberapa temuan, diantaranya bahwa kepemimpinan formil pesantren dipegang oleh seorang kyai. Maju atau mundurnya sebuah pesantren sangat bergantung pada kredibilitas moral dan kemampuan manajerial kyainya. Pada umumnya kepemimpimpian di pesantren menganut kepemimpinan karismatik tidak menganut kepemimpinan rasional.
Menurut Abdur Rozaki, kharisma yang dimiliki kyai merupakan salah satu kekuatan yang dapat menciptakan pengaruh dalam masyarakat. Ada dua dimensi yang perlu diperhatikan. Pertama, kharisma yang diperoleh oleh seseorang (kyai) secara given, sperti tubuh besar, suara yang keras dan mata yang tajam serta adanya ikatan genealogis dengan kyai kharismaik sebelumnya. Kedua, kharisma yang diperoleh melalui kemampuan dalam penguasaan terhadap pengetahuan keagamaan disertai moralitas dan kepribadian yang saleh, dan kesetiaan menyantuni masyarakat.


Kepemimpinan Kyai, dapat di deskripsikan sebagai sebuah proses dengan mana seorang menetapkan standar tertentu, ekspektasi dan pengaruh tindakan orang lain untuk bertindak dalam apa yang dianggap menjadi arah yang diinginkan. Kepemimpinan bukan berarti menguasai, melainkan seni meyakinkan orang untuk bekerja keras menuju sasaran bersama. Dalam rangka memantapkan karier diri sendiri, ada yang lebih penting selain mengenali perasaan-perasaan terdalam mengenai hal-hal yang dikerjakan dan perubahan perubahan yang membuat seseorang lebih puas dengan Pekerjaannya. Terdapat beberapa alasan yang kurang mencolok tentang mengapa bakat-bakat emosional bergerak menjadi ujung tombak keterampilan berbisnis yang mencerminkan perubahan besar di tempat kerja.
Seperti halnya Saratri Wilonoyudho dalam Opininya menulis, ”Pemimpin adalah orang yang dapat menggerakkan rakyat untuk menuju kebaikan bersama. Dunia mencatat seperti Mahat ma Gandhi, Kemal Ataturk, Napoleon Bonaparte, Jeanne d’Arc, Kwame Nkrumah, Soekarno, Nelson Mandela dan seterusnya. Mereka bukan sekedar tokoh masyarakat, namun pemimpin yang membawa perubahan besar bagi perjuangan menuju kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan”. Begitu halnya dengan seorang kyai, bukan hanya masyarakat yang menjadikan beliau figur sentral tapi para santrinya. Pemimpin yang cerdas adalah orang yang mampu menghargai puncak kehidupan, dan dia akan senantiasa menziarahi kebenaran (will to truth) bukan menziarahi kekuasaan (will to power), agar dia tidak mengalami apa yang disebut split orientation, split orientation, yakni tidak menyatunya antara ucapan dan tindakan.
Hal senada juga dikatakan oleh Limas Sutanto, Psikiater konsultan psikoterapi, wakil presiden Asia Pacific Association of Psychotherapists asal Malang ini menulis di sebuah opininya, ”Pemimpin bukanlah sekedar makhluk yang haus kekuasaan dan suka mengejar kekuasaan. Memang pemimpin memerlukan kekuasaan untuk bisa memimpin dengan baik. Namun, pemimpin tidak terbenam dalam nafsu mengejar kekuasaan. Pemimpin justru dapat menggunakan kekuasaan secara wajar sebagai alat untuk mengejawantahkan kepemimpinannya secara etis serta penuh tanggung jawab”.
Bagaimana dengan kyai yang berpolitik? Apakah hal itu sebuah bentuk kepemimpinan kyai? Bisa dikatakan ia karena banyak hal yang bisa di perbuat untuk memajukan pondok pesantren jika seorang kyai masuk dalam ranah politik. Namun kembali ke pernyataan dua tokoh di atas, bahwa jangan hanya mengejar kekuasaan.Ada pandangan berbeda tentang pendidikan James J. Jones dan Donald L. Walters dalam bukunya Management in Education di menulis, ”Pengelolaan dan perencanaan program-program pendidikan yang baik di zaman sekarang ini hanya bisa terjadi di negara yang secara historis memiliki latar belakang ekonomi, politik, dan sosial yang secara terus-menerus mengalami perkembangan. Mengingat gagasan-gagasan yang ada dalam tiga latar belakang pendidikan tersebut sangat berdampak pada segala macam bentuk perencanaan pendidikan, maka ketiga latar belakang tersebut tak pelak lagi harus berhubungan dengan sumber daya manusia yang ada di dalamnya”.
Hal ini sangat baik jika dipegang oleh kyai atau orang-orang yang benar-benar ”kyai” dan menegakkan kebenaran untuk mensejahterakan ekonomi dan pendidikan masyarakat / rakyat melalui jalur politik yang mereka perjuangkan. Coba kita lihat tulisan Muhammad Muhibbudin dalam opininya, yang di muat Harian Jawa Pos beberapa waktu lalu, ”Berdasar paradigma semiotika-strukturalisme saussure, kata kyai adalah penanda (signifier) yang mempresentasikan makna (petanda/signified) tentang seorang yang alim dan cendekia dalam keilmuan keagamaan. Dari sisi semangat keilmuannya itu, seorang kyai adalah seorang intelektual atau cendekiawan, sebagai seorang intelektual, tanggung jawab moral utama para kyai adalah memberikan pencerahan kepada masyarakat berdasar kapasitas keilmuan yang mereka miliki”.
Termasuk dalam hal ini, kyai setiap pemilu harus menjadi rujukan masyarakat maka tidak  ada  salahnya kalau   kyai mengerti dan paham urusan politik karena dia adalah pemimpin. Dengan keilmuannya itu, para kyai disimbolkan sebagai lentera yang menerangi masyarakat. Perannya di masyarakat diharapkan mampu membawa masyarakat dari lembah kegelapan (darkness) menuju puncak pencerahan (lightness) di berbagai sektor kehidupan.
Pendapat ini juga senada dengan tulisan opininya Yahya C. Staquf dalam Dekadensi Politik Kiai, dia menulis bahwa, ”Melanjutkan tradisi yang telah dimapankan sejak era Walisongo, sosok kyai hadir terutama sebagai misionaris. Dalam perkembangan kiprahnya, kyai beserta para pengikutnya membangun komunitas tersendiri yang independen –oleh Gus Dur digambarkan sebagai subkultur, di mana kyai kemudian tegak sebagai pemimpin paripurna. Dia mengayomi kehidupan pengikut-pengikutnya, sekaligus menggeluti segala tungkus-lumus duniawi mereka. Dia mewakili, memakelari dan sering harus mengonsolidasikan mereka untuk menghadapi dunia luar. Dalam konteks ini jelas bahwa kyai pada dasarnya juga pemimpin politik”.
Lebih luas arti pemimpin dalam sosok seorang kyai, Imron Arifin dalam bukunya tentang Kepemimpinan Kyai dalam Perubahan Manajemen Pondok Pesantren Kasus Ponpes Tebuireng Jombang,  menulis bahwa, ”kepemimpinan kyai identik dengan kepemimpinan Islam yang ditandai dengan istilah khalifah yang berarti wakil Tuhan untuk menjaga dan melestarikan bumi, ada pula yang memberi istilah amir kata jamak dari umara yang berarti pemimpin formal keagamaan yang disebut ulil amri”. Sesuai dengan Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59, ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Kepemimpinan kyai secara normatif dilandasi empat prinsip. Pertama, prinsip tauhid yaitu menggerakkan kepemimpinannya untuk bertaqwa kepada Allah SWT, sesuai dengan firman-Nya dalam surat Ali Imron ayat 118, ” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”.
Kedua, akuntabilitas spiritual yaitu pertanggungjawaban pribadi dan organisasi tidak saja berdimensi horizontal, tetapi juga transendental. Ketiga, prinsip keadilan dalam memutuskan segala perkara tanpa memandang kepentingan dan perbedaan. Hal ini Allah juga menegaskan dalam firman-Nya di surat Shad ayat 26, “Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”. Keempat, prinsip kesederhanaan dan konsep pemberian layanan. Keberadaan kyai pesantren sebagai pemimpin pesantren, ditinjau dari tugas dan fungsinya, menurut Arifin dipandang sebagai fenomena kepemimpinan yang unik. Dikatakan unik karena sebagai pemimpin sebuah lembaga pendidikan Islam tidak sekedar bertugas menyusun kurikulum, membuat peraturan tata tertib, merancang sistem evaluasi, sekaligus melaksanakan proses belajar mengajar yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama di lembaga yang diasuhnya, melainkan bertugas pula sebagai pendidik dan pembina umat serta menjadi pemimpin masyarakat.
Sikap dan gaya hidup sederhana seorang pemimpin / kyai sebagai pewaris Nabi tentunya tidak jauh dengan ajaran Rasulullah SAW. Beliau sebagaimana hamba biasa itu agaknya memang merupakan pilihan Rasulullah SAW sejak awal. Karena itu dan tentu saja juga karena kekuatan pribadi beliau, bahkan kebesaran beliau sebagai pemimpin agama maupun pemimpin Negara pun tidak mampu mengubah sikap dan gaya hidup sederhana beliau. Bandingkan misalnya, dengan kawan kita yang baru menjadi kepala desa saja sudah merasa lain, atau ikhwan kita yang baru menjadi pimpinan majlis taklim saja sudah merasa beda dengan orang lain.
Memang tidak mudah untuk bersikap biasa; terutama bagi mereka yang terlalu ingin menjadi luar biasa atau mereka yang tidak tahan dengan ‘keluarbiasaan’. Apalagi sering kali masyarakat juga ikut ‘membantu’ mempersulit orang istimewa untuk bersikap biasa. Orang yang semula biasa dan sederhana, ketika nasib baik mengistimewakannya menjadi pemimpin, misalnya, atau tokoh berilmu atau berada atau berpangkat atau terkenal, biasanya masyarakat di sekelilingnya pun mengelu-elukannya sedemikian rupa, sehingga yang bersangkutan terlena dan menjadi tidak istimewa. Keistimewaan orang istimewa terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya itu. Keistimewaan khalifah Allah terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh kekhalifahannya, mampu menjaga tetap menjadi hamba Allah.
Posisi kepemimpinan kyai di pesantren lebih menekankan pada aspek kepemilikan saham pesantren dan moralitas serta kedalaman ilmu agama, dan sering mengabaikan aspek manajerial. Keumuman kyai bukan hanya sekedar pimpinan tetapi juga sebagai pemilik persantren. Posisi kyai juga sebagai pembimbing para santri dalam segala hal, yang pada gilirannya menghasilkan peranan kyai sebagai peneliti, penyaring dan akhirnya similator aspek-aspek kebudayaan dari luar, dalam keadaan seperti itu dengan sendirinya menempatkan kyai sebagai cultural brokers (agen budaya).
Nah dalam actionnya Kyai adalah mempengaruhi atau mendorong faktor-faktor intern keberhasilan santri di Pondok Pesantren. Di mana, faktor intern adalah faktor yang timbul dari dalam diri individu santri itu sendiri, adapun yang dapat digolongkan ke dalam faktor intern yaitu kecedersan/intelegensi, bakat, minat dan motivasi. Misalnya dalam hal kecerdasan, Kecerdasan merupakan salah satu aspek yang penting, dan sangat menentukan berhasil tidaknya studi seseorang. Kalau seorang murid mempunyai tingkat kecerdasan normal atau di atas normal maka secara potensi ia dapat mencapai prestasi yang tinggi. Tingkat intelegensi yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat intelegensi yang rendah.
Lalu kyai juga mendorong santri dalam mewujudkan bakat-bakat mereka. Bakat diartikan sebagai kemampuan individu untuk melakukan tugas tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan. Dari itu tumbuhnya keahlian tertentu pada seseorang sangat ditentukan oleh bakat yang dimilikinya sehubungan dengan bakat ini dapat mempunyai tinggi rendahnya prestasi belajar bidang-bidang studi tertentu. Dalam proses belajar terutama belajar keterampilan, bakat memegang peranan penting dalam mencapai suatu hasil akan prestasi yang baik.
Selain bakat, minat juga tidak bisa dianggap remeh. Minat adalah kecenderungan yang menetap dalam subjek untuk merasa tertarik pada bidang / hal tertentu dan merasa senang berkecimpung dalam bidang itu. Minat juga bisa merupakan kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan, kegiatan yang diminati seseorang, diperhatikan terus yang disertai dengan rasa sayang. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar atau kegiatan. Bahkan pelajaran yang menarik minat siswa lebih mudah dipelajari dan disimpan karena minat menambah kegiatan belajar. Untuk menambah minat seorang siswa di dalam menerima pelajaran di sekolah siswa diharapkan dapat mengembangkan minat untuk melakukannya sendiri.  Yang terpenting adalah Motivasi dalam belajar, karena ini  adalah faktor yang penting karena hal tersebut merupakan keadaan yang mendorong keadaan siswa untuk melakukan belajar. Persoalan mengenai motivasi dalam belajar adalah bagaimana cara mengatur agar motivasi dapat ditingkatkan. Demikian pula dalam kegiatan belajar mengajar sorang anak didik akan berhasil jika mempunyai motivasi untuk belajar. Motivasi adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi bisa juga diartikan menggerakkan siswa untuk melakukan sesuatu atau ingin melakukan sesuatu.
Dalam perkembangannya motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu (a) motivasi instrinsik dan (b) motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik dimaksudkan dengan motivasi yang bersumber dari dalam diri seseorang yang atas dasarnya kesadaran sendiri untuk melakukan sesuatu pekerjaan belajar. Sedangkan motivasi ekstrinsik dimaksudkan dengan motivasi yang datangnya dari luar diri seseorang siswa yang menyebabkan siswa tersebut melakukan kegiatan belajar. Dalam memberikan motivasi seorang guru harus berusaha dengan segala kemampuan yang ada untuk mengarahkan perhatian siswa kepada sasaran tertentu. Dengan adanya dorongan ini dalam diri siswa akan timbul inisiatif dengan alasan mengapa ia menekuni pelajaran. Untuk membangkitkan motivasi kepada mereka, supaya dapat melakukan kegiatan belajar dengan kehendak sendiri dan belajar secara aktif.
Kepemimpinan ialah kemampuan untuk menciptakan perubahan yang paling efektif dalam perilaku kelompok; bagi yang lain, dia adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan kelompok ke arah penetapan tujuan dan pencapaian tujuan. Kepemimpinan bukan berarti menguasai, melainkan seni meyakinkan orang untuk bekerja keras menuju sasaran bersama. Dalam rangka memantapkan karier diri sendiri, ada yang lebih penting selain mengenali perasaan-perasaan terdalam mengenai hal-hal yang dikerjakan dan perubahan-perubahan yang membuat seseorang lebih puas dengan pekerjaannya. Terdapat beberapa alasan yang kurang mencolok tentang mengapa bakat-bakat emosional bergerak menjadi ujung tombak keterampilan berbisnis yang mencerminkan perubahan besar di tempat kerja.


Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama, Alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar