Senin, 14 Juli 2014

Mengenal Kyai (Pimpinan) Pesantren



Oleh : Musthofa Umar


Menurut asal usulnya, perkataan Kyai bukan dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa yang dipakai dalam tiga jenis gelar yang saling berbeda bisa benda, materi, maupun manusia yang diukur dari masing-masing sifatnya yang istimewa, ketiga gelar tersebut antara lain; pertama, sebagai  gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, umpamanya "Kyai Shaleh" dipakai untuk sebutan seekor kerbau putih Yogyakarta. Kedua, gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya dan ketiga, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada santrinya. Selain gelar Kyai, ia sering juaga disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).
Lain halnya dengan Zimek dalam tulisan Imron Arifin, dan Muhammad Selamet, dalam “Kepemimpinan Kyai dalam Perubahan Manajemen Pondok Pesantren : Kasus Ponpes Tebuireng Jombang” yang mengutip pendapat, “Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab melainkan berasal dari bahasa Jawa. Kyai memiliki makna yang agung, keramat dan dituahkan. Untuk benda-benda yang dikeramatkan dan dituahkan di Jawa seperti kris, tombak, dan benda lain yang keramat di sebut kyai. Selain untuk benda keramat, gelar kyai juga diberikan kepada laki-laki berusia lanjut, arif dan dihormati”. Sedangkan Saefuddin Zuhri, dalam bukunya Guruku Orang-orang Pesantren mengatakan; “kyai itu harus paling alim, benar-benar telah teruji kedalaman serta keluasan ilmunya, dan tentu saja dengan sendirinya yang paling berwibawa”.
Dakwah dan penyebaran Islam di Nusantara pertama kali dijalankan oleh Wali Songo. Setelah masa Wali Songo berakhir, para ulamalah yang melanjutkannya hingga masa kini.  Para ulama melakukan dakwah dengan segenap komitmen dan keseriusan mereka. Ulama  seperti  dikatakan  Lathiful Khuluq dalam  bukunya,  Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim  Asy’ari mendifinisikan kyai,  gelar  untuk  ulama, pemimpin  agama,   pemimpin  pesantren, dan guru senior di Jawa.
Kata ini juga digunakan  untuk menghormati barang maupun binatang yang dianggap memiliki kekuatan luar biasa. Begitu halnya dengan Saefullah dalam bukunya, KH. Badri Masduqi Kiprah dan Keteladanan. Dalam tulisannya, kyai adalah ulama, ”para ulama mengabdikan hidup dan perjuangan mereka demi kepentingan Islam dan demi umatnya. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan seorang tokoh mampu memberi inspirasi kepada generasi sesudahnya. Sepak terjang, perjuangan dan pengabdiannya dari lahir hingga meninggal menjadi bahan pelajaran berharga.” Dan seorang kyai / ulama dalam memimpin sebuah pondok pesantren adalah bentuk lanjutan perjuangan dan pengabdiannya untuk agama Islam yang telah diwariskan para Wali Songo sampai ke atas Nabi Muhammad SAW. Perlu ditekankan di sini bahwa ahli-ahli pengetahuan Islam di kalangan umat Islam disebut ulama. Di Jawa Barat mereka disebut Ajengan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur mereka yang memimpin pesantren disebut Kyai, dan di Madura disebut Mak Kyae, Bendara atau Nun. Dengan kaitan yang sangat kuat dengan tradisi pesantren, gelar kyai biasanya dipakai untuk menunjuk para ulama dari kelompok Islam tradisional.
Dengan demikian, kyai jelas merupakan elite ulama. Dia merupakan seorang guru dan pemberi  fatwa. Namun, tidaklah ada ketentuan bahwa seorang kyai hanya boleh memberikan fatwa tentang masalah agama, dan dilarang menyinggung masalah yang agak jauh dari urusan keimanan atau ibadah, misalnya tentang aspek bola. Segala pernik kehidupan bisa saja diperbincangkan dengan dan oleh seorang kyai. Hal itu dimungkinkan terjadi karena kyai dalam sosok idealnya semacam guru spiritual. Selain itu, kyai mendapat sebutan Ulama yaitu orang yang selain selama hidupnya dengan khusuk menjalankan ibadah semata-mata karena Allah, juga mendalami ilmu pengetahuan agama dan memiliki kewenangan dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an dan al-Hadits untuk menjadi rujukan masyarakat umum.
Manfred Ziemek dalam bukunya Imron Arifin, menjelaskan, "Pengertian lebih luas di Indonesia sebutan Kyai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terpelajar telah membaktikan hidupnya untuk Allah serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan." Misi utama dari kyai adalah sebagai pengajar dan penganjur dakwah Islam (preacher) dengan baik. Ia juga mengambil alih peran lanjut dari orang tua, ia sebagai guru sekaligus pemimpin rohaniah keagamaan serta bertanggung jawab untuk perkembangan kepribadian maupun kesehatan jasmaniah anak didiknya. Dengan otorita rohaniah, ia sekaligus menyatakan hukum dan aliran-alirannya lewat kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren binaanya. Para kyai berkeyakinan bahwa mereka adalah pewaris dan penerus risalah nabi, sehingga mereka tidak hanya mengajarkan pengetahuan agama, tetapi juga hukum dan praktik keagamaan, sejak dari hal yang bersifat ritual sampai prilaku sehari-hari. keberadaan kyai akan lebih sempurna apabila memiliki masjid, pondok, santri dan ia ahli dalam mengajarkan kitab-kitab Islam  klasik.
Dengan demikian predikat kyai berhubungan langsung dengan suatu gelar kerohanian yang dikeramatkan, yang menekankan kepada kemuliaan dan pengakuan, yang diberikan secara sukarela kepada ulama Islam pemimpin masyarakat setempat. Hal ini berarti sebagai suatu tanda kehormatan bagi suatu kedudukan sosial dan bukan gelar akademis yang diperoleh melalui pendidikan formal. Mereka yang pandai dan fasih membaca Al-Qur'an (ada kalanya menghafalnya), pandai membaca kitab-kitab gundul (kitab kuning menurut istilah sekarang) yang menyebabkan mereka mempunyai pengetahuan luas tentang ilmu-ilmu keislaman, seperti fiqh, tauhid/ushuluddin, tafsir, hadits, tasawuf, tarikh, nahwu-sarraf dan ilmu-ilmu falak, mantiq, hikmah dan lain sebagainya.
Di samping mempunyai kualitas ilmu yang demikian sekaligus mereka mempunyai kualitas kesalehan, ketakwaan dan integritas kemasyarakatan yang diakui oleh lingkungannya. Sebutan umum bagi mereka adalah "Syaikh" dan mereka yang lebih menonjol kesalehan dan ketakwaannya, biasanya disebut "Wali". Di samping sebutan umum tersebut, ada pula sebutan lokal, misalnya, kyai (di Jawa), anregurutta (di Bugis), tuan guru (di NTB), tetap kemudian sebutan Kyai telah menjadi umum dipakai di seluruh Indonesia. Sebagaimana firman  Allah suat Faatir ayat 28, ”Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.


Lalu kedudukan kyai yakni, menurut penelitian Horikhosi, kyai adalah figur yang berperan sebagai penyaring informasi dalam memacu perubahan  di dalam pondok pesantren dan masyarakat sekitarnya. Kedudukan kyai adalah pemegang pesantren yang menawarkan agenda perubahan sosial keagamaan, baik yang menyangkut masalah interpretasi agama dalam kehidupan sosial maupun perilaku keagamaan santri, yang kemudian rujukan masyarakat. Kedudukan kyai di sebuah pesantren bukan sekedar memberikan pelajaran dan bimbingan keagamaan kepada para santri di pesantrennya, akan tetapi juga berperan sebagai tokoh non-formal yang ucapan-ucapan dan seluruh perilakunya akan dicontoh oleh komunitas di sekitarnya.
Pendek kata, kyai berperan sebagai sosok, model atau contoh yang baik (uswah hasanah) tidak saja bagi para santrinya akan tetapi juga bagi seluruh komunitas di sekitar pesantrennya. Sosiolog Clifford Geertz mengemukakan bahwa kyai selain berperan sebagai tokoh masyarakat yang memberikan pelayanan sosial kepada mereka, ia juga berperan sebagai mediator atas arus informasi yang masuk ke lingkungan kaum santri. Kebanyakan kyai di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. Tidak seorangpun santri atau orang lain yang dapat melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrennya) kecuali kyai lain yang lebih besar pengaruhnya.
Para santri mengharap dan berpikir bahwa kyai yang dianutnya merupakan orang yang percaya penuh kepada dirinya sendiri (self-con fident) baik dalam soal-soal pengetahuan Islam maupun dalam bidang kekuasaan dan manajemen pesantren. Meskipun kebanyakan kyai di Jawa tinggal di daerah pedesaan, mereka merupakan bagian dari kelompok ellite dalam struktur sosial, politik dan ekonomi masyarakat Jawa. Sebab sebagai suatu kelompok, para kyai yang memiliki pengaruh yang amat kuat di masyarakat Jawa merupakan kekuatan penting dalam kehidupan politik Indonesia. Kebanyakan mereka memiliki sawah yang cukup, namun tidak perlu tenggelam dalam pekerjaan sawah. Mereka bukan petani, tetapi pemimpin dan pengajar, yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat. dan untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan penganjur Islam (preacher) dengan baik, mereka perlu memahami kehidupan politik. Mereka dianggap dan menganggap diri memiliki suatu posisi atau kedudukan yang menonjol baik pada tingkat lokal maupun nasional.
Dengan demikian, mereka merupakan pembuat keputusan yang efektif dalam sistem kehidupan sosial orang Jawa, tidak hanya dalam kehidupan keagamaan tetapi juga dalam soal-soal politik. Profesi mereka sebagai pengajar dan penganjur Islam membuahkan pengaruh yang melampaui batas-batas desa (bahkan Kabupaten) di mana pesantren mereka berada. Para kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam Islam, sering kali dilihat sebagai orang  yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka memiliki kedudukan yang tidak  terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam.
Di samping itu kyai-kyai merupakan sektor kepemimpinan Islam  yang dianggap paling dominan, dan selama berabad-abad telah memainkan peranan yang menentukan dalam proses perkembangan sosial, kultural, keagamaan dan politik. Dalam periode sekarang pun para kyai telah menunjukkan vitalitasnya dalam kepemimpinan Islam. Di tengah-tengah meningkatnya pembangunan ekonomi, para kyai telah dianggap sebagai  salah satu kelompok pimpinan  yang menonjol dalam memenuhi kebutuhan akan kepemimpinan moral bagi bangsa Indonesia. Para kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam Islam, sering kali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam.
Dalam bidang pendidikan kyai memusatkan kegiatannya dalam suatu lembaga yang disebut "pesantren" yang merupakan lembaga yang sering kali didirikan dan sekaligus dipimpinnya sendiri, maka sudah sewajarnyalah bila pertumbuhan dan perkembangan suatu pesantren semata-mata bertumpu dan bergantung pada kemampuan pribadi kyainya. Oleh karenanya maka kyai merupakan  unsur atau elemen yang paling esensial dan pokok dalam suatu pesantren. Kekuasaan seperti yang digambarkan di atas dengan sendirinya kyai memperoleh kedudukan di lingkungan pesantren, dan lingkungan sekitarnya. Karena dia tidak hanya dibutuhkan oleh santrinya saja, melainkan juga dibutuhkan oleh masyarakat.
Dari uraian di atas jelas bahwa kyai mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam meningkatkan sarana dan prasarana yang ada di pondok pesantren yang dipimpinnya. Di samping itu kebanyakan kyai mempunyai kesan yang baik di mata masyarakat sebagai orang yang mempunyai kelebihan dibidang spiritual. Selain itu kyai juga dianggap oleh masyarakat sebagai sosok yang menjadi suriteladan. Sehingga dalam kedudukan itu Sunyoto dalam bukunya Imron Arifin berpendapat, bahwa : "kyai dapat disebut sebuah agent of change dalam masyarakat yang berperan penting dalam suatu proses perubahan sosial".
Kehadiran ulama beberapa abad lalu di bumi Nusantara sekaligus menandai kehadiran agama Islam. merekalah yang memperkenalkan agama samawi ini kepada rakyat. Mereka hadir di tengah-tengah rakyat, hidup dan bergaul mesra dengan mereka. Mereka mengajar dan mendidik rakyat; mereka membantu rakyat yang mengalami kesulitan dengan bimbingn rohani yang menenteramkan jiwa mereka dan kadangkala memberinya pengobatan fisik bilamana mereka menderita sakit. Mereka ikut memelihara perdamaian dan kerukunan masyarakat melalui ishahu dzatil bain, peningkatan silaturrahim dan pemupukan Ukhuwah Islamiyah, yang sebagian dibina lewat tarekat-tarekat. Pembinaan yang paling nyata dilakukan lewat pondok-pondok pesantren. Karena integritas mereka dengan kepentingan masyarakat dapat sejalan, maka mereka mencintai dan dicintai oleh masyarakat, bahkan lalu dihormati dan dipatuhi.
Didukung dengan syarat-syarat yang lain, seorang ulama pastilah berada pada posisi yang mempunyai kewenangan dan secara mudah dapat menduduki setiap strata sosial masyarakatnya. Dari sini mereka akan berfungsi sebagai pemain penting dalam mempengaruhi pendapat, cara berpikir bahkan perilaku warganya. Orang seperti ini dilihat dari fungsinya disebut pemimpin opini (opinion leader); dilihat dari aspek terjadinya disebut pemimpin kharismatik (charismatic leader); dan dilihat dari cara memimpinnya disebut pemimpin persuasif  (persuasive leader). Banyak ulama karena membela dan menegakkan kebenaran difitnah dan harus meringkuk di penjara atau bahkan dibunuh oleh penguasa yang lalim. Kecuali mereka yang mampu "bersiasat" dalam menjalankan peran "kenabian dan kerasulan" mereka.
Adapun tugas ulama dalam fungsinya sebagai pemimpin adalah menjadi motivator, dinamisator dan stabilitator. Sedang dalam fungsinya sebagai ahli agama ia menjadi sumber konsepsional, titik tolak dalam perbuatan dan titik akhir yang tidak boleh dilanggar.


Adapun fungsi kyai menurut Horikoshi yang dikutip oleh Imron Arifin dapat dilihat dalam tiga aspek yaitu : Sebagai Pemangku Masjid dan Madrasah. Kyai baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan senatiasa menjadi pemangku masjid, karena masjid merupakan tempat dimana juga digunakan sebagai tempat pengajian dan pengabdian para ahli ilmu agama dalam mentransformasikan ilmu agama pada pengikutnya. Kyai juga berfungsi, sebagai Pengajar dan Pendidik. Fungsi kyai sebagai pengajar dan pendidik lebih tampak pada lembaga pendidikan pesantren, di mana pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional telah memberikan pendidikan agama yang sistematik untuk para kader kyai serta orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mengemban kepemimpinan sosial, keagamaan di tengah-tengah masyarakat. kyai yang memiliki ilmu agama yang mendalam dan memiliki lembaga pendidikan baik pesantren atau madrasah akan lebih dalam mentrasformasikan ilmunya kepada santri atau para muridnya.
Dan fungsi lain seorang kyai adalah, Sebagai Ahli dan Penguasa Hukum Islam. Agama Islam merupakan agama yang mengandung seperangkat hukum yang mengatur hidup dan kehidupan manusia. Sedangkan fungsi dari kyai atau ulama bukan hanya untuk mengajar dan memberi informasi tentang hukum, tetapi juga untuk menginterpretasikan dan memperkuat peraturan-peraturan yang telah ada. Kyai sebagai orang yang menguasai dan paham tentang hukum dituntut dapat menafsirkan dan melaksanakan hukum sesuai dengan apa yang telah ditentukan agama, sehingga hukum tersebut dapat dipahami semua lapisan sosial. Yang lebih penting lagi fungsi kyai dan ulama sebagai mata rantai yang dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakatnya baik yang menyangkut masalah keluarga, sosial maupun keagamaan.
Di samping itu kyai juga berkedudukan sebagai hakim atau penengah dari suatu persoalan yang timbul di tengah-tengah masyarakat. Jika yang terjadi bersifat keagamaan atau dengan agama saja masalah itu dapat diselesaikan atau bisa dicari pemecahannya lebih jauh lagi.




Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama, Alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar