Senin, 14 Juli 2014

Pesantren Orsinilitas Pendidikan Islam



Oleh : Musthofa Umar

Pondok Pesantren merupakan pusat pendidikan Islam, dakwah dan pengabdian masyarakat yang tertua di Indonesia. Pondok pesantren diakui sebagai sistem dan lembaga pendidikan yang memiliki akar sejarah dengan ciri-cirinya yang khas. Keberadaannya sampai sekarang masih berdiri kokoh di tengah-tengah komunitas masyarakat. Hal ini terbukti dengan kenyataan bahwa pondok pesantren saat ini menampakkan keaslian, kebhinekaan dan kemandirian walaupun usianya setua proses islamisasi di negeri ini.
Kondisi objektif menunjukkan  bahwa dekade terakhir ini mulai dirasakan ada 'pergeseran' peran dan fungsi pesantren. Peran dan fungsi pesantren sebagai kawah  candra di muka orang yang rasikh fi ad-diin (ahli dalam pengetahuan agama) terutama yang terkait dengan norma-norma praktis (fiqh) semakin memudar. Hal ini disebabkan antara lain desakan gelombang modernisasi, globalisasi dan informasi yang berimplikasi kuat pada pergeseran orientasi hidup masyarakat. Minat masyarakat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama semakin mengendor. Kondisi bertambah krusial dengan banyaknya ulama yang mesti menghadap Allah sebelum sempat mentransfer utuh kepada generasi penggantinya. Faktor inilah yang ditengarai menjadikan out put pesantren dari waktu ke waktu mengalami degradasi, baik dalam amaliah, ilmiah maupun khulqiyah.
Penurunan kualiatas peran dan fungsi pesantren ini memunculkan kerisauan di kalangan ulama akan punahnya khazanah ilmu-ilmu keislaman. Jika persoalan ini tidak ditangani secara serius tentu sangat membahayakan masa depan umat Islam. dari sinilah pentingnya segera dibentuk lembaga yang secara khusus intens mempesiapkan kader-kader yang memiliki integritas ilmiah, amaliah dan khuluqiyah yang mumpuni.
Pesantren merupakan Rekontruksi Akhlak
Bahwa dunia telah dilanda dekadensi moral. Realitas kehancuran akhlak yang telah lama “kronis” dan semakin gencar melanda bangsa Indonesia ini, kiranya tidaklah berlebihan bila Indonesia dinominasikan sebagai salah satu sudut bagian dari sektor atau wilayah yang dimaksud oleh salah satu ilmuwan kenamaan asal Perancis itu. 
Innalillah (ungkapan terjadi bencana kecil), bahkan innalillahi wa inna ilaihi roji’un (ungkapan terjadi bencana besar), bangsa kita telah dilanda bencana atau musibah kehancuran akhlak. Musibah besar itu semakin gencarnya menghantam tanah air kita.
Realitasnya, untuk sekarang ini, tidak satu pun ahli pendidikan yang tidak mengatakan, “bahwa kondisi dunia, di antaranya Indonesia sekarang telah benar-benar mengalami dekadensi akhlak yang luar biasa dalam standar umum sekalipun, apalagi yang benar-benar akhlakulkarimah”.
 Ironisnya, hal itu juga telah menjangkit dan akrab bergumul dengan komunitas berpendidikan. Bahkan naifnya lagi, musibah itu, mereka umumnya menyebut hal biasa. Misalnya, biasa zaman modern, generasi muda-mudinya bergaul bebas dan jauh dari akhlakulkarimah. Sungguh naif dan  memilukan, bukan ?
 Kita menyaksikan, utamanya fenomena yang sangat memprihatinkan adalah dunia lingkup tunas-tunas bangsa dalam gejolak “pemelesetan” dari globalisasi dan rekayasanya ini.  Padahal generasi muda adalah mahkota dari suatu bangsa. “Jika putra-putri bangsa itu baik, maka suatu negara menjadi harum, dan justru sebaliknya, bila generasi mudanya telah rusak akhlaknya, maka busuklah suatu negara”. Demikian komunitas terdidik sering berujar.
Sekali lagi, musibah besar itu semakin gencarnya menyerang. Di mana berstatusnya putra-putri bangsa sebagai siswa-siswi, atau bahkan mahasiswa-mahasiswi alias bukan siswa-siswi biasa lagi. Bukanlah sebuah jaminan atau “asuransi”  meningkat dan terjaganya intelektualitas mereka (kita), baik pemikiran maupun segala sikapnya.
Padahal, merekalah yang dipastikan akan mengemudi bangsa di masa mendatang, meskipun pada level atau lahan yang berbeda. Namun, ’’bibit nahkoda‘’ bangsa ini sangat naif dan  memprihatinkan.
KH. Abdurrahman Wahid dalam bukunya, Menggerakkan ”Tradisi Esai-Esai Pesantren” Ia  berpendapat, bahwa pondok pesantren seperti akademi militer atau biara (monastery, convent) dalam arti bahwa mereka yang  berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.
 Sehingga dengan faktor tersebut, penulis berpendapat, di tengah-tengah terus rusaknya akhlak dari “atap langit” sampai “akar bumi” bangsa kita ini. Pondok pesantren akan sangat tetap memungkinkan untuk tetap survive sebagai  ‘’transmisi atau agen akhlakulkarimah’’. untuk “memfilter” keluar-masuknya budaya. Demi terimplementasinya akhlakulkarimah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Hal tersebut, sesuai pendapat Clifford Geertz yang dituangkan dalam bukunya ”The Javanese Kyai: The Changing Role of a Cultural Broker”, bahwa kyai pesantren punya peran besar sebagai “makelar budaya” (Cultural Broker).
Tetapi, menelaah pendapat Geertz itu, penulis tetap  berpendapat: “memfilter budaya”, adalah dalam konteks menuju terimplementasinya akhlakulkarimah dalam kehidupan manusia. Namun, pesantren akan bisa tetap berfungsi sebagai "filter budaya" juga, bila di masing-masing pondok pesantren pendidikan akhlak masih dominan dan dimaksimalkan.
Sebab, dengan optimalnya akhlakulkarimah (minimalnya pendidikan) di masing-masing pesantren itulah, maka pesantren akan tetap mampu untuk berperan aktif dalam “memfilter budaya”, karena dengan adanya akhlakulkarimah itu pula, dari sekian banyak gelombang budaya yang terus kencang mengalir dan membanjiri manusia, tapi komunitas pesantren (utamanya santri di masing-masing persantren) mudah menerima terhadap hasil "penyaringan budaya”  yang dipimpin oleh kiyai dan kemudian para santri langsung melaksanakan dan dengan sendirinya mengalirkannya budaya baru yang telah "disaring" itu kepada publik (lingkungan) setelah mereka (para santri) kembali ke kampung masing-masing untuk menerapkan budaya dalam kehidupan masyarakat yang tidak bertabrakan dengan akhlakulkarimah.
Namun sebaliknya, bila akhlakulkarimah (akhlak terpuji)  telah bias di dalam kehidupan pesantren, dan dikalahkan oleh akhlakussayyi’ah (akhlak tercaci) maka pesantren dalam konteks "makelar budaya" tidak akan begitu banyak berperan, atau bahkan sama sekali tidak akan bisa berperan.
Hal itu bisa dilihat dan dibuktikan dalam komunitas akademisi yang free_expression, baik di dalam, utamanya di luar kampus (kost-kostan). Dengan sendirinya tidak memungkinkan dunia kampus untuk bisa berfungsi sebagai “medium budaya”, tetapi lebih tepat dan lebih empuk sebagai "objek atau mangsa budaya".
Kecuali, secara individual komunitas akademisi punya kemampuan untuk melakukannya, dan tentunya, dengan lingkungan (kost) yang tidak mendukung itu, hal itu minim sekali. Karenanya, sangatlah tepat sekarang-sekarang ini, banyak bermunculan pesantren sebagai asrama mahasiswa. Sehingga merupakan salah satu faktor yang cukup signifikan untuk mengusung (moral) generasi yang ber-akhlakulkarimah.
Memang, di tengah runtuhnya akhlak bangsa kita ini, seiring dengan memuncaknya gejolak hedonisme ini,  pondok pesantren yang selama ini dianggap sebagai markas religius (Islam), dalam kapabilitasnya sebagai ‘’agen’’ akhlakulkarimah, jelas harus eksis dan survive mengajarkan dan menuntun para santri (masyarakat) untuk secara perlahan menerapkan akhlakulkarimah dalam kehidupan, baik horisontal maupun vertikal  dalam berbagai segi dan sendinya.
Hal itu sesuai kondisi awal hadirnya pesantren, ketika itu bangsa Indonesia dalam kondisi hewani atau Jahiliah (sebelum datangnya Islam), dan pesantren (dengan agama Islam) hadir untuk mengusung manusia ke arah yang bermoral atau manusiawi.
Termasuk ketika para elite pesantren “menyelewengkan” institusi pesantren untuk “dimanfaatkan sebagai alat” di dalam gelanggang politik, komunitas pesantren harus tetap menjadikan akhlakulkarimah sebagai salah satu “senjata peperangan” di dalam gelanggang yang semestinya “harus” demokratis itu, untuk menjaga identitas pesantren, dan menanamkan “benih demokrasi”  yang berawal dari kebersihan.
Dewasa ini, pendidikan akhlak itu oleh sebagian golongan kadang hanya dianggap sebuah “konservatisme” demi untuk mengkultuskan sang kyai, katanya. Misalnya saja, karya syeikh Ibrohim bin Ismail, sebuah syarah dari kitab Ta’lim al-Muta’allim; thoriq at-ta’alum  karya Syeikh al-Zarnujy , atau Akhlaq al-Banin  (ibtida’iyyah) karya Umar Bin Ahmad Baradja, dan pelajaran-pelajaran akhlak lainya, yang masih eksis diajarkan di berbagai pesantren, utamanya pesantren tradisional.
Namun, asumsi sebagian orang tersebut, oleh kalangan elite pesantren biasa dianggap hanya sebagai faktor bisa menunjang terhadap arus perdebatan Islam yang semakin gencar sekarang ini. Hal itu sama sekali tidak bisa “menggoyang” terhadap eksistensi pendidikan akhlak yang masih dan harus dominan dilaksanakan oleh masing-masing pesantren.
Karena dengan tertanamnya akhlakulkarimah  itu, akan turut melancarkan peredaran ilmiah, diantaranya  anak manusia akan mengetahui ‘’di mana’’ posisinya dalam siklus ilmiah, sebagai guru atau murid, pendengar, atau hanya berposisi sebagai pecinta saja?! Dan berbagai fungsi lainya.

Memang, dalam konteks pendidikan, pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi sekaligus  mendidik (akhlak). Akhlakulkarimah itu, sekarang ini dalam liberalisasi atau sekularisasi dunia akademisi semakin terpuruk, utamanya “iklim pergaulan” antara laki-laki dan perempuan, dan yang paling memprihatinkan adalah di luar kampus (tempat-tempat kost), dalam komunitas akademisi perguruan tinggi Islam sekali pun.
Alasan mereka singkat saja, “Kita ingin jadi Muslim moderat”. Meskipun diantara mereka banyak kedapatan yang “tidak jelas” landasan hukum yang dipegang, juga dalam ketidaktahuan terhadap pegangan hukum, dan kurang siapnya untuk melakukan kewajiban agama itu. Ironinsnya, mereka banyak yang mengatakan, “Kita ini manusia biasa, bukan Nabi yang ma’shum (terjaga dari maksiat)”. Sungguh menggelikan sekaligus memprihatinkan, bukan?!
Memang benar hal tersebut. Tapi persoalannya, kenapa kita tidak berpikir dan  mengatakan, ‘’Mari kita sama-sama untuk terus berusaha meningkatkan ketakwaan kita, dengan cara yang menunjangnya, misalnya menjauhi tempat-tempat yang dikenal sangat jauh dari akhlak terpuji dan berpotensi dengan akhlak tercaci (kemaksiatan). Seperti tempat kost yang umumnya dan dikenal sebagai tempat yang  rusak dan kotor itu. Karena dalam hukum Aqli (hukum logika), berada di tengah kobaran api, kita akan terbakar, di  tengah lautan  akan  tenggelam’’. Bukankah berpikir demikian itu, kita lebih ilmiah?.
Ironinya lagi, telah terjadi “pemelesetan agama” dalam budaya bahasa, sehingga sering terlontar dari mereka, agama adalah fanatisme belaka. Tetapi, mereka tidak pernah menyadari bahwa dirinya berada dalam fanatisme kesalahannya.
Sungguh menggelikan, selama ini kalimat fanatik hanya sering dilontarkan kepada  agama. Padahal, aspek etimologi, kalimat fanatik bisa diterapkan dan dirangkai dengan berbagai kalimat lainnya. Misalnya fanatik dengan kesalahan, fanatik dengan seni, fanatik dengan berdagang, dan lain-lain.
Inilah, kiranya salah satu bukti penyelewengan budaya bahasa dewasa ini, utamanya dalam komunitas muda. Mungkin juga diakibatkan karena kurang memahaminya terhadap  ilmu   bahasa. Sekali lagi, “Sungguh menggelikan dan memprihatinkan, bukan ?! Agama dianggap fanatisme, tetapi kesalahan didewakannya. Fenomena dan argumentasi di atas tersebut, lagi populer di kalangan “terpelajar”, baik pelajar umum utamanya pelajar perguruan tinggi agama Islam saat ini yang syok berwawasan ilmiah. Dari situ, dapat disimpulkan, betapa para pelajar Indonesia saat ini ingin membuat argumentasi berdasar agama, tetapi miskin nuqtoh (nilai)  ilmiah. Maka, dapat diambil kepahaman, bahwa betapalah fenomena kehancuran akhlak itu, terus mengalir dan menyerang masuk ke berbagai “saluran, ruangan, atau rongga-rongga, dan sel-sel” komunitas pelajar. Kiranya, diakibatkan oleh satu hal, yaitu “pemelesetan dan penyelewengan” dari eksistensi globalisasi dan demokrasi.
Lingkungan pendidikan dan berbagai pusat pelatihan serta tempat kerja kita kini juga dipengaruhi oleh lingkungan global yang merupakan berbagai pengaruh eksternal   dalam  dinamika  berbagai  aspek  kehidupan di  dunia,  Lingkungan  global  yang   mengandung     pengertian   tereksposnya   kita   oleh   kehidupan  komunitas   global   menuntut     adaptasi    masyarakat   kita   pada  kondisi global dan pada gilirannya menuntut adaptasi individu untuk bisa bertahan di masyarakat di mana ia hidup. Interface (antar muka) antar berbagai stimulus lingkungan melalui interaksi untuk mewujudkan aktualitasasi diri individu secara optimal dalam masyarakat di mana ia hidup dan juga aktualisasi daerah pada masyarakat yang lebih luas, nasional maupun global inilah yang harus menjadi perhatian pengelola ataupun atasan atas perlakuan subjek SDM. Dalam hal kita, para guru dalam perlakuannya terhadap peserta didik. Interaksi yang terjadi dalam prilaku anak-anak kita. Namun secara reciprocal (timbal balik) perlakuan yang terjadi adalah cermin kehidupan masyarakat di mana ia hidup.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar siswa, karena itu lingkungan sekolah yang baik dapat mendorong untuk belajar yang lebih giat. Keadaan sekolah ini meliputi cara penyajian pelajaran, hubungan guru dengan siswa, alat-alat pelajaran dan kurikulum. Hubungan antara guru dan siswa kurang baik akan mempengaruhi hasil-hasil belajarnya. Guru dituntut untuk menguasai bahan pelajaran yang akan diajarkan, dan memiliki tingkah laku yang tepat dalam mengajar. Oleh sebab itu, guru harus dituntut untuk menguasai bahan pelajaran yang disajikan, dan memiliki metode yang tepat dalam mengajar. Di samping orang tua, lingkungan juga merupakan salah satu faktor yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa dalm proses pelaksanaan pendidikan. Karena lingkungan alam sekitar sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi anak, sebab dalam kehidupan sehari-hari anak akan lebih banyak bergaul dengan lingkungan dimana anak itu berada.
Lingkungan masyarakat dapat menimbulkan kesukaran belajar anak, terutama anak-anak yang sebayanya. Apabila anak-anak yang sebaya merupakan anak-anak yang rajin belajar, maka anak akan terangsang untuk mengikuti jejak mereka. Sebaliknya bila anak-anak di sekitarnya merupakan kumpulan anak-anak nakal yang berkeliaran tiada menentukan anakpun dapat terpengaruh pula. Dengan demikian dapat dikatakan lingkungan membentuk kepribadian anak, karena dalam pergaulan sehari-hari seorang anak akan selalu menyesuaikan dirinya dengan kebiasaan-kebiasaan lingkungannya. Oleh karena itu, apabila seorang siswa bertempat tinggal di suatu lingkungan temannya yang rajin belajar maka kemungkinan besar hal tersebut akan membawa pengaruh pada dirinya, sehingga ia akan turut belajar sebagaimana temannya.



Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama, Alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar