Minggu, 20 Juli 2014

“ Puasa Memburu Taqwa”
Musthofa Umar

Bismillahirrrahmanirrahim..
Alhamdulillah tidak terasa kita telah memasuki sepuluh (10) terakhir fase bulan Ramdhan kali ini, tentu kita berharap-harap cemas (antara yakin dan tidak) bahwa puasa kita diterima, atau sebaliknya ditolak oleh Allah SWT. Namun kita harus tetap optimis (yakin) bahwa amal ibadah yang kita lakukan, termasuk puasa kali ini diterima Allah SWT. Sebenarnya, apa yang kita lakukan, amaliah-amaliah ibadah kita bisa kita lihat ukurannya diterima apa tidak melalui cara kita menjalankannya sehari-hari, apakah sudah memenuhi syarat, rukun dan tata cara yang digariskan syari’at apa belum, atau kita banyak meninggalkan tata cara, rukun dan syaratnya?! Nah kalau itu yang kita lakukan, seyakin apapun tetap saja tidak bisa kita katakan diterima. Misalnya saja, puasa adalah ‘imsak’ (menahan) diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, yakni masuknya sesuatu dari tujuh (7) lubang anggota badan kita. Baik itu berupa benda ataupun sesuatu yang disengaja untuk dimasukkan. Tujuh (7) anggota badan itu adalah, dua (2) lubang hidung, dua (2) lubang telinga, 1 (satu) mulut dan dua (2) lubang di depan dan belakang kita bagian bawah, yakni dubur dan qubul. Hal ini dilakukan semenjak fajar shiddiq (subuh) sampai terbenamnya matahari (maghrib). Hal ini secara lahiriah bisa terlihat, sehingga dikatakan hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Selain ada hal-hal yang tidak terlihat, yang bisa membuat batal pahala puasanya. Dan puasa harus menjaga hal-hal yang membatalkan puasa dan juga pahalanya.
Syaratnya adalah tidak masuk ke salah satu tujuha (7) lubang yang dilarang, akan tetapi dalam sehari-hari kita lengah, sayarat ini tidak kita penuhi. Belum saatnya berbuka, kita sudah memasukkan ‘sesuatu’ dalam tujuh (7) lubang indera kita, baik di mulut, hidung, telinga, ataupun qubul dan dubhur kita. Maka jelas kita batal dalam puasa, artinya tidak diterima karena melanggar syarat-syaratnya, walaupun kita  yakin seribu porsen (1000 %) akan diterimanya ibadah puasa kita. Begitupun dalam ibadah-ibadah yang lain, selama kita menjalankan syarat-syarat, rukun dan tata caranya dengan benar, maka bolehlah kita mengatakan ibadah kita diterima oleh Allah SWT, namun sebaliknya jika kita melanggar salah satu dari syarat atau rukun yang telah ditentukan, mungkin kita terlalau ke-PD-an (percaya diri), untuk menganggap ibadah kita diterimaNya.
Nah bagaimana dengan puasa?! Bulan puasa, atau bulan Ramadhan seperti yang Allah SWT jelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 183, “wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu untuk berpuasa, sebagaimana yang telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”. Ukuran puasa kita diterima atau tidak oleh Allah SWT tentu satu kata ‘berubah’. Ada sesuatu yang berubah dalam hal-hal yang menyangkut amaliah ibadah kita yang berubah. Tentunya berubah dari yang tidak sama sekali ke ada atau melakukan, atau dari yang sudah dilakukan ke lebih baik dalam melakukannya. Ringkasnya adalah kita semakin takut kepada Allah SWT. Takut untuk melanggar dan lalai dari segala bentuk perintahNya, melakukan segala hal yang diwajibkan, dan meninggalkan segala hal yang telah dilarangNya. Inilah yang dikatakan taqwa (takut kepada Allah SWT), yang menjadi tujuan kita dipuasakan.
Apa sebenarnya yang dikatakan taqwa itu? Yang menjadi tujuan kita dipuasakan oleh Allah SWT seperti akhir surat al-Baqarah ayat 183 yang menjadi dalil naqli puasa itu sendiri --la’allakum tattaquun—(mudah-mudahan kamu bertaqwa) itu? Semua orang tentu menjadi ‘pemburu’ taqwa yang dijanjikan Allah SWT saat ini. Lalu bagaimana cara kita melihat, kita ini taqwa apa belum? Artinya, kalau kita melihat ciri-ciri ini pada seseorang atau diri kita, berarti taqwa sudah kita dapatkan. Akan tetapi sebaliknya, jika ciri-ciri itu tidak ada, bisa jadi predikat taqwa itu belum kita peroleh, dan itu artinya puasa kita masih dipertanyakan keberhasilannya, masih meragukan entah diterima apa tidak? Dan itu bisa jadi saya pribadi, anda dan kita semua pasti mengalami hal yang sama.
Kalimat taqwa,  selain pengertian ringkas, sudah saya jelaskan di atas, ada beberapa hal yang bisa dilihat sebagai ciri-ciri orang yang bertaqwa, tentu menurut al-Qur’an dan Hadith sebagai pedoman kita hidup. Al-Baqarah ayat 2-5 mengatakan, “Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung”.
Melihat dari terjemah makna surat al-Baqarah di atas, maka sangat jelas ciri-ciri orang yang dikatakan taqwa tersebut. Yang paling mendasar memang, harus meyakini akan kebenaran al-Qur’an dan ajaran-ajarannya yang telah di firmankan oleh Allah SWT. Dari al-Qur’anlah, kita akan mengetahui selanjutnya apa yang dilakukan dan harus diperbuat oleh orang-orang taqwa itu sebagai petunjuk dan tidak boleh meragukan sedikitpun. Al-Qur’an memerintahkan orang yang meyakininya agar beriman kepada yang ghaib (tidak terlihat), seperti Allah SWT, Malaikat, pahala, dosa, Syurga dan Neraka. Termasuk meyakini Rasulullah SAW yang sudah ghaib bagi kita. Sehingga keyakinan akan yang ghaib ini, akan mengantarkan kita selalu takut dan hati-hati dalam bertingkah laku, Allah SWT, Malaikat selalu melihat dan mencatat perbuatan kita. Kalau kita taqwa pasti tidak akan berani melakukan munkar karena keyakinan kita, akan dilihat Allah SWT dan dicatat Malaikat Rokib dan ‘Atid tadi. Termasuk selalu mendirikan shalat, karena diperintah dan dilihat Allah SWT.
Ciri yang lain orang bertaqwa itu adalah, selalu menafkahkan sebagian rizkinya. Menafkahkan rizki tidak harus menunggu waktu zakat fitrah satu kali setahun, namun zakat-zakat mal (harta) kita bisa kita keluarkan/nafkahkan kapan saja, bila telah sampai haul dan nishabnya. Puasa telah melatih kita haus dan lapar, kekurangan dan keterbatasan seperti yang sering dirasakan oleh orang-orang kekurangan (fakir, miskin dan anak yatim serta orang-orang yang tidak berkecukupan). Maka zakat kita sangat membantu kekurangan mereka, sehingga mereka bisa merasakan kebahagiaan sama dengan kebahagiaan kita. Dari itu rasa lapar, haus dan kekurangan ini, bisa membuat kita peka terhadap lingkungan sekitar kita, untuk selalu memberi bagian rizki kita. Orang-orang yang bisa berbagi baik dalam bentuk infaq, shadaqah dan zakat inilah orang-orang yang bertaqwa.  Wallohua’lamu bishhowab.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar